Naik Ranjang (7)***POV Yuda***"Sayang … bagaimana kalau aku mencintai Kakakmu? Apa itu tidak akan menyakiti kamu, Sayang?" tanyaku seorang diri yang masih berjongkok di samping pusara Khanza.Awalnya, aku memang membenci Hilma. Tidak akan ada tempat di hatiku untuknya. Tidak akan pernah kuberikan.Namun, tiga bulan tinggal bersama. Aku nyaris tidak menemukan cela dalam diri perempuan yang usianya dua tahun lebih tua dariku itu.Dia … nyaris sempurna.Awalnya hatiku tertutup rapat entah untuk siapa pun itu. Akan tetapi, Hilma yang bertahan dalam pernikahan ini membuat dinding hatiku melunak.Padahal, tidak ada yang Hilma lakukan untuk meluluhkannya. Malah sebaliknya, aku yang sering mencoba menghancurkan benteng pertahanannya dalam membina pernikahan ini.Namun keadaan seakan berbalik. Kebencian yang aku tanam sejak awal pernikahan dengannya. Nestapa yang kujanjikan saat hubungan ini sah terikat. Menguap begitu saja karena Hilma tak gentar menghadapiku.Aku mendesah pelan.Hakikatnya
Naik Ranjang (8)POV Hilma–"Nak Hilma, kamu kenapa, Nak? Kamu lagi sakit? Kurang tidur?"Pagi ini, Ibu Mertuaku kembali datang. Namun hanya Ibu saja tanpa Pak Candra. Ibu datan ke mari diantarkan sopir pribadi keluarganya.Kami tengah sarapan di ruang bermain seperti biasanya. Namun, tiba-tiba saja Bu Aida bertanya seperti barusan."Aku sehat kok, Bu. Tidur cukup juga semalam," jawabku apa adanya.Bu Aida nampak memindai wajahku. Membuatku kembali menundukkan kepala dan melanjutkan sarapan dengan nasi uduk yang katanya beliau buat sendiri"Bener? Mata kamu sembab, Nak. Merah juga. Kamu menangis semalaman?"Aku lantas mempercepat makanku hingga akhirnya habis. Sehingga aku bisa mengobrol dengan Ibu mertuaku ini. Kemudian aku menuntaskan dengan meneguk segelas air.Apa mungkin mataku berjejak? Semalam, sehabis shalat tahajud, aku meninggalkan mushola lalu masuk ke kamar kedua.Mengurung diri di dalamnya dan menangis sendirian hingga waktu Subuh tiba.Aku merasa sudah sangat lelah deng
–Yuda masih meniup bergantian kedua mataku. Dapat kurasakan terpaan lembut napasnya mengenai kedua netra ini.Apa yang sebenarnya dia lakukan? Apa dia ingin mengobati mataku yang memerah? Aku masih membeku dengan perlakuannya pagi ini.Kami bertukar tatap.Manik hazelnya akhirnya membuatku tersadar. Cepat-cepat aku menunduk dan menepis jemari Yuda yang masih menyentuh pipiku, saat ia telah berhenti meniup kedua netraku.Aku memalingkan wajah darinya dan kembali memandangi si kembar. Lalu mengusap netraku dengan punggung tangan."Ehhh si Yuda, disuruh beli tetes mata malah ditiup-tiup gitu matanya Hilma. Nanti atuh ah mau tiup meniup mah kalau malam. Ini masih pagi, Yud!" Bu Aida terkekeh."Apa sih, Bu. Kan kata Ibu matanya Hilma merah. Aku refleks aja kok niupin. Udah Bu, aku berangkat kerja dulu." Yuda meraih tangan Bu Aida lalu menciumnya.Aku kembali memandangi si kembar. Terutama Arsa yang kini ada dalam bouncer di hadapanku.Yuda berpamitan pada kedua putra kembarnya. Si kembar
Siang hari tadi Ibu mertuaku pulang lebih awal. Karena ada jadwal pengajian di komplek perumahannya. Sehingga sore ini, ia sudah tidak ada lagi di rumah ini. Membuatku hanya berdua bersama si kembar. Yuda biasanya akan pulang saat menjelang magrib nanti.Sore ini aku membawa stroller yang diisi Arka. Sementara Arsa, ada dalam gendongan. Jika di rumah tidak ada lagi orang, maka aku biasanya membawa si kembar jalan-jalan sore. Meski hanya jalan kaki.Sebenarnya cukup repot, tapi aku menikmatinya. Menikmati peran yang seharusnya dijalankan oleh Khanza. Bukan aku.Aku membawa si kembar sekedar berkeliling komplek. Sampai di gapura dan melewatinya. Berjalan di pinggiran jalan raya lalu berbelok ke arah komplek perumahan sebelah.Di komplek perumahan sebelah ini, ada satu taman umum serta lapangan. Jika sore hari biasanya ramai oleh anak-anak yang bermain. Ada juga penjual jajanan makanan. Berbeda dengan taman serta lapangan di komplek tempatku tinggal yang tidak begitu ramai dan nyaris sep
Keluar dari kamar, aku memilih berdiam di ruang makan. Duduk merenung sendirian di kursi makan dengan kedua tangan bertautan menempel di kening.Kenapa Yuda selalu saja merasa paling benar. Kenapa dia terlampau mengusik perasaanku. Padahal selama ini, aku tidak pernah mengusik diri serta perasaannya terhadap almarhumah adikku. Tidak sama sekali.Dia masih mencintai Khanza yang telah tiada pun, aku tidak merasa keberatan. Aku bisa mengerti hal itu. Aku tidak mempermasalahkan, karena aku di sini untuk merawat si kembar. Bukan untuk Yuda.Dia tidak pernah menganggap keberadaanku pun, aku tidak peduli. Dia tidak mengharapkanku juga, tidak apa-apa.Aku ada untuk si kembar, untuk kedua keponakanku.Apa aku harus meminta berpisah saja dari laki-laki ini?Sekali pun Allah sangat membencinya tetapi perpisahan dihalalkan.Kuhempaskan punggung membentur badan kursi. Menarik napas panjang mengurai sesak yang memenuhi rongga dada."Ya Allah … aku tidak pernah ingin, menjadi bagian dari orang-orang
Namun, Yuda masih hanya diam. Tidak ada yang dai katakan sepatah saja.Aku masih menunggunya.Menunggu Yuda mengakhiri ikatan pernikahan ini.Akan tetapi Yuda tetap saja bungkam. Dia hanya menatapku dengan tatapan lain. Tatapan sayu dengan wajah agak menunduk. Jika biasanya, dia menatapku dengan angkuh dan tajam, malam ini tidak.Apa yang kutunggu tidak terjadi. Karena Yuda tak mengucapkan kata perpisahan yang kuminta.Dia diam saja.Entah apa maunya. Bicara tentang Azmi saja dia merepet persis seperti petasan. Sekarang dia malah diam.Akhirnya aku berbalik badan. Angkat kaki untuk keluar dari ruang makan ini. Karena Yuda hanya diam saja.Belum sampai dua langkah kakiku berjalan. Tanganku ditarik. Tubuhku kembali berbalik dengan cepat.Yuda menarik tubuhku. Membawaku begitu saja hingga rapat di dadanya. Satu tangannya terasa melingkar di pundak dengan tangan lainnya di pinggang.Yuda mendekapku.Membuatku mematung. Jantungku berdebar kencang saat begitu rapat dengan laki-laki berstatu
POV Yuda*********Kalau seperti itu, kita sudahi saja.Kita sudahi pernikahan kita.Kita, bisa akhiri hubungan ini.Akhiri hubungan kita malam ini. Jatuhkan talakmu padaku. Aku akan menerimanya dengan senang hati."Hufffhhh …." Kuhembus napas kasar.Kenapa ucapan Hilma terngiang-ngiang? Disertai bayangan wajahnya saat memintaku memutuskan pernikahan ini? Berhasil membuatku sulit tidur.Bahkan aku tidak bisa tidur hingga jam dinding di kamar ini sudah menunjukkan jam satu malam. Aku tidak mengantuk sama sekali. Padahal jam tujuh nanti, aku harus sudah berangkat bekerja.Namun suara Hilma seakan terus berdengung di telinga ini. Terutama saat dia mengatakan kekagumannya terhadap laki-laki bernama Azmi.Entah kenapa aku malah gelisah.Berguling ke kanan lalu ke kiri. Memandangi box tidur berisi si kembar. Namun tetap saja rasa kantuk tak kunjung datang.Kulihat ke arah sofa yang
"Yud, bangun, Yud!"Samar aku mendengar suara disertai tepukan pada bahuku."Bangun, udah jam enam! Gak kerja kamu?" Kembali aku mendengar suara serta guncangan cukup keras di bahuku.Mau tak mau aku akhirnya bangun seraya mengucek kedua mata bergantian.Mengitari tempatku terbangun dan aku masih di ruangan bermain. Dini hari tadi, setelah aku membaringkan Hilma dan mengecup keningnya diam-diam.Si kembar terbangun dari box tidurnya. Aku membawa mereka di ruang bermain sambil memberikan susu. Tak lama mereka pun tertidur dalam pelukan.Tapi saat ini, saat aku telah terbangun. Si kembar sudah tidak ada di sampingku. Justru berganti dengan keberadaan Ibuku."Udah jam enam. Kamu gak kerja?" tanya Ibu membuatku terkejut."Jam enam?" Aku terperanjat serta merta berdiri. Meninggalkan Ibu tanpa menjawab pertanyaannya. Melesak ke kamar utama dan secepatnya ke kamar mandi untuk membersihkan diri.Semalaman susah
Aku membawa Halwa ke dalam kamar. Menutup pintu menggunakan kaki hingga berdebam kencang. Melanjutkan langkah menuju tempat tidur, lalu menjatuhkan bobotku tanpa menurunkan Halwa lebih dulu. Posisinya yang digendong seperti bayi koala, membuat ia kini berada di atas tubuhku yang sudah setengah bersandar di headboard kasur.Kedua tanganku terulur mengusap sisi rambutnya. Membelai wajah cantik itu lalu menyelipkan rambut ke belakang dan telinganya bersama pandangan kami yang saling mengunci."Syaratnya ... apa boleh aku meminta hak sebagai suami? Apa kamu tidak keberatan aku memintanya malam ini?" tanyaku seraya mengungkap syarat yang kumaksud.Halwa menunduk sambil menggigit bibirnya. Menggerakkan bola matanya tak tentu arah seakan salah tingkah. "Kamu ... menginginkannya malam ini, Mas? Tapi ... kondisiku seperti ini. Bagaimana jika tidak berjalan maksimal? Emmh, maksudku, tanganku sedang cedera seperti ini, apa tidak akan jadi masalah?"Aku tersenyum kecil dengan kedua tangan masih ak
Secangkir teh tawar hangat akhirnya tersaji. Aku bersama Halwa duduk berdua mengisi meja makan. Ia menikmati segelas susu vanila dengan roti selai kacang meski menggunakan tangan kirinya. Sampai kemudian Halwa selesai lebih dulu dan barulah aku. Halwa telah bangkit, membereskan meja makan bekas kami sarapan dengan satu tangannya."Udah, biar aku yang beresin," ujarku sembari menahan tangan Halwa.Ia menggeleng dan menarik tangannya dariku. "Gak papa, Mas. Biar aku aja," tolaknya masih terus membereskan meja.Aku lantas membiarkan. Halwa selesai menumpuk piring serta cangkir yang tadi kami gunakan. Ia beranjak dari meja makan ini, membawa perabot kotor menuju wastafel pencuci piring.Namun, tentu saja aku tak tinggal diam. Lekas aku menyusul dan berdiri di belakangnya. Terlihat sekali Halwa tak mampu bekerja dengan normal hanya dengan satu tangan. Aku menyentak napas membuatnya berbalik badan. Cepat aku meraih pinggangnya. Membawa tubuhnya sedikit bergeser lalu mengangkat hingga ia te
Setibanya di kamar, aku menurunkan Halwa di tempat tidur. "Aku siapkan dulu airnya, ya?"Halwa mengangguk cepat. Aku menjauh dari tempat tidur dan masuk ke kamar mandi berdinding kaca. Menyiapkan air hangat memenuhi bath tub, tak lupa menambahkan bath bomb hingga berbuih dan wangi semerbak.Setelah air siap, aku kembali menemui Halwa yang terduduk di bibir tempat tidur."Air hangat sudah siap," ucapku memberitahu. Aku lalu menjatuhkan tubuh di hadapan Halwa. Bertumpu dengan kedua lutut hingga tinggi kami sejajar.Aku mengulurkan tangan menangkup wajahnya yang bulat. Manik mata itu seakan menghipnotis membuatku selalu ingin menatapnya lama-lama. Semburat senyum tersungging di bibir Halwa. Tangannya tergerak meraih tanganku yang tengah membelai pipinya."Buka kerudungnya, ya?" ucapku merasa perlu meminta izin. Halwa mengangguk tanpa protes. Tanganku lalu dengan cepat menyingkap kain penutup kepalanya hingga terlepas.Aku tak mampu berpaling. Kupandangi Halwa dengan tangan menyelipkan si
260#Aku membawa kepala Halwa tenggelam di dada. Tidak peduli di jalanan umum, aku masih tetap mendekapnya erat. Kubelai lembut kepalanya yang tertutup kerudung instan. Wajahku tenggelam, menciumi puncak kepalanya. Entah keberanian darimana, entah bagaimana bisa aku melakukan semua, mendekapnya erat dan tanpa ragu seperti saat ini.“Jangan pergi …,” ucapku lirih tanpa berhenti mengecup puncak kepalanya. Terasa dekapan tangan Halwa kian erat di pinggang.“Aku sudah mengecewakan kamu, Mas. Aku bukan perempuan yang baik. Aku rasanya tidak pantas menjadi pendamping pria setulus dan sebaik kamu,” sahutnya membuatku menggeleng.“Gak ada yang bilang seperti itu. Abi dan Ummi tidak akan membiarkanku menikahi perempuan yang salah,” jawabku tanpa melepaskan dekapan.“Ehhem, ehhem. Jadi gimana nih? Mau peluk-pelukan terus di sini gitu?” Suara Abi membuat Halwa menarik diri dari dekapanku. Sementara aku membalik badan hingga berhadapan deng
259.Zulfikar mendengkus. “Mas Seno kenapa kayak kaget gitu, sih? Masa’ istrinya pergi ke rumah orang tuanya Mas gak tahu?”Aku menggeleng menanggapi keheranan dari adikku itu, “Mas gak tahu, Fik.”“Emangnya Mas ke mana? Mas gak tidur di rumah? Mas biarin Mba Halwa sendirian di rumah?”Aku menggeleng pelan. “Gak gitu, Mas Cuma ketiduran di masjid.”“Ya ampun … Mas. Bisa-bisanya malah ketiduran di masjid dan gak tahu istrinya pulang ke rumah orang tuanya.”Aku merasa gusar. Benar-benar tidak menyangka jika Halwa akan pergi ke rumah orang tuanya. Hatiku mendadak tidak enak. “Tolong sekarang kamu telfon Abi atau Ummi, Fik,” pintaku pada adik bontotku tersebut.“Mau ngapain, Mas?”“Ya bilang sama Abi, kalau Mas mau ikut.“Mas tinggal nyusul aja nanti. Mas belum siap-siap juga!”Aku mendesah. Aku lantas menjelaskan pada Fikar apa yang sednag terjadi.
258.Detik dari jarum jam duduk di atas nakas terus terdengar. Menemani malamku yang berlalu tanpa bisa tidur. Sejak masuk kamar dan memutuskan untuk membawa tubuh ini rebah di atas kasur, aku sama sekali belum dapat tidur. Entah sudah berapa kali aku berguling ke kana juga kiri. Tengkurap lalu terlentang lagi. Menutup wajah dengan bnatal. Membaca wirid tapi tetap sama. Aku tak dapat tidur. Aku masih terjaga. Entah kenapa, tapi satu yang terasa mengganggu malamku ialah Halwa dan pembicaraan kami tadi. Wajah cantik yang tak lagi dipenuhi keangkuhan itu tertus membayang di pelupuk mata. Juga pelukannya yang tiba-tiba ia lakukan padaku. Semua terasaa membekas dan menari-nari dalam ingatan.“Fiuhh …’’ Aku mendesah seraya memutar badan hingga terlentang. Menatap langit-lagit kamar dengan perasaan entah.Terdiam sesaat sebelum kemudian tangan ini terulur meraih jam di atas nakas. “Jam dua malam, tapi aku masih gak ngantuk,” gumamku lirih. Kuhembus napas kasar dan akhirnya menyibak selimut.
257.Aku membisu.Kupandangi paras cantik perempuan di hadapanku ini. Memandangnya tak mengerti sama sekali. Begitu juga dengannya yang menatapku. Pendar mata itu kini lain. Tidak ada binar keangkuhan di sana. Melainkan tatap sayu dan raut memelas yang kulihat. Tidak ada jejak kesombongan serta kebencian yang sebelumnya selalu tegas ia tunjukkan.Genggamannya di tanganku terasa lebih erat. Membuatku akhirnya tersadar dan aku menarik tanganku hingga terlepas dari pegangannya.“Mas?”Aku menggeleng cepat. “Mau kamu ini sebenarnya apa?” tanyaku sambil menatapnya sengit.“M— mas?”Aku menepis tanganku ketika Halwa mencoba meraihnya lagi. “Di saat aku menaruh harapan besar pada pernikahan kita. Di saat aku mencoba membuka hati dan siap untuk memulai jalannya rumah tangga ini, kamu mematahkan hatiku begitu hebat. Kamu menjatuhkanku tanpa ampun hingga hati ini remuk. Kamu menolakku seakan aku ini adalah lelaki yang buruk dan tidak pantas dicintai. Kamu bukan hanya membuatku kecewa, tapi kam
256.Aku memijat kening dengan kepala agak menunduk. Mengumpulkan segenap kesadaran dalam diri. Meraup wajahku, menyugar rambut samil mengembus napas kasar. Membuka mata lebar-lebar dan ternyata semua ini bukan mimpi. Aku sama sekali tidak sedang bermimpi. Halwa benar-benar mengajakku untuk shalat dhuha berjamaah.“Bisa kamu ulangi?” ucapku hanya ingin memastikanjika ini bukanlah mimpi. Barangkali pendengaranku yang bermasalah.Terdengar helaan napas berat dari Halwa. “Kita berjamaah shalat dhuha di kamar, Mas.”Aku terdiam menatapnya.“Kamu mengigau?” tanyaku cepat,Halwa menggeleng pelan. “Aku gak lagi tidur, Mas. Jadi gak mungkin aku ngigau. Aku sadar. 100 persen!” tukasnya dengan yakin.Lagi-lagi aku melongo dibuatnya.Halwa memandangku samapi aku mengerjap dan memaligkan wajah. “ya sudah, kalau kamu mau kita berjamaah—““Aku tunggu di atas ya, Mas!” Halwa berucap cepat memotong perkataanku.“E—“ Ucapanku menggantung di udara. Halwa telah lebih dulu melangkah. Menjauh dari tempatk
*“Ada remahan makanan di sini, Mas. Sekarang sudah bersih,” ucap Halwa sambil mengusap bawah bibirku. Jari tangannya masih bertengger di wajahku. Refleks wajahku tertarik ke belakang. Tanganku tergerak merraih jari jemarinya itu dan menurunkannya dari wajah ini.“lain kali kamu bisa memberitahu. Aku yang akan membersihkannya sendiri,” sahutku kemudian melangkah melewatinya.Aku melangkah tanpa mempedulikan lagi Halwa yang tertinggal di sana. Kakiku terus melangkah dan berjalan sampai keluar meninggalkan ruangan makan. Di mana akhirnya aku menghempaskan bobotku di sofa ruangan baca. Mengambi sebuah buku novel yang ada pada rak kecil di samping sofa ini. Tugas mengurusi Halwa untuk mandi dan sarapan sudah selesai. Aku juga tidak diperbolehkan ke madrasah, jadi lebih baik aku menghabiskan waktu di ruangan baca ini saja.Namun baru saja sampai pada lembar halaman ke tiga dari buku novel di tanganku, suara derap langkah menyapa indera pendengaran. Kepalaku terangkat seiring dengan derap y