Rahangku mengeras. Satu tanganku refleks mengepal. Begitu melihat Feli di hadapanku. Memakai gaun tidur yang tertutup jubah luarnya. Rambutnya berantakan. Banyak bercak keunguan di sekitar lehernya. Sudah jelas, memang ada apa-apa yang terjadi di hunian ini.Aku kesal dan marah. Bukan apa, tapi aku tidak terima, melihat sosok yang amat mirip dengan almarhumah istriku berbuat rendah dan murahan Aku merasa tidak terima."P-Pak, ini ... tidak seperti yang bapak pikirkan. B-biar saya jelaskan," ucap Feli yang terdengar memuakkan."S-saya dan B-bos Angg—""Shut up!" Aku membentak Feli, dengan telapak tangan mengarah pada wajahnya."Saya tidak peduli, apa yang kamu dan Bos Angga perbuat. Saya juga tidak mau tahu! Saya ke mari, ingin bertemu Bos Angga. Saya akan meminta izin pulang padanya. Sekarang, kamu bisa panggilkan dia. Saya buru-buru!" tegasku pada Feli."E ... P-pak Yuda, Bapak harus dengarkan dulu penjelasan saya, Pak. Ini... tidak seperti yang ada di pikiran Bapak," ucap Feli kemb
[Yud, kamu gak dapat izin pulang?] Bapak mengirimkanku pesan saat aku sudah berada di dalam taksi online. Setelah dua jam penerbangan, aku tiba di Bandara tujuan.[Ya sudah kalau tidak bisa. Doakan saja yang terbaik untuk Hilma, ya, Yud!] Pesan lanjutan yang Bapak kirim.Aku hanya membacanya saja. Segera kumasukkan ponselku ke dalam saku celana. Aku ingin segera sampai. Toh, Bapak juga tidak mengatakan apa pun. Jadi, lebih baik aku tahu di rumah saja nanti. Semoga, memang kabar baik yang telah Bapak siapkan.Sekitar tiga puluh menit dari Bandara, akhirnya mobil yang kutumpangi sudah sampai di depan rumahku. Nampak mobil Bapak dan juga mobil Pak Wisnu di luar pagar. Menandakan bahwa di dalam rumahku, tengah berkumpul dua keluarga. Hatiku semakin tak karuan. Masih terus berharap, semua baik-baik saja.Buru-buru aku masuk ke dalam rumahku. Melihat mereka semua tengah berkumpul. Pandanganku fokus pada Hima yang sesenggukan di pelukan ibunya. Cepat-cepat aku pun menghampiri mereka semua.—
Hilma menenggelamkan kepalanya di dadaku. Kedua tanganku merengkuh tubuhnya yang berguncang."Bayi kita, Ay. Hiks ... aku gagal. Aku gak bisa menjaganya. Aku ibu yang gagal, Ay. Ga—gal." Hilma meracau disela isakan tangis.Aku mengusap-usap punggungnya. Kudekap lebih erat serta kuciumi puncak kepalanya. "Tidak, Sayang. Tidak ada ibu yang gagal. Kamu tetap ibu terbaik. Kamu tidak boleh menyalahkan diri sendiri. Semua sudah ketetapan yang Mahakuasa. Kamu harus berbesar hati. Belum rezeki kita saat ini," ucapku mencoba meluaskan hati Hilma.Terasa Hilma menggeleng. "Enggak, Ay. Ini salahku. Ini salahku! Aku gak bisa menjaga bayi kita! Hu hu hu ....""Ssstt! Enggak, Sayang. Kamu gak salah. Tidak ada yang salah di sini. Semua sudah digariskan. Jangan lagi menyalahkan diri kamu, Sayang!" tegasku seraya mengeratkan pelukan. Kuciumi lekat ubun-ubun Hilma yang terhalang kerudung.Hilma pasti sangat bersedih dengan apa yang dialaminya ini. Memang tidak ada yang bisa disalahkan dalam keadaan ini
🌻🌻 POV Yuda~"Kamu gak akan ke Surabaya lagi, Yud?" Bapak bertanya ketika kami berkumpul di ruang bermain di rumahku."Enggak, Pak. Aku mau resign," jawabku pada Bapak."Resign? Yakin, Yud?" tanya Ibuku kali ini.Tiga hari sudah orang tuaku serta orang tua Hilma menginap di rumahku. Menemaniku juga Hilma di sini. Membantu mengurus si kembar serta menghibur Hilma yang masih digelayuti sendu.Usai Subuh tadi, orang tua Hilma sudah meninggalkan rumahku, untuk kembali mengurusi bisnis mereka di luar kota. Kedua mertuaku itu, mempercayakan putrinya sepenuhnya padaku. Mereka percaya, setelah aku ada bersama Hilma lagi. Aku mampu menjaganya dengan baik. Kepercayaannya sangat besar yang menjadi tanggungjawabku.Aku mengangguk cepat. "Yakin, Bu. Sebenarnya, waktu pulang ke sini saja, aku gak dapat izin. Kalau aku tetap pulang, aku dianggap resign oleh kantor di sana. Jadi, ya sudahlah. Di sini juga masih banyak perusahaan lain, 'kan?"Ibu terlihat manggut-manggut begitu juga dengan Bapak."
Tiga bulan berlalu.Hilma sudah mulai kembali nampak ceria. Meski hanya sedikit. Meski di saat tertentu, dia kembali menunjukkan kerapuhannya padaku. Namun, dia sudah tidak terlalu menunjukkan kesedihannya secara berlebihan. Dia sudah mau makan dengan teratur lagi. Setelah beberapa Minggu sejak bayi kami gugur, tidak ada nasi yang mengisi perutnya. Dia kehilangan selera makannya sejak kepergian calon bayi kami. Namun, satu Minggu terakhir ini, dia sudah kembali mau makan dan beraktivitas seperti biasa.Tiga bulan berlalu, aku masih menganggur.Aku belum bekerja di mana pun. Lamaran pekerjaan yang kumasukkan ke beberapa perusahaan, nyaris tidak ada yang nyangkut. Tidak ada ajakan interview satu pun yang kudapat. Padahal, pengalaman kerjaku sudah sangat jelas. Entah apa yang salah.Sekarang sudah awal bulan. Biasanya, aku akan memberikan Hilma uang bulanan. Sejak aku resign, aku benar-benar tidak memiliki pemasukan. Melainkan terus melakukan pengeluaran.Uang di tabunganku memang masih
Bulan demi bulan berlalu.Malam ini, aku sendirian di sofa ruang bermain. Hilma di dalam kamar bersama si kembar. Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Tetapi, aku belum mengantuk.Aku gelisah.Karena belum juga mendapatkan pekerjaan sesuai pengalamanku. Semua perusahaan di mana aku memasukkan lamaran, tidak ada satu pun aku mendapat panggilan.Ke sana ke mari aku mencari, merecoki Fahreza setiap sore, tetapi belum juga mendapatkan. Ibu dan Bapak terus mendesak agar aku berjualan seperti mereka. Membuka warung di depan rumah ini. Membongkar setengah dari pagar yang terpasang untuk dijadikan toko. Namun, aku masih belum setuju. Skill-ku bukan berdagang seperti mereka. Melainkan bekerja di balik layar laptop dan menangani banyak berkas.Kini terhitung sudah enam bulan aku menganggur. Uang bulanan untuk Hilma bahkan semakin aku pangkas. Tapi dia tidak pernah mengeluh atau apa. Dia bahkan selalu berterima kasih dan bersyukur atas apa yang kuberikan. Sungguh, aku semakin merasa tida
🌻🌻 POV Yuda~Satu bulan berikutnya.Kutarik napas panjang, menghirup oksigen dengan rakus memenuhi rongga dada. Kututup wajah dengan kedua tangan. Kepalaku terus saja menggeleng. Melihat deretan angka-angka yang tertera di dalam pembukuan toko.Bagaimana tidak? Satu bulan berjalan, pembukuannya minus. Entah kenapa begini, padahal di kantor dulu, aku ini kepala divisi keuangan, masalah uang serta pembukuannya adalah makanan sehari-hari. Tapi kenapa mengurus toko sendiri malah begini? Ah, ingin aku menjerit sambil berguling-guling.Akhirnya kututup buku dan duduk menyandar ke sandaran kursi di belakangku, seraya memegangi kepala yang menengadah.Pusing.Masih baik isi semua toko ini disuplai orangtuaku, sehingga barangnya selalu terisi penuh tanpa aku mengeluarkan modal. Seharusnya, uangnya terkumpul, tapi ini kenapa malah minus? Jika bukan dari orang tuaku, sepertinya toko ini sudah tutup, karena tidak bisa memutar modal.Kusentak napas kasar. Sejak Hilma memintaku mencoba membuka t
"Tega kamu ninggalin aku? Kamu liburan sama si kembar tanpa aku?" tanyaku lesu dengan wajah memelas."Ayok, makanya catat pembukuan dengan benar, Ay. Kamu pasti bisa kok, semangat semangat!"Kusentak napas kasar. "Iya, iya. Aku akan berbenah. Tapi jangan ditinggal ya nanti liburan. Kita liburan sama-sama. Emm, aku pengen honeymoon lagi deh, Sayang," sahutku pada istriku ini.Hilma nampak berpikir. Seolah menimang-nimang sampai akhirnya dia mengangguk cepat. "Oke. Tapi, kalau pembukuan enggak minus, ya? Kalau minus, aku tinggal lho.""Ya jangan! Iya, nanti aku usahain enggak minus lagilah, Sayang. Tapi aku ikut liburan, ya?" Aku merajuk.Hilma mengangguk. "Iya. Dengan catatan, pembukuan enggak minus, deal?!" ucapnya seraya mengangsurkan tangannya.Aku menyambar dengan cepat tangan Hilma di hadapanku. "Deal!" jawabku.Kami berjabatan tangan. Sebelum kemudian Hilma kembali ke dalam rumah, sedangkan aku mulai membenahi pembukuan dan mendisplay barang-barang di toko ini agar lebih rapi.Ak