~Feli memelukku.Sepersekian detik aku terpaku. Merasakan pelukannya pada tubuhku.Aku merasa, seakan Khanza yang memelukku saat ini. Dadaku berdesir, rinduku pada Khanza seakan meminta diluapkan sekarang.Tanganku telah melayang di udara. Perlahan turun menuntut untuk membelai rambut panjang Feli."Maafkan saya, Pak. Saya kecewa bapak menolak saya yang ingin merawat Bapak. Saya tidak bisa mengendalikan emosi karena penolakan Bapak. Saya minta maaf sekali lagi." Feli berucap begitu lembut dan mengiba.Tanganku semakin dekat pada kepala Feli. Aku benar-benar merasa Khanza lah yang hadir, memelukku, berbicara denganku sekarang ini.Pelukannya terasa semakin erat. Kepala Feli seakan dibiarkan bertopang di dada ini. Wangi lembut dari shampoo di rambutnya mengusik indera penciumanku.Tinggal sejengkal lagi telapak tangan ini menyentuh rambut hitamnya. Jantungku berdetak kencang. Deru napasku tak beraturan. Aku kesulitan mengendalikan diri. Rinduku pada Khanza semakin menuntut untuk tercur
Namun, saat mata ini terpejam. Wajah sendu Hilma memenuhi ingatan. Terbayang keadaannya yang tengah hamil dan jauh dariku.Aku masih memejamkan mataku. Membuat bayangan akan sosok Hilma justru semakin jelas. Dalam keadaan terpejam, senyuman manis Hilma terbayang jelas. Dia yang selalu tulus dan penuh cinta.Kebersamaanku, perjuanganku mendapatkannya, lalu kesakitan Hilma saat pernikahannya dengan Azmi harus batal. Hingga akhirnya, akulah yang datang sebagai penawar dan penyembuh luka hatinya. Aku yang memperjuangkan agar dia mencintaiku. Aku yang mengejarnya dan selalu melangitkan namanya. Semua itu terekam jelas. Layaknya roll film yang tengah diputar dalam otakku.Bahkan kini kurasakan kepala Feli yang menyandar lagi di dadaku.Cepat aku membuka mataku. Benar saja, Feli memang menyandarkan kepalanya.Kulepaskan segera tangan yang melingkar di pinggangnya. Beralih menyentuh bahunya dan menarik sekuat tenaga hingga Feli tak lagi menempel di tubuhku."Enggak. Kamu bukan Khanza. Bukan.
Lantas kuangkat kaki hendak keluar dari kamar mandi ini. Namun, Feli mencekal lenganku. "Pak, jangan munafik! Berhenti bersikap munafik, Pak! Saya tahu, jauh di dalam hati bapak, Pak Yuda juga menginginkan kita bersama, iya, 'kan? Bapak sendiri mengakui, jika saya sangatlah mirip dengan almarhumah istri Bapak. Bapak sangat munafik karena mengabaikan saya, Pak. Berhenti menjadi munafik dan kita bisa memulainya detik ini, Pak. Hanya kita berdua yang tahu. Saya jamin," ucapnya lagi.Aku menghempaskan tangannya yang mencekalku. Namun, Feli mencekalnya cukup kuat. Aku tak menyerah. Kuhempaskan kembali sekuat tenaga hingga terlepas, bahkan membuatnya terhuyung ke belakang."Pak Yuda! Kenapa bapak selalu kasar?!" Feli berteriak."Karena kamu sudah nggak waras! Berhenti mendekati saya! Berhenti mengatakan dan menghasut yang tidak-tidak. Saya tidak akan goyah. Apa pun yang kamu tawarkan. Tidak akan saya anggap. Berhenti menggoda dan merayu saya! Berhenti merendahkan diri kamu! Saya tidak menyu
"Aku pulang sekarang ke sana, Pak!" tukasku kemudian."Jangan, Yud. Kamu dengarkan Bapak. Di sini Hilma sudah ditangani. Insya Allah akan baik-baik saja. Bapak minta kamu doakan istri dan anak kamu di sini. Jangan putus berdoa, ya! Tidak usah pulang. Ini sudah malam. Mana ada penerbangan jam segini!" tegas Bapak mencegahku pulang."Pak. Aku khawatir. Aku akan cari penerbangan tercepat malam ini. Aku takut terjadi apa-apa sama Hilma dan kandungannya, Pak!" sahutku."Bapak tahu kamu khawatir, tapi kami sudah gerak cepat, Yud. Kami sudah membawa istri kamu ke rumah sakit. Kamu hanya perlu mendoakan di sana. Ingat, jangan putus berdoa. Sudah, bapak tutup teleponnya. Hilma akan baik-baik saja. Percaya pada kami dan serahkan semua pada Allah. Sudah, ya. Assalamualaikum!""W-waalaikumsalam ...."Tuttt.Bapak sudah mematikan panggilan. Kulihat layar ponsel yang sudah otomatis terkunciMasih dalam keadaan berjongkok. Kututup wajah dengan kedua tangan. Meraupnya gusar seraya menyentak napas kas
~~~Tiba di hunian, cepat-cepat aku membersihkan diri dan berganti pakaian. Wijaya sepertinya sudah larung di lautan mimpinya. Sementara Agus dan Indra, juga tidak terdengar suara dari kamarnya.Selesai membersihkan diri dan berpakaian. Aku keluar kamar lalu menggelar sajadah di ruang depan. Menunaikan shalat empat rakaat seorang diri.Beribadah dengan menghadirkan khusu dalam melakukannya. Mengenyahkan pikiran-pikiran akan masalah dunia sejenak. Mengingat Tuhan yang kusembah saat melafalkan setiap bacaan shalat.Hingga shalatku selesai ketika menemui dua salam. Kuangkat kedua tangan. Memohon ampun dan pertolongan pada-Nya.Kuserahkan segala penjagaan terhadap Hilma dan calon buah hati kami pada-Nya. Meski dalam hati dilingkupi rasa malu, aku tak pernah lewat menjalankan kewajiban, tetapi nafsu masih juga menyertai diri ini.Sungguh, manusia memang tempatnya segala salah dan khilaf. Maka Tuhan lah, Dzat untuk memohon dan berserah sepenuhnya.Shalatku akhirnya benar-benar selesai. Kube
Rahangku mengeras. Satu tanganku refleks mengepal. Begitu melihat Feli di hadapanku. Memakai gaun tidur yang tertutup jubah luarnya. Rambutnya berantakan. Banyak bercak keunguan di sekitar lehernya. Sudah jelas, memang ada apa-apa yang terjadi di hunian ini.Aku kesal dan marah. Bukan apa, tapi aku tidak terima, melihat sosok yang amat mirip dengan almarhumah istriku berbuat rendah dan murahan Aku merasa tidak terima."P-Pak, ini ... tidak seperti yang bapak pikirkan. B-biar saya jelaskan," ucap Feli yang terdengar memuakkan."S-saya dan B-bos Angg—""Shut up!" Aku membentak Feli, dengan telapak tangan mengarah pada wajahnya."Saya tidak peduli, apa yang kamu dan Bos Angga perbuat. Saya juga tidak mau tahu! Saya ke mari, ingin bertemu Bos Angga. Saya akan meminta izin pulang padanya. Sekarang, kamu bisa panggilkan dia. Saya buru-buru!" tegasku pada Feli."E ... P-pak Yuda, Bapak harus dengarkan dulu penjelasan saya, Pak. Ini... tidak seperti yang ada di pikiran Bapak," ucap Feli kemb
[Yud, kamu gak dapat izin pulang?] Bapak mengirimkanku pesan saat aku sudah berada di dalam taksi online. Setelah dua jam penerbangan, aku tiba di Bandara tujuan.[Ya sudah kalau tidak bisa. Doakan saja yang terbaik untuk Hilma, ya, Yud!] Pesan lanjutan yang Bapak kirim.Aku hanya membacanya saja. Segera kumasukkan ponselku ke dalam saku celana. Aku ingin segera sampai. Toh, Bapak juga tidak mengatakan apa pun. Jadi, lebih baik aku tahu di rumah saja nanti. Semoga, memang kabar baik yang telah Bapak siapkan.Sekitar tiga puluh menit dari Bandara, akhirnya mobil yang kutumpangi sudah sampai di depan rumahku. Nampak mobil Bapak dan juga mobil Pak Wisnu di luar pagar. Menandakan bahwa di dalam rumahku, tengah berkumpul dua keluarga. Hatiku semakin tak karuan. Masih terus berharap, semua baik-baik saja.Buru-buru aku masuk ke dalam rumahku. Melihat mereka semua tengah berkumpul. Pandanganku fokus pada Hima yang sesenggukan di pelukan ibunya. Cepat-cepat aku pun menghampiri mereka semua.—
Hilma menenggelamkan kepalanya di dadaku. Kedua tanganku merengkuh tubuhnya yang berguncang."Bayi kita, Ay. Hiks ... aku gagal. Aku gak bisa menjaganya. Aku ibu yang gagal, Ay. Ga—gal." Hilma meracau disela isakan tangis.Aku mengusap-usap punggungnya. Kudekap lebih erat serta kuciumi puncak kepalanya. "Tidak, Sayang. Tidak ada ibu yang gagal. Kamu tetap ibu terbaik. Kamu tidak boleh menyalahkan diri sendiri. Semua sudah ketetapan yang Mahakuasa. Kamu harus berbesar hati. Belum rezeki kita saat ini," ucapku mencoba meluaskan hati Hilma.Terasa Hilma menggeleng. "Enggak, Ay. Ini salahku. Ini salahku! Aku gak bisa menjaga bayi kita! Hu hu hu ....""Ssstt! Enggak, Sayang. Kamu gak salah. Tidak ada yang salah di sini. Semua sudah digariskan. Jangan lagi menyalahkan diri kamu, Sayang!" tegasku seraya mengeratkan pelukan. Kuciumi lekat ubun-ubun Hilma yang terhalang kerudung.Hilma pasti sangat bersedih dengan apa yang dialaminya ini. Memang tidak ada yang bisa disalahkan dalam keadaan ini