"Kita sudah mondar-mandir di sini, berputar-putar setengah hari, bahkan aku sudah lelah dengan pencarian ini. Kau yakin, bahwa mereka bersembunyi di sini?" Martin sekali lagi bertanya pada Tom yang diam saja. Di sana mereka berada di belantara hutang yang cukup besar. Namun bukan hanya mereka yang sedang mencari, rupanya Tom memiliki orang-orangnya sendiri. "Sepertinya kita harus berganti kota, aku cemas kalau-kalau kita berada di markas orang yang salah," katanya, membuat Martin mengernyit. Lalu kemudian muncul seorang pemuda yang juga mencari-cari, dia datang dan berkata pada Tom, "Aku mendapatkan saluran pembuangan di ujung hutan," katanya."Apa hutan ini memiliki ujung?" Martin yang kembali mengernyit. Tom tidak menghiraukan apa yang dikatakan Martin, dia menatap lurus ke depan dan terdengar suara, "Dor!" Dengan sangat terkejut, Martin dan juga Tom menatap ke arah langit. "Ada seseorang, apa itu mereka?" Martin menatap ke arah suara. "Entah siapa mereka, tapi sebaiknya kita
"Jangan lakukan hal bodoh lagi. Misi ini akan menjadi yang terakhir, tenang saja. Kau akan menemukan fakta tentang orang tuamu, sayangku." Ibrahim menatap dengan tatapan penuh pengharapan pada Andira yang baru saja terbangun. Luka perban di tangannya bisa dilihat dengan jelas, dan itu terdapat rasa perih yang luar biasa. "Apa peduliku tentang fakta yang tidak pernah ada. Aku sudah tidak tertarik lagi," balas Andira, dia bahkan tidak tertarik dengan apa yang dikatakan Ibrahim, sudah lama dia bosan dengan janji yang sama dan misi balas dendam yang memuakkan. Matanya juga tak lagi menatap ke arah Ibrahim. "Andira, jika Nigel tahu soal ini, maka dia akan marah besar, dia akan membuat kita berdua berada di dalam masalah." "Itu salahmu, bukan salahku. Siapa yang suruh ingin bekerja sama dengan manusia seperti dia, menyakitkan dan tidak berbelas kasih." Andira membalas dengan judes perkataan Ibrahim. Ibrahim hanya bisa menghela nafas kesal, dia tak lagi tahu apakah keputusan balas dendamn
"Dia tidak ada di sini, lalu ke mana kita akan cari?" tanya Martin, dia sudah ngos-ngosan karena berlari cukup kencang. Tapi sayangnya mereka tidak begitu jauh dari hutan besar. "Bukannya mendapatkan untung kita malah ketemu musuh baru." Tom membalasnya. "Lalu? Astaga, kau hanya membawaku saja dalam masalah. Kalau begitu aku akan pulang saja dan menyerah. Biarlah aku mati, asal anakku dan Andira bisa selamat," ujar Martin. Rasa-rasanya sudah sangat lama dia melakukan misi menemukan Nigel namun tak kunjung ia temukan. Dia merasa letih dan lelah. Kedua pria yang hampir menginjak kepala lima ini berdiri bersebrangan dan tidak tahu akan ke mana lagi. "Jadi semuanya hanya begini? Lalu kenapa kau memanggilku, idiot!" Tom merasa kesal. "Aku tidak ingin berdebat, ini melelahkan, sungguh. Aku hanya ingin kembali dan lebih baik langsung menghubungi Ibrahim atau Nigel." Martin berjalan menjauh, dia berjalan cukup lancar sementara Tom, dia harus menggunakan tongkatnya dan cukup kesulitan dal
Dua Pasang mata tajam saling memandang dengan kemarahan masing-masing. Mereka mungkin akan memutuskan sesuatu. "Kenapa kau memanggilku?" Ibrahim bertanya dengan dingin dan tatapan kesal. "Kau tahu aku memanggilmu," jawab Nigel. "Aku tidak tahu." Nigel menaikkan satu alisnya dan menghela nafas kesal. Dia sudah memikirkan sesuatu hal yang akan membuatnya jauh lebih rumit atau mungkin jauh lebih mudah, namun untuk sekarang, dia hanya ingin menghindari detektif dan kepolisian. "Pertama, kau harus menjaga keponakan kamu itu, jangan sampai dia berbuat tak senonoh lagi. Ingin bunuh diri, ha?" Nigel menatap tajam. "Katakan apa yang kau ingin aku lakukan? Aku yakin bukan karena Andira kau memanggilku," kata Ibrahim. Suasananya menjadi dingin dan Ibrahim semakin kes, dia rasanya hanya ingin langsung menangkap Martin dan membunuhnya tepat sekarang juga. Dia tidak ingin main-main lagi. "Martin ada di kota lain, mata-mataku sudah menemukan tempatnya," katanya. "Lalu?" "Datanglah ke sana,
Martin berbalik ke arah suara dsn melihat sosok tua bertopi bundar dengan senapan yang ada di tangannya, senapan untuk berburu. "Aslan?" "Kalian telah masuk di wilayahku, tempat aku senang berburu," kata pria itu, Aslan Merlion Morte. "Kami tidak melakukan hal buruk di sini. Lagi pula kau tidak suka mengklaim wilayah kan?" Tom menyahut dan mendekati pria tua itu. "Hmm, Martin Dailuna, dan Thomas Arfinjaya, katakan padaku. Apa yang kalian lakukan di sini?" tanyanya lagi. Mereka berdiri dan saling menatap untuk sejenak. Martin hanya diam, sedangkan Tom berusaha untuk menjelaskan semuanya. Aslan Merlion Morte adalah pria tua yang berpengalaman di dunia militer. Dia adalah pria yang sangat anti akan gangster dan mafia, dia memiliki satu putra yang terjebak di dunia seperti itu. "Jika aku mendapatkan ciri-ciri Nigel Dailuna, maka aku bahkan tidam akan membiarkannya berkedip untuk aku langsung menghabisinya," kata Aslan. Tim terkekeh mendengarnya, dia berusaha untuk tetap ramah. "Oh
"Lizzia, kau tidak ingin bertemu dengan pangeranmu?" Nigel bertanya pada Lizzia yang duduk di kursi rias. Dia menyisir rambutnya dan menatap wajahnya di dalam cermin. "Kenapa aku harus bertemu dengan pangeran, kalau aku punya raja di sini?" "Hahahhaha." Nigel terkekeh. Dia mendekati Lizzia yang sedang duduk, lalu dia meraih sisir yang ada di tangan Lizzia lalu dia sendiri yang menyisir rambut panjang itu. "Aku pikir kau sudah menyelesaikan misi balas dendammu." Lizzia memulai pembicaraan. "Masih banyak yang harus dilakukan Manis. Martin belum juga ditemukan. Aku juga belum menemukan berkas yang aku cari." Nigel terus menyisir lembut rambut Lizzia. "Apa berkas yang kau cari begitu penting?" "Terdapat wilayah yang bisa aku kuasai jika aku memiliki berkas itu. Mark Dailuna sendiri yang memilikinya namun dia tidak terlalu mempergunakan berkas itu, jadi aku pikir jika berkas itu menjadi milikku maka pastilah, aku akan menguasai banyak wilayah." Nigel menjelaskan sambil menyisir ra
"Kita akan ke mana Ibrahim?" Andira bertanya, dia merasa tidak nyaman setelah dia dibawa pergi oleh Ibrahim dari sekian lamanya sekarang mereka pindah markas begitu? "Kamu diam saja Andira, tidak yang perlu kamu cemaskan dan ya, satu lagi jangan banyak tanya," jawab Ibrahim yang sedang mengendarai mobil. Tidak lama mereka tiba di sebuah bandara dan mata Andira seketika menyipit tidak memahami apa yang terjadi. "Apa ini?" Andira bertanya. "Kita akan berburu si Dailuna tua tidak tahu diri!" Andira yang berwajah pucat saat itu hanya bisa mengikut dan berharap tidak terjadi sesuatu namun itu hanyalah sekedar harapan saja. Tangannya bergetar dan tidak tahu sampai kapan permainan ini akan berakhir. "Kita hanya akan keluar kota, tidak keluar Negera. Kamu juga akan bertemu dengan pacar tua mu itu. Entah bagaimana kamu bisa jatuh cinta padanya. Sudah lah tua tak enak dipandang lagi," ujar Ibrahim dengan suara yang mengejek. "Tua? Dia bahkan lebih tampan saat ini daripada kau saat masih
Sebuah pantai di hari senja yang hangatnya luar biasa. Kakinya bertelanjang dan gaun tipis membalut tubuh indahnya. Angin sepoi-sepoi membuat rambut indahnya terbang-terbang.Pemuda yang berambut panjang dengan potongan miring itu terbaring di atas pasir pantai dan menikmati pemandangan sang gadis yang menyejukkan mata. Dia menikmati suasana senja yang indah dan sekarang dia mengangkat tubuhnya untuk berdiri lalu menghadap ke arah gadisnya. Di berlari dengan kaki telanjang ke arah gadis yang juga bertelanjang kaki. "Mari berlayar," katanya, "akan saya belikan kapal pesiar," lanjutnya. Dia memeluk gadis itu dari belakang dan mengangkat tubuhnya. "Aaaaa, bagaimana mungkin kau bisa membeli kapal pesiar jika kekayaan mu hanya milik ayahmu saja?" balas gadis itu, membuat si pemuda menurunkan tubuh si gadis. "Oh, jadi sekarang kamu mengukur kekayaan dari materi?" "Tidak, jika uang kita sudah banyak, hahahahah." Gadis itu berlari dan dikejar oleh si pemuda yang haus akan kebahagiaan.
Ya dia tahu siapa yang membawa Andira, dan anehnya sesuatu menjadi lebih muda baginya, tak ada pengawal sementara Martin memegangi senjata api di tangannya walau dia terlihat terluka di kepala, dan beberapa darah yang mengalir di tangannya, ya sebelum Ibrahim berhasil dijatuhkan oleh Martin, Ibrahim berhasil menyerang Martin dengan irisan balok yang membuatnya terluka. Di sisi yang lain, Martin membuka satu-persatu pintu ruangan yang ada di labirin, sampai akhirnya dia tidak menemukan pintu apa pun, hanya dinding kasar di sekelilingnya, dan yang membuatnya merasa bingung adalah di mana semua orang? Martin tak menemukan siapa pun, tapi dia bisa melihat tanda ayang dia tahu bahwa yang melakukannya pasti Nigel, untuk menjebak Martin, walau Martin paham akan jebakan itu, dia tetap mengikuti pola petunjuk yang dia tidak tahu akan membawa dia ke mana, hanya saja tak ada pilihan lain. "Martin." Langkah kaki Martin terhenti, dia mendengar sesuatu, di belakang, di depan, di samping, lalu s
Rasa lemas menjalar di sekujur tubuh Martin, dia tidak menyangka bahwa Nigel akan sejauh ini, gadis yang selalu bersamanya yang Martin pikir Litzia telah menjadi gadis yang penting bagi Nigel ternyata saat mencoba membalas dendam dan ambisi gadis itu tidak lain hanyalah sekedar hiburan bagi Nigel. Mata Martin redup, dia kebingungan bagaimana harus merespon apalagi rasa panas dikarenakan cahaya lampu yang langsung mengarah kepadanya membuatnya merasa terganggu. Dia meremukkan rambut-rambut nya yang kusut, dan saat mencoba untuk fokus, dia menemukan sesuatu berada di tangan Litzia, gadis itu menggenggam sesuatu, Martin yang merasa apa yang digenggam Litzia penting langsung meraih tangan gadis itu dan membuka telapaknya, di sana terletak kertas yang mungkin berisikan informasi. Tulisan yang Martin tahu bukanlah milik Litzia melainkan milik Nigel, ya jelas kertas dengan tinta yang ditulis Martin dan berisikan, "Putramu dan Andira selanjutnya, oh ya astaga kau tidak akan menemukan putra
Bibir Martin terbuka, dia merasa heran siapa yang mungkin yang telah membukakan pintu untuknya, dan kenapa pintu ini bisa terbuka sendiri. Sia menelan saliva berkali-kali tapi dia tidak bisa diam, ya dia tidak seharusnya seperti ini, dia mengepalkan tangan dengan kemarahan yang luar biasa, pada Nigel, Ibrahim dan sedikit rasa kecewa dan kebencian terhadap Andira, atau dia sedang berusaha untuk membenci gadis itu. Tapi sebelum semua itu harus diselesaikan olehnya, dia berusaha untuk menemukan putranya terlebih dahulu, di mana Raisi, dan kenapa semuanya terlihat kacau, kenapa Tidka ada penjaga dan pintu ruangannya sendiri, sel yang dia miliki sendiri yang seharusnya menjadi tempat dia tertahan kini terbuka. Tapi semua itu tidak penting, Martin dia mencoba untuk melangkah pergi, tetapi dia tidak dengan tangan kosong, di dalam saku-saku celananya dia menyimpan pecahan beling yang dia hancurkan sebelumnya dan akan menjadikannya sebagai pertahanan atau cara untuk melawan. Sayangnya dia
Litzia mencoba menyelematkan siapa pun yang bisa dia selamatkan setelah dia berhasil membantu Raisi, yang entah apakah Raisi berhasil keluar dari labirin rumit yang telah dibangun oleh Nigel selama ini atau usaha mereka hanya akan menjadi boomerang. Dia memastikan bahwa Ibrahim mengetahui rencana Nigel untuk menghabisi mereka semua di tempat itu, sehingga mungkin dalam sesaat dia ingin menyelamatkan semuanya, termasuk Andira, tetapi sebelum itu, dia harus memastikan bahwa Martin tiada di tangannya. Di sisi yang lain Litzia, dia membuka pintu demi pintu, labirin yang begitu membingungkan, dia tidak bisa menemukan di mana kamar Martin, atau di mana sel Martin disembunyikan, langkah demi langkah dia berusaha untuk dapatkan hingga akhirnya dia menemukan satu ruangan yang tak terjaga, cukup jauh dan firasatnya berkata, mungkin itu adalah Martin. Langkahnya menuju sel itu cepat, dan menemukan seseorang yang bersandar tanpa semangat hidup duduk di lantai. Litzia hanya dapat melihat pria i
Beberapa Saat Sebelumnya "Pergilah, kau tidak punya waktu, kau harus meninggalkan tempat ini atau Nigel akan menghabisi mu di hadapan ayahmu. Dia akan mempermainkan Malian berdua sebelum akhirnya mengakhiri semuanya." Dia mencoba membuka gelangan borgol di tangan Raisi sementara Raisi yang terlihat dengan wajah berantakan, darah di sisi wajahnya, dan rambut yang terlihat tak terawat itu memandang bingung. "Bagaimana kau mendapatkan kunci itu ... Astaga kau membahayakan dirimu sendiri Litzia." Raisi menghentakkan tangannya seolah menolak bantuan Litzia tapi gadis ini mencoba untuk tetap membantu Raisi. "Kau tidak tahu bahwa Nigel adalah monster dan dia akan menghabisi kalian, kau, Martin, Andira, semuanya, bahkan Ibrahim tangan kanannya sendiri akan mati di sini jika tidak pergi." "Andira?" Raisi menelan saliva, dia gemetar. "Ya." "Tidak." Raisi yang kedua tangannya sudah terbebas dari borgol itu menggelengkan kepala, "Aku tidak mau meninggalkan Andira. Bawa aku padanya dan akan
Semua tampak jelas, Martin melihat segalanya dalam kesunyian yang tak terhentikan, dia merasa bahwa hidupnya akan selalu seperti ini, menderita. Dia mendapatkan apa yang dia inginkan, Andira, tapi dengan biaya sebesar apa? Dan kini, di mana gadis itu? Di mana putranya? Dan demi keinginan yang ia hasratkan semuanya berakhir kacau, dia terjebak di dalam neraka yang abadi. Nigel menghentakkan kepala Martin dan membiarkan dia tergelatak di dalam sana, kini adalah rencana selanjutnya tapi kapan dia akan melakukan rencana selanjutnya? Oh ya dia akan mempermainkan Martin lebih lama, lebih parah, San jauh lebih menyakitkan sebelum pada akhirnya mengakhiri hidup Martin Dailuna. Di sisi yang lain, Ibrahim tak sanggup menahan amarah dendam yang ingin segera mengakhiri hidup Martin, menghancurkan dinasti Dailuna selamanya. Tetapi semua itu berada di tangan Nigel yang memiliki lebih banyak anak buah. "Apa lagi yang kau tunggu?" Ibrahim bertanya, dia tak sanggup menahan diri untuk segera mengakh
"Kau sudah mendapatkan, dia kan?" tanya Ibrahim yang sekarang berada di hadapan Nigel. "Cepatlah akhiri ini, Nigel. Kau pasti akan segera mendapatkan apa yang kau inginkan, bukan?" Ibrahim yang saat ini duduk di hadapan meja Nigel dan Nigel tampak berpikir tetapi tidak senang dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Ibrahim. "Jangan terlalu tergesa-gesa, Ibrahim. Aku tahu kau sangat ingin membunuhnya sama seperti aku ingin sekali melenyapkan dia. Tapi kita tunggu, ya tunggu." Ibrahim tidak senang dengan aoa yang dikatakan Nigel, dia berdiri dan menghentakkan kursi, "Menunggu? Astaga aku sudah sangat lama menunggu dan menantikan momen ini, aku tidak ingin menunggu lebih lama lagi. Apa yang sebenarnya kau rencanakan!" Nigel tersenyum dan ikut berdiri, "Aku sudah katakan padamu. Kau cukup menjaga Andira dan biarkan dia merasa nyaman di sini, karena sebentar lagi dia akan berguna," kaga Nigel yang sekarang berjalan ke arah pintu. Dia membuka pintu ruangan itu dan mempersilahkan Ibrah
"Nigel berhasil menangkap ayahmu, Raisi." Suara Litzia tenang. Sedangkan Raisi yang tampak tak berdaya itu hanya bisa menundukkan kepala. Dia lemas dan tidak tahu bagaimana dia akan merespon. "Akhirnya, dendam Nigel akan terselesaikan. Dia bisa menghabisi ayahku kapan saja. Tapi kenapa dia hanya menangkapnya?" Tatapan Raisi kini mengarah kepada Litzia yang terlihat tidak menemukan jawaban apa pun dari pertanyaan Raisi. Dia bahkan tidak tahu kenapa Nigel tidak menghabisi Martin saat ini juga. Kenapa dia harus menunggu waktu yang lama. "Entahlah, tapi untuk saat ini aku hanya mau kondisi mu lebih baik Raisi, kau harus makan sesuatu," kata Litzia yang masih menawarkan makanan untuk Raisi, "Jika tidak maka kau akan berada dalam kondisi yang buruk." "Saat ini aku bahkan jauh lebih buruk dari kematian itu sendiri, Litzia. Aku bahkan tidak tahu bagaimana rasanya makanan." Litzia lalu meraih piring itu dan berusaha untuk membuat Raisi memakan sesuatu, dia menyuapi Raisi dan tidak akan pe
Martin terjatuh dan tidak bisa merasakan tubuhnya, apa yang baru saja dikatakan oleh Nigel adalah sesuatu yang sangat mengerikan. Martin sudah kehilangan Nadira dan dia tidak bisa kehilangan anak lagi. Tubuhnya yang sudah mulai kurus itu terus dihentakkan lelah Nigel yang penuh dengan kebencian dan dendam. Yang pada akhirnya Nigel mendapatkan Martin hidup-hidup. Ini adalah sebuah kesempatan baginya. Bagi Nigel untuk memberikan penderitaan mutlak pada Martin Dailuna. Martin yang tidak berdaya diseret menuju bangunan tua yang cukup terlihat besar, dan tubuh itu langsung dijatuhkan di atas lantai yang lembab. "Bawa dia ke tempat yang seharusnya." Nigel yang terlihat berjalan pergi dan meninggalkan tubuh Martin yang setengah sadar dan tak berdaya. Dan kemudian dibawalah tubuh itu menuju ke tempat yang seharusnya, dan kemenangan Nigel sudah di depan mata. Andira, Raisi dan Martin, adalah pion untuk balas dendam Nigel. Di sisi lain ada Ibrahim yang sama sekali tidak terima Dnegan sikap