“Itu dari tadi neleponin terus. Dari siapa sih?”
“Biasalah.”
“Alah kayak orang kasmaran aja kamu, Jim.”
“Biarin aja sih.”
“Ya sudah istirahat sana! Udah sampai ini.”
Kala itu sudah pukul 12 malam, sepertinya Lara juga sudah terlelap makanya ia tidak lagi berusaha menghubungiku. Saat itu aku memilih untuk menghubungi Musa lebih dahulu.
[Musa semuanya aman ‘kan? Kok Bunda nelepon ayah sampai puluhan kali?]
[Aduh gawat Yah, bunda udah tahu kalau ayah ikut pertandingan.]
[Kok bisa?]
[Waktu aku lagi lihat live streaming yang tanding sebelum ayah, malah ketahuan sama bunda.]
[Emangnya kamu nonton di mana?]
[Di kamar kok, waktu aku lagi pergi ke toilet bunda malah masuk ke kamar dan enggak sengaja lihat hp aku yang nampilin muka ayah sebagai peserta yang akan tampil sesi berikutnya.]
[Haduh, terus bagaimana?]
[Bunda minta kami pulang saat itu juga, tapi untungnya susah
“Enggak bisa begitu dong Ndra, anakku sudah banyak. Sayang juga kalau rumah tangga kami harus berakhir.” “Lah kenyataannya istrimu mau enggak diajak bangun rumah tangga sama-sama? Orang diperjuangin juga malah tetap jual mahal.” “Masalahnya enggak sesimple itu.” “Ya apa pun itu enggak patutlah istri minta pisah kalau masih dinafkahin suami. Jangan-jangan istrimu malah udah punya yang lain di luar sana.” “Enggak mungkin Lara begitu. Orang sehari-hari dia di rumah aja.” “Sekarang mah zaman canggih. Orang di rumah aja juga ‘kan ada internet. Bisa aja sekarang selingkuh lewat hp. Chating lewat whats app ‘kan enggak ada yang tahu. Dari pada bela-belain beli rumah sampai nyelakain diri sendiri mending bawa cewek aja. Tunjukin ke dia kalau di luar sana masih banyak yang mau sama kamu. “ “Enggak bisa begitulah Ndra, Lara aja baru melahirkan. Masa aku tinggalin dia gitu aja.” “Ya lagian aneh, udah tahu baru melahirkan.
“Akutetap mau coba! Aku yakin bunda enggak mungkin secuek itu. Bunda aja masih maumenyiapkan makanan buat Ayah, walaupun ayah sama sekali enggak mau makanmasakan bunda.”“Ayahbukannya enggak mau makan. Emang sibuk aja.”“Kitatuh udah dari dulu tinggal sama-sama. Sejak kapan jadwal kerja ayah jadi maju 1jam, kalau lembur aku masih bisa maklum. Ini kenapa tiba-tiba maju 1 jam daribiasanya. Kayak enggak mungkin banget.”Biasanyaaku memang berangkat pukul 7 pagi, tetapi beberapa hari terakhir aku sudahkeluar rumah sejak pukul 6 pagi.“Yangbilang kerjanya maju 1 jam siapa? Ayah emang pengen berangkat pagi aja.”“Alasannyaapa? Jangan bilang buat menghindar dari bunda?”“Ayahmau latihan fisik buat pertandingan nanti. Ya, lari-lari kecil lumayan buatmeningkatkan stamina. Biar enggak mudah capek.”Aku&
Saat itu aku memilih untuk meninggalkan percakapan dengan Lara. Bukan untuk pergi tidur melainkan pergi ke ruangan olahraga. Berada dalam jarak yang sedekat itu dengan Lara, benar-benar menyiksa. Setidaknya aku harus berolahraga sebentar demi mengalihkan perasaan yang tiba-tiba bergejolak tak terkendali.Lara sepertinya masih memperhatikanku sampai ke halaman belakang. Namun, bedanya ia tak lagi bertanya banyak hal. Mungkin sungkan atau entah. Aku hanya ingin membuatnya mengerti jika kebaikannya yang seperti ini hanya akan membuatku semakin sulit untuk melepaskannya. Dia diam saja aku tidak sanggup melepaskan, apa lagi ia yang ia yang tiba-tiba menjadi begitu perhatian.Pukul 3 pagi aku baru selesai berolahraga. Entah mungkin karena saking lelahnya aku malah tak sengaja terlelap di matras. Sampai-sampai kalau Musa tidak membangunkan, hampir saja aku terlewat untuk menunaikan salat subuh.“Kok tidur di bawah, Yah? Nanti masuk angin loh. Mana badan udah cape
“Akang sengaja mau memanfaatkan hal itu demi mendapatkan hak asuh mereka?”“Buat apa juga Akang melakukan itu? Akang cuma belajar dari beberapa kasus perpisahan. Enggak peduli jika anak itu masih bayi atau sudah besar, jika mereka tahu kamu masih ketergantungan obat penenang mereka enggak akan menjatuhkan hak asuh sama kamu. Sekali pun Hafsah. Mereka akan menganggap kamu enggak akan mampu merawat anak-anak dengan baik, karena kesehatan kamu yang enggak stabil. Pikirkan itu baik-baik!”“Kalau enggak ada yang kasih tahu harusnya aman ‘kan?”“Tetap aja Ra, semua ada prosedur dan pertimbangan yang matang untuk memberikan hak asuh itu jatuh ke tangan ayah atau ibunya.”“Tolong kasih aku waktu.”“Sayangnya kita udah enggak punya banyak waktu. Kamu mungkin lebih mengerti jika kesehatan psikis jauh lebih sulit untuk disembuhkan. Akang tunggu keputusan kamu nanti malam.”&l
“Akang bawa motornya bakal pelan-pelan kok. Kamu tenang aja! Ayo naik! Kenapa kamu diem aja!” pintaku. Kami sudah berada di parkiran bukannya langsung sat set Lara malah menatapku sambil terkekeh. “Hm iya Kang, tapi kayaknya itu Hafsah aku aja yang gendong. Masa Akang mau nyetir sambil gendong bayi?” “Oh, iya. AstaghfirrullahAkang lupa. Ini kamu yang bawa.” Saking semangatnya pulang, aku bahkan hampir saja mengabaikan keselamatan anakku sendiri. Sepanjang perjalanan kami bahkan nyaris tak bicara apa pun. Sampai kemudian kami melewati jalanan yang lumayan rusak parah mau tidak mau meski sudah sangat pelan, tetap saja tubuh Lara ikut terguncang. Saat itu aku baru saja ingin memberi peringatan pada Lara, sampai kemudian aku merasakan tangan Lara sudah melingkar di pundakku. Bahkan aku bisa merasakan pelukannya menjadi semakin kencang seiring dengan jalanan yang rusak parah. Ah, ternyata ada berkahnya juga jalanan rusak. Aku
Padahal kemarin saat di Garut juga sudah seranjang, tetapi kali ini tetap berbeda. Lara yang minta sendiri. Sayangnya sudah 10 menit berlalu, tak ada yang terjadi pada kami berdua. Aku pikir Lara akan..., ah sudahlah. Kalau begini ceritanya alamat gagal dilecehkan. “Lara!” “Akang!” Ah, kami malah memanggil secara serempak. Memang kalau jodoh mau diterpa ujian sekeras badai atau halilintar tetap saja akan balik lagi. “Akang duluan aja!” “Hm kamu belum tidur?” tanyaku sembari membalikkan tubuh ke arahnya. Di tengah-tengah kami ada Hafsah. Anak itu bahkan begitu tenang ketika kedua orang tuanya tidur bersama. Beda sekali dengan saat kami belum tidur seranjang. Anak pintar. “Belum,” kata Lara yang juga berbalik ke arahku. “Enggak ngantukkah?” “Iya, mendadak hilang ngantuknya.” “Bagaimana kalau kita ngobrol aja.” “Bolehngomong sama kamu.” “Bilang aja kali, Kang.” “Soal nama kamu.
“Buru-buru amat makannya Kang, mau ke mana sih?” tanya Zila.“Biasalah, ada temen yang ngajak ketemu.”“Siapa?”“Cowok.”“Oh.”“Musa lihat! Bunda kamu cemburu.”“Apa sih Akang, siapa yang cemburu. Wajah ‘kan tanya-tanya.”“Enggak wajar Bun, kecuali cemburu,” ucap Musa sambil terkekeh pelan.Anak itu memang bisa diandalkan, kalau begini tidak jadi kuhajar.“Kok malah jadi bela Ayah.”Saat itu aku tahu Zila kesal. Namun, ia juga tidak mampu mengelak tentang apa yang terjadi di dalam hatinya.“Cemburu itu tandanya, Sayang ‘kan?” tanyaku.“Khawatir aja.”“Khawatirin apa orang segede Akang enggak akan ada yang nyulik. Dagingnya juga udah enggak enak.”“Takut Akang diajak tanding lagi. Temen yang ngajak ketemuan pasti anak taekwondo
“Aku enggak mancing kok.” “Ini maksudnya apa bawa susu kambing?” “Ya ‘kan emang Akang suka susu.” “Enggak ah, biasanya juga Akang suka susu. Makanya aku inisiatif beli aja.” “Ya, tapi ‘kan kamu juga biasanya beli yang sapi.” “Tadi lewatnya kambing.” Entah kenapa Zila jadi pandai menjawab pertanyaan, padahal tinggal akui saja jika ia memang sengaja membeli susu kambing. “Kalau Akang engak suka ya sudah besok jangan beli lagi.” “Cie ngambek.” “Siapa juga yang ngambek.” “Enggak apa-apa ngaku aja! Sebenarnya Akang tuh lebih suka kamu kayak gini. Adem aja gitu lihatnya. Sini deketan!” Sembari menepuk-nepuk ranjang, Zila lantas perlahan mendekat dengan ekspresi malu-malunya yang menggemaskan. “Kamu tuh kalau kangen bilang. Akang lebih suka kamu jujur dari pada diem-diem.” “Iya.” “Beli susu di mana? Setahu Akang yang jual susu kambing ‘kan lumayan jauh. Harus naik motor, kamu per