“Aku tetap mau coba! Aku yakin bunda enggak mungkin secuek itu. Bunda aja masih mau menyiapkan makanan buat Ayah, walaupun ayah sama sekali enggak mau makan masakan bunda.”
“Ayah bukannya enggak mau makan. Emang sibuk aja.”
“Kita tuh udah dari dulu tinggal sama-sama. Sejak kapan jadwal kerja ayah jadi maju 1jam, kalau lembur aku masih bisa maklum. Ini kenapa tiba-tiba maju 1 jam dari biasanya. Kayak enggak mungkin banget.”
Biasanya aku memang berangkat pukul 7 pagi, tetapi beberapa hari terakhir aku sudah keluar rumah sejak pukul 6 pagi.
“Yang bilang kerjanya maju 1 jam siapa? Ayah emang pengen berangkat pagi aja.”
“Alasannya apa? Jangan bilang buat menghindar dari bunda?”
“Ayah mau latihan fisik buat pertandingan nanti. Ya, lari-lari kecil lumayan buat meningkatkan stamina. Biar enggak mudah capek.”
Aku&
Saat itu aku memilih untuk meninggalkan percakapan dengan Lara. Bukan untuk pergi tidur melainkan pergi ke ruangan olahraga. Berada dalam jarak yang sedekat itu dengan Lara, benar-benar menyiksa. Setidaknya aku harus berolahraga sebentar demi mengalihkan perasaan yang tiba-tiba bergejolak tak terkendali.Lara sepertinya masih memperhatikanku sampai ke halaman belakang. Namun, bedanya ia tak lagi bertanya banyak hal. Mungkin sungkan atau entah. Aku hanya ingin membuatnya mengerti jika kebaikannya yang seperti ini hanya akan membuatku semakin sulit untuk melepaskannya. Dia diam saja aku tidak sanggup melepaskan, apa lagi ia yang ia yang tiba-tiba menjadi begitu perhatian.Pukul 3 pagi aku baru selesai berolahraga. Entah mungkin karena saking lelahnya aku malah tak sengaja terlelap di matras. Sampai-sampai kalau Musa tidak membangunkan, hampir saja aku terlewat untuk menunaikan salat subuh.“Kok tidur di bawah, Yah? Nanti masuk angin loh. Mana badan udah cape
“Akang sengaja mau memanfaatkan hal itu demi mendapatkan hak asuh mereka?”“Buat apa juga Akang melakukan itu? Akang cuma belajar dari beberapa kasus perpisahan. Enggak peduli jika anak itu masih bayi atau sudah besar, jika mereka tahu kamu masih ketergantungan obat penenang mereka enggak akan menjatuhkan hak asuh sama kamu. Sekali pun Hafsah. Mereka akan menganggap kamu enggak akan mampu merawat anak-anak dengan baik, karena kesehatan kamu yang enggak stabil. Pikirkan itu baik-baik!”“Kalau enggak ada yang kasih tahu harusnya aman ‘kan?”“Tetap aja Ra, semua ada prosedur dan pertimbangan yang matang untuk memberikan hak asuh itu jatuh ke tangan ayah atau ibunya.”“Tolong kasih aku waktu.”“Sayangnya kita udah enggak punya banyak waktu. Kamu mungkin lebih mengerti jika kesehatan psikis jauh lebih sulit untuk disembuhkan. Akang tunggu keputusan kamu nanti malam.”&l
“Akang bawa motornya bakal pelan-pelan kok. Kamu tenang aja! Ayo naik! Kenapa kamu diem aja!” pintaku. Kami sudah berada di parkiran bukannya langsung sat set Lara malah menatapku sambil terkekeh. “Hm iya Kang, tapi kayaknya itu Hafsah aku aja yang gendong. Masa Akang mau nyetir sambil gendong bayi?” “Oh, iya. AstaghfirrullahAkang lupa. Ini kamu yang bawa.” Saking semangatnya pulang, aku bahkan hampir saja mengabaikan keselamatan anakku sendiri. Sepanjang perjalanan kami bahkan nyaris tak bicara apa pun. Sampai kemudian kami melewati jalanan yang lumayan rusak parah mau tidak mau meski sudah sangat pelan, tetap saja tubuh Lara ikut terguncang. Saat itu aku baru saja ingin memberi peringatan pada Lara, sampai kemudian aku merasakan tangan Lara sudah melingkar di pundakku. Bahkan aku bisa merasakan pelukannya menjadi semakin kencang seiring dengan jalanan yang rusak parah. Ah, ternyata ada berkahnya juga jalanan rusak. Aku
Padahal kemarin saat di Garut juga sudah seranjang, tetapi kali ini tetap berbeda. Lara yang minta sendiri. Sayangnya sudah 10 menit berlalu, tak ada yang terjadi pada kami berdua. Aku pikir Lara akan..., ah sudahlah. Kalau begini ceritanya alamat gagal dilecehkan. “Lara!” “Akang!” Ah, kami malah memanggil secara serempak. Memang kalau jodoh mau diterpa ujian sekeras badai atau halilintar tetap saja akan balik lagi. “Akang duluan aja!” “Hm kamu belum tidur?” tanyaku sembari membalikkan tubuh ke arahnya. Di tengah-tengah kami ada Hafsah. Anak itu bahkan begitu tenang ketika kedua orang tuanya tidur bersama. Beda sekali dengan saat kami belum tidur seranjang. Anak pintar. “Belum,” kata Lara yang juga berbalik ke arahku. “Enggak ngantukkah?” “Iya, mendadak hilang ngantuknya.” “Bagaimana kalau kita ngobrol aja.” “Bolehngomong sama kamu.” “Bilang aja kali, Kang.” “Soal nama kamu.
“Buru-buru amat makannya Kang, mau ke mana sih?” tanya Zila.“Biasalah, ada temen yang ngajak ketemu.”“Siapa?”“Cowok.”“Oh.”“Musa lihat! Bunda kamu cemburu.”“Apa sih Akang, siapa yang cemburu. Wajah ‘kan tanya-tanya.”“Enggak wajar Bun, kecuali cemburu,” ucap Musa sambil terkekeh pelan.Anak itu memang bisa diandalkan, kalau begini tidak jadi kuhajar.“Kok malah jadi bela Ayah.”Saat itu aku tahu Zila kesal. Namun, ia juga tidak mampu mengelak tentang apa yang terjadi di dalam hatinya.“Cemburu itu tandanya, Sayang ‘kan?” tanyaku.“Khawatir aja.”“Khawatirin apa orang segede Akang enggak akan ada yang nyulik. Dagingnya juga udah enggak enak.”“Takut Akang diajak tanding lagi. Temen yang ngajak ketemuan pasti anak taekwondo
“Aku enggak mancing kok.” “Ini maksudnya apa bawa susu kambing?” “Ya ‘kan emang Akang suka susu.” “Enggak ah, biasanya juga Akang suka susu. Makanya aku inisiatif beli aja.” “Ya, tapi ‘kan kamu juga biasanya beli yang sapi.” “Tadi lewatnya kambing.” Entah kenapa Zila jadi pandai menjawab pertanyaan, padahal tinggal akui saja jika ia memang sengaja membeli susu kambing. “Kalau Akang engak suka ya sudah besok jangan beli lagi.” “Cie ngambek.” “Siapa juga yang ngambek.” “Enggak apa-apa ngaku aja! Sebenarnya Akang tuh lebih suka kamu kayak gini. Adem aja gitu lihatnya. Sini deketan!” Sembari menepuk-nepuk ranjang, Zila lantas perlahan mendekat dengan ekspresi malu-malunya yang menggemaskan. “Kamu tuh kalau kangen bilang. Akang lebih suka kamu jujur dari pada diem-diem.” “Iya.” “Beli susu di mana? Setahu Akang yang jual susu kambing ‘kan lumayan jauh. Harus naik motor, kamu per
“Ternyata gin iya rasanya punya istri,” ucapku. “Akang enggak usah ngomong aneh-aneh deh, kita teh nikah udah mau 20 tahun. Masih aja bilang gitu.” “Ih, kamu tuh enggak merasa apa bagaimana? kemarin-kemarin kamu dingin banget kayak batu es.” “Ya, maaf.” “Oh ya Zi, setelah nama kamu ganti, Akang merasa karakter kamu juga jadi berubah. Berasa diupgrade aja begitu.” “Memangnya teknologi pakai upgrade segala.” “Serius Sayang, Akang lebih senang aja kamu begini. Enggak malu-malu lagi.” “Proses aja Kang, aku pikir selama ini aku terlalu menutup diri.’ “Baguslah kalau memang perubahannya ke arah yang lebih baik. Oh iya sekalian saja Akang mau izin nanti 2 minggu lagi Akang mau dinas ke luar kota. Paling nanti 3 hari di sana. Kamu enggak apa-apa ‘kan ditinggal sendirian?” “Enggak apa-apa, ‘kan ada anak-anak. Rumah ini juga masih ramai walau Akang pergi.” Maaf ya Zila, aku terpaksa berbohong. Entah
Sebenarnya bukan masalah bagiku jika lawanku nanti memiliki postur tubuh yang jauh lebih besar. Selagi jam terbangnya masih di bawahku, setidaknya itu tidak akan terlalu berat. Terkadang meski postur tubuh kecil jika pengalaman bertandingnya sudah banyak, malah lebih mengerikan. Di arena banyak sekali penonton yang datang. Aku pikir tidak akan seramai ini. Sejujurnya aku belum terbiasanya bertanding dilihat banyak orang.“Gugup ya, Jim?”“Enggak sih, kaget aja kenapa jadi banyak banget yang nonton. Anak muda lagi kebanyakan.”“Ini baru permulaan nanti kalau mendekati final akan lebih padat lagi.”“Serius? Ini aja udah sesak.”“Ini malah belum ada apa-apanya.”“Kamu sering ya nonton ke sini?”“Lumayan, makanya agak kaget aja sih kamu mau ikutan.”“Kamu itu jangan sering-sering ninggalin istri.”“Alah, mau ngapain juga baw
Setengah jam berlalu, kami masih juga belum mengantuk.“Dek kamu udah tidur?” tanyaku.“Belum, kenapa Kang?” tanya Sofia sambil membalikkan tubuhnya yang semula terlentang jadi menghadap ke arahku.“Sebenarnya Akang ini udah ngajuin resign, Dek,” ucapku.“Loh, kapan?”“Di hari menjelang pernikahan kita, yang jelas sebelum Aa pulang ke Bogor.”“Kenapa Aa melakukan itu?”“Aa pikir enggak ada gunanya juga kita bertahan di sini. Lihat saja Sabrina, dia aja masih nekat datang ke resepsi kita, padahal enggak diundang.”“Alhamdulillahnya masa kerja Akang juga sudah habis, jadi besok kita pulang.”“Jadi hari ini terakhir?”“Iya, Sayang.”“Ya Allah kenapa enggak kasih tahu jauh-jauh hari. Jadi, Adek bisa beres-beres dari jauh-jauh hari.”“Sengaja kok. Akang emang e
“Sofia.”“Hm.”“Makasih ya,” ucapku sembari menikmati betapa indahnya wajah Sofia jika dipandang dalam jarak yang sedekat ini.Sofia tak menjawabnya, selain tersenyum saja, sepertinya dia sudah sangat mengantuk. Mungkin juga lelah. Aku tidak tahu pastinya, tetapi saat itu Sofia langsung menutup matanya. Ia tertidur begitu pulas dan aku masih saja tak puas menatap wajah cantiknya ketika ia tertidur.Pagi hari tiba, saat itu aku terbangun lebih dahulu, karena kumandang azan subuh. Namun, begitu melihat ke samping Sofia masih tertidur di lenganku. Melihatnya tertidur begitu pulas, rasanya menggemaskan sekali.Tanpa sadar aku malah mencium keningnya, apa lagi saat itu jarak kami memang sangat dekat. Sayangnya, saat itu Sofia malah jadi bangun.“Akang….”Sofia memanggilku, tetapi matanya masih tertutup.“Kalau ngantuk tidur lagi enggak apa-apa kok, Sayang.”“Enggak kok, Akang kenapa bangunin aku? Butuh sesuatu?” tanya Sofia.“Enggak butuh apa-apa. Ini sudah masuk waktu subuh.”“Hah, masa?”
“Cie, salting ya!” godaku.“Siapa yang salting biasa aja kok,” elak Sofia sambil berusaha menolehkan wajahnya ke arah lain.Jelas-jelas ia sedang salah tingkah, kenapa juga enggan mengakuinya. Aku yang semula sudah berada di depan, lantas kembali menyusul Sofia yang masih tertinggal di belakang.“Mau apa?” tanya Sofia yang mendadak panik.Kedua bola matanya bahkan mendadak membesar dan itu lucu. Ia tak ubahnya seperti boneka barbie koleksi Hafsah yang bermata besar.“Kepedean, siapa juga yang mau gendong kamu!”Saat itu tanpa menunggu persetujuannya, aku lantas menggandeng lengan Sofia dengan lembut. Sejenak bukannya langsung maju kami malah terpaku di tempat. Sialnya kenapa juga aku harus begitu kaku, padahal baru pegangan tangan.“Ya udah jalan!” ajakku.Sayangnya baru beberapa langkah Sofia malah terkekeh.“Kenapa kamu ketawa?” tanyaku yang kesal.
Sungguh aku tidak pernah sebahagia ini sebelumnya. Ternyata apa yang selama ini aku harapkan benar-benar terjadi. Pada akhirnya aku bisa menikahi Sofia. Meskipun harus melewati perjuangan yang panjang. Namun rasanya lega sekali bisa memiliki Sofia sebetulnya. Ia tampak sangat menggemaskan ketika malu. Sayangnya, meski ia sudah memohon padaku, pada akhirnya kami harus tetap melakukan sesi foto cium kening. Cukup mendebarkan, karena memang Ini pertama kalinya aku menyentuh perempuan. "Akang juga gugup 'kan?" bisik Sofia pelan, kala bibirku masih menempel di keningnya. "Kata siapa? Biasa aja kok nggak ada gugup sama sekali." "Jangan bohong Kang, bibirmu bergetar." "Memang terasa?” “Iya.” Seketika aku mendecak. “Namanya orang ngomong, ya bergetar kamu suka aneh ah!" Untung saja saat itu fotografer meminta kami untuk melepaskan kecupan di kening. Sungguh, lega sekali akhirnya kami bisa menyelesaikan satu sesi f
[Ya ampun Sof, enggak bisa romantis sedikit apa?][Lagian kamu aneh, tiba-tuba telepon katanya penting tahunya malah sayang-sayangan.][Emang enggak boleh?][Enggak boleh.][Pelit amat.][Sabar! Ya sudah kamu matikan deh, kalau enggak ada yang penting!][Kenapa buru-buru amat sih, kamu yang matikanlah!][Tanganku lagi di henna.][Oh gitu, ya sudah vidio call sebentar! Aku pengen lihat.][Enggak bisa.]Tiba-tiba saja suara tertawa terdengar di saat aku kesal karena Sofia lagi-lagi menolak menunjukkan hennanya.[Kamu ketawa?] tanyaku.[Bukan aku yang ketawa, Musa.][Terus siapa?][Tadi 'kan aku bilang lagi lukis henna.]Ya Tuhan jadi dari tadi percakapan kami didengar oleh orang lain? Sumpah malu sekali. Apalagi orang itu sepertinya masih saja menertawakan kami.Sebelum semua hal menjadi kacau aku segera mematikan panggilan tersebut. Bahkan, aku sampai lupa mengucap sa
“Aku cuma bercanda kok. Hehehe. Memangnya kamu beli di mana, aku jadi penasaran juga!”“Enggak beli, dikasih.”“Dikasih siapa?” “Calon istri.”Uhuk-uhuk!”Seketika itu juga Sabrina malah terbatuk, padahal ia tidak sedang minum atau menelan sesuatu. Saat itu, karena ia cukup lama terbatuk, sontak saja suaranya yang keras mengundang rasa penasaran orang sekitar. Saat itu juga kami menjadi perhatian semua orang.Dari pada memicu kesalahpahaman semua orang, aku memilih menunggalkan air mineral yang kebetulan memang belum aku buka untuknya. “Minum!”Pergi, menurutku adalah pilihan yang terbaik.Lagi pula, di antara kami juga tidak ada hal penting yang perlu dibicarakan.“Musa, makasih!”Sialnya aku sudah melangkah cukup jauh, ternyata gadis itu masih saja mengikuti. Aku sudah malas sekali menjawab pertanyaannya itu.“Kamu akan menikah bukan? Kapan?”“Lusa.”“Kenapa aku enggak diundang?”“Seharusnya kamu tahu ala
[Aku pikir kamu akan setuju, baguslah kalau kamu tidak mengizinkannya.][Aku hanya realistis.][Realistis atau cemburu?][Aku enggak cemburu. Seharusnya kamu tahu langkah apa yang harus kamu ambil. Rasa sayang itu kan bisa tumbuh dari rasa kasihan juga. Aku hanya menghindari hal itu. Aku pikir seharusnya Musa, lebih tahu langkah apa yang harus diambil, jika dihadapkan pada hal seperti itu. Kenapa malah tanya aku?][Kamu tahu kenapa aku bertanya padamu?][Kenapa?][Aku hanya ingin tahu, apakah kamu juga menginginkan pernikahan ini.][Terus sekarang udah dapat jawabannya belum?][Sudah.][Apa?][Aku sikapmu yang tegas.][Aku mah enggak munafik, berpura-pura baik tapi di balik itu aku harus menahan kesal, karena membiarkanmu bertemu dengan wanita yang jelas-jelas menyukaimu.][Hehe.][Jangan ketawa!][Sudah ketawa!][Enggak ada yang lucu.][Ada, kamu lucu sekali Sofia. Aku su
“Jadi, bagaimana Pak Musa?”“Saya tetap mengajukan resign.”“Kalau begitu mungkin tanggalnya bisa diganti untuk 1 bulan ke depan.”“Oke, tapi tolong saya ambil cuti 3 hari untuk tanggal 20, 21 dan 22 Juni.”“Baik Pak.”Saat itu aku keluar ruangan dengan perasaan yang entah. Rasanya kesal sekali, aku seperti sedang dipermainkan. Tadinya niatku ingin langsung berbenah pada akhirnya aku harus kembali kerja. Apa lagi itu sepertinya Pak Hamzah memberikan kasus yang berat.Manusia satu ini rupanya masih saja belum menyerah. Lagi pula untuk apa memperjuangkan hal yang sebenarnya sia-sia. Hanya akan buang-buang waktu.Ada banyak lelaki di dunia ini, kenapa harus memaksaku untuk menyukai keponakannya.~Di jam makan siang aku memutuskan untuk menghubungi orang tuaku, tentang prosedur pengunduran diri yang mendadak berubah.[Ya sudah, itu terserah kamu saja. Bunda sama ayah enggak pernah maksa kamu buat
Bunda malah melarikan diri, menyebalkan sekali. Sayangnya saat itu ia malah dihalangi ayah.“Musa, pasangan yang mau nikah itu biasanya banyak godaan. Kuat-kuatan kitanya aja.”“Iya, Yah.”“Kamu yakin mau ke Bali sendirian?”“Yakin, Yah. Aku juga udah biasa bolak-balik sendiri kok.”“Ayah tahu, tapi kalau memang kamu butuh teman ngobrol selama di perjalanan, ajak aja Sean. Dia juga udah mau lulus sekolah, sekalian refreshing juga ‘kan?”“Tapi, tiket pesawatnya ‘kan cuma untuk satu orang.”“Aku bisa ke sana sendiri kok, nyusul juga enggak apa-apa,” sahut Sean yang saat itu kebetulan memang berada tak jauh dari tempat kami berbincang.Sebelumnya Sean memang sering kuajak ke Surabaya jika liburan tiba. Jadi, sebenarnya aku tidak terlalu khawatir jika ia akan tersesat nanti.“Tuh anaknya aja mau.”“Sekalian nyari kerjaan di sana. Barang kali aja dapat,” ucap Sean.Tahun ini Sean memang bar