“Aku enggak mancing kok.”
“Ini maksudnya apa bawa susu kambing?”
“Ya ‘kan emang Akang suka susu.”
“Enggak ah, biasanya juga Akang suka susu. Makanya aku inisiatif beli aja.”
“Ya, tapi ‘kan kamu juga biasanya beli yang sapi.”
“Tadi lewatnya kambing.”
Entah kenapa Zila jadi pandai menjawab pertanyaan, padahal tinggal akui saja jika ia memang sengaja membeli susu kambing.
“Kalau Akang engak suka ya sudah besok jangan beli lagi.”
“Cie ngambek.”
“Siapa juga yang ngambek.”
“Enggak apa-apa ngaku aja! Sebenarnya Akang tuh lebih suka kamu kayak gini. Adem aja gitu lihatnya. Sini deketan!”
Sembari menepuk-nepuk ranjang, Zila lantas perlahan mendekat dengan ekspresi malu-malunya yang menggemaskan.
“Kamu tuh kalau kangen bilang. Akang lebih suka kamu jujur dari pada diem-diem.”
“Iya.”
“Beli susu di mana? Setahu Akang yang jual susu kambing ‘kan lumayan jauh. Harus naik motor, kamu per
“Ternyata gin iya rasanya punya istri,” ucapku. “Akang enggak usah ngomong aneh-aneh deh, kita teh nikah udah mau 20 tahun. Masih aja bilang gitu.” “Ih, kamu tuh enggak merasa apa bagaimana? kemarin-kemarin kamu dingin banget kayak batu es.” “Ya, maaf.” “Oh ya Zi, setelah nama kamu ganti, Akang merasa karakter kamu juga jadi berubah. Berasa diupgrade aja begitu.” “Memangnya teknologi pakai upgrade segala.” “Serius Sayang, Akang lebih senang aja kamu begini. Enggak malu-malu lagi.” “Proses aja Kang, aku pikir selama ini aku terlalu menutup diri.’ “Baguslah kalau memang perubahannya ke arah yang lebih baik. Oh iya sekalian saja Akang mau izin nanti 2 minggu lagi Akang mau dinas ke luar kota. Paling nanti 3 hari di sana. Kamu enggak apa-apa ‘kan ditinggal sendirian?” “Enggak apa-apa, ‘kan ada anak-anak. Rumah ini juga masih ramai walau Akang pergi.” Maaf ya Zila, aku terpaksa berbohong. Entah
Sebenarnya bukan masalah bagiku jika lawanku nanti memiliki postur tubuh yang jauh lebih besar. Selagi jam terbangnya masih di bawahku, setidaknya itu tidak akan terlalu berat. Terkadang meski postur tubuh kecil jika pengalaman bertandingnya sudah banyak, malah lebih mengerikan. Di arena banyak sekali penonton yang datang. Aku pikir tidak akan seramai ini. Sejujurnya aku belum terbiasanya bertanding dilihat banyak orang.“Gugup ya, Jim?”“Enggak sih, kaget aja kenapa jadi banyak banget yang nonton. Anak muda lagi kebanyakan.”“Ini baru permulaan nanti kalau mendekati final akan lebih padat lagi.”“Serius? Ini aja udah sesak.”“Ini malah belum ada apa-apanya.”“Kamu sering ya nonton ke sini?”“Lumayan, makanya agak kaget aja sih kamu mau ikutan.”“Kamu itu jangan sering-sering ninggalin istri.”“Alah, mau ngapain juga baw
“Zila.”Begitu melihatku berdiri di depannya Zila langsung memelukku dengan begitu erat. Padahal, saat itu aku tengah menggunakan masker, tetapi wanita itu mampu mengenalinya dengna mudah.“Maafin Akang ya, bikin kamu sedih.”“Jangan ngomong apa-apa!”“Akang enggak maksud bikin kamu khawatir.”“Jahat banget sih, ikut pertandingan kayak gini enggak bilang-bilang.”“Akang cuma pengen belikan kamu rumah.”“Aku enggak butuh rumah di Garut.”“Kok kamu tahu.”“Teman-teman kamu yang cerita semuanya.”“Mereka memang ember.”“Sudahlah bukankah Akang menang.”“Kenapa sih harus berkorban sebesar ini, emang Akang enggak takut mati?”“Akang enggak akan mati sebelum kamu.”“Jangan bilang gitu, Akang ‘kan bukan Tuhan yang bisa nentuin h
“Ya aku mana tahu Ayah, enggak pernah megang begituan.”“Makanya mulai sekarang melek sama teknologi atuh kamu mah.”“Kan CCTV kita juga enggak ada suaranya. Aku mana tahu.”“Iya itu emang perlu diupgrade ke yang baru.”“Nah ‘kan hayu atuh diganti!”Saat itu aku dan Musa mulai merencanakan sesuatu. Setelah diskusi singkat dengan Teh Safira aku mereka pun setuju untuk memasang CCTV di bagian depan rumah. Mengingat akses keluar masuk hanya dari depan.Saat itu aku sengaja tidak memberi tahu tentang apa yang terjadi pada Zila. Aku hanya takut dia akan khawatir berlebihan. Aku juga sudah membicarakan hal ini pada ibu dan yang lainnya untuk tutup mulut. Untungnya mereka juga mau mengerti.“Akang abis dari mana?” tanya Zila saat aku kembali pada pukul 7 malam.“Biasalah tadi ada urusan sebentar.”“Baik-baik aja &lsquo
Sialan memang saat itu sebenarnya aku paling tidak suka menggunakan kekerasan, tetapi emosiku sudah berada di puncak begitu aku menemukan Gedung kosong yang sama dengan di foto yang dikirimkan Abah aku langsung mendobrak pintu itu dengan kasar. Ternyata memang benar ada Yana dan 3 orang lainnya di sana.“Cuih! Datang juga kamu, Jimy. Sayang sekali kamu telat, istrimu ini sudah kulecehkan!”Mendengar hal itu entah kenapa rasanya darahku mendidih bukan main apa lagi melihat ibuku yang tergeletak di depan tubuh Zila dengan posisi memeluk istriku dari depan. Keduanya sudah tidak sadar. Namun, syukurlah dari kejauhan aku masih bisa melihat jika Lara masih bernafas. Namun, entah kenapa dengan ibu yang memeluknya, kenapa ia terlihat begitu kaku.Sayangnya Yana malah memanfaatkan hal itu untuk menyerangku.Buk!Sialnya mereka terus saja mendaratkan pukulan di wajah. Sialnya dia tahu kalau kelamahanku emang di mata.“Matamu pasti be
“Kalian yakin enggak bakal masalah? Aku enggak mau kalau ujungnya kalian terbawa-bawa. Kasihan anak istri kalian nanti.”“Alah, tenang aja. Kami tutup matanya nanti biar mereka enggak tahu siapa yang melakukannya.”“Biasanya polisi akan bertindak kalau korbannya sudah jelas.”“Gampang, 3 hari cukup. Kita jamin mereka enggak akan punya nyali lagi buat melakukan pelecehan.”“Kamu enggak mikir buat kebiri mereka ‘kan?”“Kamu pikir gampang dapat obat kebiri? Sudah serahkan sama ahlinya. Aku jamin mereka akan aku buat trauma seumur hidupnya. Kamu urus mereka dulu, kasihan Lara sama ibu. Turut berduka ya, Jim. Aku pastikan mereka sampai basecamp dulu. Habis itu kita bagi tugas buat ke rumah.”“Makasih banget, Sob.”Hendra kembali memeluk, sambil menepuk punggungku.“Aku tahu ini berat buat kamu. Ujian, Jim. Yang ikhlas biar langkah ibu ke
Aku tidak pernah menyangka hubungan mereka bisa sedekat ini, Namun, entah kenapa masih saja menghadirkan ujian di kala kami sudah sama-sama berbaikan.Malam itu aku sedikit lega, tetapi juga sedih karena besok aku sudah mulai masuk kerja. Jatah cutiku sudah habis. Atasanku di kantor juga sudah mulai komplain, karena akhir-akhir ini aku jadi sering tidak masuk kerja. Memang kenyataannya itu bukan suatu kesengajaan karena aku malas. Kenyataannya banyak sekali hal yang harus kuurus. Akhir-akhir ini lihat saja masalah tak berhenti menimpaku.“Ayah, kenapa kok kayaknya pusing banget?”“Biasalalah lagi mikirin kerjaan, kalau Ayahresignaja bagaimana menurut kamu?”“Ayah yakin mauresign? Enggak sayang?”Kejadian ini benar-benar menjadi pukulan telak bagiku. Aku jadi semakin was-was jika meninggalkan Zila dan ibu sendirian di rumah.“Ayah ‘kan sudah ada usaha kedai ac
“Sofia, alhamdulillah aku diangkat jadi karyawan. Jadi, secepatnya aku bakal lamar kamu, sabar ya 2 bulan lagi aja!” “Musa, maaf. Aku enggak bisa. Gaji kamu ‘kan kecil. Anak kita nanti mau dikasih makan apa coba?” “Maksudnya apa sih Sof? Kok kamu tiba-tiba bilang begini? Kita ‘kan udah merencanakan semuanya. Kenapa mendadak berubah pikiran?” “Kamu cuma buruh pabrik yang perusahaannya aja enggak bonafit. Gajinya aja di bawah UMR. Aku enggak mau anak kita terlantar kayak adik kamu, Sean. Dia aja sampai kurang gizi.” “Astaghfirrullah, aku enggak nyangka kamu bisa bilang begini.” Kami sudah berhubungan baik sejak lama, tetapi entah ada apa dengannya tiba-tiba bicara selancang itu. “Mulai sekarang jangan pernah temui aku lagi! Kalau, kita ketemu enggak sengaja pura-pura enggak kenal aja!” “Kamu kenapa sih tiba-tiba berubah dalam semalam?” “Kamu enggak akan pernah ngerti, karena kamu bukan perempuan