“Ternyata gin iya rasanya punya istri,” ucapku.
“Akang enggak usah ngomong aneh-aneh deh, kita teh nikah udah mau 20 tahun. Masih aja bilang gitu.”
“Ih, kamu tuh enggak merasa apa bagaimana? kemarin-kemarin kamu dingin banget kayak batu es.”
“Ya, maaf.”
“Oh ya Zi, setelah nama kamu ganti, Akang merasa karakter kamu juga jadi berubah. Berasa diupgrade aja begitu.”
“Memangnya teknologi pakai upgrade segala.”
“Serius Sayang, Akang lebih senang aja kamu begini. Enggak malu-malu lagi.”
“Proses aja Kang, aku pikir selama ini aku terlalu menutup diri.’
“Baguslah kalau memang perubahannya ke arah yang lebih baik. Oh iya sekalian saja Akang mau izin nanti 2 minggu lagi Akang mau dinas ke luar kota. Paling nanti 3 hari di sana. Kamu enggak apa-apa ‘kan ditinggal sendirian?”
“Enggak apa-apa, ‘kan ada anak-anak. Rumah ini juga masih ramai walau Akang pergi.”
Maaf ya Zila, aku terpaksa berbohong. Entah
Sebenarnya bukan masalah bagiku jika lawanku nanti memiliki postur tubuh yang jauh lebih besar. Selagi jam terbangnya masih di bawahku, setidaknya itu tidak akan terlalu berat. Terkadang meski postur tubuh kecil jika pengalaman bertandingnya sudah banyak, malah lebih mengerikan. Di arena banyak sekali penonton yang datang. Aku pikir tidak akan seramai ini. Sejujurnya aku belum terbiasanya bertanding dilihat banyak orang.“Gugup ya, Jim?”“Enggak sih, kaget aja kenapa jadi banyak banget yang nonton. Anak muda lagi kebanyakan.”“Ini baru permulaan nanti kalau mendekati final akan lebih padat lagi.”“Serius? Ini aja udah sesak.”“Ini malah belum ada apa-apanya.”“Kamu sering ya nonton ke sini?”“Lumayan, makanya agak kaget aja sih kamu mau ikutan.”“Kamu itu jangan sering-sering ninggalin istri.”“Alah, mau ngapain juga baw
“Zila.”Begitu melihatku berdiri di depannya Zila langsung memelukku dengan begitu erat. Padahal, saat itu aku tengah menggunakan masker, tetapi wanita itu mampu mengenalinya dengna mudah.“Maafin Akang ya, bikin kamu sedih.”“Jangan ngomong apa-apa!”“Akang enggak maksud bikin kamu khawatir.”“Jahat banget sih, ikut pertandingan kayak gini enggak bilang-bilang.”“Akang cuma pengen belikan kamu rumah.”“Aku enggak butuh rumah di Garut.”“Kok kamu tahu.”“Teman-teman kamu yang cerita semuanya.”“Mereka memang ember.”“Sudahlah bukankah Akang menang.”“Kenapa sih harus berkorban sebesar ini, emang Akang enggak takut mati?”“Akang enggak akan mati sebelum kamu.”“Jangan bilang gitu, Akang ‘kan bukan Tuhan yang bisa nentuin h
“Ya aku mana tahu Ayah, enggak pernah megang begituan.”“Makanya mulai sekarang melek sama teknologi atuh kamu mah.”“Kan CCTV kita juga enggak ada suaranya. Aku mana tahu.”“Iya itu emang perlu diupgrade ke yang baru.”“Nah ‘kan hayu atuh diganti!”Saat itu aku dan Musa mulai merencanakan sesuatu. Setelah diskusi singkat dengan Teh Safira aku mereka pun setuju untuk memasang CCTV di bagian depan rumah. Mengingat akses keluar masuk hanya dari depan.Saat itu aku sengaja tidak memberi tahu tentang apa yang terjadi pada Zila. Aku hanya takut dia akan khawatir berlebihan. Aku juga sudah membicarakan hal ini pada ibu dan yang lainnya untuk tutup mulut. Untungnya mereka juga mau mengerti.“Akang abis dari mana?” tanya Zila saat aku kembali pada pukul 7 malam.“Biasalah tadi ada urusan sebentar.”“Baik-baik aja &lsquo
Sialan memang saat itu sebenarnya aku paling tidak suka menggunakan kekerasan, tetapi emosiku sudah berada di puncak begitu aku menemukan Gedung kosong yang sama dengan di foto yang dikirimkan Abah aku langsung mendobrak pintu itu dengan kasar. Ternyata memang benar ada Yana dan 3 orang lainnya di sana.“Cuih! Datang juga kamu, Jimy. Sayang sekali kamu telat, istrimu ini sudah kulecehkan!”Mendengar hal itu entah kenapa rasanya darahku mendidih bukan main apa lagi melihat ibuku yang tergeletak di depan tubuh Zila dengan posisi memeluk istriku dari depan. Keduanya sudah tidak sadar. Namun, syukurlah dari kejauhan aku masih bisa melihat jika Lara masih bernafas. Namun, entah kenapa dengan ibu yang memeluknya, kenapa ia terlihat begitu kaku.Sayangnya Yana malah memanfaatkan hal itu untuk menyerangku.Buk!Sialnya mereka terus saja mendaratkan pukulan di wajah. Sialnya dia tahu kalau kelamahanku emang di mata.“Matamu pasti be
“Kalian yakin enggak bakal masalah? Aku enggak mau kalau ujungnya kalian terbawa-bawa. Kasihan anak istri kalian nanti.”“Alah, tenang aja. Kami tutup matanya nanti biar mereka enggak tahu siapa yang melakukannya.”“Biasanya polisi akan bertindak kalau korbannya sudah jelas.”“Gampang, 3 hari cukup. Kita jamin mereka enggak akan punya nyali lagi buat melakukan pelecehan.”“Kamu enggak mikir buat kebiri mereka ‘kan?”“Kamu pikir gampang dapat obat kebiri? Sudah serahkan sama ahlinya. Aku jamin mereka akan aku buat trauma seumur hidupnya. Kamu urus mereka dulu, kasihan Lara sama ibu. Turut berduka ya, Jim. Aku pastikan mereka sampai basecamp dulu. Habis itu kita bagi tugas buat ke rumah.”“Makasih banget, Sob.”Hendra kembali memeluk, sambil menepuk punggungku.“Aku tahu ini berat buat kamu. Ujian, Jim. Yang ikhlas biar langkah ibu ke
Aku tidak pernah menyangka hubungan mereka bisa sedekat ini, Namun, entah kenapa masih saja menghadirkan ujian di kala kami sudah sama-sama berbaikan.Malam itu aku sedikit lega, tetapi juga sedih karena besok aku sudah mulai masuk kerja. Jatah cutiku sudah habis. Atasanku di kantor juga sudah mulai komplain, karena akhir-akhir ini aku jadi sering tidak masuk kerja. Memang kenyataannya itu bukan suatu kesengajaan karena aku malas. Kenyataannya banyak sekali hal yang harus kuurus. Akhir-akhir ini lihat saja masalah tak berhenti menimpaku.“Ayah, kenapa kok kayaknya pusing banget?”“Biasalalah lagi mikirin kerjaan, kalau Ayahresignaja bagaimana menurut kamu?”“Ayah yakin mauresign? Enggak sayang?”Kejadian ini benar-benar menjadi pukulan telak bagiku. Aku jadi semakin was-was jika meninggalkan Zila dan ibu sendirian di rumah.“Ayah ‘kan sudah ada usaha kedai ac
“Sofia, alhamdulillah aku diangkat jadi karyawan. Jadi, secepatnya aku bakal lamar kamu, sabar ya 2 bulan lagi aja!” “Musa, maaf. Aku enggak bisa. Gaji kamu ‘kan kecil. Anak kita nanti mau dikasih makan apa coba?” “Maksudnya apa sih Sof? Kok kamu tiba-tiba bilang begini? Kita ‘kan udah merencanakan semuanya. Kenapa mendadak berubah pikiran?” “Kamu cuma buruh pabrik yang perusahaannya aja enggak bonafit. Gajinya aja di bawah UMR. Aku enggak mau anak kita terlantar kayak adik kamu, Sean. Dia aja sampai kurang gizi.” “Astaghfirrullah, aku enggak nyangka kamu bisa bilang begini.” Kami sudah berhubungan baik sejak lama, tetapi entah ada apa dengannya tiba-tiba bicara selancang itu. “Mulai sekarang jangan pernah temui aku lagi! Kalau, kita ketemu enggak sengaja pura-pura enggak kenal aja!” “Kamu kenapa sih tiba-tiba berubah dalam semalam?” “Kamu enggak akan pernah ngerti, karena kamu bukan perempuan
Aku mendadak menghentikan langkah saat tengah menuruni tangga. Padahal, sebentar lagi juga sampai. Tadinya aku ingin segera kembali ke meja di lantai 2 untuk membicarakan kuliah. Namun, ucapan pria itu seketika membuat darahku naik.“Alah cewek murahan aja belagu! Lo masih inget—”“Bisa diem enggak sih lo!”Aku bisa melihat kemarahan yang teramat sangat di wajah Sofia. Aku saja tidak pernah melihatnya sekasar dan semarah itu ketika bicara. Sebelumnya ia gadis lemah lembut yang santun. Entah kenapa ia terlihat tampak emosi.Lihat saja sorot matanya yang tajam juga wajahnya yang tampak merah padam.“Enggak usah kurang ajar! Ini tempat umum! Aku bisa teriak.”“Ya teriak saja, kamu tahu konsekuensinya. Ingat ayahmu ketua RT. Akan sangat memalukan pasti.”Saat itu Sofia mendadak diam. Ah, aku jadi semakin penasaran rahasia apa yang disembunyikan mereka.Saat itu sepertinya Sofia
Setengah jam berlalu, kami masih juga belum mengantuk.“Dek kamu udah tidur?” tanyaku.“Belum, kenapa Kang?” tanya Sofia sambil membalikkan tubuhnya yang semula terlentang jadi menghadap ke arahku.“Sebenarnya Akang ini udah ngajuin resign, Dek,” ucapku.“Loh, kapan?”“Di hari menjelang pernikahan kita, yang jelas sebelum Aa pulang ke Bogor.”“Kenapa Aa melakukan itu?”“Aa pikir enggak ada gunanya juga kita bertahan di sini. Lihat saja Sabrina, dia aja masih nekat datang ke resepsi kita, padahal enggak diundang.”“Alhamdulillahnya masa kerja Akang juga sudah habis, jadi besok kita pulang.”“Jadi hari ini terakhir?”“Iya, Sayang.”“Ya Allah kenapa enggak kasih tahu jauh-jauh hari. Jadi, Adek bisa beres-beres dari jauh-jauh hari.”“Sengaja kok. Akang emang e
“Sofia.”“Hm.”“Makasih ya,” ucapku sembari menikmati betapa indahnya wajah Sofia jika dipandang dalam jarak yang sedekat ini.Sofia tak menjawabnya, selain tersenyum saja, sepertinya dia sudah sangat mengantuk. Mungkin juga lelah. Aku tidak tahu pastinya, tetapi saat itu Sofia langsung menutup matanya. Ia tertidur begitu pulas dan aku masih saja tak puas menatap wajah cantiknya ketika ia tertidur.Pagi hari tiba, saat itu aku terbangun lebih dahulu, karena kumandang azan subuh. Namun, begitu melihat ke samping Sofia masih tertidur di lenganku. Melihatnya tertidur begitu pulas, rasanya menggemaskan sekali.Tanpa sadar aku malah mencium keningnya, apa lagi saat itu jarak kami memang sangat dekat. Sayangnya, saat itu Sofia malah jadi bangun.“Akang….”Sofia memanggilku, tetapi matanya masih tertutup.“Kalau ngantuk tidur lagi enggak apa-apa kok, Sayang.”“Enggak kok, Akang kenapa bangunin aku? Butuh sesuatu?” tanya Sofia.“Enggak butuh apa-apa. Ini sudah masuk waktu subuh.”“Hah, masa?”
“Cie, salting ya!” godaku.“Siapa yang salting biasa aja kok,” elak Sofia sambil berusaha menolehkan wajahnya ke arah lain.Jelas-jelas ia sedang salah tingkah, kenapa juga enggan mengakuinya. Aku yang semula sudah berada di depan, lantas kembali menyusul Sofia yang masih tertinggal di belakang.“Mau apa?” tanya Sofia yang mendadak panik.Kedua bola matanya bahkan mendadak membesar dan itu lucu. Ia tak ubahnya seperti boneka barbie koleksi Hafsah yang bermata besar.“Kepedean, siapa juga yang mau gendong kamu!”Saat itu tanpa menunggu persetujuannya, aku lantas menggandeng lengan Sofia dengan lembut. Sejenak bukannya langsung maju kami malah terpaku di tempat. Sialnya kenapa juga aku harus begitu kaku, padahal baru pegangan tangan.“Ya udah jalan!” ajakku.Sayangnya baru beberapa langkah Sofia malah terkekeh.“Kenapa kamu ketawa?” tanyaku yang kesal.
Sungguh aku tidak pernah sebahagia ini sebelumnya. Ternyata apa yang selama ini aku harapkan benar-benar terjadi. Pada akhirnya aku bisa menikahi Sofia. Meskipun harus melewati perjuangan yang panjang. Namun rasanya lega sekali bisa memiliki Sofia sebetulnya. Ia tampak sangat menggemaskan ketika malu. Sayangnya, meski ia sudah memohon padaku, pada akhirnya kami harus tetap melakukan sesi foto cium kening. Cukup mendebarkan, karena memang Ini pertama kalinya aku menyentuh perempuan. "Akang juga gugup 'kan?" bisik Sofia pelan, kala bibirku masih menempel di keningnya. "Kata siapa? Biasa aja kok nggak ada gugup sama sekali." "Jangan bohong Kang, bibirmu bergetar." "Memang terasa?” “Iya.” Seketika aku mendecak. “Namanya orang ngomong, ya bergetar kamu suka aneh ah!" Untung saja saat itu fotografer meminta kami untuk melepaskan kecupan di kening. Sungguh, lega sekali akhirnya kami bisa menyelesaikan satu sesi f
[Ya ampun Sof, enggak bisa romantis sedikit apa?][Lagian kamu aneh, tiba-tuba telepon katanya penting tahunya malah sayang-sayangan.][Emang enggak boleh?][Enggak boleh.][Pelit amat.][Sabar! Ya sudah kamu matikan deh, kalau enggak ada yang penting!][Kenapa buru-buru amat sih, kamu yang matikanlah!][Tanganku lagi di henna.][Oh gitu, ya sudah vidio call sebentar! Aku pengen lihat.][Enggak bisa.]Tiba-tiba saja suara tertawa terdengar di saat aku kesal karena Sofia lagi-lagi menolak menunjukkan hennanya.[Kamu ketawa?] tanyaku.[Bukan aku yang ketawa, Musa.][Terus siapa?][Tadi 'kan aku bilang lagi lukis henna.]Ya Tuhan jadi dari tadi percakapan kami didengar oleh orang lain? Sumpah malu sekali. Apalagi orang itu sepertinya masih saja menertawakan kami.Sebelum semua hal menjadi kacau aku segera mematikan panggilan tersebut. Bahkan, aku sampai lupa mengucap sa
“Aku cuma bercanda kok. Hehehe. Memangnya kamu beli di mana, aku jadi penasaran juga!”“Enggak beli, dikasih.”“Dikasih siapa?” “Calon istri.”Uhuk-uhuk!”Seketika itu juga Sabrina malah terbatuk, padahal ia tidak sedang minum atau menelan sesuatu. Saat itu, karena ia cukup lama terbatuk, sontak saja suaranya yang keras mengundang rasa penasaran orang sekitar. Saat itu juga kami menjadi perhatian semua orang.Dari pada memicu kesalahpahaman semua orang, aku memilih menunggalkan air mineral yang kebetulan memang belum aku buka untuknya. “Minum!”Pergi, menurutku adalah pilihan yang terbaik.Lagi pula, di antara kami juga tidak ada hal penting yang perlu dibicarakan.“Musa, makasih!”Sialnya aku sudah melangkah cukup jauh, ternyata gadis itu masih saja mengikuti. Aku sudah malas sekali menjawab pertanyaannya itu.“Kamu akan menikah bukan? Kapan?”“Lusa.”“Kenapa aku enggak diundang?”“Seharusnya kamu tahu ala
[Aku pikir kamu akan setuju, baguslah kalau kamu tidak mengizinkannya.][Aku hanya realistis.][Realistis atau cemburu?][Aku enggak cemburu. Seharusnya kamu tahu langkah apa yang harus kamu ambil. Rasa sayang itu kan bisa tumbuh dari rasa kasihan juga. Aku hanya menghindari hal itu. Aku pikir seharusnya Musa, lebih tahu langkah apa yang harus diambil, jika dihadapkan pada hal seperti itu. Kenapa malah tanya aku?][Kamu tahu kenapa aku bertanya padamu?][Kenapa?][Aku hanya ingin tahu, apakah kamu juga menginginkan pernikahan ini.][Terus sekarang udah dapat jawabannya belum?][Sudah.][Apa?][Aku sikapmu yang tegas.][Aku mah enggak munafik, berpura-pura baik tapi di balik itu aku harus menahan kesal, karena membiarkanmu bertemu dengan wanita yang jelas-jelas menyukaimu.][Hehe.][Jangan ketawa!][Sudah ketawa!][Enggak ada yang lucu.][Ada, kamu lucu sekali Sofia. Aku su
“Jadi, bagaimana Pak Musa?”“Saya tetap mengajukan resign.”“Kalau begitu mungkin tanggalnya bisa diganti untuk 1 bulan ke depan.”“Oke, tapi tolong saya ambil cuti 3 hari untuk tanggal 20, 21 dan 22 Juni.”“Baik Pak.”Saat itu aku keluar ruangan dengan perasaan yang entah. Rasanya kesal sekali, aku seperti sedang dipermainkan. Tadinya niatku ingin langsung berbenah pada akhirnya aku harus kembali kerja. Apa lagi itu sepertinya Pak Hamzah memberikan kasus yang berat.Manusia satu ini rupanya masih saja belum menyerah. Lagi pula untuk apa memperjuangkan hal yang sebenarnya sia-sia. Hanya akan buang-buang waktu.Ada banyak lelaki di dunia ini, kenapa harus memaksaku untuk menyukai keponakannya.~Di jam makan siang aku memutuskan untuk menghubungi orang tuaku, tentang prosedur pengunduran diri yang mendadak berubah.[Ya sudah, itu terserah kamu saja. Bunda sama ayah enggak pernah maksa kamu buat
Bunda malah melarikan diri, menyebalkan sekali. Sayangnya saat itu ia malah dihalangi ayah.“Musa, pasangan yang mau nikah itu biasanya banyak godaan. Kuat-kuatan kitanya aja.”“Iya, Yah.”“Kamu yakin mau ke Bali sendirian?”“Yakin, Yah. Aku juga udah biasa bolak-balik sendiri kok.”“Ayah tahu, tapi kalau memang kamu butuh teman ngobrol selama di perjalanan, ajak aja Sean. Dia juga udah mau lulus sekolah, sekalian refreshing juga ‘kan?”“Tapi, tiket pesawatnya ‘kan cuma untuk satu orang.”“Aku bisa ke sana sendiri kok, nyusul juga enggak apa-apa,” sahut Sean yang saat itu kebetulan memang berada tak jauh dari tempat kami berbincang.Sebelumnya Sean memang sering kuajak ke Surabaya jika liburan tiba. Jadi, sebenarnya aku tidak terlalu khawatir jika ia akan tersesat nanti.“Tuh anaknya aja mau.”“Sekalian nyari kerjaan di sana. Barang kali aja dapat,” ucap Sean.Tahun ini Sean memang bar