Untung saja saat itu Pak Polisi cukup bijak untuk mengambil keputusan memisahkan Kang Yana dari kami. Kang Yana sepertinya dibawa ke ruangan khusus. Mungkin saja dia akan diisolasi. Mengingat ia begitu agresif.
"Ibu benar diancam akan dibunuh?" tanya petugas polisi perempuan yang saat itu membantu teh Safira bangun.
"I-iya Bu."
Teh Safira masih terlihat ketakutan. Bicaranya saja sampai terbata-bata.
"Ibu tenang Ya di sini Bu Aman kok."
"Tetap saja Bu, saya takut kalau suami saya keluar dari penjara. Malah aja nekat buat menyakiti anak-anak saya."
"Ibu juga bisa kok melaporkan kasus ini sebagai kekerasan dalam rumah tangga. Nanti kami proses. Kemungkinan suami Ibu bisa kena pasal berlapis."
"Saya enggak punya biaya untuk mengurusnya. Bukankah semuanya juga butuh biaya?"
Polisi itu terdiam.
"Nggak papa saya memang pantas kok menerima hukuman ini."
"Teh Safira maaf, kalau saya memotong pembicaraan. Setelah mendengar
“Ayah yakin? Aku enggak bisa jamin dapet lawan yang seimbang. Di sana mah enggak resmi, bisa dikatakan ilegal. Tempatnya aja enggak jelas. Kadang pindah-pindah, karena sering di razia.”“Kamu meragukan Ayah? Memangnya siapa yang ngajarin kamu bela diri Musa?”Anak itu malah tersenyum sambil menggaruk tengkuknya. Jelas-jelas aku yang mengajarkannya taekwondo.“Ayah ‘kan akhir-akhir ini jarang kelihatan latihan. Aku cuma khawatir kalau dapet lawan yang jago. Bukannya dapat solusi buat beli rumah. Malah jadi masalah baru.”“Sudah yakin aja dulu. Kamu jangan lupa bantu doa!”“Kalian merencanakan apa? Kenapa kamu sampai minta bantu doa segala?” tanya Lara.Entah sejak kapan Lara berada di sana. Membuat kami tegang saja. Baik aku maupun Musa bahkan hanya bisa terpaku di tempat masing-masing. Takut jika pembicaraan kami terdengar olehnya.“Kenapa pada diem?” tegas
“Harus sekarang juga Kang pulangnya?” tanya Lara.“Kenapa memang?”“Baru juga pulang salat ied.”“Ya enggak apa-apa mumpung jalanan biasanya masih sepi.”“Oh gitu.”“Iya.”“Waalaikumsalam kalau gitu.”Saat itu giliran aku yang mengulurkan tangan pada Lara.“Salim?”Lara awalnya ragu, tetapi kemudian ia tetap menarik lengan dan menciumnya dengan takzim.“Nanti kabarin ya, kalau menang atau kalahnya.”“Pasti menang.”“Ayah dari dulu emang paling jago.”Ternyata Musa tidak benar-benar membenci ayahnya. Ia hanya marah dan mencoba protes atas ketidakadilan yang kulakukan pada Lara dan keluargaku.Untunglah jalanan di kota masih lenggang. Kebanyakan orang-orang masih silaturahmi dengan tetangga dekat dan ziarah ke pemakaman. Lagi pula hanya sedikit orang
“Itu dari tadi neleponin terus. Dari siapa sih?” “Biasalah.” “Alah kayak orang kasmaran aja kamu, Jim.” “Biarin aja sih.” “Ya sudah istirahat sana! Udah sampai ini.” Kala itu sudah pukul 12 malam, sepertinya Lara juga sudah terlelap makanya ia tidak lagi berusaha menghubungiku. Saat itu aku memilih untuk menghubungi Musa lebih dahulu. [Musa semuanya aman ‘kan? Kok Bunda nelepon ayah sampai puluhan kali?] [Aduh gawat Yah, bunda udah tahu kalau ayah ikut pertandingan.] [Kok bisa?] [Waktu aku lagi lihat live streaming yang tanding sebelum ayah, malah ketahuan sama bunda.] [Emangnya kamu nonton di mana?] [Di kamar kok, waktu aku lagi pergi ke toilet bunda malah masuk ke kamar dan enggak sengaja lihat hp aku yang nampilin muka ayah sebagai peserta yang akan tampil sesi berikutnya.] [Haduh, terus bagaimana?] [Bunda minta kami pulang saat itu juga, tapi untungnya susah
“Enggak bisa begitu dong Ndra, anakku sudah banyak. Sayang juga kalau rumah tangga kami harus berakhir.” “Lah kenyataannya istrimu mau enggak diajak bangun rumah tangga sama-sama? Orang diperjuangin juga malah tetap jual mahal.” “Masalahnya enggak sesimple itu.” “Ya apa pun itu enggak patutlah istri minta pisah kalau masih dinafkahin suami. Jangan-jangan istrimu malah udah punya yang lain di luar sana.” “Enggak mungkin Lara begitu. Orang sehari-hari dia di rumah aja.” “Sekarang mah zaman canggih. Orang di rumah aja juga ‘kan ada internet. Bisa aja sekarang selingkuh lewat hp. Chating lewat whats app ‘kan enggak ada yang tahu. Dari pada bela-belain beli rumah sampai nyelakain diri sendiri mending bawa cewek aja. Tunjukin ke dia kalau di luar sana masih banyak yang mau sama kamu. “ “Enggak bisa begitulah Ndra, Lara aja baru melahirkan. Masa aku tinggalin dia gitu aja.” “Ya lagian aneh, udah tahu baru melahirkan.
“Akutetap mau coba! Aku yakin bunda enggak mungkin secuek itu. Bunda aja masih maumenyiapkan makanan buat Ayah, walaupun ayah sama sekali enggak mau makanmasakan bunda.”“Ayahbukannya enggak mau makan. Emang sibuk aja.”“Kitatuh udah dari dulu tinggal sama-sama. Sejak kapan jadwal kerja ayah jadi maju 1jam, kalau lembur aku masih bisa maklum. Ini kenapa tiba-tiba maju 1 jam daribiasanya. Kayak enggak mungkin banget.”Biasanyaaku memang berangkat pukul 7 pagi, tetapi beberapa hari terakhir aku sudahkeluar rumah sejak pukul 6 pagi.“Yangbilang kerjanya maju 1 jam siapa? Ayah emang pengen berangkat pagi aja.”“Alasannyaapa? Jangan bilang buat menghindar dari bunda?”“Ayahmau latihan fisik buat pertandingan nanti. Ya, lari-lari kecil lumayan buatmeningkatkan stamina. Biar enggak mudah capek.”Aku&
Saat itu aku memilih untuk meninggalkan percakapan dengan Lara. Bukan untuk pergi tidur melainkan pergi ke ruangan olahraga. Berada dalam jarak yang sedekat itu dengan Lara, benar-benar menyiksa. Setidaknya aku harus berolahraga sebentar demi mengalihkan perasaan yang tiba-tiba bergejolak tak terkendali.Lara sepertinya masih memperhatikanku sampai ke halaman belakang. Namun, bedanya ia tak lagi bertanya banyak hal. Mungkin sungkan atau entah. Aku hanya ingin membuatnya mengerti jika kebaikannya yang seperti ini hanya akan membuatku semakin sulit untuk melepaskannya. Dia diam saja aku tidak sanggup melepaskan, apa lagi ia yang ia yang tiba-tiba menjadi begitu perhatian.Pukul 3 pagi aku baru selesai berolahraga. Entah mungkin karena saking lelahnya aku malah tak sengaja terlelap di matras. Sampai-sampai kalau Musa tidak membangunkan, hampir saja aku terlewat untuk menunaikan salat subuh.“Kok tidur di bawah, Yah? Nanti masuk angin loh. Mana badan udah cape
“Akang sengaja mau memanfaatkan hal itu demi mendapatkan hak asuh mereka?”“Buat apa juga Akang melakukan itu? Akang cuma belajar dari beberapa kasus perpisahan. Enggak peduli jika anak itu masih bayi atau sudah besar, jika mereka tahu kamu masih ketergantungan obat penenang mereka enggak akan menjatuhkan hak asuh sama kamu. Sekali pun Hafsah. Mereka akan menganggap kamu enggak akan mampu merawat anak-anak dengan baik, karena kesehatan kamu yang enggak stabil. Pikirkan itu baik-baik!”“Kalau enggak ada yang kasih tahu harusnya aman ‘kan?”“Tetap aja Ra, semua ada prosedur dan pertimbangan yang matang untuk memberikan hak asuh itu jatuh ke tangan ayah atau ibunya.”“Tolong kasih aku waktu.”“Sayangnya kita udah enggak punya banyak waktu. Kamu mungkin lebih mengerti jika kesehatan psikis jauh lebih sulit untuk disembuhkan. Akang tunggu keputusan kamu nanti malam.”&l
“Akang bawa motornya bakal pelan-pelan kok. Kamu tenang aja! Ayo naik! Kenapa kamu diem aja!” pintaku. Kami sudah berada di parkiran bukannya langsung sat set Lara malah menatapku sambil terkekeh. “Hm iya Kang, tapi kayaknya itu Hafsah aku aja yang gendong. Masa Akang mau nyetir sambil gendong bayi?” “Oh, iya. AstaghfirrullahAkang lupa. Ini kamu yang bawa.” Saking semangatnya pulang, aku bahkan hampir saja mengabaikan keselamatan anakku sendiri. Sepanjang perjalanan kami bahkan nyaris tak bicara apa pun. Sampai kemudian kami melewati jalanan yang lumayan rusak parah mau tidak mau meski sudah sangat pelan, tetap saja tubuh Lara ikut terguncang. Saat itu aku baru saja ingin memberi peringatan pada Lara, sampai kemudian aku merasakan tangan Lara sudah melingkar di pundakku. Bahkan aku bisa merasakan pelukannya menjadi semakin kencang seiring dengan jalanan yang rusak parah. Ah, ternyata ada berkahnya juga jalanan rusak. Aku