Terhitung sudah setengah tahun berlalu sejak Sofia pergi aku tidak pernah tahu kabar tentangnya. Sayangnya untuk mengumpulkan bukti mengenai penggelapan dana bansos tidaklah mudah, tetapi bukan berarti tidak bisa. Hanya perlu persiapan yang matang, mengingat yang aku lawan adalah pemerintah. Aku juga tidak ingin mati konyol, setidaknya mesti ada data untuk bisa menggoyahkan jabatannya. Sekedar desas-desus saja tidak cukup untuk menggulingkan Pak Erik.
Bulan berlalu hingga berganti tahun, tak menyangka, kasus itu masih saja menjadi pembahasan publik. Aku hanya menyayangkan, padahal aku sudah berkali-kali mengirimkan beberapa bukti kuat, jika Pak Erik terlibat dalam Tindakan pencucian uang. Namun, lagi-lagi ketika postingannya viral akun sosial media yang kubuat khusus untuk mengkritik pemerintah kembali terhapus.
Malam itu entah ada angin apa, tiba-tiba saja seseorang yang mengaku anak buah dari Pak Erik menghubungiku. Katanya ada sesuatu yang ingin ia bicara. Saat itu
Aku buru-buru keluar dari toilet, demi memastikan siapa sebenarnya wanita itu. Sayangnya, begitu keluar sudah tidak ada lagi orang yang masih berdiri. Semua penumpang sudah duduk di kursinya masing-masing.Aku masih belum menyerah, setelah memastikan dengan baik, jika aroma parfumnya mirip dengan yang biasa digunakan Sofia, aku memilih untuk memastikan para penumpang satu persatu. Sampai di kursi milik Rina, aku mendadak terhenti.“Kenapa sih?” tanyanya.“Kayaknya Sofia ada di kereta deh.”“Jangan halu deh, Musa!”“Serius, aku tadi ketemu di toilet?”“Hah? Terus mana orangnya?”“Bener Sofia atau hanya perasaan kamu? Jangan bilang, karena dia punya aroma parfum yang sama kamu menganggap kalau orang itu Sofia?”“Hm, itu.”“Alah, kebiasaan kamu Musa. Udah berapa kali kamu salah orang. Ya udah sana terusin aja! Aku enggak mau ikut-ikuta
Saat itu Rina malah melarikan diri. Saat aku mau mengejarnya demi memastikan dia mau atau tidak Rina malah berubah jadi galak. “Berhenti enggak! Jangan ngikutin aku lagi!” “Ya, jawab aja dulu!” “Kan udah aku nolak kamu. Kamu mah bukan mau jawaban, tapi maksa. Sana pergi, ngasih sayuran mentah aja minta pacaran! Besok aku balikin aja, aku bikin versi bala-bala yang lebih enak. Sana pergi! Jangan enggak enakkan makanya jadi orang, tolak aja maaf aku enggak mau pacaran! Gitu doang repot.” “Enggak segampang itu, aku udah coba.” “Ya, terus kalau mereka tahu kita pacaran. Apa enggak habis aku dikeroyok mereka, hah? Kamu enak aman, lah aku?” “Ya tendangin ajalah, kamu ‘kan jago taekwondo. Enggak lucu juga kalau aku kasar sama cewek. Kalau, kamu yang ngelawan, itu sebuah pembelaan dan sah-sah aja. Aku yang jamin keselamatan kamu.” “Jamin keselamatan Sofia aja kamu enggak bisa.” “Kok bahasannya jadi gini sih?” “Ya, iyala
“Harus ada alasan ‘kan? Lo tahu gue nyari dia bertahun-tahun. Gue sampai pindah jurusan biar bisa ngerti hukum, semata-mata supaya bisa membersihkan nama baik Sofia yang terlanjur jelek di mata orang-orang. Lo tahu sendiri bagaimana perjuangan gue sama keluarganya, biar dia mau balik lagi ke rumah. Ibunya aja sampai depresi gara-gara itu, kenapa enggak bilang sih, hah?”Rina malah semakin menangis.“Tolong jangan menangis. Kamu tahu aku tidak tahan dengan tangisan wanita. Bicara saja!”“Karena, aku suka sama kamu Musa.”Alasan macam apa itu.“Aku tahu udah egois banget, tapi aku uds suka kamu jauh sebelum aku mengenal Sofia.”Aku dan Rina memang berada dalam satu komunitas yang sama, sebelum akhirnya kami malah dipertemukan lagi dalam satu kelas yang sama saat SMA.“Aku selalu berpikir, dari sekian banyak kelas kenapa kita harus berada dalam kelas yang sama. Itu pasti karena
“Rina udah ih, kamunya diam dulu!”Zainab bahkan dibuat kesal, karena Rina yang masih saja terus memancing emosiku. Memangnya ada orang yang mau mengalami pelecehan.“Seharusnya dari pada menghina kamu bersyukur, karena malam itu kamu cukup beruntung. Kalau, tidak mungkin yang ada di pemakaman itu bukan Dera.”“Musa udah! Jangan diteruskan! Kamu mending pergi aja dulu! Enggak akan benar kalau kalian terus berdebat,” ucap Zainab, sembari memeluk Rina dengan begitu eratnya.“Enggak enak loh, ini kita ‘kan masih di dekat area makam. Kalian ‘kan tujuan ke sini buat ziarah. Kenapa malah ribut?” tambah Zainab.“Aku enggak akan semarah ini kalau Rina enggak keterlaluan. Bayangin aja 3 tahun dia menyembunyikan semua ini.”“Tapi, ‘kan sekarang dia udah mau jujur. Seharusnya yang kamu tanyakan, alasan apa yang membuatnya dia mau mengungkapkan semuanya hari ini, padahal
Aku tidak mengeluh, aku masih terus meneleponnya sampai akhirnya di percobaan yang ke 99 kali. Akunku malah diblokir.Sungguh saat itu rasanya aku begitu frustrasi pikiranku menemukan jalan buntu.Pada akhirnya aku hanya bisa pulang ke Bogor dengan tangan kosong. Waktu cutiku sudah habis. Jangan kira aku menyerah begitu saja. Aku berkali-kali membuat akun baru dan mencoba menghubunginya, tetapi terakhir kali ia malah menutup akunnya secara permanent.Saat itu aku benar-benar lelah, rasanya 4 tahun perjuanganku mencarinya selalu berakhir dengan cara yang sama.Pada akhirnya aku harus menghadapi kenyataan jika Sofia memang sudah tak lagi mau denganku. Sejak saat itu juga aku bersumpah untuk bekerja keras. Aku bekerja di Surabaya bersama dengan Om Hamzah. Sabrina juga ada di sana. Hubungan kami jadi lebih baik saat di kantor. Aku rasa Sabrina juga mulai berubah. Dia tidak seagresif dulu. Mungkin juga lelah, karena aku tidak pernah merespons kebaikan
“Bunda nyari kamu kok. Lagian kamu kenapa sembunyi?” tanya Sofia sambil mengusap kepala anak kecil itu dengan lembut.Saking shocknya dengan apa yang baru saja kudengar. Kelapa yang tadinya akan kuberikan pada Sofia pun terjatuh begitu saja. Sontak saja hal itu membuat Sofia yang semula tengah menenangkan anak kecil itu mengalihkan perhatiannya padaku. Ia lantas mengambil kelapa itu dan memberikannya padaku.“Kelapanya jatuh,” katanya dengan kelapa yang sudah disodorkan kepadaku.“Musa, kenapa kamu diam aja?”“Sofia, kenapa anak ini panggil kamu Bunda.”“Ya, karena dia Bunda aku.”Sofia saat itu tersenyum canggung.“Kamu sudah menikah.”“Sudah sama ayah aku.”Anak kecil itu terus saja bicara.“Ruqa, hm Bunda antar kamu ke ayah dulu ya,” ucap Sofia.Entah kenapa aku mendadak kesal dengan anak kecil yang tiba-tiba
“Kamu enggak lagi bercanda ‘kan?”“Seharusnya aku tertawa jika memang sedang bercanda.”Aku mendadak menghentikan laju kendaraan. Sofia juga sepertinya cukup terkejut dengan perhentian tiba-tiba itu.“Ada apa, Musa? Sudah sampaikah?”“Kamu sadar enggak sih apa yang baru aja kamu katakana tadi?”“Aku sadar.”“Terus kamu jawab apa? Kamu terima dia?”“Aku belum kasih jawaban. Aku rasa untuk masalah ini enggak bisa aku putuskan sendiri. Menikah itu ‘kan butuh Musa, aku harus mendiskusikan ini dengan orang tuaku.”“Oh, kebetulan sekali ya.”“Kebetulan kenapa?”“Aku mengajakmu bertemu mereka untuk meminta restu. Seharusnya kamu minta dia datang sekalian. Bukankah lebih cepat lebih baik. Aku rasa usiamu juga sudah cukup matang untuk menikah. Jangan ditunda lagi, itu enggak akan baik.”“Sudah bicaranya?”“Kenapa? Aku bicara fakta bukan?”“Kamu terus bicara tanpa mau mendengar apa yang sebenarnya terjadi.”“Bukankah kamu suka pria yang
“Kalau rumah di kampung dijual terus ibu mau tinggal di mana, Jimy? Tega kamu bikin ibu jadi gelandangan, hiks.”Lagi-lagi ibu terisak, bahkan sekarang terdengar sangat memilukan. Ia memang paling pandai menarik simpati orang lain. Mungkin saja sekarang baik Hamzah maupun polisi menjadi kasihan.“Mereka yang minta ibu buat jual angkot, Jim. Ibu juga tadinya mah enggak mau.”“Ibu ‘kan orang tua, bukan anak kecil. Mereka juga anak-anak ibu. Ibu harusnya bisa nolak, kalau butuh uang kenapa enggak jual emas atau rumah aja sekalian? Kenapa malah jual barang-barang punya aku?”Entahlah aku bahkan tidak bisa mempercayainya lagi. Tak peduli dia berkata jujur atau tidak aku akan tetap meminta ganti rugi apa-apa yang telah mereka ambil. Setidaknya meski mereka juga tak akan menggantinya secara utuh, minimal ini akan jadi teguran keras agar ke depannya mereka tidak sembarangan merampas hak orang lain. Apa lagi hanya karena keluarga sendiri mereka merasa berh