“Harus ada alasan ‘kan? Lo tahu gue nyari dia bertahun-tahun. Gue sampai pindah jurusan biar bisa ngerti hukum, semata-mata supaya bisa membersihkan nama baik Sofia yang terlanjur jelek di mata orang-orang. Lo tahu sendiri bagaimana perjuangan gue sama keluarganya, biar dia mau balik lagi ke rumah. Ibunya aja sampai depresi gara-gara itu, kenapa enggak bilang sih, hah?”
Rina malah semakin menangis.
“Tolong jangan menangis. Kamu tahu aku tidak tahan dengan tangisan wanita. Bicara saja!”
“Karena, aku suka sama kamu Musa.”
Alasan macam apa itu.
“Aku tahu udah egois banget, tapi aku uds suka kamu jauh sebelum aku mengenal Sofia.”
Aku dan Rina memang berada dalam satu komunitas yang sama, sebelum akhirnya kami malah dipertemukan lagi dalam satu kelas yang sama saat SMA.
“Aku selalu berpikir, dari sekian banyak kelas kenapa kita harus berada dalam kelas yang sama. Itu pasti karena
“Rina udah ih, kamunya diam dulu!”Zainab bahkan dibuat kesal, karena Rina yang masih saja terus memancing emosiku. Memangnya ada orang yang mau mengalami pelecehan.“Seharusnya dari pada menghina kamu bersyukur, karena malam itu kamu cukup beruntung. Kalau, tidak mungkin yang ada di pemakaman itu bukan Dera.”“Musa udah! Jangan diteruskan! Kamu mending pergi aja dulu! Enggak akan benar kalau kalian terus berdebat,” ucap Zainab, sembari memeluk Rina dengan begitu eratnya.“Enggak enak loh, ini kita ‘kan masih di dekat area makam. Kalian ‘kan tujuan ke sini buat ziarah. Kenapa malah ribut?” tambah Zainab.“Aku enggak akan semarah ini kalau Rina enggak keterlaluan. Bayangin aja 3 tahun dia menyembunyikan semua ini.”“Tapi, ‘kan sekarang dia udah mau jujur. Seharusnya yang kamu tanyakan, alasan apa yang membuatnya dia mau mengungkapkan semuanya hari ini, padahal
Aku tidak mengeluh, aku masih terus meneleponnya sampai akhirnya di percobaan yang ke 99 kali. Akunku malah diblokir.Sungguh saat itu rasanya aku begitu frustrasi pikiranku menemukan jalan buntu.Pada akhirnya aku hanya bisa pulang ke Bogor dengan tangan kosong. Waktu cutiku sudah habis. Jangan kira aku menyerah begitu saja. Aku berkali-kali membuat akun baru dan mencoba menghubunginya, tetapi terakhir kali ia malah menutup akunnya secara permanent.Saat itu aku benar-benar lelah, rasanya 4 tahun perjuanganku mencarinya selalu berakhir dengan cara yang sama.Pada akhirnya aku harus menghadapi kenyataan jika Sofia memang sudah tak lagi mau denganku. Sejak saat itu juga aku bersumpah untuk bekerja keras. Aku bekerja di Surabaya bersama dengan Om Hamzah. Sabrina juga ada di sana. Hubungan kami jadi lebih baik saat di kantor. Aku rasa Sabrina juga mulai berubah. Dia tidak seagresif dulu. Mungkin juga lelah, karena aku tidak pernah merespons kebaikan
“Bunda nyari kamu kok. Lagian kamu kenapa sembunyi?” tanya Sofia sambil mengusap kepala anak kecil itu dengan lembut.Saking shocknya dengan apa yang baru saja kudengar. Kelapa yang tadinya akan kuberikan pada Sofia pun terjatuh begitu saja. Sontak saja hal itu membuat Sofia yang semula tengah menenangkan anak kecil itu mengalihkan perhatiannya padaku. Ia lantas mengambil kelapa itu dan memberikannya padaku.“Kelapanya jatuh,” katanya dengan kelapa yang sudah disodorkan kepadaku.“Musa, kenapa kamu diam aja?”“Sofia, kenapa anak ini panggil kamu Bunda.”“Ya, karena dia Bunda aku.”Sofia saat itu tersenyum canggung.“Kamu sudah menikah.”“Sudah sama ayah aku.”Anak kecil itu terus saja bicara.“Ruqa, hm Bunda antar kamu ke ayah dulu ya,” ucap Sofia.Entah kenapa aku mendadak kesal dengan anak kecil yang tiba-tiba
“Kamu enggak lagi bercanda ‘kan?”“Seharusnya aku tertawa jika memang sedang bercanda.”Aku mendadak menghentikan laju kendaraan. Sofia juga sepertinya cukup terkejut dengan perhentian tiba-tiba itu.“Ada apa, Musa? Sudah sampaikah?”“Kamu sadar enggak sih apa yang baru aja kamu katakana tadi?”“Aku sadar.”“Terus kamu jawab apa? Kamu terima dia?”“Aku belum kasih jawaban. Aku rasa untuk masalah ini enggak bisa aku putuskan sendiri. Menikah itu ‘kan butuh Musa, aku harus mendiskusikan ini dengan orang tuaku.”“Oh, kebetulan sekali ya.”“Kebetulan kenapa?”“Aku mengajakmu bertemu mereka untuk meminta restu. Seharusnya kamu minta dia datang sekalian. Bukankah lebih cepat lebih baik. Aku rasa usiamu juga sudah cukup matang untuk menikah. Jangan ditunda lagi, itu enggak akan baik.”“Sudah bicaranya?”“Kenapa? Aku bicara fakta bukan?”“Kamu terus bicara tanpa mau mendengar apa yang sebenarnya terjadi.”“Bukankah kamu suka pria yang
“Kalau rumah di kampung dijual terus ibu mau tinggal di mana, Jimy? Tega kamu bikin ibu jadi gelandangan, hiks.”Lagi-lagi ibu terisak, bahkan sekarang terdengar sangat memilukan. Ia memang paling pandai menarik simpati orang lain. Mungkin saja sekarang baik Hamzah maupun polisi menjadi kasihan.“Mereka yang minta ibu buat jual angkot, Jim. Ibu juga tadinya mah enggak mau.”“Ibu ‘kan orang tua, bukan anak kecil. Mereka juga anak-anak ibu. Ibu harusnya bisa nolak, kalau butuh uang kenapa enggak jual emas atau rumah aja sekalian? Kenapa malah jual barang-barang punya aku?”Entahlah aku bahkan tidak bisa mempercayainya lagi. Tak peduli dia berkata jujur atau tidak aku akan tetap meminta ganti rugi apa-apa yang telah mereka ambil. Setidaknya meski mereka juga tak akan menggantinya secara utuh, minimal ini akan jadi teguran keras agar ke depannya mereka tidak sembarangan merampas hak orang lain. Apa lagi hanya karena keluarga sendiri mereka merasa berh
Ya tuhan aku bahkan sampai lupa untuk meminta nomornya. Namun, siapa yang menyangka kalau sekarang ia malah mengirimkan pesan padaku.Aku masih tidak percaya, apakah ini mimpi? Demi meyakinkan diri aku mencubit pergelangan tangan. “Ah! Kok sakit.”Jersey mana jersey? Ia membelikan semua barang yang aku sukai, dari mulai jersey bola basket juga ada. Aku memang suka berolahraga terutama sepak bola dan basket. Meskipun bolanya sudah kempes itu masih tidak masalah sama sekali. Aku bisa memompanya lagi. Namun, yang paling special di sini. Bisa-bianya Sofia mengingat semuanya dan berusaha memberikannya di kemudian hari.Tadinya aku ingin mengucapkan rasa terima kasihku. Sayangnya sudah 10 menit berlalu, aku masih tidak tahu akan mengirimkan pesan apa padanya. Lagi-lagi pesannya dihapus.[Kamu sebenarnya mau ngetik apa Musa, kenapa enggak jadi-jadi?]Sofia malah kembali mengirimkan pesan. Membuatku malu saja, kalau begini ketahuan kala
“Kamu mungkin jijik, tapi aku enggak. Kamu pikir alasanku sendiri sampai hari ini kenapa? Itu semua juga, karena kamu. Jadi, bagaimana bisa aku melepaskanmu kali ini. Kecuali, kamu milik orang lain, mungkin aku akan mengikhlaskanmu walau berat. Namun, jika sama-sama sendiri, jangan minta aku buat nyerah.”“Tapi, keluargamu bagaimana?”“Memangnya tadi sikap ayah dan bunda ke kamu bagaimana? Mereka enggak berubah sedikit pun bukan?”“Tapi, siapa yang tahu hati seseorang Musa. Mereka mungkin masih menyambutku sebagai temanmu, tetapi mungkin akan lain cerita kalau aku menjadi istrimu.”“Kamu tahu, siapa yang menenangkan ibumu waktu dia hampir depresi karena kehilangan putrinya?”“Siapa?”“Bunda.”“Bundamu masih sebaik itu sama aku?”“Ya, dia juga ikut kehilangan waktu kamu memutuskan untuk pergi dari rumah. Bisa, ya. Aku harap pekan depan kamu sudah ada di rumah.”“Tapi, aku hanya seorang babby sitter. Apa
“Justru kedatangan saya ke sini untuk bermaksud untuk melamar Sofia, Pak.”“Loh, bagaimana? Melamar Sofia untuk jadi apa, Pak Amar?”“Untuk jadi istri sekaligus Bunda dari Ruqa.”“Sebentar Pak Amar, kenapa jadi mendadak begini ya?”“Memangnya Sofia enggak cerita soal ini, ke Bapak dan Ibu?”“Sofia, kenapa kamu enggak bilang apa pun soal lamaran ini? Bapak sama Ibu sama sekali gak tahu.”“Maaf Yah, Sofia juga sebenarnya sudah membicarakan semua ini sama Pak Amar langsung. Sofia juga bingung, kalau tiba-tuba Pak Amar nekat datang ke sini dan membicarakan langsung sama Bapak dan Ibu.”“Bukankah kemarin kamu bilang, lagi pula saya perlu membicarakan hal ini pada ayah dan ibu. Jadi, sekalian saja mumpung orang tua kamu di sini. Saya ingin meminta izin secara langsung.”Entah kenapa kebanyakan orang kaya todak tahu diri. Sudah ditolak pun masih keras kepala.“Bukannya kemarin Sofia udah nolak?” tanyaku.