Malamnya, aku hampir tak bisa tidur sebab wajah Lisa seperti hantu. Kemana mata ini memandang, maka di situlah dia berada.Citra di depan mata, tapi yang tampak adalah wajah Lisa. Melihat jam di dinding, maka senyum Lisa lah yang terlihat lagi dan lagi.Pada kenyataannya, Lisa memang lebih menarik dan menantang, saat telah menjadi mantan. Jauh lebih menarik dari sebelum ia kuperistri.Semua yang ada padanya, rasanya sulit untuk kulewatkan. Terlebih lagi saat melihat Mirza memperlakukannya bak berlian.Bukankah Lisa perempuan yang mandiri, dulu? Apa pun, ia bisa melakukannya sendiri. Bahkan ketika ada genteng bocor pun ia yang naik dan memperbaiki.Ia hampir tak pernah mengeluhkan apa pun, kecuali saat aku mulai mencurangi pernikahan kami, dengan memangkas uang belanja untuknya. Ah, tapi itu kan buat Mama juga, orang yang sudah melahirkan aku. Mestinya tak perlu ditanggapi berlebihan, apalagi sampai pisah kayak sekarang, hingga anak-anak jadi korban.Konyol juga kalau ingat kejadian di
."Pulanglah."Awalnya, Citra hendak menunggu hingga jam kerjaku berakhir. Sebenarnya tak masalah, sebab di sini pun ada kantin, ia bisa menunggu di sana sambil menikmati menu yang dijual ibu kantin.Atau di perpustakaan pun bisa, sambil nunggu, bisa sambil baca-baca. Hanya saja, aku tak bisa tenang jika ia berada di tempat kerjaku."Aku nggak apa-apa, kok, Mas. Nunggu di mobil pun nggak masalah."Ia masih bersikeras. Aku menghela napas lelah, lalu mencari cara bagaimana membujuknya. Dan lagi, aku bertanya-tanya, ada apa dengannya hingga ingin menungguiku di sini?"Mas nggak tenang, dong, kalau kamu nunggu di mobil. Sekarang kamu pulang dulu, ya, Mas masih ada kerjaan yang harus diselesaikan. Gimana?" bujukku lagi.Terlihat ia berpikir sejenak, lalu mengangguk patuh, meski dengan syarat.Ada-ada saja ulahnya yang bikin aku geleng kepala. Kuhela napas lega saat akhirnya ia melajukan kembali mobilnya ke arah pulang.
POV LisaBeberapa Minggu ini, entah kenapa aku jadi sering terhubung dengan Citra, istri baru Mas Ari.Yang awalnya tak sengaja bertemu di toko oleh-oleh saat sedang mengirim beberapa stok makanan ringan, hingga bertemu di butik yang belum lama ini kukelola.Ia begitu antusias saat tau aku memiliki usaha catering, hingga ia minta diajari membuat beberapa jenis. Seminggu terakhir, ia minta diajari membuat bolen pisang coklat, yang notabene jadi menu andalan di dapur kueku.Tak masalah bagiku berbagi ilmu, toh aku juga awalnya belajar dari yang lebih ahli, lalu otak-atik resep, hingga mendapatkan takaran yang sesuai lidah konsumen. Alhamdulillah bolen pisang yang awalnya kujadikan bonus saat ada pesanan, mulai dilirik oleh pelanggan.Citra begitu gembira saat belajar membuat bolen di dapurku. Sampai akhirnya ia berhasil, ia terlihat bahagia luar biasa."Aku mau kasih ini ke Mas Ari sekarang, Mbak. Dia pasti senang dapat k
"Mbak, aku kangen," bisiknya, dengan tangan masih melingkar di pundakku.Lihatlah lelaki ini, suka sekali membisikkan kalimat ini jika sedang bersama. Terlebih jika tak bertemu sehari penuh seperti sekarang. Terkadang ini menjadi suatu kode, kalau ia hendak meminta haknya sebagai seorang suami.Kusadari pipiku terasa hangat. Meski aku bukan lagi anak abege, tetap saja merasa tersipu oleh ungkapannya."Anak-anak, masih di dalam?" tanyanya, kemudian melabuhkan kecupan singkat di puncak kepalaku. Aku mengangguk mengiyakan.Kami berjalan beriringan memasuki butik, lantas mencari dua bocil. Mereka sedang sibuk menonton kartun saat kami tiba di ruanganku. Keduanya menyalami sang ayah, lalu mencium punggung tangan dengan takdzim.Yang terlihat selanjutnya ialah pemandangan yang membuat hati merasa hangat, melihat keakraban ayah dan anak. Arsy dan Arkan berebut perhatian dengan bercerita kegiatan mereka sejak pagi hingga sore ini.Mas Mi
"Aku nangis karena terharu sama kebaikan kamu, Mas," jawabku dengan suara yang mulai parau. Ia melintangkan jari telunjuknya di bibirku."Ssttt … apa kamu lupa, kalau mereka anakku juga?"Ia menyipitkan mata. Aku menggelengkan kepala. Mendengar ucapannya, justru air mataku kian deras. Jika ada anak-anak yang beruntung dengan adanya ayah sambung, maka kupastikan kalau anak-anakku adalah salah duanya.Aku berharap dan terus berdo'a, semoga seterusnya Mas Mirza akan tetap seperti ini, menjadi ayah yang sebenarnya bagi Arsy dan Arkan. Setidaknya agar kekhawatiran Mas Ari terpatahkan."Ibu, ini besok dicuci dulu, ya?" seru Arsy, membuyarkan momen penuh haru ini. Kami berdua kompak menjauhkan diri. Gegas kususut bulir bening yang masih menganak sungai. Tangan Mas Mirza menepuk punggungku beberapa kali, lalu meletakkan di pangkuan."Iya, Sayang. Sekarang istirahat dulu, ya," jawabku."Iya, Bu.""Udah bilang makasih be
Keesokan harinya, aku terbangun dengan kepala yang terasa menempel dengan bantal. Seakan ada lem kuat yang merekatkan kepala ini dengan benda berisi dakron tersebut. Memejamkan mata lebih lama, lalu beringsut bangun. Aku memijit pelipis perlahan, masih dengan mata terpejam.Meraba leher, terasa olehku kalau suhu tubuh tengah naik. Apakah aku demam? Dan ini, oh, kenapa perutku seperti diaduk-aduk?Mencoba mengingat, apakah semalam aku salah makan, ataukah ini hanya masuk angin saja, sebab semalam kena angin hingga jam sepuluh?Tak tahan lagi, segera saja aku berlari ke wastafel, mengeluarkan desakan lahar dari lambung yang mendesak tak sabar. Namun, hanya cairan kuning yang keluar dari sana, menyisakan rasa pahit di pangkal lidah.Mas Mirza yang muncul di depan pintu langsung menghampiri dengan raut cemas. "Mbak, kamu kenapa?" Lelaki tiga puluh lima tahun itu masih mengenakan baju koko dan sarung. Nampaknya ia baru pulang dari masjid. Kening dan leherku diperiksa dengan punggung tang
Berempat kami menuju klinik terdekat. Badanku terasa lebih baik, meski masih lemas tak bertenaga. Bakso yang dibawakan Mas Mirza, nyatanya tetap tak diterima oleh lambungku.Ia merasa bersalah, meskipun aku mengatakan tak apa-apa. Biasanya memang tak apa, aku menyukai makanan itu dan menyantap sepenuh hati tadi.Hanya saja, entah apa yang terjadi. Mungkin asam lambungku kembali naik, karena beberapa hal yang mengganggu pikiran.Segelas jus wortel dan begkuang yang lezat dibuatkan khusus untukku, yang langsung kuhabiskan. Rasanya badanku jauh lebih baik, hingga ia tak menunda membawaku ke dokter, supaya segera diketahui apa sakitku.Sepertinya keberuntungan sedang berpihak. Hanya beberapa orang yang duduk antri di ruang tunggu. Mas Mirza pun sudah mendaftar online, jadi tinggal menunggu waktu untuk dipanggil.Sekitar lima belas menit duduk di sana, namaku pun disebut, membuatku bergegas memasuki ruang periksa, dengan kedua tangan menggandeng dua bocil.Sebuah ruangan yang cukup luas, de
"Tega amat nggak mau dekat ayahnya," keluh Mas Mirza, dengan menatap lekat ke perutku yang belum terlihat buncit.Aku dapat melihat dunianya yang berderak patah pada matanya yang kelam. Meski hati dilanda rasa bersalah, tapi, hanya bisa meringis menanggapi ucapannya, sambil mengelus perut."Sabar, ya, Yah," ujarku, mencoba menenangkan. Usia kehamilanku telah memasuki bulan kelima, dan aku masih sama, tak mau dekat dengannya. Kecuali … ."Apakah ini akan berjalan selama kehamilan?" ucapnya, serupa putus harapan.Mama mertua, yang kebetulan sedang berkunjung pun tertawa kecil, lalu berkata, "sabar, Mirza. Nanti juga normal lagi, seiring bertambahnya usia janin."Sosok berhidung mancung itu mengangguk-anggukkan kepalanya."Baiklah, aku akan sabar menunggu," ucapnya pelan."Aku bisa gila kalau lama-lama jauh sama kamu, Mbak," ucap Mas Mirza malam harinya, saat tinggal kami berdua yang terjaga. Aku mulai beradaptasi dengan perubahan kondisi tubuh, serta mood yang naik turun. Meski demikian
Ekstra partUsia Arsy kini sudah menginjak angka lima belas tahun. Ia menempuh pendidikan di pesantren yang sama dengan adiknya, Arkan.Akhir pekan ini, mereka libur selama tiga hari. Lisa dan Mirza menjemput mereka, karena tak sanggup lagi menahan rindu yang terus bertumpuk.Rasa rindu yang besar pula, membawa keluarga kecilnya menuju kediaman Dirga, ingin bertemu dan melepas rindu pada si kecil Wahyu. Awal perginya Rahmi, Lisa ingin membawa keponakannya supaya tinggal bersamanya, lalu tumbuh besar bersama Najwa dan Alif. Namun, melihat rasa kehilangan dan kasih sayang yang besar dari Dirga serta keluarga besarnya, membuat Lisa mengurungkan niat. Ia lebih memilih sering menjenguk keponakannya yang menjadi piatu di usia yang sangat muda.Kedatangan mereka disambut antusias oleh Wahyu, yang segera bermain dengan keempat sepupunya. Terlebih dengan si kecil Alif yang berusia dua tahun di bawahnya. Sekitar satu jam kemudian, sebuah mobil berhenti di h
Tiga hari di rumah sakit, Citra diijinkan pulang. Tetangga dan kerabat dekat mulai berdatangan untuk menjenguk, demikian pula dengan Lisa. Bersama ketiga anaknya serta suami tercinta, mereka menjenguk dan berdoa untuk kesembuhan Citra.Melihat keluarga mantan istrinya, Ari diserang rasa iri yang besar. Iri sebab Lisa dikelilingi oleh anak-anak yang manis dan penurut. Ia menganggap Lisa dan Mirza berhasil sebagai orang tua, sebab kedua anaknya tumbuh sebagai anak yang santun, selain itu juga hafalan Alquran kian bertambah.Arsy bercerita tentang rencana masuk ke pesantren setelah lulus SD nanti, begitu pula dengan Arkan. Hal ini membuat hati Ari sedikit tenang, karena kebersamaan anaknya yang beranjak remaja dengan ayah sambungnya tentu berkurang banyak.Ari mendukung penuh rencana anaknya. Tak lupa ia mengucapkan terima kasih karena Mirza telah menjalankan peran sebagai ayah dengan baik. "Ayah, nanti libur sekolah aku mau dikhitan," lapor Arkan pada ayahnya."Wah, hebat, anak ayah sud
Keesokan harinya, teman-teman Citra mulai berdatangan menjenguk ke rumah sakit. Sebuah foto selang infus yang dipajang di story WhatsApp lah, yang membuat Ratna mencari tahu, lantas memberi kabar pada teman yang lain.Wajah cantik Citra yang semalam suram karena bertemu dengan Papanya, kini terlihat semringah. Kehadiran teman-teman nongkrongnya telah memberikan suntikan semangat tersendiri bagi proses kesembuhannya."Aku harap ini bukan awal dari karma karena kamu sengaja pakai IUD secara sembunyi-sembunyi," bisik salah salah satu temannya saat berpamitan.Citra mendelik tajam, sementara Dita justru melengkungkan senyum. Wanita yang berbaring di ranjang pasien itu tak menyangka kalau di antara sepuluh orang yang datang, ada satu yang berprasangka dan membisikkan kalimat mematikan. "Jaga bicaramu. Semua orang punya potensi disambangi penyakit ini. Aku salah satunya. Jangan sampai kamu juga mengalami kesakitan yang sama," desis Citra, menatap wajah
"Lisa, sebenarnya aku penasaran, kenapa kamu pergi berempat, kemana suami kamu?"Putri bertanya dengan menatap intens sahabatnya itu. Pemilik tahi lalat di sudut dagu itu beberapa kali melihat Lisa menatap kosong ke arah anak-anaknya yang sedang bermain. Tak dipungkiri kalau hatinya cemas, sebab tak biasanya Lisa seperti ini. Bahkan ketika ia menemukan Mawar di rumahnya, Lisa terlihat baik-baik saja. Tapi sekarang … .Pada saat itu pula ponsel Lisa berbunyi. Seketika ia membulatkan bola mata saat membaca pesan dari sang suami. Ekspresinya tentu saja terbaca oleh sosok yang duduk di depannya.Merasa sedang diperhatikan, Lisa melukis senyuman, "Sebentar lagi Mas Mirza ke sini. Nggak usah kuatir, Putri.""Bener, ya, kalian nggak apa-apa?" curiga Putri. Ia mengenal sahabatnya dengan baik. Istri dari Arlan itu meyakini telah terjadi sesuatu hingga membuat Lisa tertegun beberapa kali, meski memasang wajah terbaik sejak mereka bertemu. Terlebih saat mendengar kabar kehamilan yang dia sampaika
Kini Lisa telah tiba di rumah adiknya. Rumah besar itu langsung ramai dengan celotehan para bocil. Dirga langsung mengambil alih anak-anak saat melihat mereka mulai jenuh, sekaligus membiarkan sang istri bebas mengobrol dengan kakaknya.Rahmi bercerita banyak hal tentang bayinya, juga suka duka sebab tak bisa memberi ASI secara langsung, serta harus bangun tengah malam dan menyiapkan ASIP ke dalam botol. Tentang ibu mertua serta suami yang sering mengambil alih tugasnya sebagai ibu, memberikan waktu istirahat yang cukup untuknya, tak luput dari hal yang ia ceritakan.Sang kakak mendengarkan dengan sabar. Sesekali menimpali curahan hati adik bungsunya."O iya, Mas Mirza kok, nggak ikut, Mbak?" celetuk Rahmi tiba-tiba."Eh, lagi ada perlu, Dek," jawab Lisa apa adanya.Ibu tiga anak itu pun membiarkan adiknya istirahat saat Rahmi mulai menguap.Kini Lisa duduk di hadapan sang ibu, sementara ketiga anaknya diajak bermain oleh Dirga. Meski wajahnya tersenyum, tapi, kegelisahan hati sang ana
Beberapa hari lagi pesta pernikahan Mawar akan digelar. Akan tetapi, agenda itu terlupakan oleh Lisa, karena sibuk dengan adiknya yang baru bersalin dan butuh donor ASI.Istri dari Mirza itu justru harus merelakan kepergian sang suami ke luar kota selama dua hari di akhir pekan ini."Hanya sebentar. Nanti kalau sudah selesai, secepatnya bakalan pulang, kok," pamit Mirza, menyisakan cemas di hati sang istri.Pasalnya, lelaki bermata elang itu terlihat kurang sehat saat berangkat. Dan lagi, kenapa akhir pekan yang dipilih untuk pergi?Namun, setelah diyakinkan berulang kali kalau semua akan baik-baik saja, akhirnya Lisa merelakan juga kepergian ayah dari anak-anaknya. Ia hanya berharap kalau semua akan baik-baik saja..Sebuah alarm di ponselnya lah yang kemudian menjadikan pengingat hari istimewa Mawar keesokan harinya."Bagaimana ini, datang apa enggak, ya? Mas Mirza belum pulang lagi," gumam Lisa gelisah.Ibu tiga anak itu kemudian menghubungi ponsel sang suami, hendak meminta pendapa
Waktu sudah mulai malam. Kediaman Lisa mulai senyap setelah semua penghuni berada di kamar masing-masing.Istri dari Mirza itu sudah mencoba memejamkan mata, tapi belum berhasil juga. Ada banyak hal yang memenuhi pikirannya. Wajah keponakan barunya mendominasi ingatannya kali ini.Sebuah tangan melingkar di pinggangnya, membuat ia menoleh pada pemiliknya. Lalu wajah tampan suaminya, segera memenuhi ruang pandangnya."Sudah malam, masih terjaga aja kamu, Sayang," ucap Mirza masih dengan mata terpejam.Lisa sedikit terkejut saat mendapati sang suami masih terjaga. Ia pun menghela napas, lalu berkata, "Aku kepikiran Wahyu, Mas. Kasihan dia. Sudah dapat donor ASI apa belum, ya?" Lisa berucap pelan."Coba aku masih mengASIhi Najwa, ya, kurasa mereka tak akan sibuk mencari donor ASI. Aku dengan senang hati membagi ASI untuk keponakanku," ucap Lisa dengan menatap tirai jendela yang bergerak-gerak. Rupanya angin malam menyelusup masuk, hingga membuat tirai putih itu meliuk perlahan. Ada sesal
Lisa bergegas kembali ke butik. Masih banyak pekerjaan yang perlu ia selesaikan. Meski dengan rindu pada anak-anak yang terus menumpuk jika ia bepergian seorang diri seperti sekarang, tapi, ia merasa tenang sebab memiliki asisten yang bisa dipercaya.Mbak Asih meski masih muda, tapi sangat telaten menghadapi anak-anak. Pun Bu Marni, ikut andil juga dalam tumbuh kembang ketiga anaknya.Memasuki ruangan untuk beristirahat sejenak, Lisa pun membaur ke depan bersama karyawannya. Saat meneliti sebuah gaun berwarna merah marun, tiba-tiba saja Maya memberikan kode, kalau ia harus melihat ke suatu tempat.Kepala itu pun menoleh, lantas melebarkan mata sejenak, saat melihat seseorang yang sangat ia kenal berada di balik pintu kaca. Tepatnya di seberang tokonya."Itu adik Mbak Lisa, bukan?" tanya Maya dengan berbisik. Lisa mengangguk, tapi ada sedikit keraguan. Alih-alih menjawab, sosok dengan tinggi seratus enam puluh centimeter itu justru mengajukan tanya."Boleh Mbak minta tolong?" pinta Lisa
Lisa sedang memeriksa stok pakaian serta beberapa desain yang baru masuk di butiknya, saat ponselnya berdering."Mbak Lisa, keponakan kamu sudah lahir."Itulah kalimat yang pertama menyapa saat sambungan telepon tersambung. Suara yang dikenali sebagai suara Rahmi."Cowok, Mbak. Lahir normal dua jam lalu. Maaf, baru kasih kabar," sambung Rahmi lagi sebelum Lisa sempat berucap sepatah kata. Kedua sudut bibir Lisa langsung membentuk lengkungan senyum menerima kabar itu."Alhamdulillah, selamat ya, Dek. Selamat menjadi ibu," ucap Lisa dengan suara tercekat. Ia teringat perjuangan adiknya selama menjalani kehamilan. Beberapa kali harus dirawat di rumah sakit sebab lemahnya kondisi.Usai mengucapkan selamat, ia pun berjanji akan segera berkunjung setelah pekerjaannya selesai.Dan rasa bahagia sebab bertambahnya anggota keluarga baru, membuat Lisa menyelesaikan pekerjaan lebih cepat. Pucuk pimpinan Lisa Boutique itu pun segera mene