"Tega amat nggak mau dekat ayahnya," keluh Mas Mirza, dengan menatap lekat ke perutku yang belum terlihat buncit.Aku dapat melihat dunianya yang berderak patah pada matanya yang kelam. Meski hati dilanda rasa bersalah, tapi, hanya bisa meringis menanggapi ucapannya, sambil mengelus perut."Sabar, ya, Yah," ujarku, mencoba menenangkan. Usia kehamilanku telah memasuki bulan kelima, dan aku masih sama, tak mau dekat dengannya. Kecuali … ."Apakah ini akan berjalan selama kehamilan?" ucapnya, serupa putus harapan.Mama mertua, yang kebetulan sedang berkunjung pun tertawa kecil, lalu berkata, "sabar, Mirza. Nanti juga normal lagi, seiring bertambahnya usia janin."Sosok berhidung mancung itu mengangguk-anggukkan kepalanya."Baiklah, aku akan sabar menunggu," ucapnya pelan."Aku bisa gila kalau lama-lama jauh sama kamu, Mbak," ucap Mas Mirza malam harinya, saat tinggal kami berdua yang terjaga. Aku mulai beradaptasi dengan perubahan kondisi tubuh, serta mood yang naik turun. Meski demikian
"Ibu … jilbabku mana?"Suara Arsy menggema di Senin pagi. Aku yang tengah memindahkan nasi goreng ke piring, bergegas mencuci tangan, lalu menghampiri anakku yang telah tumbuh besar dan semakin tinggi."Di tempat jilbab kan, Kak?" Aku bertanya sambil masuk ke kamarnya.Gadis cantik itu masih cemberut, menunggu di depan pintu. Gegas aku meraih jilbab putih yang kutemukan di balik lemari kamar, tergantung rapi di sana.Membuka lipatan dan bersiap memakaikan padanya yang telah menyandang tas ransel, dengan wajah ditekuk. Hem, dia selalu begini jika tak segera menemukan yang dicari. "Makanya kalau nyari apa-apa itu yang teliti. Dibuka satu-satu, biar kelihatan."Terngiang lagi ucapan ibu, saat aku masih kecil dulu, yang selalu tak menemukan barang yang dicari, padahal hanya dekat saja. Lalu ibu lah yang akhirnya menjadi mata, menemukan benda apa pun yang kucari. Ah, mungkin Arsy ini bentuk lain dari diriku di masa lalu. Buah jatuh t
Lima bulan berlalu. Janin dalam rahimku kini telah lahir dan tumbuh sebagai bayi kecil nan lucu dan menyenangkan setiap mata yang melihatnya. Najwa Humaira, nama yang indah diberikan oleh sang ayah untuknya.Kehadirannya, telah memberikan warna baru di hidupku. Kedua kakaknya, meski menyambut kehadiran sang adik dengan hati gembira, nampaknya mulai muncul percikan api cemburu, karena tentu saja sebagian besar perhatianku tercurah untuk si bayi yang sedang bertumbuh dan butuh perhatian ekstra.Mas Mirza menambah lagi satu asisten, demi memudahkan aku mengurus ketiga buah hati. Hal ini membuat rasa syukurku berlipat-lipat."Aku tak mau kamu kelelahan. Jadi, tolong jangan ditolak semua ini," ujarnya saat aku menolak asisten yang ia sodorkan hari itu.Yang sebenarnya, aku takut kalau ada keluarganya yang keberatan atas kebaikannya padaku selama ini. Ia cenderung memanjakan, memenuhi semua apa yang kuinginkan, bahkan sebelum aku sempat berucap. Ia seakan bisa membaca isi hati ini.Pada akhi
Hari masih sangat muda, ketika sebuah telepon masuk ke ponselku. Deringnya yang menjerit tak sabar, seketika menghentikan kegiatanku menyusun piring di meja.Bu Joko?"Mbak Lisa, saya pesan arem-arem sama risoles, masing-masing seratus, ya. Buat nanti jam dua belas siang. Bisa, kan, Mbak?"Pertanyaan Bu Joko membrudul setelah kujawab salamnya. Niat hati bersantai di hari libur, tapi hendak menolak juga sungkan sebab sudah langganan.Dengan tangan kiri memegang ponsel, aku memeriksa isi kulkas. Sayur ada, daging ayam fillet masih cukup. Daun pisang masih banyak di kulkas paling bawah. Kini aku beralih memeriksa stok beras ketan, abon dan tepung-tepungan.Tanpa sadar aku mengangguk-anggukkan kepala. Semua bahan komplit, maka aku mengiyakan, dengan pertimbangan, ada Bu Marni dan Mbak Asih yang akan membantuku menghandle pesanan kali ini. Pun Mas Mirza libur, bisa menjaga anak-anak."Uangnya sudah saya transfer, lunas.
Mama melangkah dengan anggun. Wanita di ujung usia kepala enam itu masih terlihat cantik dan modis. Meski sedikit terkejut saat beliau tiba-tiba muncul di rumah tanpa kabar lebih dulu, aku tetap menyambut beliau dengan senyum terbaik."Lisa, itu tadi Mama bawakan buah sama sayur katuk, biar banyak ASI buat cucu Mama yang cantik."Mama menuju bagasi dan membukanya. Aku mengekor di belakang beliau. Terlihat olehku di sana penuh berisi buah-buahan segar, juga beberapa kotak donat dari merk terkenal. Mama bahkan mengerti kalau Arsy dan Arkan menyukai donat tersebut. Sungguh eyang yang baik dan penuh kasih sayang. Mereka akan senang sekali menerima ini nanti. Aku segera beranjak mengikuti Mama yang sudah lebih dulu memasuki rumah, tak sabar hendak memberikan oleh-oleh ini untuk dua anak manis.Arsy dan Arkan yang sedang asyik menggambar sambil nonton kartun kesayangan, langsung menyambut kedatangan Mama.Aku bersyukur Mama menerima mereka berdua sebagai cuc
Hujan masih turun membasahi bumi. Mama telah meninggalkan rumah ini sejak sore tadi. Tapi, luka yang beliau torehkan, masih terasa di sini.Mbak Lisa, masih kudengar isakannya, meski aku telah berusaha menenangkan."Kalian jangan bertengkar karena aku. Biarlah aku saja yang mundur, kalian ibu dan anak, jangan seperti ini. Nanti kalau anak-anak lihat, mereka akan sedih melihat orang tuanya saling adu urat," ucapnya sore tadi.Aku geram menatap Mama, yang tak menyangkal tuduhanku, bahwa beliau sering melakukan intimidasi pada istriku. Apa dia lupa, cucu yang ditimang-timang sejak datang tadi itu lahir dari mana, dari rahim siapa?Sudah sejauh ini, kenapa aku baru tau? "Maaf, Mas. Aku tak mau hubunganmu dengan Mama memburuk," ucapnya dengan rasa sesal. Aku mencoba memahami posisinya, menempatkan diri sebagai dirinya."Seharusnya Mama katakan sejak awal, kalau dia terlalu tua menjadi istrimu, Mirza! Dia tak sejajar denganmu, apa kau tau?"Oh, astaghfirullah, apa yang ada dalam pikiran Mam
"Lisa!"Putri memekik lalu menghambur memelukku. Meski menjadi wanita super sibuk, ia selalu menyempatkan waktu berkunjung ke rumah.Kami lalu masuk dan bergabung dengan anak-anak. Putri segera mengambil Najwa ke dalam gendongannya."Ya ampun, kamu endut banget, sih, Dek."Diciuminya bayi kecil itu, hingga terdengar suara tawanya yang lucu. Aku ikut tersenyum melihat adegan di depanku. Teriring doa, semoga sahabatku ini diberikan kepercayaan memiliki buah hati.Sesungguhnya ia wanita cantik dan energik, serta penyayang pada setiap anak kecil, termasuk anak-anakku. Dia sukses di karir, memiliki suami yang penyayang, memiliki keluarga yang harmonis. Dari luar, tentu orang akan menganggap bahwa ia memiliki keluarga yang sempurna.Namun, di balik itu semua, dia menyimpan satu kerinduan akan hadirnya buah hati. Setelah sekian lama berumahtangga, belum juga ada tanda-tanda hadirnya zuriat di rahimnya.Berkunjung ke sini dan bermain dengan anak-anakku adalah salah satu kesenangannya, selain b
Aku menghubungi Mas Mirza, menyampaikan keinginan ibu untuk pulang. Lelaki baik itu pun meminta supaya ibu mau bersabar menunggu ia menyelesaikan pekerjaan.Sekitar satu jam kemudian, pria tampan yang dua tahun terakhir menjadi suamiku itu telah memasuki rumah. Ibu sedang istirahat di kamarnya saat ia tiba."Mungkin ibu kangen sama cucunya yang di sana. Nggak apa-apa kita antar, nanti kalau sudah waktunya periksa biar Mas jemput."Aku kembali dibuat terharu dengan kebaikan suamiku. Ia memperlakukan ibuku seperti ibunya sendiri.Selama tinggal di sini, dialah yang lebih banyak berperan pada kesehatan ibu. Membantu ibu berdiri dari kursi roda, lalu mengajari beliau menggunakan kruk.Lelaki baik itu menyediakan waktu khusus demi pulihnya kondisi sang ibu mertua. Tak sekalipun kudengar keluhan dari lisannya, dan semoga saja memang demikian adanya.Aku menatap wajah yang tersenyum itu lekat-lekat, membuat ia mengernyitkan keningnya.
Ekstra partUsia Arsy kini sudah menginjak angka lima belas tahun. Ia menempuh pendidikan di pesantren yang sama dengan adiknya, Arkan.Akhir pekan ini, mereka libur selama tiga hari. Lisa dan Mirza menjemput mereka, karena tak sanggup lagi menahan rindu yang terus bertumpuk.Rasa rindu yang besar pula, membawa keluarga kecilnya menuju kediaman Dirga, ingin bertemu dan melepas rindu pada si kecil Wahyu. Awal perginya Rahmi, Lisa ingin membawa keponakannya supaya tinggal bersamanya, lalu tumbuh besar bersama Najwa dan Alif. Namun, melihat rasa kehilangan dan kasih sayang yang besar dari Dirga serta keluarga besarnya, membuat Lisa mengurungkan niat. Ia lebih memilih sering menjenguk keponakannya yang menjadi piatu di usia yang sangat muda.Kedatangan mereka disambut antusias oleh Wahyu, yang segera bermain dengan keempat sepupunya. Terlebih dengan si kecil Alif yang berusia dua tahun di bawahnya. Sekitar satu jam kemudian, sebuah mobil berhenti di h
Tiga hari di rumah sakit, Citra diijinkan pulang. Tetangga dan kerabat dekat mulai berdatangan untuk menjenguk, demikian pula dengan Lisa. Bersama ketiga anaknya serta suami tercinta, mereka menjenguk dan berdoa untuk kesembuhan Citra.Melihat keluarga mantan istrinya, Ari diserang rasa iri yang besar. Iri sebab Lisa dikelilingi oleh anak-anak yang manis dan penurut. Ia menganggap Lisa dan Mirza berhasil sebagai orang tua, sebab kedua anaknya tumbuh sebagai anak yang santun, selain itu juga hafalan Alquran kian bertambah.Arsy bercerita tentang rencana masuk ke pesantren setelah lulus SD nanti, begitu pula dengan Arkan. Hal ini membuat hati Ari sedikit tenang, karena kebersamaan anaknya yang beranjak remaja dengan ayah sambungnya tentu berkurang banyak.Ari mendukung penuh rencana anaknya. Tak lupa ia mengucapkan terima kasih karena Mirza telah menjalankan peran sebagai ayah dengan baik. "Ayah, nanti libur sekolah aku mau dikhitan," lapor Arkan pada ayahnya."Wah, hebat, anak ayah sud
Keesokan harinya, teman-teman Citra mulai berdatangan menjenguk ke rumah sakit. Sebuah foto selang infus yang dipajang di story WhatsApp lah, yang membuat Ratna mencari tahu, lantas memberi kabar pada teman yang lain.Wajah cantik Citra yang semalam suram karena bertemu dengan Papanya, kini terlihat semringah. Kehadiran teman-teman nongkrongnya telah memberikan suntikan semangat tersendiri bagi proses kesembuhannya."Aku harap ini bukan awal dari karma karena kamu sengaja pakai IUD secara sembunyi-sembunyi," bisik salah salah satu temannya saat berpamitan.Citra mendelik tajam, sementara Dita justru melengkungkan senyum. Wanita yang berbaring di ranjang pasien itu tak menyangka kalau di antara sepuluh orang yang datang, ada satu yang berprasangka dan membisikkan kalimat mematikan. "Jaga bicaramu. Semua orang punya potensi disambangi penyakit ini. Aku salah satunya. Jangan sampai kamu juga mengalami kesakitan yang sama," desis Citra, menatap wajah
"Lisa, sebenarnya aku penasaran, kenapa kamu pergi berempat, kemana suami kamu?"Putri bertanya dengan menatap intens sahabatnya itu. Pemilik tahi lalat di sudut dagu itu beberapa kali melihat Lisa menatap kosong ke arah anak-anaknya yang sedang bermain. Tak dipungkiri kalau hatinya cemas, sebab tak biasanya Lisa seperti ini. Bahkan ketika ia menemukan Mawar di rumahnya, Lisa terlihat baik-baik saja. Tapi sekarang … .Pada saat itu pula ponsel Lisa berbunyi. Seketika ia membulatkan bola mata saat membaca pesan dari sang suami. Ekspresinya tentu saja terbaca oleh sosok yang duduk di depannya.Merasa sedang diperhatikan, Lisa melukis senyuman, "Sebentar lagi Mas Mirza ke sini. Nggak usah kuatir, Putri.""Bener, ya, kalian nggak apa-apa?" curiga Putri. Ia mengenal sahabatnya dengan baik. Istri dari Arlan itu meyakini telah terjadi sesuatu hingga membuat Lisa tertegun beberapa kali, meski memasang wajah terbaik sejak mereka bertemu. Terlebih saat mendengar kabar kehamilan yang dia sampaika
Kini Lisa telah tiba di rumah adiknya. Rumah besar itu langsung ramai dengan celotehan para bocil. Dirga langsung mengambil alih anak-anak saat melihat mereka mulai jenuh, sekaligus membiarkan sang istri bebas mengobrol dengan kakaknya.Rahmi bercerita banyak hal tentang bayinya, juga suka duka sebab tak bisa memberi ASI secara langsung, serta harus bangun tengah malam dan menyiapkan ASIP ke dalam botol. Tentang ibu mertua serta suami yang sering mengambil alih tugasnya sebagai ibu, memberikan waktu istirahat yang cukup untuknya, tak luput dari hal yang ia ceritakan.Sang kakak mendengarkan dengan sabar. Sesekali menimpali curahan hati adik bungsunya."O iya, Mas Mirza kok, nggak ikut, Mbak?" celetuk Rahmi tiba-tiba."Eh, lagi ada perlu, Dek," jawab Lisa apa adanya.Ibu tiga anak itu pun membiarkan adiknya istirahat saat Rahmi mulai menguap.Kini Lisa duduk di hadapan sang ibu, sementara ketiga anaknya diajak bermain oleh Dirga. Meski wajahnya tersenyum, tapi, kegelisahan hati sang ana
Beberapa hari lagi pesta pernikahan Mawar akan digelar. Akan tetapi, agenda itu terlupakan oleh Lisa, karena sibuk dengan adiknya yang baru bersalin dan butuh donor ASI.Istri dari Mirza itu justru harus merelakan kepergian sang suami ke luar kota selama dua hari di akhir pekan ini."Hanya sebentar. Nanti kalau sudah selesai, secepatnya bakalan pulang, kok," pamit Mirza, menyisakan cemas di hati sang istri.Pasalnya, lelaki bermata elang itu terlihat kurang sehat saat berangkat. Dan lagi, kenapa akhir pekan yang dipilih untuk pergi?Namun, setelah diyakinkan berulang kali kalau semua akan baik-baik saja, akhirnya Lisa merelakan juga kepergian ayah dari anak-anaknya. Ia hanya berharap kalau semua akan baik-baik saja..Sebuah alarm di ponselnya lah yang kemudian menjadikan pengingat hari istimewa Mawar keesokan harinya."Bagaimana ini, datang apa enggak, ya? Mas Mirza belum pulang lagi," gumam Lisa gelisah.Ibu tiga anak itu kemudian menghubungi ponsel sang suami, hendak meminta pendapa
Waktu sudah mulai malam. Kediaman Lisa mulai senyap setelah semua penghuni berada di kamar masing-masing.Istri dari Mirza itu sudah mencoba memejamkan mata, tapi belum berhasil juga. Ada banyak hal yang memenuhi pikirannya. Wajah keponakan barunya mendominasi ingatannya kali ini.Sebuah tangan melingkar di pinggangnya, membuat ia menoleh pada pemiliknya. Lalu wajah tampan suaminya, segera memenuhi ruang pandangnya."Sudah malam, masih terjaga aja kamu, Sayang," ucap Mirza masih dengan mata terpejam.Lisa sedikit terkejut saat mendapati sang suami masih terjaga. Ia pun menghela napas, lalu berkata, "Aku kepikiran Wahyu, Mas. Kasihan dia. Sudah dapat donor ASI apa belum, ya?" Lisa berucap pelan."Coba aku masih mengASIhi Najwa, ya, kurasa mereka tak akan sibuk mencari donor ASI. Aku dengan senang hati membagi ASI untuk keponakanku," ucap Lisa dengan menatap tirai jendela yang bergerak-gerak. Rupanya angin malam menyelusup masuk, hingga membuat tirai putih itu meliuk perlahan. Ada sesal
Lisa bergegas kembali ke butik. Masih banyak pekerjaan yang perlu ia selesaikan. Meski dengan rindu pada anak-anak yang terus menumpuk jika ia bepergian seorang diri seperti sekarang, tapi, ia merasa tenang sebab memiliki asisten yang bisa dipercaya.Mbak Asih meski masih muda, tapi sangat telaten menghadapi anak-anak. Pun Bu Marni, ikut andil juga dalam tumbuh kembang ketiga anaknya.Memasuki ruangan untuk beristirahat sejenak, Lisa pun membaur ke depan bersama karyawannya. Saat meneliti sebuah gaun berwarna merah marun, tiba-tiba saja Maya memberikan kode, kalau ia harus melihat ke suatu tempat.Kepala itu pun menoleh, lantas melebarkan mata sejenak, saat melihat seseorang yang sangat ia kenal berada di balik pintu kaca. Tepatnya di seberang tokonya."Itu adik Mbak Lisa, bukan?" tanya Maya dengan berbisik. Lisa mengangguk, tapi ada sedikit keraguan. Alih-alih menjawab, sosok dengan tinggi seratus enam puluh centimeter itu justru mengajukan tanya."Boleh Mbak minta tolong?" pinta Lisa
Lisa sedang memeriksa stok pakaian serta beberapa desain yang baru masuk di butiknya, saat ponselnya berdering."Mbak Lisa, keponakan kamu sudah lahir."Itulah kalimat yang pertama menyapa saat sambungan telepon tersambung. Suara yang dikenali sebagai suara Rahmi."Cowok, Mbak. Lahir normal dua jam lalu. Maaf, baru kasih kabar," sambung Rahmi lagi sebelum Lisa sempat berucap sepatah kata. Kedua sudut bibir Lisa langsung membentuk lengkungan senyum menerima kabar itu."Alhamdulillah, selamat ya, Dek. Selamat menjadi ibu," ucap Lisa dengan suara tercekat. Ia teringat perjuangan adiknya selama menjalani kehamilan. Beberapa kali harus dirawat di rumah sakit sebab lemahnya kondisi.Usai mengucapkan selamat, ia pun berjanji akan segera berkunjung setelah pekerjaannya selesai.Dan rasa bahagia sebab bertambahnya anggota keluarga baru, membuat Lisa menyelesaikan pekerjaan lebih cepat. Pucuk pimpinan Lisa Boutique itu pun segera mene