Aku menghubungi Mas Mirza, menyampaikan keinginan ibu untuk pulang. Lelaki baik itu pun meminta supaya ibu mau bersabar menunggu ia menyelesaikan pekerjaan.
Sekitar satu jam kemudian, pria tampan yang dua tahun terakhir menjadi suamiku itu telah memasuki rumah. Ibu sedang istirahat di kamarnya saat ia tiba."Mungkin ibu kangen sama cucunya yang di sana. Nggak apa-apa kita antar, nanti kalau sudah waktunya periksa biar Mas jemput."Aku kembali dibuat terharu dengan kebaikan suamiku. Ia memperlakukan ibuku seperti ibunya sendiri.Selama tinggal di sini, dialah yang lebih banyak berperan pada kesehatan ibu. Membantu ibu berdiri dari kursi roda, lalu mengajari beliau menggunakan kruk.Lelaki baik itu menyediakan waktu khusus demi pulihnya kondisi sang ibu mertua. Tak sekalipun kudengar keluhan dari lisannya, dan semoga saja memang demikian adanya.Aku menatap wajah yang tersenyum itu lekat-lekat, membuat ia mengernyitkan keningnya.Mas Mirza terkejut tentu saja, saat Mawar menyambut kedatangannya di depan pintu.Bukan tak berniat membuka pintu dan menyambut kepulangannya, hanya saja, tamuku itu telah berlari mendahului saat aku baru beranjak dari dudukku.Aku menunggu, apa yang akan dilakukan ayah dari anak-anakku saat ada perempuan lain yang ia jumpai di dalam rumah. Sedikit cemas, melihat penampilan Mawar yang mengenakan dress di atas lutut dengan satu tali di pundak. Aku menatapnya dengan pandangan risih.Seperti inikah berpenampilan sebagai tamu? Sedekat apa mereka di kehidupan sebelumnya, hingga Mawar berani sekali berpenampilan demikian saat menyambut suamiku pulang?"Aku sudah menunggumu, Mirza. Bukankah kau juga merindukanku?"Kudengar suara Mawar yang mendayu-dayu. Tangannya telah menggamit lengan suamiku. Kepalanya ia sandarkan di bahu lelaki yang masih mengenakan jas hitam lengkap dengan dasi. Ada yang bergejolak di dalam sini. Berani sekali, bergelayut manja pada suami orang. Apakah dia sengaja? Lalu
POV Mawar"Ambil lah Mirza, apapun caranya. Tante yakin, kamu yang lulusan luar negeri, lebih bisa diajak mengelola bisnis keluarga. Dan yang pasti, kamu akan mendapatkan imbalan besar nanti."Tante Lastri langsung membujukku begitu tau aku pulang ke Indonesia. Aku patuh, sebab memang hatiku tak bisa berpaling darinya. Bagiku, dialah lelaki tertampan, ciptaan Tuhan yang begitu sempurna. Jika nanti aku mendapat imbalan berupa materi, aku akan menganggap itu sebagai bonus.Satu bulan. Itu waktu yang diberikan oleh Tante Lastri. Selama itu pula rencananya aku akan tinggal dan merayu Mirza di sini.Sampai kemudian, hari yang sudah diatur itu pun tiba. Aku langsung menatap tak suka, pada dia yang telah berhasil menjadi istri sekaligus ibu dari anak lelaki yang kucinta sepenuh hati.Melihat dia pertama kali, membuat aku tak habis pikir, kenapa seorang Mirza bisa memilih dan menjadikan dia sebagai pendamping. Sementara menurut informasi dari di Tante Lastri, dia sudah punya dua orang anak seb
POV LisaTiga hari berada di rumah ini, akhirnya Mama dan Mawar mau pulang juga, meski dengan wajah tak rela. Aku tak tau apa yang dikatakan oleh Mas Mirza pada keduanya, hingga akhirnya mereka patuh seperti kerbau dicucuk hidungnya. Padahal hari sebelumnya, mereka berkeras hati akan tinggal di sini hingga satu bulan.Ah ... Lega sekali rasanya. Tiga hari yang terasa seperti lima abad bagiku. Aku tak masalah sebenarnya, jika ada keluarga yang menginap di sini beberapa hari, terlebih itu keluarga Mama mertua yang artinya jadi keluargaku juga.Hanya saja, tamu kali ini sungguh luar biasa. Terang-terangan dia menawarkan diri untuk jadi adik maduku. Pun Mama mertua mendukungnya penuh. Sungguh tak kusangka sama sekali, akan ada episode seperti ini dalam kehidupan rumah tanggaku.Setidaknya aku bersyukur, kedatangan mereka ke sini saat ibu sudah pulang. Jika tidak, beliau pasti kepikiran, yang mungkin saja berpengaruh pada kondisi kesehatan.
POV Lisa"Kamu sudah dewasa, berpendidikan tinggi, harusnya diimbangi dengan pemikiran yang luas, bukan mengandalkan nafsu belaka.""Menikah bukan perkara main-main. Dengan bertindak bodoh dan jadikan nyawa sebagai mainan, apa kamu pikir masalah akan selesai?"Di dunia mungkin iya. Tapi, setelah itu apa? Orang-orang yang kamu tinggalkan akan bagaimana, apa itu terpikir olehmu?"Kalimat panjang itu memenuhi udara di ruangan serba putih, dimana Mawar terbaring lemah sebagai pasien. Meski dia meminta hanya berdua Mas Mirza, tapi suamiku itu tak bersedia, kecuali aku ikut serta. Hingga di sinilah kami sekarang, duduk berdampingan menghadap Mawar yang selamat dari percobaan bunuh diri sebab tak dinikahi lelaki beristri.Kalau kupikir lagi kenapa dia konyol sekali, menjadikan nyawa pemberian Tuhan seakan tak berharga. Apa dia pikir ada nyawa cadangan kalau dia tak kunjung ditolong. Gadis bo doh. Pendek akal. Ah, kenapa aku jadi ingin berkata
Hatiku trenyuh menatap wajah Mawar yang seperti sedang tidur nyenyak. Telah satu bulan lamanya ia terbaring di sini, dan belum ada tanda akan bangun. Entah sedang berkelana ke mana jiwanya kini."Mawar, Minggu depan adikku akan menikah. Aku harap kamu pun akan segera menyusulnya. Kamu anak yang kuat, bertahanlah hidup seperti saat itu."Tenggorokanku tercekat menahan sesak. Kugenggam tangannya sekali lagi. Adegan di sinetron yang kadang kutonton membayang, dimana seorang pasien yang terbaring koma tiba-tiba menggerakkan jari-jarinya, lantas perlahan membuka mata dan kemudian sadar dari tidur panjangnya. Aku berharap itu terjadi pada gadis manis di depanku ini. Aku lalu pamit setelah menyapa sekilas layar monitor dengan kabel yang terhubung dengannya. Dari sana dipantau perkembangan kondisi Mawar.Sejak kabar kecelakaan itu terdengar dan membuat ia koma, aku terus berdoa semoga ia secepatnya bangun, agar dapat berkumpul lagi dengan keluarga. Sang
"Dekat rumah ada toko disewakan. Itu aja nanti, disulap jadi toko pakaian."Rahmi terlihat bersemangat. Mungkin menangkap raut setuju di wajahku."Bagus, Dek. Mbak setuju. Tapi, tetap ijin dulu sama suami kamu, ya. Minta ridhonya sebelum memulai usaha. Soal isi toko, gampang itu, nanti Mbak bantu."Dia langsung menghambur memelukku lalu berucap terima kasih berkali-kali. Pelukan kami terurai saat terdengar deheman dari seseorang.Mas Mirza berdiri tegak di ambang pintu. Aku tersenyum melihatnya."Maaf kalau ganggu yang lagi lepas kangen," ucapnya, disambut kekehan olehku."Nggak apa-apa, Mas. Ada apa?""Ada yang nyari itu, di depan.""Siapa?""Soulmate kamu." Mas Mirza meringis. Rahmi menatapku dengan tatapan entah."Heh? Soulmate gimana ini maksudnya? Bentar, ya, Dek?" Rahmi mengangguk mengiyakan."Siapa, sih, Mas?"Aku beranjak ke depan, melupakan adikku yang berdiri mematun
Aku sedang duduk menyimak presentasi saat ponsel di saku celanaku bergetar, tanda ada notifikasi pesan.Aku menduga kalau itu Citra. Dia memang selalu bertanya kabar, nyaris setiap jam kalau aku sedang keluar kota seperti sekarang. Nanti sajalah dibuka, sekalian selesai sesi presentasi kali ini. Bosan juga, sedikit-sedikit ditanya sedang apa, sedang di mana, lagi apa. Hufh, apa dia tak punya kesibukan, sampai rajin mengecek suaminya yang sedang melaksanakan tugas negara.Setengah jam kemudian, barulah sesi istirahat. Aku mulai menikmati hidangan dan berbincang dengan teman-teman, melupakan ponselku. Sampai kemudian ponsel kembali berdering dengan suara pelan.Citra. Hem, ia kembali bawel bertanya ini itu, termasuk bertanya bagaimana makanku. Kadang aku merasa perhatiannya berlebihan sekali.Ponsel pun kututup setelah menjawab semua pertanyaan yang dilontarkan. Lalu sebuah pesan WA kembali mengisi layar ponsel ini.Kedua mataku m
Satu bulan berlalu. Maya yang menjadi asisten pribadiku tengah memberikan laporannya mengenai perkembangan butik. Karin pun ada di ruang yang sama, memberikan laporan mengenai rumah makan."Toko Bu Rahmi mulai berjalan dan sedang proses isi ulang, Mbak," lapor Maya."Ini laporan keuangan rumah makan, juga daftar pesanan Minggu ini, Mbak. Semua bahan kering akan restok siang ini," ujar Karin kemudian.Aku menganggukkan kepala dan mengucapkan terima kasih, lantas mempersilakan mereka kembali menjalankan tugasnya.Aku bersyukur memiliki orang-orang yang amanah hingga usaha yang kurintis dari nol kini bisa berkembang dan menyerap tenaga kerja.Komunikasi Mas Ari dan anak-anak kembali terjalin intens. Aku bersyukur Mas Ari mau meluangkan waktu lagi, meski sekedar menelpon sebentar jika tak bisa bertemu langsung.Aku hanya tak mau anakku sakit lagi sebab rindu dengan ayah kandungnya, meski kasih sayang dari ayah sambung
Ekstra partUsia Arsy kini sudah menginjak angka lima belas tahun. Ia menempuh pendidikan di pesantren yang sama dengan adiknya, Arkan.Akhir pekan ini, mereka libur selama tiga hari. Lisa dan Mirza menjemput mereka, karena tak sanggup lagi menahan rindu yang terus bertumpuk.Rasa rindu yang besar pula, membawa keluarga kecilnya menuju kediaman Dirga, ingin bertemu dan melepas rindu pada si kecil Wahyu. Awal perginya Rahmi, Lisa ingin membawa keponakannya supaya tinggal bersamanya, lalu tumbuh besar bersama Najwa dan Alif. Namun, melihat rasa kehilangan dan kasih sayang yang besar dari Dirga serta keluarga besarnya, membuat Lisa mengurungkan niat. Ia lebih memilih sering menjenguk keponakannya yang menjadi piatu di usia yang sangat muda.Kedatangan mereka disambut antusias oleh Wahyu, yang segera bermain dengan keempat sepupunya. Terlebih dengan si kecil Alif yang berusia dua tahun di bawahnya. Sekitar satu jam kemudian, sebuah mobil berhenti di h
Tiga hari di rumah sakit, Citra diijinkan pulang. Tetangga dan kerabat dekat mulai berdatangan untuk menjenguk, demikian pula dengan Lisa. Bersama ketiga anaknya serta suami tercinta, mereka menjenguk dan berdoa untuk kesembuhan Citra.Melihat keluarga mantan istrinya, Ari diserang rasa iri yang besar. Iri sebab Lisa dikelilingi oleh anak-anak yang manis dan penurut. Ia menganggap Lisa dan Mirza berhasil sebagai orang tua, sebab kedua anaknya tumbuh sebagai anak yang santun, selain itu juga hafalan Alquran kian bertambah.Arsy bercerita tentang rencana masuk ke pesantren setelah lulus SD nanti, begitu pula dengan Arkan. Hal ini membuat hati Ari sedikit tenang, karena kebersamaan anaknya yang beranjak remaja dengan ayah sambungnya tentu berkurang banyak.Ari mendukung penuh rencana anaknya. Tak lupa ia mengucapkan terima kasih karena Mirza telah menjalankan peran sebagai ayah dengan baik. "Ayah, nanti libur sekolah aku mau dikhitan," lapor Arkan pada ayahnya."Wah, hebat, anak ayah sud
Keesokan harinya, teman-teman Citra mulai berdatangan menjenguk ke rumah sakit. Sebuah foto selang infus yang dipajang di story WhatsApp lah, yang membuat Ratna mencari tahu, lantas memberi kabar pada teman yang lain.Wajah cantik Citra yang semalam suram karena bertemu dengan Papanya, kini terlihat semringah. Kehadiran teman-teman nongkrongnya telah memberikan suntikan semangat tersendiri bagi proses kesembuhannya."Aku harap ini bukan awal dari karma karena kamu sengaja pakai IUD secara sembunyi-sembunyi," bisik salah salah satu temannya saat berpamitan.Citra mendelik tajam, sementara Dita justru melengkungkan senyum. Wanita yang berbaring di ranjang pasien itu tak menyangka kalau di antara sepuluh orang yang datang, ada satu yang berprasangka dan membisikkan kalimat mematikan. "Jaga bicaramu. Semua orang punya potensi disambangi penyakit ini. Aku salah satunya. Jangan sampai kamu juga mengalami kesakitan yang sama," desis Citra, menatap wajah
"Lisa, sebenarnya aku penasaran, kenapa kamu pergi berempat, kemana suami kamu?"Putri bertanya dengan menatap intens sahabatnya itu. Pemilik tahi lalat di sudut dagu itu beberapa kali melihat Lisa menatap kosong ke arah anak-anaknya yang sedang bermain. Tak dipungkiri kalau hatinya cemas, sebab tak biasanya Lisa seperti ini. Bahkan ketika ia menemukan Mawar di rumahnya, Lisa terlihat baik-baik saja. Tapi sekarang … .Pada saat itu pula ponsel Lisa berbunyi. Seketika ia membulatkan bola mata saat membaca pesan dari sang suami. Ekspresinya tentu saja terbaca oleh sosok yang duduk di depannya.Merasa sedang diperhatikan, Lisa melukis senyuman, "Sebentar lagi Mas Mirza ke sini. Nggak usah kuatir, Putri.""Bener, ya, kalian nggak apa-apa?" curiga Putri. Ia mengenal sahabatnya dengan baik. Istri dari Arlan itu meyakini telah terjadi sesuatu hingga membuat Lisa tertegun beberapa kali, meski memasang wajah terbaik sejak mereka bertemu. Terlebih saat mendengar kabar kehamilan yang dia sampaika
Kini Lisa telah tiba di rumah adiknya. Rumah besar itu langsung ramai dengan celotehan para bocil. Dirga langsung mengambil alih anak-anak saat melihat mereka mulai jenuh, sekaligus membiarkan sang istri bebas mengobrol dengan kakaknya.Rahmi bercerita banyak hal tentang bayinya, juga suka duka sebab tak bisa memberi ASI secara langsung, serta harus bangun tengah malam dan menyiapkan ASIP ke dalam botol. Tentang ibu mertua serta suami yang sering mengambil alih tugasnya sebagai ibu, memberikan waktu istirahat yang cukup untuknya, tak luput dari hal yang ia ceritakan.Sang kakak mendengarkan dengan sabar. Sesekali menimpali curahan hati adik bungsunya."O iya, Mas Mirza kok, nggak ikut, Mbak?" celetuk Rahmi tiba-tiba."Eh, lagi ada perlu, Dek," jawab Lisa apa adanya.Ibu tiga anak itu pun membiarkan adiknya istirahat saat Rahmi mulai menguap.Kini Lisa duduk di hadapan sang ibu, sementara ketiga anaknya diajak bermain oleh Dirga. Meski wajahnya tersenyum, tapi, kegelisahan hati sang ana
Beberapa hari lagi pesta pernikahan Mawar akan digelar. Akan tetapi, agenda itu terlupakan oleh Lisa, karena sibuk dengan adiknya yang baru bersalin dan butuh donor ASI.Istri dari Mirza itu justru harus merelakan kepergian sang suami ke luar kota selama dua hari di akhir pekan ini."Hanya sebentar. Nanti kalau sudah selesai, secepatnya bakalan pulang, kok," pamit Mirza, menyisakan cemas di hati sang istri.Pasalnya, lelaki bermata elang itu terlihat kurang sehat saat berangkat. Dan lagi, kenapa akhir pekan yang dipilih untuk pergi?Namun, setelah diyakinkan berulang kali kalau semua akan baik-baik saja, akhirnya Lisa merelakan juga kepergian ayah dari anak-anaknya. Ia hanya berharap kalau semua akan baik-baik saja..Sebuah alarm di ponselnya lah yang kemudian menjadikan pengingat hari istimewa Mawar keesokan harinya."Bagaimana ini, datang apa enggak, ya? Mas Mirza belum pulang lagi," gumam Lisa gelisah.Ibu tiga anak itu kemudian menghubungi ponsel sang suami, hendak meminta pendapa
Waktu sudah mulai malam. Kediaman Lisa mulai senyap setelah semua penghuni berada di kamar masing-masing.Istri dari Mirza itu sudah mencoba memejamkan mata, tapi belum berhasil juga. Ada banyak hal yang memenuhi pikirannya. Wajah keponakan barunya mendominasi ingatannya kali ini.Sebuah tangan melingkar di pinggangnya, membuat ia menoleh pada pemiliknya. Lalu wajah tampan suaminya, segera memenuhi ruang pandangnya."Sudah malam, masih terjaga aja kamu, Sayang," ucap Mirza masih dengan mata terpejam.Lisa sedikit terkejut saat mendapati sang suami masih terjaga. Ia pun menghela napas, lalu berkata, "Aku kepikiran Wahyu, Mas. Kasihan dia. Sudah dapat donor ASI apa belum, ya?" Lisa berucap pelan."Coba aku masih mengASIhi Najwa, ya, kurasa mereka tak akan sibuk mencari donor ASI. Aku dengan senang hati membagi ASI untuk keponakanku," ucap Lisa dengan menatap tirai jendela yang bergerak-gerak. Rupanya angin malam menyelusup masuk, hingga membuat tirai putih itu meliuk perlahan. Ada sesal
Lisa bergegas kembali ke butik. Masih banyak pekerjaan yang perlu ia selesaikan. Meski dengan rindu pada anak-anak yang terus menumpuk jika ia bepergian seorang diri seperti sekarang, tapi, ia merasa tenang sebab memiliki asisten yang bisa dipercaya.Mbak Asih meski masih muda, tapi sangat telaten menghadapi anak-anak. Pun Bu Marni, ikut andil juga dalam tumbuh kembang ketiga anaknya.Memasuki ruangan untuk beristirahat sejenak, Lisa pun membaur ke depan bersama karyawannya. Saat meneliti sebuah gaun berwarna merah marun, tiba-tiba saja Maya memberikan kode, kalau ia harus melihat ke suatu tempat.Kepala itu pun menoleh, lantas melebarkan mata sejenak, saat melihat seseorang yang sangat ia kenal berada di balik pintu kaca. Tepatnya di seberang tokonya."Itu adik Mbak Lisa, bukan?" tanya Maya dengan berbisik. Lisa mengangguk, tapi ada sedikit keraguan. Alih-alih menjawab, sosok dengan tinggi seratus enam puluh centimeter itu justru mengajukan tanya."Boleh Mbak minta tolong?" pinta Lisa
Lisa sedang memeriksa stok pakaian serta beberapa desain yang baru masuk di butiknya, saat ponselnya berdering."Mbak Lisa, keponakan kamu sudah lahir."Itulah kalimat yang pertama menyapa saat sambungan telepon tersambung. Suara yang dikenali sebagai suara Rahmi."Cowok, Mbak. Lahir normal dua jam lalu. Maaf, baru kasih kabar," sambung Rahmi lagi sebelum Lisa sempat berucap sepatah kata. Kedua sudut bibir Lisa langsung membentuk lengkungan senyum menerima kabar itu."Alhamdulillah, selamat ya, Dek. Selamat menjadi ibu," ucap Lisa dengan suara tercekat. Ia teringat perjuangan adiknya selama menjalani kehamilan. Beberapa kali harus dirawat di rumah sakit sebab lemahnya kondisi.Usai mengucapkan selamat, ia pun berjanji akan segera berkunjung setelah pekerjaannya selesai.Dan rasa bahagia sebab bertambahnya anggota keluarga baru, membuat Lisa menyelesaikan pekerjaan lebih cepat. Pucuk pimpinan Lisa Boutique itu pun segera mene