Kuaminkan ucapan Pak Hanan. Ada rasa bangga, sebab masakanku diminati oleh karyawan di tempat beliau bekerja.
"Ya sudah … kami pamit. Besok saya ke sini buat ambil pesanan nasi, sebelum jam istirahat seperti biasa ya, Bu Lisa?" ujar Pak Hanan lagi."Baik Pak.""Bu Lisa, kami pamit, ya, assalamu'alaikum," pamit sang istri."Wa'alaikumsalam," jawabku, lantas melepas kepergian mereka.Pak Hanan terlihat menggandeng istrinya dengan mesra, sambil berbicara entah apa. Lantas keduanya menghilang di balik pintu mobil yang telah ditutup.Entah kenapa aku ikut senang melihat pasangan ini. Istri cantik dan suami tampan, murah hati lagi.Tak jarang kedua anakku dibawakan cemilan saat Pak Hanan mengambil pesanan. Kabarnya, ia tau dengan usaha catering ini dari mengunjungi pameran beberapa waktu yang lalu.Aku mengernyitkan kening saat sang istri kembali ke sini, sementara sang suami sudah tak terlihat lagi."Maaf,"Sah!"Riuh suara para saksi, memenuhi udara di dalam masjid ini. Pun menggetarkan hati, hingga pandanganku terhalang oleh kaca-kaca bening. Mulai saat ini, aku telah resmi menjadi seorang istri dari seorang lelaki bernama Muhammad Mirza. Tanggung jawab atasku telah berpindah pada lelaki yang kini resmi menjadi suami.Tepatnya suami kedua bagiku, sekaligus ayah sambung bagi kedua anakku. Dialah lelaki yang telah berhasil merebut hati anak-anak, lalu hatiku.Setelah mempertimbangkan dan melalui banyak hal, aku akhirnya menerima pinangan Mas Mirza. Juga berdasarkan petunjuk yang kudapat setelah istikharah di sepertiga malam.Dia yang tak pernah lelah meyakinkan, dia yang tak pernah menyerah pada penolakan demi penolakan yang kulakukan. Dia juga yang selalu ada belakangan ini. Tak hanya untukku, tapi juga untuk kedua anakku.Bukan waktu yang sebentar bagiku, untuk bisa membuka hati. Dukungan demi dukungan dari keluarga dan kerabat
"Sekarang kamu telah menjadi istriku, saya harap bisa melakukan yang terbaik untukmu. Katakan jika kamu butuh sesuatu, ya?" pintanya, saat kami mulai tinggal di rumah bernuansa abu."Bagaimana dengan usaha cateringku? Bolehkah, aku tetap menjalankannya?" tanyaku ingin tau. Meski kami pernah membahas ini sebelum pernikahan terjadi, aku ingin memastikan sekali lagi, bahwa ia memegang ucapannya."Tidak masalah. Lanjutkanlah apa yang sudah kau mulai dan kau rintis. Aku tetap mendukung. Tapi ingat, jangan memforsir diri, karena aku tak mau, istriku terlalu lelah mencari rupiah, sedangkan aku mampu mencukupi kebutuhannya," ujarnya sungguh-sungguh.Mendengar ucapannya, hatiku diliputi kelegaan luar biasa. Aku menganggap ini sebagai bentuk perhatian dan tanggung jawabnya sebagai seorang suami. Kuucapkan terima kasih atas ketulusannya.Ia telah menjelma sebagai sosok ayah yang dicintai Arsy dan Arkan dalam waktu singkat. Pun menjadi suami yang me
POV AriAku pikir, setelah menuruti permintaan Mama, hidupku akan lebih baik.Bagaimana tidak. Selain berwajah cantik, istriku itu juga sangat pandai mencari mitra yang bisa menghasilkan pundi-pundi rupiah. Citra cantik jelita, kulitnya sungguhlah halus dan terawat. Tak ada sedikitpun noda di wajahnya, apalagi jerawat.Tak henti aku mengagumi ciptaan Tuhan yang kini telah halal untuk kusentuh. Ia begitu sempurna dan sangat memanjakan mata. Tak ada rasa bosan sedikit pun untuk sekedar memandangi wajahnya. Kulit yang bersih, hidung tak mancung, tapi juga tak pesek, bibir terbelah, cekungan kecil di kedua pipi, ditambah gigi gingsul, kian menambah manis wajah istriku.Demikian pula dengan masakan yang ia sajikan. Bermacam lauk mulai opor ayam hingga rendang, semua bisa ia kerjakan.Tentu hal ini membuat lidah sangatlah dimanjakan. Tak seperti saat beristri Lisa, yang masakannya selalu dicela Mama, Citra justru mendapat pe
"Mau ambil uang di dompet kamu. Gimana, sih, kamu, Ri. Udah Mama bilang mama butuh bayar arisan, nggak banyak kayak biasanya. Cuma dua juta!"Selesai berucap, Mama mulai menggeledah isi dompet. Tapi ada daya, beliau tak menemukan apa pun di sana, kecuali uang dollar yang kusimpan sebagai kenang-kenangan bahwa aku pernah menginjakkan kaki ke negri paman Syam."Kok kosong, Ri? Kamu taruh di mana uang kamu? ATM kamu juga nggak ada, cuma kartu apa ini? Nggak guna!" seru Mama. Dompet ia lemparkan ke kursi.Dihembuskan napas kasar, lantas menatapku tajam. Mau tak mau aku harus menjawab pertanyaan Mama, supaya pintu surgaku tak kian murka."M-maaf, Ma. ATM Ari, dipegang sama Citra. Ari cuma dikasih buat beli bensin dua ratus ribu," jawabku apa adanya. Ah, bahkan baju atasan yang dikenakan oleh istriku jauh lebih mahal dari jatah uang bensinku.Mama kian melotot tajam, seakan tak percaya dengan yang baru saja ia dengar. Pasrah sajalah, pasrah.
Perseteruan Mama dan Citra membuatku tak bisa konsentrasi dalam bekerja.Terngiang selalu ucapan Mama yang mengucapkan kata sakti jika aku tak menuruti keinginannya. Durhaka.Satu kata yang bisa membuat nyaliku ciut seketika. Kata yang membuat isi kepala memberi instruksi supaya patuh tanpa tapi, pada beliau yang pernah bertaruh nyawa demi hadirnya aku di alam fana ini.Satu kata yang paling ditakuti, sebab bisa celaka diri ini. Hingga apa pun yang beliau pinta, diri ini berusaha mewujudkan sepenuh hati. Tak peduli meski mengorbankan perasaan istri.Bagiku, Mama lah nomer satu. Pintanya adalah di atas segala pinta. Termasuk besarnya gaji bulananku untuk beliau pegang seutuhnya. Lagi.Demikian halnya Citra, perempuan yang teguh pendirian. Ia tak bergeming sekalipun Mama memaksa hendak kembali mengambil alih kendali keuangan.Disadari atau tidak, aku berada di antara dua wanita keras kepala, yang keduanya berpendirian sam
Pandanganku teralihkan, dari Budi yang kini berbalik arah untuk kembali ke sini, pada Amran yang duduk di sudut ruang. Memang mejanya di pojokan sih, dia. Tapi, kenapa tuh, si Arman, pakai melotot segala?Aku menaikkan alis, bertanya melalui sorot mata."Lu ngapain teriak-teriak? Lu pikir ini hutan?" tanya Amran beruntun. Ketus sekali.Ia menepuk-nepuk dadanya yang naik turun. Napasnya terlihat memburu."Aduh … sorry bro. Ini, ada perlu sama Budi, mumpung belum jauh dia," jawabku asal. Merasa bersalah juga melihat dia memegang dada dengan wajah dan mata membeliak lebar seperti itu.Hufh, untung saja ia tak punya penyakit jantung. Bisa pingsan dia dengar teriakanku barusan."Iya, Mas, ada perlu sama saya?" tanya Budi yang telah kembali berada di depanku.Memang sigap dia. Baru dipanggil sudah langsung balik aja. Pantas saja dia disayang sama para pekerja, sebab rajin dan juga patuh luar biasa. Diminta ke luar bu
Seperti rencana kemarin, hari ini aku ijin setengah hari kerja.Semua dilakukan demi kembalinya kartu ATM. Tak kubicarakan ini pada Citra. Inginku biar jadi kejutan saja.Sudah terbayang aku bisa membelanjakan uang sendiri, seperti selama ini. Aku tak mau kelaparan lagi seperti hari kemarin demi menghemat uang dua ratus ribu yang ia berikan untukku.Surat keterangan hilangnya kartu telah kukantongi. Segera saja aku menuju bank yang tak jauh dari kantor polisi.Ternyata benar kata Arman dan Budi, kalau syaratnya lengkap, maka proses pun cepat. Terlebih aku hanya perlu ke customer service, jadi, tak perlu lama menunggu antrian di bangku yang berderet di depan teller.Satpam yang berjaga di depan pintu menunjuk kursi di mana aku akan segera dilayani, setelah mengambil nomer antrian."Ada yang bisa saya bantu, Pak?" sapa sang customer service, yang wajahnya sesaat membuatku teringat pada salah satu pemain FTV. Nadya Almira."Ada, Mbak. Ini, kartu ATM saya hilang," ujarku, dusta. Ini yang k
Kuperhatikan lagi kemasan kotak persegi di atas mejaku, mencari informasi lain yang mungkin terhubung dengan mantan istriku jika benar ini dari catering yang ia kelola.Nah, ketemu juga nomer ponsel yang tertera di bawah tulisan Lisa catering. Deretan angka itu … benar itu nomer Lisa. Ia memang tak pernah mengganti nomernya.Jika demikian, maka keuntungan yang ia dapat pasti lah besar. Sebab karyawan di sini berjumlah ratusan.Ah, Lisa. Jadi kangen kamu, kan, jadinya. Coba dulu kita nggak pisah. Kan Mas Ari bisa ikut mengelola catering kamu. Ikut menikmati hasilnya juga..Rasa rindu, membuatku melajukan sepeda motor ke tempat tinggal mantan istri dan kedua anakku.Sebelum pergi seminggu ke Solo, ingin rasanya bertemu dan bermain dengan kedua anakku meski hanya sebentar.Terlebih lagi, setelah menikmati beberapa kudapan dari catering mantan istriku. Tak pernah menyangka sebelumnya, kalau Lisa yang dulu selalu dicela oleh Mama, kini justru mengembangkan sayap di bidang kuliner.Jika du
Ekstra partUsia Arsy kini sudah menginjak angka lima belas tahun. Ia menempuh pendidikan di pesantren yang sama dengan adiknya, Arkan.Akhir pekan ini, mereka libur selama tiga hari. Lisa dan Mirza menjemput mereka, karena tak sanggup lagi menahan rindu yang terus bertumpuk.Rasa rindu yang besar pula, membawa keluarga kecilnya menuju kediaman Dirga, ingin bertemu dan melepas rindu pada si kecil Wahyu. Awal perginya Rahmi, Lisa ingin membawa keponakannya supaya tinggal bersamanya, lalu tumbuh besar bersama Najwa dan Alif. Namun, melihat rasa kehilangan dan kasih sayang yang besar dari Dirga serta keluarga besarnya, membuat Lisa mengurungkan niat. Ia lebih memilih sering menjenguk keponakannya yang menjadi piatu di usia yang sangat muda.Kedatangan mereka disambut antusias oleh Wahyu, yang segera bermain dengan keempat sepupunya. Terlebih dengan si kecil Alif yang berusia dua tahun di bawahnya. Sekitar satu jam kemudian, sebuah mobil berhenti di h
Tiga hari di rumah sakit, Citra diijinkan pulang. Tetangga dan kerabat dekat mulai berdatangan untuk menjenguk, demikian pula dengan Lisa. Bersama ketiga anaknya serta suami tercinta, mereka menjenguk dan berdoa untuk kesembuhan Citra.Melihat keluarga mantan istrinya, Ari diserang rasa iri yang besar. Iri sebab Lisa dikelilingi oleh anak-anak yang manis dan penurut. Ia menganggap Lisa dan Mirza berhasil sebagai orang tua, sebab kedua anaknya tumbuh sebagai anak yang santun, selain itu juga hafalan Alquran kian bertambah.Arsy bercerita tentang rencana masuk ke pesantren setelah lulus SD nanti, begitu pula dengan Arkan. Hal ini membuat hati Ari sedikit tenang, karena kebersamaan anaknya yang beranjak remaja dengan ayah sambungnya tentu berkurang banyak.Ari mendukung penuh rencana anaknya. Tak lupa ia mengucapkan terima kasih karena Mirza telah menjalankan peran sebagai ayah dengan baik. "Ayah, nanti libur sekolah aku mau dikhitan," lapor Arkan pada ayahnya."Wah, hebat, anak ayah sud
Keesokan harinya, teman-teman Citra mulai berdatangan menjenguk ke rumah sakit. Sebuah foto selang infus yang dipajang di story WhatsApp lah, yang membuat Ratna mencari tahu, lantas memberi kabar pada teman yang lain.Wajah cantik Citra yang semalam suram karena bertemu dengan Papanya, kini terlihat semringah. Kehadiran teman-teman nongkrongnya telah memberikan suntikan semangat tersendiri bagi proses kesembuhannya."Aku harap ini bukan awal dari karma karena kamu sengaja pakai IUD secara sembunyi-sembunyi," bisik salah salah satu temannya saat berpamitan.Citra mendelik tajam, sementara Dita justru melengkungkan senyum. Wanita yang berbaring di ranjang pasien itu tak menyangka kalau di antara sepuluh orang yang datang, ada satu yang berprasangka dan membisikkan kalimat mematikan. "Jaga bicaramu. Semua orang punya potensi disambangi penyakit ini. Aku salah satunya. Jangan sampai kamu juga mengalami kesakitan yang sama," desis Citra, menatap wajah
"Lisa, sebenarnya aku penasaran, kenapa kamu pergi berempat, kemana suami kamu?"Putri bertanya dengan menatap intens sahabatnya itu. Pemilik tahi lalat di sudut dagu itu beberapa kali melihat Lisa menatap kosong ke arah anak-anaknya yang sedang bermain. Tak dipungkiri kalau hatinya cemas, sebab tak biasanya Lisa seperti ini. Bahkan ketika ia menemukan Mawar di rumahnya, Lisa terlihat baik-baik saja. Tapi sekarang … .Pada saat itu pula ponsel Lisa berbunyi. Seketika ia membulatkan bola mata saat membaca pesan dari sang suami. Ekspresinya tentu saja terbaca oleh sosok yang duduk di depannya.Merasa sedang diperhatikan, Lisa melukis senyuman, "Sebentar lagi Mas Mirza ke sini. Nggak usah kuatir, Putri.""Bener, ya, kalian nggak apa-apa?" curiga Putri. Ia mengenal sahabatnya dengan baik. Istri dari Arlan itu meyakini telah terjadi sesuatu hingga membuat Lisa tertegun beberapa kali, meski memasang wajah terbaik sejak mereka bertemu. Terlebih saat mendengar kabar kehamilan yang dia sampaika
Kini Lisa telah tiba di rumah adiknya. Rumah besar itu langsung ramai dengan celotehan para bocil. Dirga langsung mengambil alih anak-anak saat melihat mereka mulai jenuh, sekaligus membiarkan sang istri bebas mengobrol dengan kakaknya.Rahmi bercerita banyak hal tentang bayinya, juga suka duka sebab tak bisa memberi ASI secara langsung, serta harus bangun tengah malam dan menyiapkan ASIP ke dalam botol. Tentang ibu mertua serta suami yang sering mengambil alih tugasnya sebagai ibu, memberikan waktu istirahat yang cukup untuknya, tak luput dari hal yang ia ceritakan.Sang kakak mendengarkan dengan sabar. Sesekali menimpali curahan hati adik bungsunya."O iya, Mas Mirza kok, nggak ikut, Mbak?" celetuk Rahmi tiba-tiba."Eh, lagi ada perlu, Dek," jawab Lisa apa adanya.Ibu tiga anak itu pun membiarkan adiknya istirahat saat Rahmi mulai menguap.Kini Lisa duduk di hadapan sang ibu, sementara ketiga anaknya diajak bermain oleh Dirga. Meski wajahnya tersenyum, tapi, kegelisahan hati sang ana
Beberapa hari lagi pesta pernikahan Mawar akan digelar. Akan tetapi, agenda itu terlupakan oleh Lisa, karena sibuk dengan adiknya yang baru bersalin dan butuh donor ASI.Istri dari Mirza itu justru harus merelakan kepergian sang suami ke luar kota selama dua hari di akhir pekan ini."Hanya sebentar. Nanti kalau sudah selesai, secepatnya bakalan pulang, kok," pamit Mirza, menyisakan cemas di hati sang istri.Pasalnya, lelaki bermata elang itu terlihat kurang sehat saat berangkat. Dan lagi, kenapa akhir pekan yang dipilih untuk pergi?Namun, setelah diyakinkan berulang kali kalau semua akan baik-baik saja, akhirnya Lisa merelakan juga kepergian ayah dari anak-anaknya. Ia hanya berharap kalau semua akan baik-baik saja..Sebuah alarm di ponselnya lah yang kemudian menjadikan pengingat hari istimewa Mawar keesokan harinya."Bagaimana ini, datang apa enggak, ya? Mas Mirza belum pulang lagi," gumam Lisa gelisah.Ibu tiga anak itu kemudian menghubungi ponsel sang suami, hendak meminta pendapa
Waktu sudah mulai malam. Kediaman Lisa mulai senyap setelah semua penghuni berada di kamar masing-masing.Istri dari Mirza itu sudah mencoba memejamkan mata, tapi belum berhasil juga. Ada banyak hal yang memenuhi pikirannya. Wajah keponakan barunya mendominasi ingatannya kali ini.Sebuah tangan melingkar di pinggangnya, membuat ia menoleh pada pemiliknya. Lalu wajah tampan suaminya, segera memenuhi ruang pandangnya."Sudah malam, masih terjaga aja kamu, Sayang," ucap Mirza masih dengan mata terpejam.Lisa sedikit terkejut saat mendapati sang suami masih terjaga. Ia pun menghela napas, lalu berkata, "Aku kepikiran Wahyu, Mas. Kasihan dia. Sudah dapat donor ASI apa belum, ya?" Lisa berucap pelan."Coba aku masih mengASIhi Najwa, ya, kurasa mereka tak akan sibuk mencari donor ASI. Aku dengan senang hati membagi ASI untuk keponakanku," ucap Lisa dengan menatap tirai jendela yang bergerak-gerak. Rupanya angin malam menyelusup masuk, hingga membuat tirai putih itu meliuk perlahan. Ada sesal
Lisa bergegas kembali ke butik. Masih banyak pekerjaan yang perlu ia selesaikan. Meski dengan rindu pada anak-anak yang terus menumpuk jika ia bepergian seorang diri seperti sekarang, tapi, ia merasa tenang sebab memiliki asisten yang bisa dipercaya.Mbak Asih meski masih muda, tapi sangat telaten menghadapi anak-anak. Pun Bu Marni, ikut andil juga dalam tumbuh kembang ketiga anaknya.Memasuki ruangan untuk beristirahat sejenak, Lisa pun membaur ke depan bersama karyawannya. Saat meneliti sebuah gaun berwarna merah marun, tiba-tiba saja Maya memberikan kode, kalau ia harus melihat ke suatu tempat.Kepala itu pun menoleh, lantas melebarkan mata sejenak, saat melihat seseorang yang sangat ia kenal berada di balik pintu kaca. Tepatnya di seberang tokonya."Itu adik Mbak Lisa, bukan?" tanya Maya dengan berbisik. Lisa mengangguk, tapi ada sedikit keraguan. Alih-alih menjawab, sosok dengan tinggi seratus enam puluh centimeter itu justru mengajukan tanya."Boleh Mbak minta tolong?" pinta Lisa
Lisa sedang memeriksa stok pakaian serta beberapa desain yang baru masuk di butiknya, saat ponselnya berdering."Mbak Lisa, keponakan kamu sudah lahir."Itulah kalimat yang pertama menyapa saat sambungan telepon tersambung. Suara yang dikenali sebagai suara Rahmi."Cowok, Mbak. Lahir normal dua jam lalu. Maaf, baru kasih kabar," sambung Rahmi lagi sebelum Lisa sempat berucap sepatah kata. Kedua sudut bibir Lisa langsung membentuk lengkungan senyum menerima kabar itu."Alhamdulillah, selamat ya, Dek. Selamat menjadi ibu," ucap Lisa dengan suara tercekat. Ia teringat perjuangan adiknya selama menjalani kehamilan. Beberapa kali harus dirawat di rumah sakit sebab lemahnya kondisi.Usai mengucapkan selamat, ia pun berjanji akan segera berkunjung setelah pekerjaannya selesai.Dan rasa bahagia sebab bertambahnya anggota keluarga baru, membuat Lisa menyelesaikan pekerjaan lebih cepat. Pucuk pimpinan Lisa Boutique itu pun segera mene