Aku berusaha merebut kantung plastik berisi barang daganganku dari tangan Yani. Hampir saja semua isinya jatuh jika saja tidak ada orang yang datang untuk melerai kami. “Sudah cukup. Kenapa kalian main kekerasan di depan rumah saya?”
Ujar Bu Wati. Salah satu pelanggan yang rumahnya baru saja aku sambangi untuk menjajakan barang dagangan. Bu Wati berjongkok untuk membantuku untuk merapikan barang dagangan. Hampir saja uang yang aku sembunyikan jatuh ke tangan Yani jika Bu Wati tidak keluar dari rumahnya.
“Jangan ikut campur masalah keluarga kami Wat. Kalau kamu nggak mau kami berada disini biar Arini ikut bersama kami.” Bu Wati hanya bisa menggelengkan kepalanya mendengar perkataan Ibu mertua.
“Saya nggak ikut campur. Kalian saja yang buat ribut di depan rumah saya. Lebih baik Bu Lasmi dan Yani pergi sekarang juga dari rumah saya.” Usir Bu Wati yang membuat Ibu mertua dan Yani merengut kesal. Aku hanya bisa menghela nafas lega.
Saat mereka akan menarik tanganku, aku segera berlindung di balik tubuh Bu Wati. “Jika kalian tidak pergi, saya akan berteriak minta tolong. Mau kalian?” Ancam Bu Wati galak.
“Dasar tukang ikut campur. Ayo kita pulang saja Yan.”
“Iya Bu.” Ibu mertua dan Yani sudah berjalan menuju rumah mereka.
“Terima kasih banyak Bu Wati. Saya nggak tahu gimana jadinya kalau Bu Wati tidak menolong saya.” Bu Wati menepuk bahuku beberapa kali.
“Nggak masalah Rin. Kamu tenang saja. Kami juga nggak suka sama sikap Ibu mertua dan adik ipar kamu itu.”
Aku lalu pamit pada Bu Wati untuk pergi. Berkeliling ke tempat lain. Tepat jam lima sore, aku sudah pulang ke rumah. Mas Eko sedang bersiap pergi untuk melakukan shift malamnya. Kakiku terus melangkah menuju gudang. Tidak berniat untuk menyapa Mas Eko yang kini sudah duduk di balik meja dapur untuk makan.
“Apa? Kamu serius Yan?” Mas Eko berdiri dari kursinya lalu masuk ke dalam kamar.
Karena perasaanku tidak enak, aku segera menyusulnya. Sebelum itu, aku meminta Dinda untuk masuk ke dalam kamarnya. Agar tidak melihat pertengkaranku dengan Mas Eko. “Apa yang kamu lakukan mas?” Seruku kaget melihat baju di dalam lemari yang sudah sangat berantakan.”
“Mana uang setoran dari pelanggan kamu? Pasti dapat banyak kan sore ini?” Mas Eko terus menghamburkan baju hingga seiis lemari kosong.
“Apa maksud kamu? Uangnya sudah habis.”
“Kali ini apa lagi? Buat beli makanan, kebutuhan rumah, bayar listrik atau bayar air? Sepertinya sekarang uang kamu selalu habis setiap hari. Ada saja alasan kamu biar nggak ngasih uangku untukku dan Ibu.” Seru Mas Eko memotong ucapanku.
“Benar. Uang itu selalu habis setiap hari. Karena aku juga harus membayar hutang di koperasi. Oh iya, untuk hari ini uangnya aku gunakan untuk menyicil rumah kontrakan ini.” Raut wajah Mas Eko berubah menjadi gelap.
“Kenapa harus di cicil? Bukannya masih ada sisa waktu satu minggu lagi untuk membayar kontrakan? Uangnya bisa di gunakan oleh Yani untuk membeli seragam olahraga yang baru Arini.” Hardik Mas Eko sangat keras. Aku berusaha bersikap biasa saja untuk menunjukkan aku tidak gentar dengan amarahnya.
“Terus kalau nggak di cicil, bagaimana cara bayar uang kontarakan? Kamu mau kita terancam pergi dari rumah ini hanya karena tidak bisa mengumpulkan uang untuk membayar rumah ini?” Tanyaku dengan nada menantang. Mas Eko hanya terdiam dengan kedua tangan yang mengepal.
“Apa kamu tidak ingat kejadian tahun lalu mas. Kalau aku tidak pinjam uang pada Bu Sumi, mungkin sekarang kita sudah tinggal di jalanan. Mau ke rumah orang tuamu juga nggak akan muat karena tidak ada kamar untuk tidur lagi. Yani sudah mengubah kamarmu jadi ruang gantinya.”
Sebenarnya di rumah orang tua Mas Eko ada tiga kamar. Kamar utama untuk kamar tidur Bapak dan Ibu mertua. Kamar kedua untuk tempat tidur Yani dan kakak perempuan Mas Eko yang bernama Mbak Parti dan kamar ketiga untuk tempat tidur Mas Eko. Namun, sejak kami memutuskan untuk pindah, kamar Mas Eko di sulap menjadi ruang pribadi tempat baju dan perhiasan milik Ibu mertua dan Yani di simpan. Menjadikan kamar itu lebih sempit dengan tiga lemari yang berjajar,
“Bukan hanya tahun lalu mas. Tapi, juga tahun-tahun sebelumnya. Kalau tahun ini tidak di cicil, uang kita sudah lebih dulu habis untuk biaya kebutuhan sehari-hari.”
“Kenapa kamu tidak minta pada kakak iparmu saja? Dia pasti juga akan memberi uang padamu kan?” Bantah Mas Eko tidak mau kalah.
“Tidak akan. Kakakku dan kakak iparku punya kebutuhan keluarga mereka sendiri.”
“Jangan sok kuat deh. Padahal dulu juga kakak iparmu sering membelikan barang-barang bagus. Sejak kita menikah kamu justru menolak semua kebaikannya. Lumayan kan kalau kamu menerima uang dari Kak Rania. Uang gaji kita bisa di berikan pada Ibu.”
Aku benar-benar tidak bisa mengerti jalan pikiran Mas Eko. Tanpa Mas Eko sadari aku sudah tahu jika alasan Mas Eko menikah menikah denganku Kak Mbak Rania yang selalu baik padaku? Pasalnya saat kami masih pacaran, aku memang menceritakan semua hal tentang Kak Rania dan Kak Arif. Sehingga hal itu di manfaatkan oleh Mas Eko saat masa awal rumah tangga kami. Untungnya aku sudah tahu setahun kemudian.
“Sekali nggak tetap nggak. Kalau begitu kenapa kamu nggak minta uang pada Mbak Parti juga. Dia kan menikah dengan orang kaya mas. Seharusnya Mbak Parti bahkan bisa membelikan banyak barang yang lebih bagus jika memberikan uangnya pada Ibu.” Ucapanku itu seketika membuat Mas Eko terdiam.
Sejak menikah dengan Mas Eko, aku memang jarang bertemu dengan Mbak Parti. Karena Mbak Parti ikut suaminya pindah keluar pulau. Ibu dan Bapak mertua selalu menyombongkan jika keluarga suami Mbak Parti adalah orang kaya. Sehingga kehidupan Mbak Parti kini sudah berubah menjadi jauh lebih baik.
Setiap kali pulang kampung, Mbak Parti, suami dan anak-anaknya selalu memakai pakaian bagus. Tidak lupa dengan kalung, gelang, dan cincin emas yang memenuhi tubuhnya. Tapi, tidak sekalipun Mbak Parti memberikan uang pada orang tuanya. Bisa di bilang suami Mbak PArti itu pelit.
“Nggak usah mengungkit tentang kakakku. Anak perempuan itu tidak wajib memberikan uang pada orang tuanya.” Bantah Mas Eko tetap membela keluarganya.
“Berarti Kak Rania juga tidak punya kewajiban untuk memberi uang padaku. Karena aku hanya adik iparnya.” Tangan Mas Eko sudah terangkat. Hendak menamparku lagi. Namun, sedetik kemudian tangannya sudah turun lagi.
“Jangan mengalihkan percakapan. Gara-gara kamu aku jadi telat kerja. Pokoknya aku nggak mau tahu, besok bayar seragam barunya Yani dulu. Baru nyicil bayar kontrakan lagi.” Mas Eko meraih tas selempangnya lalu segera keluar rumah. Selalu menghindar jika aku sudah membahas kakaknya.
“Tidak mau. Kecuali jika kita berniat tidur di bawah jembatan.”
Mas Eko tidak mengatakan apapun. Tapi, kakinya sudah menendang lemari hingga lemari jatuh. Menimbulkan debam suara keras yang membuat tubuhku menggigil ketakutan. Untungnya Mas Eko sudah pergi dari rumah. Jadi, dia tidak tahu aku yang kini terkulai lemah di samping tempat tidur. Ketakutan menghadapi sifat tempramennya yang tidak pernah berubah sama sekali.
Rasanya aku ingin pergi dari rumah ini sekarang juga bersama dengan Dinda. Tapi, kemana kami harus pergi? Tidak ada tempat tujuan lain untukku dan Dinda.
Malam ini aku memutuskan untuk tidur di dalam kamar Dinda. Sudah kuputuskan jika aku hanya akan mengambil barang dagangan dari agen distributor sampai kontrak rumah ini selesai. Pemilik rumah yang kasihan padaku mengatakan jika aku bisa memperpanjang kontrak hanya tiga bulan saja. Setelah aku mengatakan rencana untuk pergi dari kota ini setelah kenaikan kelas Dinda.“Daripada bayar untuk satu tahun terus kamu pergi dari rumah itu kan percuma. Lebih baik bayar untuk tiga bulan saja. Jangan lupa persiapkan uang untuk mengontrak rumah di kota lain juga.” Kata pemilk kontrakan yang bernama Mbak Rini kala itu.Kutatap wajah Dinda yang sudah terlelap. Memikirkan langkah selanjutnya yang harus aku tempuh untuk ke depannya. Setelah masalah rumah kontrakan ini selesai, aku harus menagih kredit baju para pelanggan. Mungkin untuk para pelangganku yang berada di kawasan rumah Ibu mertua bisa mengerti jika aku mengatakan tidak bisa lagi menyetok baju. Tapi, bagaimana dengan pelangganku yang lain?
Pagi harinya aku memutuskan untuk membeli bubur ayam di waurng terdekat. Mas Eko masih tidur setelah tadi malam melakukan shift di pabrik. Aku juga tidak tertarik untuk membahas kamar dan gudang yang berantakan. Bertengkar di pagi hari akan membuatku terlambat mengantarkan Dinda ke sekolah.“Kamu benar-benar nggak punya simpanan uang kan Rin?” Itu pertanyaan Mas Eko tadi malam yang langsung aku jawab dengan gelengan kepala.“Sudah kamu lihat sendiri mas. Aku sama sekali tidak punya simpanan uang.” Bantahku berusaha untuk tenang.Aku menyapa tetangga yang juga sedang mengantri untuk membeli bubur ayam. Saat tiba giliranku, aku menyebut pesanan, penjual bubur ayam itu anehnya menatapku dengan sengit. Hal yang tidak pernah di lakukannya padaku selama ini.Apakah aku pernah melakukan kesalahan padanya? Jika di ingat-ingat kami jarang bertemu. Saat membeli aku juga tidak pernah berhutang padanya. Semua orang sudah pergi hanya menyisakan aku saja disana.“Maaf mbak. Apa aku punya salah sama
Kak Rania menarik tangan Dinda sambil menempelkan jari telunjuknya di bibir. Sebagai isyarat agar kami tidak mengatakan apapun. Masih bisa aku dengar Ibu mertua yang mengeluh tentang penghasilanku yang sering habis untuk kebutuhan rumah. Sehingga tidak bisa memberi Ibu mertua dan Yani banyak uang seperti dulu.“Apa Arini pernah cerita kalau dia di tegur sama bosnya Ko?” Tanya Ibu mertua yang memperhatikan jika barang daganganku tidak sebanyak dulu lagi.“Iya Bu. Bu Sumi membatasi barang dagangan yang di ambil Arini karena sering telat membayar.”“Itu sih tanggungannya Mbak Arini. Tapi, dia juga harus tetap mikirin kita lah.” Sahut Yani tidak mau tahu.Tentu saja Kak Rania juga ikut mendengar percakapan keluarga Mas Eko. Raut wajah Kak Rania sudah berubah menjadi keruh. Dengan isyarat tangan, Kak Rania mengajak kami diam-diam pergi dari sana. Hingga kami akhirnya duduk di kursi teras. Sudah ada banyak barang yang di letakan di atas meja.“Kakak nggak nyangka jika kelakukan suami kamu d
“Aku sama sekali tidak menceritakan apapun. Buat apa mengumbar aib rumah tangga sendiri. Aku dan Dinda juga yang akan malu. Lagian kamu nggak dengar sendiri kalau Kak Rania sudah mendengar semua percakapan kalian? Bahkan Kak Rania juga melihat Ibu yang tidak mengijinkanku makan malam bersama kalian. Bukan aku yang membuat sikap Kak Rania berubah pada kalian. Tapi, keluargamu sendiri yang sudah melakukan hal itu mas.”Mas Eko hanya terdiam. Sama sekali tidak bisa menjawab perkataanku lagi. Kakiku kembali melangkah masuk menuju kamar untuk berganti baju. Bagaimanapun juga hari ini aku harus pergi ke pasar. Apalagi setelah ini aku masih harus membersihkan rumah. Ibu hanya menyapu halaman depan untuk menarik perhatian Kak Rania. Tapi, kondisi di dapur masih seperti kapal pecah setelah mereka selesai makan tadi malam.Apa tadi yang Ibu katakana? Ibu mertua sudah memasak sarapan untuk menyambut kedatangan Kak Rania. Namun, semua itu bohong karena saat berjalan melewati dapur tadi aku tidak
Belum sempat aku selesai menjawab Bapak sudah mengatakan pada teman-temannya jika aku yang akan membayar. Diam-diam aku memberikan salah satu dompetku pada Dinda. Dengan isyarat mata, Dinda mengerti jika dia harus segera pergi ke toko. Aku mengeluarkan dompet yang satu lagi. Hanya ada uang tiga puluh ribu saja di dalam dompet.Aku berjalan menghampiri Bapak mertua yang hendak keluar bersama teman-temannya. “Maaf Pak. Uangku tinggal tiga puluh ribu aja. Tadi nggak dapat banyak setoran. Terus uangnya buat ngisi bensin sama sudah di ambil Mas Eko.”Bukannya menjawab perkataanku, Bapak mertua justru menarik tanganku menuju sudut warung, Mengabaikan tatapan pemilik warung dan teman-temannya yang mendengar perkataanku tadi. Wajahnya sudah berubah menjadi merah. Mungkin karena malu mendengar perkataanku di depan teman-temannya dan para pembeli yang makan disini.“Kalau ngomong jangan di depan teman-teman Bapak. Kalau kamu nggak ada uang, tunggu sampai Bapak pergi. Kamu kan bisa pinjam pada b
Kak Arif memberikan tanda jika ia akan mematikan sambungan telpon. Aku segera meletakan hp di atas meja belajar Dinda lalu membaringkan tubuh. Bagaimana bisa Mas Eko mendengar suaraku yang tidak keras? Apakah dia sengaja menguping sejak tadi? Biasanya jika aku menelpon tengah malam seperti ini, Mas Eko tidak pernah bangun.BRAK…. BRAAAKKK…. BRAAAKKKKKK…….Gedoran itu masih berlanjut hingga membuat Dinda terbangun. Aku meletakan jari di depan bibir sebagai tanda agar Dinda tidak bersuara. Wajah Dinda sudah takut karena mendengar suara seperti itu di tengah malam. Suara gedoran di pintu masih belum usai. Lima belas menit kemudian Mas Eko sudah menyerah. Kini aku bisa mendengar suaranya yang sedang bicara dengan Ibu dan Bapak mertua.“Mungkin si Arini lagi ngelindur kal Ko. Dia kalau tidur kan pulas banget. Sampai nggak tahu kalau uangnya sering Ibu ambil.”Hah. Aku baru tahu tentang fakta yang satu ini. Jadi, Ibu mertua sering masuk ke dalam kamar utama saat aku sedang tidur untuk menga
Saat masuk ke dalam rumah, Ibu mertua sudah mengomel karena isi amplop itu bukan uang seperti yang ada di pikirannya. Kertas undangan untuk wali murid itu sudah berada di lantai. Di injak hingga kotor untuk melampiaskan rasa kesal Ibu mertua. Aku memutuskan untuk tidak pergi ke pasar hari ini. Dengan begitu Mas Eko dan keluarganya tidak akan curiga jika aku masih punya uang simpanan yang lain. Justru aku sibuk memasak bahan makanan tersisa di kulkas untuk lauk nanti siang dan nanti malam.“Kamu nggak pergi ke pasar Rin? Naik ojol kan bisa. Biayanya lebih murah dari ojek pengkolan.” Mas Eko sudah menyusulku ke dapur. Hari ini Mas Eko memang bekerja untuk shift sore. Jadi, dia tidak akan bekerja sejak pagi.“Aku nggak punya uang mas. Tadi udah wa teman pedagang di pasar buat pinjam uang. Tapi, dia bilang baru bisa ngasih setelah pulang dari pasar.” Tanganku dengan gesit memetik kangkung yang akan aku masak. Kangkung inipun aku dapat dari kebun tetangga yang kasihan karena Ibu mertua ter
Dinda terpaksa di rawat di rumah sakit karena tubuhnya masih panas. Aku berterima kasih pada wali kelas Dinda yang mau mengantar kami. Saat akan memberikan uang untuk memesan ojol, beliau menolak dengan mengatakan sudah jadi kewajibannya untuk menjaga Dinda. Aku berjalan menuju kamar rawat Dinda yang di huni bersama dengan tiga pasien anak yang lain.Menurut keterangan dokter ada banyak kemungkinan Dinda bisa demam. Tidak di temukan alergi makanan atau virus yang bersarang di tubuh putriku. Karena itulah dokter akan melakukan tes lab untuk mencari tahu penyebab lainnya lebih lanjut. “Bisa jadi Dinda tidak sengaja keracunan makanan.”DegPikiranku langsung tertuju pada Mas Eko. Meskipun aku sudah sangat hati-hati agar tidak terjebak dalam rencannaya, bisa jadi Mas Eko diam-diam sudah melakukan sesuatu. Segera aku keluarkan hp untuk memberi tahu Kak Arif dan Kak Rania lebih dulu jika Dinda masuk rumah sakit. Setelah itu, aku mencari di mesin pencarian tentang macam-macam racun.Ada sala
Setelah tangis Gilang reda, Anita baru menceritakan kemungkinan besar alasan Radit adn Dina berselingkuh. Karena mereka berdua sama-sama bohong. Kening Gilang berkerut tidak mengerti mendengar awal mula penjelasan dari kakak sepupunya itu. “Maksud kamu apa Nit? Kenapa Dina bisa selingkuh sama Mas Radit karena mereka sama-sama berbohong.” Tanya Gilang heran sama sekali tidak mengerti dengan apa maksud Anita tadi.“Ya karena mereka sudah berbohong satu sama lain Lang. Mas Radit sudah berbohong pada Dina jika dia adalah pengusaha online yang sukses. Lewat pesannya, Mas Radit membual jika dia mendapat omset yang sangat banyak hanya dari toko online saja. Sayangnya, saat sedang berpacaran dengan Dina, dia sudah menginvestasikan hampir semua uangnya untuk membeli saham. Sedangkan sisanya untuk biaya kebutuhan makanku dan keluarganya.” Belum selesai Anita becerita, Gilang sudah tertawa terbahak-bahak hingga air matanya kembali menetes.Berbanding terbalik dengan tadi saat pria itu terlihat s
Setelah berhasil meredakan amarahnya karena membaca beberapa status Radit di hp milik Sania, Anita menghela nafasnya berulang kali. Ia tidak boleh marah disini. Apalagi marah pada Anita yang sudah berbaik hati menunjukkan tentang status Radit padanya. Itu sama sekali tidak baik dan bisa merusak hubungan mereka.“Aku kirim ke hpku ya San. Nanti akan aku buka blokiran khusus untuk Mas Radit.” Kata Anita setelah amarahnya reda. Sania menganggukan kepalanya setuju.“Iya buka saja Nit. Kamu balas status Radit di sosial media sekalian sertakan bukti yang bisa menguatkan perlakuan Radit padamu. Karena kamu bekerja di perusahaan terkenal, nama baik kamu bisa tercoreng kalau sampai ada yang tahu orang yang di maksud Radit di postingannya adalah kamu. Apalagi kamu juga asisten pribadi Bu Rania.” Anita menghela nafas berat karena masalahnya belum selesai-selesai. “Padahal dia yang melakukan kesalahan selama ini hingga selingkuh. Para warga juga sudah tahu jika Mas Radit berselingkuh dengan Dina
Ada banyak rutinitas yang Anita lakukan seperti biasa sejak pulang ke rumah orang tuanya. Rutinitas yang dulu selalu Anita lakukan sebelum menikah dengan Radit. Bedanya dulu orang tua Anita bekerja di sawah. Sekarang orang tua Anita berjualan bahan makanan di mereka serta keliling kampung dengan menggunakan mobil pick up. Sejak pagi ia bangun saat kedua orang tuanya sudah bersiap pergi ke pasar. Bapak dan Ibu Anita pergi jam setengah empat pagi sebelum adzan subuh berkumandang. Kedua orang tua Anita akan sholat subuh di musola pasar bersama pedagang yang lain. Sedangkan Anita yang juga sudah bangun saat mendengar suara orang tuanya berbincang di ruang tamu segera keluar menuju dapur untuk membuatkan dua teh hangat lalu di bungkus untuk kedua orang tuanya agar bisa di bawa pergi.Setelah itu, ia akan sholat tahajjud dulu sambil mengaji untuk menunggu datangnya waktu subuh. Baru setelah sholat subuh Anita akan mulai membersihkan rumah. Mulai dari meyapu halaman, menyapu seisi rumah, men
“Kenapa besan? Apa anda mau menghajar saya di rumah saya sendiri? Cepat hajar saya sekarang juga karena saya sama sekali tidak takut.” Tantang Bapak Anita tidak merasa takut sama sekali melihat wajah besannya yang sudah semerah tomat. Rasanya Bapak Anita ingin kembali melontarkan hinaan pada Radit dan kedua orang tuanya lagi atas semua penderitaan yang sudah di lalui Anita selama ini.“Itu kenyataannyakan. Semua hal yang saya bicarakan adalah fakta." Ibu Anita segera memegang tangan sang suami agar tidak terjadi perkelahian di antara dua pria paruh baya itu. Anita juga menggelengkan kepalanya pada sang Bapak karena ada hal lain yang ingin ia bicarakan dengan Radit.“Silahkan duduk dulu Bapak mertua karena ada hal yang ingin saya bicarakan dengan kalian. Ini terkait dengan urusan harta gono gini yang kalian ributkan dan nasib rumah tangga saya dan Mas Radit ke depannya.” Bapak Anita sudah duduk lebih dulu sambil terus mengangkat dagunya tinggi. Membuat Anita dan sang Ibu hanya bisa men
Malam itu juga sesuai rencana Radit dan orang tuanya datang ke rumah orang tua Anita dengan mengendarai dua sepeda motor yang berbeda. Radit mengendarai motornya sendiri sedangkan Bapak dan Ibunya naik motor yang berbeda. Sepanjang perjalanan entah kenapa Radit begitu gugup jika ia akan di pukuli kali ini. Mengingat jika masalah tentang perselingkuhanya dengan Dina sudah terbongkar dan jadi konsusmi di sosial media. Sudah pasti orang tua Anita dan keluarganya yang lain sudah tahu masalah ini walaupun Anita tidak pernah menceritakannya pada mereka.Suara kedua motor itu terdengar cukup keras saat berhenti samping mobil pick up kecil yang terparkir di halaman rumah orang tua Anita. Mobil pick up yang sering di gunakan untuk orang tua Anita untuk membeli sayur di pasar lalu menjakannya saat hari sudah beranjak siang. Radit lebih dulu turun dari motor lalu di susul oleh kedua orang tuanya. Mereka bertiga sudah berdiri di depan pintu rumah orang tua Anita."Cepat kamu ketuk pintunya Dit."
Saat Gilang menganggukan kepalanya, seketika tangis Bu Surti menjadi semakin keras. Pak Andi mengusap setitik air mata yang jatuh ke pipinya. Dalam benak Bu Surti pantas saja sejak Gilang keluar dari kamarnya untuk mengambil wudhu untuk menunaikan sholat subuh, sang putra sudah terlihat sangat lemas. Belum lagi keanehan yang lain dari pria itu dimana Gilang memilih untuk cuti kerja dengan alasan tidak enak badan. Saat Bu Surti mengukur suhu tubuh sang putra dengan telapak tangannya, tubuh Gilang sama sekali tidak terasa panas.“Biarkan saja Gilang cuti hari ini Bu. Mungkin tubuhnya yang terlalu pegal.” Begitu kata Pak Andi setelah sang istri mengatakan tentang rasa khawatirnya karena sikap Gilang yang tiba-tiba berubah.“Lagian Gilang juga belum pernah libur kerjakan?” Tanya Pak Andi lagi untuk mengusir rasa khawatir sang istri pada putra mereka.“Benar juga sih Pak.” Bu Surti menganggukan kepalanya setuju.Tanpa mereka sangka penyebab Gilang terlihat sangat sedih karena pria itu suda
Bersamaan dengan keributan yang terjadi di rumah keluarga Radit, pagi itu Ibu Anita pergi mengendarai motor menuju rumah adiknya yang bernama Bu Surti yang merupakan Ibu Gilang. Hari ini Ibu dan Bapak Anita juga tidak mengambil barangan dagangan dari pasar, sehingga hanya ada sedikri pembeli hari ini. Pekerjaan rumah juga sudah di kerjakan oleh Anita. Jadi, Ibu Anita bisa langsung pergi ke rumah adik dan adik iparnya itu tepat setelah sarapan.Meskipun sudah memakai helm dan masker, sepanjang jalan banyak orang yang menyapa Ibu Anita dengan ramah seperti biasa lalu berbisik di belakang wanita paruh baya itu. Setelah motor yang di kendarai Ibu Anita sudah berlalu dengan hadapan mereka. Seperti yang di takutkan oleh Anita jika perceraiannya dengan Radit akan menjadi bahan gunjingan pada tetangga satu desa bahkan sampai desa sebelah. Tapi, untungnya orang-orang yang membicarakan mereka karena kasihan pada Anita telah di selingkuhi dengan tunangan adik sepupunya sendiri. Setelah menjadi t
“Kenapa kamu bisa ketahuan sampai seperti ini Radit?” Teriak sang Bapak galak setelah menyerahkan hp milik Rina pada pemiliknya. Kening Bapak Radit suydah berkerut dalam tanda jika pria paruh baya itu marah besar. Kedua mata tuanya menatap sang putra dengan tatapan nyalang.“Sudahlah Pak. Mau bagaimana lagi. Yang penting untuk saat ini kita harus membujuk Anita agar tidak melaporkan Radit ke polisi.” Ibu Radit berusaha memberanikan diri untuk membela sang putra. Ini semua juga salahnya karena sudah mendukung hubungan terlarang Radit dengan Dina. Hanya karena hidup mereka masih bergantung pada gaji Anita.“Kan sudah Bapak bilang dulu. Kalau berhubungan dengan Dina yang lelbh kaya dari Anita, ceraikan dulu istrimu itu agar kalian bisa memulai hubungan di saat sudah sama-sama sendiri. Tidak perlu menuntut soal harta karena Anita sudah tidak punya apapun lagi. Waktu tahu Dina sudah punya tunangan, minta saja Dina putus dar tunangannya dengan embel-embel harta. Kenapa kalian nggak bisa mik
Perkataan Pakde Herman itu tentu saja membuat Ibu Radit merasa sangat bingung. Apa yang sebenarnya terjadi hingga Anita memulangkan koper radit ke rumah ini? Belum lagi pria yang tidak mereka kenal dengan seenak hati bisa bicara dengan bebas tentang permasalahan rumah tangga di antara Anita dan Radit.“Apa maksud semua ini Dit?” Tiba-tiba saja Ibu Radit itu teringat pada Dina yang baru saja berkunjung ke rumah ini lalu pergi dengan Radit sambil berboncengan motor. Ia sama sekali tidak tahu alasan Radit pulang ke rumah karena apa. Selain itu, Ibu Radit juga sama sekali tidak curiga saat kemarin malam Radit pulang ke rumahnya dengan berjalan kaki. Karena sang putra langsung masuk ke dalam kamar untuk tidur. Bukannya menonton TV bersama keluarga di ruang tengah.“Anita pulang bersamaan dengan Radit ke rumah saat sedang membonceng selingkuhannya itu. Belum sempat Anita bertanya siapa wanita itu dia sudah kabur. Ternyata wanita selingkuhan anakmu ini adalah Dina yang merupakan tunangannya