Mataku menatap getir isi dalam kantong kresek hitam itu. Ternyata semua tak sesuai ekspektasi. Isi dari dalam kantong kresek hitam itu ternyata berupa butiran nasi aking kering.
"Syukurlah, hari ini Mas bisa beli nasi aking lebih banyak dari kemarin. Maaf ya, Ris, Mas hanya bisa membelikan ini lagi buat kamu. Mau beli beras tapi uangnya tidak cukup. Bisa saja sih di cukup-cukupi, tapi nanti kamu tidak ada lauk buat teman nasinya," imbuh mas Rendi seraya mengusap rambutku. Kemudian mas Rendi mengambil air minum dari dapur lalu kembali menghampiriku.Aku tertegun dengan ucapannya. Sangat meyakinkan tapi bertolak belakang dengan penglihatanku tadi. Apakah aku salah lihat tadi? Aku rasa tidak, jelas-jelas yang aku lihat di warung nasi Padang tadi adalah mas Rendi."Oh, terima kasih, Mas. Aku kira isinya nasi Padang. Tapi ya sudahlah ….""Uhuk!"Mas Rendi terbatuk dan air dari mulut mas Rendi muncrat mengenai nasi aking ini."Kenapa, Mas?" tanyaku."Oh tidak apa-apa, Mas cuma tersedak saja," jawabnya.Tak ada percakapan sama sekali soal nasi Padang tadi. Aku menghela nafas kasar, mencoba tenang dan tak ingin membahas masalah ini, dan memilih diam."Ini uang hasil kerja Mas tadi, cuma dapat segini. Semoga cukup ya buat beli lauk." Mas Rendi memberikan uang sebanyak lima ribu rupiah.Aku menerimanya dengan lapang dada. Aku memasukkan uang pemberian mas Rendi ke dalam saku celana."Makasih, Mas. Ya sudah, Mas, aku siapin dulu makan buat kamu. Pasti kamu lapar belum makan," ucapku, sengaja pura-pura tidak tahu bahwa ia sudah makan tadi."Mas nggak lapar, tidak tahu kenapa akhir-akhir ini Mas kurang nafsu makan. Biar Mas minum air hangat saja. Kamu tidur gih, Mas mau bersih-bersih dulu di kamar mandi," sahut mas Rendi.Dalam hati aku membatin, 'jelas dia tidak lapar, orang dia sudah makan nasi Padang tadi'.Aku menyimpan bahan nasi aking ke dapur. Lanjut aku masuk ke dalam kamar untuk tidur.Jujur aku sangat kecewa, bukan karena masalah nasi Padang atau apa. Ini tentang kejujuran. Kenapa mas Rendi bisa sampai berbohong seperti itu.Aku mulai merebahkan diri di atas tempat tidur. Namun aku kembali bangun teringat akan uang pemberian mas Rendi tadi.Aku menyimpan uang tadi ke dalam toples kecil. Biarlah, besok aku tidak usah membeli lauk. Masih ada cabe dan garam di dapur, untuk dijadikan teman nasi.Aku kembali merebahkan tubuhku di tempat tidur. Tak terasa mataku mulai berat dan aku akhirnya tertidur pulas.*Esok hari"Mas mau kemana? Nggak sarapan dulu?" tanyaku saat melihat mas Rendi hendak keluar."Mas belum lapar, Ris. Mas mau cari kerja lagi. Doain Mas, mudah-mudahan Mas dapat uang yang banyak," sahut mas Rendi."Aamiin … tapi, Mas, kok aku rasa akhir-akhir ini kamu nggak pernah makan di rumah. Kenapa? Apa kamu suka makan di luar?" tanyaku.Mas Rendi kemudian duduk di sampingku."Nggak tahu kenapa, Mas selalu nggak selera makan. Tapi kamu jangan khawatir, Mas nggak apa-apa kok," jawabnya.Rasanya aku tak puas mendengar jawabannya. Tapi aku tak mau ambil pusing, aku pun beranjak dan membereskan dapur yang masih berantakan."Ya sudah," lirihku.Mas Rendi kemudian beranjak dari duduknya, dan keluar dari rumah.Owek … owek ….Terdengar suara Kania dari dalam kamar. Aku bergegas menghampirinya dan menenangkannya yang sedang menangis."Anak Mama kenapa sayang? Cup cup … jangan nangis, ya!" Aku menciumi kening Kania.Setelah memandikan dan menyusui Kania, aku keluar ingin mengajak Kania jalan-jalan di sekitar area tempat tinggalku."Duh, anak cantik mau kemana?" Salah satu tetanggaku yang bernama Eni menyapa anakku."Mau jalan-jalan, Tante," jawabku mewakili anakku."Eh Ris, apa kamu dan suami kamu ternak bebek, ya? Kalau iya, aku mau beli dong! Dimana tempatnya?" tanya Eni.Mendengar pertanyaan Eni, aku mengerutkan keningku. Ternak bebek? Apa maksudnya?"Maaf, Ni, maksudnya apa ya? Aku sama Mas Rendi nggak ternak bebek." Aku bertanya balik."Loh, kemarin aku lihat suami kamu beli nasi aking buat pakan bebek. Kebetulan yang menjual nasi aking itu teman aku, Ris. Aku nggak sempat nyapa suami kamu, karena aku sedang sibuk telponan sama suami aku. Kata temanku, suami kamu sudah sebulan langganan nasi aking disana. Suami kamu juga bilang, kalau itu buat pakan bebek," jelas Eni.Mendengar penjelasan Eni, hatiku benar-benar sakit. Eni tidak tahu saja, bebek yang dia maksud mungkin adalah aku. Aku yang setiap hari makan nasi aking itu."Ris, kok malah bengong!" Eni menepuk pundakku, sehingga aku tersadar dari lamunanku."Eh, a-aku … aku mau pergi dulu. Kasihan Kania, jenuh di rumah terus," tukasku.Aku buru-buru pergi dari hadapan Eni. Tak sanggup rasanya aku mendengar ucapan Eni lebih dari ini.Aku berjalan melewati beberapa orang yang menyapaku, tapi aku tidak menghiraukan mereka. Sampai di jalanan yang sepi, aku berhenti. Aku duduk di bangku tepat di bawah pohon sawo yang lumayan besar."Tega kamu, Mas. Kamu anggap aku ini seekor bebek?" Aku mengusap air mataku yang menetes.Aku tersinggung, setidaknya mas Rendi tidak perlu mengatakan bahwa nasi aking itu untuk pakan bebek. Nyatanya aku yang setiap hari memakannya.Kania menggeliat dalam gendonganku. Aku menepuk-nepuk bokong anakku, supaya dia anteng aku gendong.Setelah lumayan lama aku duduk, aku pun beranjak hendak pulang ke rumah.Namun setengah jalan, aku melihat sebagian warga berbondong-bondong berjalan ke suatu tempat."Pak ini warga mau kemana, ya? Kok rame sekali?" tanyaku pada salah satu dari mereka."Eh, ini Neng, kebetulan pak haji Darmawan sedang mengadakan santunan beras untuk warga. Lumayan kan, dapat beras buat makan," jawabnya.Beras? Mataku membelalak mendengar kata beras. Sudah lama aku tidak memakan nasi yang bagus."Pak, apakah saya boleh ikut?" tanyaku."Tentu saja boleh, siapa yang mau, ayo ikut! Mumpung ada orang baik yang mau bagi-bagi rejeki. Ayo, Neng!" jawabnya.Mendengar jawabannya, aku sangat kegirangan dan sangat berantusias. Jika saja aku tidak sedang menggendong Kania, mungkin aku sudah berjingkrak saking senangnya.Aku bergabung dengan warga yang hendak mengantri pembagian beras itu.Cuaca mulai terik, tapi tak menyurutkan niatku untuk mendapatkan beras gratis itu. Aku menutupi wajah Kania menggunakan ujung kain jarik, supaya Kania tidak kepanasan.Peluh mulai bercucuran dimana aku masih berada di antrian belakang."Sabar ya, Nak! Nanti setelah ini kita bisa menikmati nasi yang bagus. Kamu juga bisa menikmati asi yang bergizi," gumamku menatap anakku yang tertidur di gendonganku.Lumayan lama aku berdiri mengantri, akhirnya giliran aku mendapatkan beras gratis itu."Alhamdulillah … walaupun hanya 2 liter, tapi aku sangat senang. Ini akan menjadi makanan terenak buatku hari ini," batinku tersenyum bahagia.Setelah mendapatkan beras gratis itu. Aku pun berjalan pulang dengan langkah semangat.Sampai depan rumah, mataku seperti menangkap seseorang di samping rumahku."Siapa itu? Kenapa dia?" gumamku, saat melihat seorang perempuan muda tergeletak tak sadarkan diri di samping rumahku dengan tas berukuran besar yang berada di sampingnya.Setengah berlari aku pun menyimpan terlebih dahulu beras ke dalam rumah, kemudian menghampiri perempuan itu. Aku berjongkok dengan masih menggendong Kania. Aku menyoroti wajah perempuan itu, namun sama sekali aku tak mengenalnya."Mbak, Mbak bangun!" Aku menepuk pelan sebelah pipi perempuan itu. Mencoba membuat dia sadar dari pingsannya."Mbak bangun, Mbak!" Aku terus mencoba membangunkannya kembali. Berharap dia sadar dan menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.Masih tetap sama, perempuan itu masih belum sadarkan diri, dia masih tak bergerak dan memejamkan mata.Kemudian aku mencoba mengguncang-guncangkan tubuhnya namun masih tetap sama.Merasa tak bisa untuk membuatnya tersadar, aku pun panik lalu berdiri untuk mencari pertolongan."Tolong … tolong ada orang pingsan!" Aku berteriak berharap ada seseorang yang ma
Nampan yang berisi segelas minuman bergetar mengikuti gerakan tanganku. Aku tertegun melihat pemandangan seperti ini."Ris!" panggil mas Rendi saat melihatku berdiri menatap mereka. Davina mengurai pelukannya terhadap mas Rendi.Aku terdiam menatap mereka berdua. Ada apa sebenarnya dengan mereka? Kenapa mereka berdua bisa saling berpelukan seperti itu?"Kalian berdua ngapain?" tanyaku menyelidik."Ris, jangan salah paham dulu. Ini Davina, sepupu aku dari luar kota," jawab mas Rendi."Sepupu?" Rasanya aku belum bisa mempercayainya. Aku sama sekali tidak kenal dengan Davina, yang disebut sepupu oleh mas Rendi itu."Jadi ini istri kamu, Mas? Ya ampun … aku nggak nyangka loh, Mas. Istri kamu itu baik banget, aku bersyukur sudah ditolong sama Mbak Risa." Davina menceritakan semua yang terjadi terhadapnya kepada mas Rendi."Jadi begitu? Maaf Mas nggak bisa dihubungi, karena kadang ponsel mas tidak ada kuotanya," ucap mas Rendi.Aku hanya menyimak percakapan mereka berdua."Aku belum sempat
"Ya sudah, Ris. Aku pulang dulu, ya! Sudah sore," pamit Dela.Dela pun pulang dan aku masuk ke dalam rumah."Siapa itu, Mbak? Cantik banget," tanya Davina yang baru saja pulang."Itu teman Mbak. Kamu sudah dapat kerjaannya?" jawabku kemudian bertanya balik.Davina menghempaskan tubuhnya ke atas sofa."Belum, Mbak. Nyari kerjaan susah," jawabnya."Kenapa nggak kerja di tempat kamu dulu merantau, Vin," imbuhku.Davina menghembuskan nafas kasar. Kemudian menjawab, "Sudah habis kontrak, Mbak. Makanya aku nyari kerja disini. Oh iya, Mbak, aku lapar nih. Mas Rendi belum pulang?""Belum pulang dia, entah jam berapa pulangnya tak tentu. Ya sudah kalau begitu, Mbak masak dulu. Tapi kamu jagain Kania dulu." Aku menyerahkan Kania kepada Davina.Davina menerima Kania dan menggendongnya.Aku berkutat di dapur, menanak nasi aking dari mas Rendi.Owek … owek … owek!Terdengar Kania menangis di ruang keluarga. Aku segera menghampirinya."Kania kenapa, Vin?" tanyaku."Nggak tahu, Mbak. Dia rewel, mung
"Mas Rendi? Benarkah dia? Mereka mau ngapain keluar malam-malam begini tanpa izin dariku pula? Kenapa sikap mereka begitu mesra," batinku.Pikiran negatif bermunculan dalam benak. Apakah mereka … tapi kan mereka sepupuan. Aku menggelengkan kepala. Membuang rasa curiga ini, namun tetap saja, pikiran buruk ini mendominasi diri. Andai saja hal itu benar dengan apa yang aku pikirkan. Sungguh aku tak akan pernah memaafkan mereka berdua.Perutku kembali merasa lapar. Aku pergi ke dapur dan mengambil nasi aking yang aku masak tadi sore. Aku memakannya walaupun mulut ini rasanya tak bernafsu sedikitpun. Mengingat sesuatu hal yang terasa janggal yang baru saja aku lihat. Aku melakukannya hanya untuk mengganjal perut saja.Selesai makan, aku tak langsung tidur. Aku duduk di sofa ruang tamu, menunggu kepulangan Davina dan mas Rendi. Aku ingin menanyakan mereka dari mana dan habis ngapain.Ingin rasanya aku menelepon mas Rendi, untuk menanyakan keberadaannya dimana. Aku melirik ponselku, yang ter
"Ya Tuhan ini ada apa? Apa yang terjadi?" Tubuhku bergetar hebat, saat mendapati noda merah bekas lipstik di baju mas Rendi.Aku meremas kasar baju mas Rendi. Rasanya aku tak sabar ingin mencacinya, karena telah tega bermain di belakangku.Aku menunggu mas Rendi di dekat pintu toilet. Terdengar nyaring guyuran air menandakan mas Rendi sedang mandi.Baru kali ini aku merasa kecewa olehnya. Bahkan lebih kecewa saat dirinya menganggap aku seekor bebek. Kenapa ini bisa terjadi? Bekas bibir siapa yang ada di baju mas Rendi. Ya Tuhan … semoga saja semua tak seperti yang aku pikirkan. Tak sanggup rasanya jika mas Rendi benar-benar bermain di belakangku dengan wanita lain. Aku tidak akan terima.Lumayan lama aku berdiri di depan pintu kamar mandi. Pintu kamar mandi pun dibuka dari dalam.Ceklek"Loh, Ris kamu sedang apa disini? Sana istirahat! Kasihan kamu, pasti seharian ini lelah mengerjakan pekerjaan rumah dan mengurus Kania," ujar suamiku sembari menyeka rambutnya yang basah oleh handuk.
Dela ingin bicara sama mas Rendi? Bicara apa?Aku menghampiri mereka berdua, yang tidak menyadari keberadaanku."Mau bicara apa?" tanyaku.Mas Rendi tersentak mendengarku yang muncul dari belakangnya."Nggak ada kok, cuma kemarin Dela hanya menawarkan pekerjaan lagi. Cuma aku nggak enak, aku tidak mau menyusahkannya," jawab mas Rendi.Aku tak habis pikir dengan mas Rendi. Kenapa dia enggan untuk menerima tawaran pekerjaan dari Dela. Jelas-jelas Dela itu sangat baik, aku dan mas Rendi pun sudah lama mengenalnya."Tapi … anu, Ris ….""Dela, maaf … sekali, saya tidak bisa menerima tawaran dari kamu. Saya tidak enak dan saya mohon, jangan paksa saya lagi," mohon mas Rendi dengan kedua tangan terkatup di depan dada.Seketika Dela menatap kecewa ke arah mas Rendi. Aku mengerti, Dela menginginkan yang terbaik untuk keluarga kami. Tapi apalah daya, mas Rendi masih tetap pada pendiriannya.Aku tersenyum kepada Dela, berusaha mencairkan suasana."Mas Rendi ingin mandiri, aku harap kamu mengerti
"Nggak boleh, ya? Ya sudah!" Aku keluar dari kamar Davina."Mbak, em … maksud aku bukan begitu. Jadi ini bedak nggak bisa sembarangan yang pake. Kalau nggak cocok bisa-bisa kulit Mbak jerawatan," jelas Davina."Iya, tidak apa-apa. Mbak mau lihat anak Mbak dulu," sahutku.Aku masuk ke dalam kamarku. Melihat Kania yang terlihat menggeliat dan terbangun dari tidurnya.Aku menggendongnya kemudian menyusuinya. Syukurlah Kania sudah tidak panas lagi. Aku sudah tidak merasa khawatir lagi.Setelah Kania meminum asi, Kania kembali tertidur. Aku pun beranjak dan pergi ke halaman untuk menyiram tanaman bunga-bungaku.Saat tengah fokus menyirami tanaman. Aku kembali teringat akan ucapan Davina tadi. Aku ragu tapi aku juga takut jika itu terjadi.Tak dipungkiri, memang terasa janggal saat Dela menyusul ke rumah dan memaksa mas Rendi untuk bekerja dengannya. Padahal sudah berulang kali mas Rendi menolak tawarannya. Tapi Dela masih bersikeras membujuk suamiku untuk bekerja dengannya.Aku menghempask
"Kenapa? Ada yang aneh kah dengan penampilanku?" tanyaku."Mbak, apa Mbak nggak ngaca? Mbak ini mau ke kondangan apa mau ngeronggeng?" Lagi dan lagi Davina tertawa lepas dan kali ini dia berani menghinaku.Mas Rendi masih bergeming dan masih menatapku."Mas!" sapaku lirih.Tak ada upaya sama sekali mas Rendi untuk menegur Davina yang secara blak-blakan telah menghinaku."Kenapa kamu dandan seperti ini? Apakah ini yang mau kamu tunjukkin sama aku, sampai-sampai aku meninggalkan pekerjaanku?" Pertanyaan mas Rendi terasa menyakitkan yang aku dengar."Aku … aku dandan seperti ini karena aku mau bikin kejutan sama kamu. Aku juga ingin terlihat cantik di mata kamu, Mas. Nggak ada maksud apa-apa," jawabku.Mas Rendi masuk ke dalam kamar. Kemudian kembali lagi dan menghampiriku sambil membawa sesuatu di tangannya."Kamu lihat ini, ngaca kamu!" titahnya memperlihatkan cermin.Aku menatap cermin yang dibawa mas Rendi barusan.Aku terhenyak melihat wajahku yang ternyata memang benar, aku terliha
(POV Rendi)Keesokan paginya, sejak subuh tadi aku sudah bangun dan melaksanakan shalat subuh.Sudah terlalu lama aku meninggalkan kewajiban ku karena terlalu sibuk mengejar dunia. Namun setelah diberikan ujian bertubi-tubi, aku sadar, bahwa aku telah melupakan-Nya. Sungguh aku manusia tak tahu diri. Sudah diberi kenikmatan namun aku merasa selalu kurang, kurang dan kurang.Selesai melaksanakan shalat subuh, hatiku merasa tenang dan tentram. Aku melipat sajadah dan sarung lalu menaruhnya di atas meja.Kemudian aku mencuci baju-bajuku lalu memasak untukku sarapan pagi ini.Jam 07.00, semua pekerjaan rumah sudah selesai. Kini aku bersiap untuk pergi ke kios beras milik Bams.“Bismillahirrahmanirrahim.” Aku mengucap doa saat kaki kananku melangkah keluar. Semoga pekerjaan yang aku lakonin sekarang menjadi rezeki yang berkah.Dengan berbekal uang sepuluh ribu sisa membeli nasi aking kemarin, aku berjalan menuju jalan raya untuk menyetop angkutan umum.Aku berdiri dengan penuh percaya diri
(POV Rendi)“Dengan begitu, saudari Davina akan dijatuhkan hukuman selama 5 tahun!”Tok! Tok! Tok!Hakim mengetuk palu sebanyak tiga kali, itu artinya Davina sudah divonis hukuman penjara.Keputusan hakim membuatku hancur, bagaimana tidak, sudah dua bulan aku mencari Davina, tapi saat aku mendapat kabar, ternyata dia terkena kasus percobaan melenyapkan nyawa seseorang.Davina menunduk, perutnya mulai membesar. Terpaksa Davina harus melahirkan di dalam penjara. Aku tak kuasa mendengar kenyataan ini.Aku menoleh ke arah belakang, terlihat Risa dan Jona sedang duduk dengan keluarga Darian, karena sidang ini terbuka untuk umum. Aku baru tahu, jika Davina masih memiliki kakak. Dela yang memberitahu saat tak sengaja bertemu. Parahnya lagi, Davina sempat mengakui jika kami telah berpisah. Sungguh itu merupakan kebohongan yang besar.Setiap hari aku bela-belain keliling menjual makanan asongan demi mencukupi kebutuhan Davina, tapi Davina sungguh telah membuatku kecewa, sama sekali dia tak men
(POV Darian)Melihat pemandangan yang tampak di depan mataku, aku segera berjalan cepat ke dalam kamarku untuk mengambil ponselku yang ketinggalan.“Kamu diam disini, jangan kemana-mana!” ujarku kepada Davina.Aku masuk ke dalam kamarku dan mengambil cepat ponselku.Aku pun berinisiatif mengirimkan pesan kepada satpam untuk menutup pintu gerbang dan menguncinya. Namun sebelum itu, aku menyuruhnya untuk memberitahu mama yang masih berada di dalam mobil di luar gerbang, supaya lebih dulu masuk.Aku kembali ke ruang tamu, dimana Davina masih berada disana.“Lepaskan, biarkan saya pergi!” teriak Davina dari arah luar. Ternyata benar, dia berusaha kabur namun beruntung pak satpam segera menghalanginya.Aku juga segera menghubungi polisi, supaya cepat datang kesini.“Papa!” teriak mama yang baru saja masuk ke dalam rumah. Mama teriak histeris saat mendapati Papa tak sadarkan diri dengan perut bersimbah darah.Kemudian satpam penjaga rumah datang dengan menyeret Davina. Dia dibantu oleh sop
(POV Darian)Hari ini aku merasa bahagia karena telah dipertemukan dengan adikku. Rasanya seperti mimpi, aku masih memiliki keluarga kandung. Namun respon mama dan papa seperti kurang antusias menyambut adikku, terutama mama, mama memberitahu jika Davina sempat menyiramnya dengan minuman. Yang lebih parahnya, Davina juga sempat bersitegang dengan Dela, sampai dahi Dela terluka.Aku tak tahu ada masalah apa Dela dan Davina. Sehingga mereka ribut seperti itu. Tapi walaupun begitu, aku akan memaafkan Davina.“Darian, obati dahi Dela, kasihan dia. Sebentar lagi acara akan segera dimulai, kamu tidak usah menunggu Davina, karena acara ini untuk kalian berdua bukan untuk Davina,” imbuh mama.“Benar kata Mama kamu, Darian. Nanti Davina bisa menyusul setelah mandi dan berganti pakaian,” timpal papa.Aku pun mengangguk, walaupun aku ingin sekali menunggu Davina.Acara pun dimulai setelah dahi Dela diobati. Sekarang kami saling menyematkan cincin di jari manis kami. Acara ini cukup meriah, karen
(POV Davina)“Aaaaaaa!” Aku menjerit kesakitan saat rambutku dijambak oleh Dela.“Terus, terus jambak saja rambutku. Tidak akan lama lagi kamu akan tahu siapa aku, Dela,” batinku tersenyum.Semua tamu undangan menjadi gaduh dan mengelilingi kami yang sedang berseteru ini.“Tolong … dia menyakitiku,” jeritku.Satpam rumah ini pun berusaha melerai pertikaian kami. Namun aku akan terus memancing kemarahan Dela, sampai kakakku benar-benar keluar.“Cukup! Apa-apaan ini?” teriak seseorang menggema. Keadaan menjadi hening. Apakah itu kakakku?Kemudian datang seseorang berpakaian hitam-hitam seperti seorang sopir. Mungkin dia sopir keluarga kakakku.“Kamu siapa? Apakah kamu tamu undangan disini? Kenapa kamu bikin ulah disini?” tanyanya.“Bikin ulah? Dia yang bikin ulah,” tunjukku ke arah Dela.“Lagipula, tidak penting juga saya memberitahu kamu dan kalian siapa aku sekarang. Nanti juga kalian akan tahu dan akan terkejut jika tahu aku ini siapa,” lanjutku.“Ya, aku sudah tahu kamu siapa. Janga
(POV Davina)Sumpah demi apapun, aku sangat geram terhadap bi Imah. Semenjak dia kenal dan tinggal dengan Risa, dia menjadi sombong.Bi Imah sama sekali tidak kasihan dengan keadaanku sekarang ini. Aku sedang hamil, tapi hidupku menjadi sengsara begini.Aku kira menikah dengan mas Rendi, hidupku akan lebih baik, aku akan menjadi orang kaya. Tapi ternyata semuanya salah. Iya kaya, tapi hanya sebentar.Bi Imah mendiamkanku setelah ia memberitahu alamat rumah kakakku. Aku tak menyangka, aku bakalan bertemu dengan kakak kandungku. Dulu aku hanya mendengar cerita saja dari bi Imah bahwa aku memiliki seorang kakak. Tapi keadaan yang memaksa kami untuk berpisah.“Imah, ayo kita pergi sekarang!” Seorang pria menghampiri bu Imah. Aku tidak tahu dia siapa.Pria itu kemudian membukakan pintu mobil untuk bi Imah. Melihat pemandangan itu, mataku terbelalak. Kenapa bisa bi Imah menaiki mobil mewah seperti itu? Apakah mereka sudah menikah? Tubuhku menjadi panas, bukan karena panas demam atau cuaca t
(POV Bu Imah)Seminggu kemudian, setelah Risa resmi menikah dengan Jona. Kini aku tinggal seorang diri di rumah Risa. Awalnya aku berniat pergi dari rumah ini. Namun Risa mencegah, dia tak tega jika aku pergi dari sini. Aku merasa tidak enak kepadanya, karena ini bukan rumahku, aku hanya menumpang disini. Tapi sungguh hati Risa sangat baik, entah terbuat dari apa hatinya, dia tidak mempermasalahkan aku tinggal di rumah ini sampai kapanpun. Baginya aku sudah seperti ibunya.Risa pun sempat menawariku untuk tinggal di rumah barunya bersama Jona. Namun aku menolak dan memilih tinggal seorang diri. Bukan aku tak menghargai niat baiknya, namun aku tidak mau jika sampai mengganggu mereka dengan keberadaanku di tengah-tengah mereka.Ting ….“Bibi, aku barusan sudah memesan makanan buat Bibi. Sebentar lagi ada kurir yang mengantarkannya. Bibi tidak usah repot-repot memasak hari ini. Oh iya, kalau perlu apa-apa, hubungi aku ya, Bi. Bibi juga bebas mau main ke rumahku. Mama sama Papa juga tidak
(POV Risa)“Risa!” teriak Jona, bu Imah dan pak Willy kompak.Tubuhku terhempas ke sisi jalan raya saat aku berusaha menyelamatkan bu Diva dari pengendara motor yang ugal-ugalan. Tubuhku rasanya sakit, namun beruntung aku tidak sampai pingsan.“Ya Tuhan, dahi dan kaki kamu berdarah.” Jona panik melihat keadaanku.Sementara pak Willy membantu bu Diva berdiri.“Tolong bawa Risa ke rumah sakit, Nak Jona. Kasihan dia pasti kesakitan,” imbuh bu Imah terlihat khawatir.Tanpa berlama-lama, Jona mengangkat tubuhku dan memasukkan ku ke dalam mobilnya.Beberapa kali aku mengaduh kesakitan. Dahiku terasa perih, terlebih kakiku selain berdarah mungkin juga terkilir.Dengan cepat Jona membawaku ke rumah sakit dekat-dekat sini.“Kamu yang kuat ya, sayang. Sebentar lagi kita sampai,” ujar Jona.Aku hanya mengangguk sambil meringis menahan sakit.Lima belas menit kemudian, kami sudah berada di rumah sakit. Aku segera ditangani oleh dokter. Dahi dan kakiku diperban supaya darah tidak terus menerus men
(POV Risa)Aku menunduk kala bu Diva sedari tadi memperhatikanku tanpa ekspresi dan tanpa banyak bicara. Entah apa yang ada di dalam pikirannya, namun itu membuatku merasa was-was.“Risa, rencananya kami mau mengajak kamu makan bersama. Apakah kamu sedang tidak sibuk?” tanya pak Willy.“Em … rencananya hari ini kami mau keliling lagi jualan, Pak,” jawabku.“Begini saja, semua jualan kamu biar saya borong semuanya untuk makan siang semua karyawan di kantor. Saya akan panggil rendra untuk datang kesini menjemput semua makanan itu. Sekarang kamu dan Ibu kamu segera bersiap-siap. Saya ingin mengenal lebih dekat dengan calon menantu saya,” imbuh pak Willy.Aku pun menyetujui permintaannya. Aku meminta izin untuk bersiap berganti pakaian, begitupun dengan bu Imah.Di dalam kamar, aku segera berganti pakaian dengan pakaian terbaik menuurutku yang aku punya. Semoga aku tidak malu-maluin dengan penampilan ini.Selesai berganti pakaian, aku keluar dari kamar dan bergabung kembali dengan keluarg