Nampan yang berisi segelas minuman bergetar mengikuti gerakan tanganku. Aku tertegun melihat pemandangan seperti ini.
"Ris!" panggil mas Rendi saat melihatku berdiri menatap mereka. Davina mengurai pelukannya terhadap mas Rendi.Aku terdiam menatap mereka berdua. Ada apa sebenarnya dengan mereka? Kenapa mereka berdua bisa saling berpelukan seperti itu?"Kalian berdua ngapain?" tanyaku menyelidik."Ris, jangan salah paham dulu. Ini Davina, sepupu aku dari luar kota," jawab mas Rendi."Sepupu?" Rasanya aku belum bisa mempercayainya. Aku sama sekali tidak kenal dengan Davina, yang disebut sepupu oleh mas Rendi itu."Jadi ini istri kamu, Mas? Ya ampun … aku nggak nyangka loh, Mas. Istri kamu itu baik banget, aku bersyukur sudah ditolong sama Mbak Risa." Davina menceritakan semua yang terjadi terhadapnya kepada mas Rendi."Jadi begitu? Maaf Mas nggak bisa dihubungi, karena kadang ponsel mas tidak ada kuotanya," ucap mas Rendi.Aku hanya menyimak percakapan mereka berdua."Aku belum sempat mengenalkan kamu dengan Davina, Ris. Karena Davina sering merantau dan jauh dari keluarga. Dia jarang pulang, bahkan bisa sampai satu tahun sampai dua tahun dia nggak pulang. Padahal merantaunya juga masih di negri kita. Jadi, sulit bagi aku untuk memperkenalkan kamu dengannya," jelas mas Rendi.Mendengar penjelasannya, aku paham dan bisa menerima alasan mas Rendi."Jadi begitu? Ya sudah, kalau begitu. Maaf aku sempat salah paham pada kalian," ucapku.Mas Rendi dan Davina tersenyum padaku."Jadi anak cantik ini, adalah keponakan aku dong? Ya ampun … senangnya punya boneka hidup. Boleh kan, Mbak, aku tiap hari main sama anak Mbak?" imbuh Davina.Tiap hari? Apa maksudnya dengan tiap hari? Apakah Davina akan tinggal disini bersama kami?"Nama anaknya siapa sih? Kok cantik banget," tanya Davina."Namanya Kania, kamu sudah makan belum, Vin?" tanya mas Rendi."Belum, Mas. Aku belum makan, kebetulan aku sangat lapar," jawab Davina."Ris, kamu masak nasi … ehem!" bisik mas Rendi di sebelahku."Aku masak nasi bagus, Mas. Aku dikasih sama pak Darmawan," jawabku lirih.Senyuman mas Rendi mengembang mendengar jawabanku. Ada apa gerangan? Apakah dia malu jika Davina tahu menu makanan sehari-hari di rumah ini."Aku siapkan dulu makanannya." Aku pergi ke dapur, mengambil nasi dan sambal."Loh, mana lauknya, Ris?" tanya mas Rendi, saat kami bertiga sudah berkumpul bersiap untuk makan"Aku nggak beli lauk, Mas. Biasanya juga kamu nggak pernah makan di rumah," jawabku."Ya ampun, Ris. Seenggaknya ada telur kek. Masa ini sama sambal doang. Semalam kan aku sudah kasih kamu uang," cetus mas Rendi.Aku bersungut-sungut dalam hati tentang ucapan mas Rendi barusan.Tak ingin ada keributan, aku pun berdiri dan masuk ke dalam kamar. Kuambil toples berisi uang 5000 semalam. Aku bergegas pergi ke warung untuk membeli 2 butir telur.Setelah itu aku segera mengolahnya menjadi dua telur ceplok."Ini telurnya," ujarku setelah selesai."Mas, Mbak, aku minta maaf karena telah merepotkan kalian berdua. Aku jadi nggak enak," ucap Davina."Nggak usah nggak enakan begitu. Risa orangnya baik, dan Mas bangga mempunyai istri seperti dia." Mas Rendi mendekati aku."Mari makan!" ajak mas Rendi.Telur ceplok yang aku goreng tadi diambil satu oleh Davina. Sedangkan yang satunya lagi, dibagi 2. Untuk aku dan mas Rendi.Kami mulai makan malam. Terlihat Davina dan mas Rendi sangat lahap. Aku menatap mas Rendi yang makan begitu banyak, sehingga nasi yang aku masak tadi nyaris habis."Enak, Mas?" tanyaku.Mas Rendi mengangguk sambil terus makan tanpa mau diganggu.Sampai pada akhirnya, nasi di dalam wadah habis tak bersisa.Selesai makan, kami bertiga mengobrol-ngobrol di ruang tamu."Apa rencana kamu selanjutnya?" tanya mas Rendi kepada Davina."Rencana aku mau cari kerja disini, Mas. Tapi … aku nggak enak bilangnya," jawab Davina."Nggak enak kenapa? Bilang saja," tanyaku."Aku mau numpang di rumah ini untuk sementara waktu, sampai aku dapat kerjaan dan dapat gaji. Boleh kan?"Aku saling menoleh dengan mas Rendi. Saling memberi isyarat bertanya apakah boleh atau tidak."Gimana, Ris?" tanya mas Rendi."Boleh," jawabku setelah berpikir sejenak.Davina memeluk aku dan berkali-kali mengucapkan terima kasih.Setelah mengobrol, kami semua memutuskan untuk segera beristirahat.*Esok hariSemua sibuk mempersiapkan diri dengan aktivitas masing-masing.Aku berkutat dengan urusan dapur dan mengurus anak. Sedangkan mas Rendi dan Davina sudah bersiap untuk keluar mencari kerja."Kami berangkat dulu, ya, Ris! Jangan lupa doakan Mas supaya dapat uang. Doakan Davina juga supaya dapat kerjaan," pamit mas Rendi, setelah kami semua sarapan pagi, dengan nasi dari beras sisa 1 liter pemberian pak Darmawan kemarin.Aku mengangguk sambil masih kerepotan dengan pekerjaanku di rumah sambil menggendong Kania yang sedang menangis.Setelah lelah berkutat dengan pekerjaan rumah. Sengaja aku membawa Kania ke teras rumah, hanya untuk duduk-duduk saja.Beberapa tetangga lewat dan menyapaku, khususnya Kania."Andai Kania sudah besar, ingin rasanya aku bekerja. Untuk membantu mencukupi kebutuhan rumah tangga ini. Sampai kapan suamiku harus bekerja serabutan, yang penghasilannya tidak menentu." Aku terdiam membatin, sambil menatap lurus ke depan."Ris!" Aku tersentak dari lamunanku, saat mendengar seseorang memanggilku.Aku menoleh ke arah sumber suara."Dela," sahutku.Dela, teman dekatku dari dulu menghampiriku yang sedang duduk di teras."Dela, kamu habis dari mana?" tanyaku."Aku habis dari salon, Ris! Biasa lah, habis perawatan," jawabnya.Aku menatap Dela dari ujung kepala sampai ujung kaki. Benar-benar sempurna. Dela begitu cantik, putih, wangi, yang pastinya berbeda denganku yang tampak kusam tak terawat."Woy, jangan bengong! Mana mas Rendi?" tanya Dela."Eh nggak, siapa yang bengong? Mas Rendi sudah berangkat dari tadi," jawabku."Suami kamu masih kerja serabutan, kah? Ris, kalau saja suami kamu tidak menolak tawaran dari aku untuk kerja di toko milikku. Mungkin kehidupan kamu akan terbantu. Tapi sayang, suami kamu selalu saja menolak ajakan aku. Aku maklum, mungkin mas Rendi punya alasan tertentu. Tapi ya sudahlah …." ujar Dela.Aku mengangguk, benar kata Dela. Jika saja mas Rendi menerima tawaran kerja dari Dela. Mungkin aku tidak akan memakan nasi aking setiap hari. Setidaknya ada makanan layak yang masuk ke dalam perut aku."Tidak apa-apa, Del. Mungkin mas Rendi ingin mandiri. Aku nggak apa-apa, kok. Aku bahagia seperti sekarang ini," dustaku.Dela mengusap lenganku dengan menatap prihatin."Sini, sayang! Gendong sama Tante," ujar Dela mengambil Kania dari gendonganku."Oh iya, Ris, aku ada makanan nih buat kamu. Lumayan buat cemilan," lanjut Dela memberikan satu kantong kresek berisi makanan ringan.Aku menerimanya dengan senang hati."Aku buatin minuman dulu!""Nggak usah, Ris! Aku sudah minum tadi, kesini cuma mau ketemu sama kamu saja. Pengen tahu kabar kamu seperti apa. Tapi setelah melihat kamu sehat begini, aku jadi lega. Kalau butuh apa-apa, jangan sungkan, ya!"Aku mengangguk, aku senang memiliki sahabat sepertinya. Dela terbilang orang berada, tapi dia sangat baik kepadaku yang siapalah ini. Tapi sayang, nasib percintaannya tak mujur. Dela sudah menjadi janda di usianya yang masih muda ini.Lama kami mengobrol, tak terasa hari sudah beranjak sore."Mbak, aku pulang!" ujar Davina seraya menatap lekat ke arah Dela."Ya sudah, Ris. Aku pulang dulu, ya! Sudah sore," pamit Dela.Dela pun pulang dan aku masuk ke dalam rumah."Siapa itu, Mbak? Cantik banget," tanya Davina yang baru saja pulang."Itu teman Mbak. Kamu sudah dapat kerjaannya?" jawabku kemudian bertanya balik.Davina menghempaskan tubuhnya ke atas sofa."Belum, Mbak. Nyari kerjaan susah," jawabnya."Kenapa nggak kerja di tempat kamu dulu merantau, Vin," imbuhku.Davina menghembuskan nafas kasar. Kemudian menjawab, "Sudah habis kontrak, Mbak. Makanya aku nyari kerja disini. Oh iya, Mbak, aku lapar nih. Mas Rendi belum pulang?""Belum pulang dia, entah jam berapa pulangnya tak tentu. Ya sudah kalau begitu, Mbak masak dulu. Tapi kamu jagain Kania dulu." Aku menyerahkan Kania kepada Davina.Davina menerima Kania dan menggendongnya.Aku berkutat di dapur, menanak nasi aking dari mas Rendi.Owek … owek … owek!Terdengar Kania menangis di ruang keluarga. Aku segera menghampirinya."Kania kenapa, Vin?" tanyaku."Nggak tahu, Mbak. Dia rewel, mung
"Mas Rendi? Benarkah dia? Mereka mau ngapain keluar malam-malam begini tanpa izin dariku pula? Kenapa sikap mereka begitu mesra," batinku.Pikiran negatif bermunculan dalam benak. Apakah mereka … tapi kan mereka sepupuan. Aku menggelengkan kepala. Membuang rasa curiga ini, namun tetap saja, pikiran buruk ini mendominasi diri. Andai saja hal itu benar dengan apa yang aku pikirkan. Sungguh aku tak akan pernah memaafkan mereka berdua.Perutku kembali merasa lapar. Aku pergi ke dapur dan mengambil nasi aking yang aku masak tadi sore. Aku memakannya walaupun mulut ini rasanya tak bernafsu sedikitpun. Mengingat sesuatu hal yang terasa janggal yang baru saja aku lihat. Aku melakukannya hanya untuk mengganjal perut saja.Selesai makan, aku tak langsung tidur. Aku duduk di sofa ruang tamu, menunggu kepulangan Davina dan mas Rendi. Aku ingin menanyakan mereka dari mana dan habis ngapain.Ingin rasanya aku menelepon mas Rendi, untuk menanyakan keberadaannya dimana. Aku melirik ponselku, yang ter
"Ya Tuhan ini ada apa? Apa yang terjadi?" Tubuhku bergetar hebat, saat mendapati noda merah bekas lipstik di baju mas Rendi.Aku meremas kasar baju mas Rendi. Rasanya aku tak sabar ingin mencacinya, karena telah tega bermain di belakangku.Aku menunggu mas Rendi di dekat pintu toilet. Terdengar nyaring guyuran air menandakan mas Rendi sedang mandi.Baru kali ini aku merasa kecewa olehnya. Bahkan lebih kecewa saat dirinya menganggap aku seekor bebek. Kenapa ini bisa terjadi? Bekas bibir siapa yang ada di baju mas Rendi. Ya Tuhan … semoga saja semua tak seperti yang aku pikirkan. Tak sanggup rasanya jika mas Rendi benar-benar bermain di belakangku dengan wanita lain. Aku tidak akan terima.Lumayan lama aku berdiri di depan pintu kamar mandi. Pintu kamar mandi pun dibuka dari dalam.Ceklek"Loh, Ris kamu sedang apa disini? Sana istirahat! Kasihan kamu, pasti seharian ini lelah mengerjakan pekerjaan rumah dan mengurus Kania," ujar suamiku sembari menyeka rambutnya yang basah oleh handuk.
Dela ingin bicara sama mas Rendi? Bicara apa?Aku menghampiri mereka berdua, yang tidak menyadari keberadaanku."Mau bicara apa?" tanyaku.Mas Rendi tersentak mendengarku yang muncul dari belakangnya."Nggak ada kok, cuma kemarin Dela hanya menawarkan pekerjaan lagi. Cuma aku nggak enak, aku tidak mau menyusahkannya," jawab mas Rendi.Aku tak habis pikir dengan mas Rendi. Kenapa dia enggan untuk menerima tawaran pekerjaan dari Dela. Jelas-jelas Dela itu sangat baik, aku dan mas Rendi pun sudah lama mengenalnya."Tapi … anu, Ris ….""Dela, maaf … sekali, saya tidak bisa menerima tawaran dari kamu. Saya tidak enak dan saya mohon, jangan paksa saya lagi," mohon mas Rendi dengan kedua tangan terkatup di depan dada.Seketika Dela menatap kecewa ke arah mas Rendi. Aku mengerti, Dela menginginkan yang terbaik untuk keluarga kami. Tapi apalah daya, mas Rendi masih tetap pada pendiriannya.Aku tersenyum kepada Dela, berusaha mencairkan suasana."Mas Rendi ingin mandiri, aku harap kamu mengerti
"Nggak boleh, ya? Ya sudah!" Aku keluar dari kamar Davina."Mbak, em … maksud aku bukan begitu. Jadi ini bedak nggak bisa sembarangan yang pake. Kalau nggak cocok bisa-bisa kulit Mbak jerawatan," jelas Davina."Iya, tidak apa-apa. Mbak mau lihat anak Mbak dulu," sahutku.Aku masuk ke dalam kamarku. Melihat Kania yang terlihat menggeliat dan terbangun dari tidurnya.Aku menggendongnya kemudian menyusuinya. Syukurlah Kania sudah tidak panas lagi. Aku sudah tidak merasa khawatir lagi.Setelah Kania meminum asi, Kania kembali tertidur. Aku pun beranjak dan pergi ke halaman untuk menyiram tanaman bunga-bungaku.Saat tengah fokus menyirami tanaman. Aku kembali teringat akan ucapan Davina tadi. Aku ragu tapi aku juga takut jika itu terjadi.Tak dipungkiri, memang terasa janggal saat Dela menyusul ke rumah dan memaksa mas Rendi untuk bekerja dengannya. Padahal sudah berulang kali mas Rendi menolak tawarannya. Tapi Dela masih bersikeras membujuk suamiku untuk bekerja dengannya.Aku menghempask
"Kenapa? Ada yang aneh kah dengan penampilanku?" tanyaku."Mbak, apa Mbak nggak ngaca? Mbak ini mau ke kondangan apa mau ngeronggeng?" Lagi dan lagi Davina tertawa lepas dan kali ini dia berani menghinaku.Mas Rendi masih bergeming dan masih menatapku."Mas!" sapaku lirih.Tak ada upaya sama sekali mas Rendi untuk menegur Davina yang secara blak-blakan telah menghinaku."Kenapa kamu dandan seperti ini? Apakah ini yang mau kamu tunjukkin sama aku, sampai-sampai aku meninggalkan pekerjaanku?" Pertanyaan mas Rendi terasa menyakitkan yang aku dengar."Aku … aku dandan seperti ini karena aku mau bikin kejutan sama kamu. Aku juga ingin terlihat cantik di mata kamu, Mas. Nggak ada maksud apa-apa," jawabku.Mas Rendi masuk ke dalam kamar. Kemudian kembali lagi dan menghampiriku sambil membawa sesuatu di tangannya."Kamu lihat ini, ngaca kamu!" titahnya memperlihatkan cermin.Aku menatap cermin yang dibawa mas Rendi barusan.Aku terhenyak melihat wajahku yang ternyata memang benar, aku terliha
Sup? Aku teringat akan sup pemberian bu Lela tadi siang. Aku membaringkan Kania ke tempat tidur. Lalu pergi ke dapur untuk memastikan sup milikku masih ada atau tidak.Aku membuka pintu lemari, dan … ternyata penciumanku tidak salah. Davina sudah memakan sup milikku sampai habis tak bersisa seperti ini.Aku menaruh mangkuk sup itu dengan kasar. Rasa lapar dan kesal bercampur menjadi satu.Aku berjalan menghampiri Davina yang sudah berada di ruang tamu bersama mas Rendi."Davina, apa kamu yang menghabiskan semua sup milik Mbak?" tanyaku.Davina menatapku kemudian melempar pandangan ke arah mas Rendi."Nggak kok, Mbak!" sangkalnya."Oh, nggak makan, ya? Tapi sendawa kamu bau sup, dan kebetulan semangkuk sup milikku habis nggak bersisa. Apa kamu mau mengelak lagi?" timpalku.Davina terdiam, sambil terus melirik ke arah mas Rendi."Sudahlah, Ris. Perkara sup saja kamu ributin seperti ini. Davina itu lapar, apa kamu tega melihat saudara Mas kelaparan?" Mas Rendi menimpali.Kelaparan? Apaka
Terik panas matahari menyengat tubuh ini. Kepalaku merasa pusing, entah apa yang terjadi padaku."Perasaan semalam aku ada di rumah. Kenapa aku bisa ada di tengah kuburan seperti ini?" Aku menoleh kesana kemari.Entah jam berapa sekarang ini, yang jelas sinar matahari ini terasa membakar kulit.Aku bangun dan menetralkan penglihatanku. Aku mengumpulkan tenaga, untuk beranjak dari tempat ini.Setelah dirasa tenagaku berkumpul, aku bangun dan berjalan meninggalkan area kuburan ini.Sambil berjalan pulang, aku berusaha mengingat-ingat apa yang telah terjadi padaku."Kenapa, ya?" Aku seperti orang linglung dan terus berjalan.Tenggorokanku mulai merasakan haus. Aku berhenti sejenak, mengurangi rasa lelah dan hausku. Ingin membeli minuman air putih pun, aku tak mempunyai uang sama sekali.Aku duduk di pinggir jalan, setelah keluar dari area kuburan.Pluk!Sesuatu seperti benda berupa kertas digulung mendarat di hadapanku.Aku memungut kertas itu, dan ternyata itu adalah uang. Aku mengangka
(POV Rendi)Keesokan paginya, sejak subuh tadi aku sudah bangun dan melaksanakan shalat subuh.Sudah terlalu lama aku meninggalkan kewajiban ku karena terlalu sibuk mengejar dunia. Namun setelah diberikan ujian bertubi-tubi, aku sadar, bahwa aku telah melupakan-Nya. Sungguh aku manusia tak tahu diri. Sudah diberi kenikmatan namun aku merasa selalu kurang, kurang dan kurang.Selesai melaksanakan shalat subuh, hatiku merasa tenang dan tentram. Aku melipat sajadah dan sarung lalu menaruhnya di atas meja.Kemudian aku mencuci baju-bajuku lalu memasak untukku sarapan pagi ini.Jam 07.00, semua pekerjaan rumah sudah selesai. Kini aku bersiap untuk pergi ke kios beras milik Bams.“Bismillahirrahmanirrahim.” Aku mengucap doa saat kaki kananku melangkah keluar. Semoga pekerjaan yang aku lakonin sekarang menjadi rezeki yang berkah.Dengan berbekal uang sepuluh ribu sisa membeli nasi aking kemarin, aku berjalan menuju jalan raya untuk menyetop angkutan umum.Aku berdiri dengan penuh percaya diri
(POV Rendi)“Dengan begitu, saudari Davina akan dijatuhkan hukuman selama 5 tahun!”Tok! Tok! Tok!Hakim mengetuk palu sebanyak tiga kali, itu artinya Davina sudah divonis hukuman penjara.Keputusan hakim membuatku hancur, bagaimana tidak, sudah dua bulan aku mencari Davina, tapi saat aku mendapat kabar, ternyata dia terkena kasus percobaan melenyapkan nyawa seseorang.Davina menunduk, perutnya mulai membesar. Terpaksa Davina harus melahirkan di dalam penjara. Aku tak kuasa mendengar kenyataan ini.Aku menoleh ke arah belakang, terlihat Risa dan Jona sedang duduk dengan keluarga Darian, karena sidang ini terbuka untuk umum. Aku baru tahu, jika Davina masih memiliki kakak. Dela yang memberitahu saat tak sengaja bertemu. Parahnya lagi, Davina sempat mengakui jika kami telah berpisah. Sungguh itu merupakan kebohongan yang besar.Setiap hari aku bela-belain keliling menjual makanan asongan demi mencukupi kebutuhan Davina, tapi Davina sungguh telah membuatku kecewa, sama sekali dia tak men
(POV Darian)Melihat pemandangan yang tampak di depan mataku, aku segera berjalan cepat ke dalam kamarku untuk mengambil ponselku yang ketinggalan.“Kamu diam disini, jangan kemana-mana!” ujarku kepada Davina.Aku masuk ke dalam kamarku dan mengambil cepat ponselku.Aku pun berinisiatif mengirimkan pesan kepada satpam untuk menutup pintu gerbang dan menguncinya. Namun sebelum itu, aku menyuruhnya untuk memberitahu mama yang masih berada di dalam mobil di luar gerbang, supaya lebih dulu masuk.Aku kembali ke ruang tamu, dimana Davina masih berada disana.“Lepaskan, biarkan saya pergi!” teriak Davina dari arah luar. Ternyata benar, dia berusaha kabur namun beruntung pak satpam segera menghalanginya.Aku juga segera menghubungi polisi, supaya cepat datang kesini.“Papa!” teriak mama yang baru saja masuk ke dalam rumah. Mama teriak histeris saat mendapati Papa tak sadarkan diri dengan perut bersimbah darah.Kemudian satpam penjaga rumah datang dengan menyeret Davina. Dia dibantu oleh sop
(POV Darian)Hari ini aku merasa bahagia karena telah dipertemukan dengan adikku. Rasanya seperti mimpi, aku masih memiliki keluarga kandung. Namun respon mama dan papa seperti kurang antusias menyambut adikku, terutama mama, mama memberitahu jika Davina sempat menyiramnya dengan minuman. Yang lebih parahnya, Davina juga sempat bersitegang dengan Dela, sampai dahi Dela terluka.Aku tak tahu ada masalah apa Dela dan Davina. Sehingga mereka ribut seperti itu. Tapi walaupun begitu, aku akan memaafkan Davina.“Darian, obati dahi Dela, kasihan dia. Sebentar lagi acara akan segera dimulai, kamu tidak usah menunggu Davina, karena acara ini untuk kalian berdua bukan untuk Davina,” imbuh mama.“Benar kata Mama kamu, Darian. Nanti Davina bisa menyusul setelah mandi dan berganti pakaian,” timpal papa.Aku pun mengangguk, walaupun aku ingin sekali menunggu Davina.Acara pun dimulai setelah dahi Dela diobati. Sekarang kami saling menyematkan cincin di jari manis kami. Acara ini cukup meriah, karen
(POV Davina)“Aaaaaaa!” Aku menjerit kesakitan saat rambutku dijambak oleh Dela.“Terus, terus jambak saja rambutku. Tidak akan lama lagi kamu akan tahu siapa aku, Dela,” batinku tersenyum.Semua tamu undangan menjadi gaduh dan mengelilingi kami yang sedang berseteru ini.“Tolong … dia menyakitiku,” jeritku.Satpam rumah ini pun berusaha melerai pertikaian kami. Namun aku akan terus memancing kemarahan Dela, sampai kakakku benar-benar keluar.“Cukup! Apa-apaan ini?” teriak seseorang menggema. Keadaan menjadi hening. Apakah itu kakakku?Kemudian datang seseorang berpakaian hitam-hitam seperti seorang sopir. Mungkin dia sopir keluarga kakakku.“Kamu siapa? Apakah kamu tamu undangan disini? Kenapa kamu bikin ulah disini?” tanyanya.“Bikin ulah? Dia yang bikin ulah,” tunjukku ke arah Dela.“Lagipula, tidak penting juga saya memberitahu kamu dan kalian siapa aku sekarang. Nanti juga kalian akan tahu dan akan terkejut jika tahu aku ini siapa,” lanjutku.“Ya, aku sudah tahu kamu siapa. Janga
(POV Davina)Sumpah demi apapun, aku sangat geram terhadap bi Imah. Semenjak dia kenal dan tinggal dengan Risa, dia menjadi sombong.Bi Imah sama sekali tidak kasihan dengan keadaanku sekarang ini. Aku sedang hamil, tapi hidupku menjadi sengsara begini.Aku kira menikah dengan mas Rendi, hidupku akan lebih baik, aku akan menjadi orang kaya. Tapi ternyata semuanya salah. Iya kaya, tapi hanya sebentar.Bi Imah mendiamkanku setelah ia memberitahu alamat rumah kakakku. Aku tak menyangka, aku bakalan bertemu dengan kakak kandungku. Dulu aku hanya mendengar cerita saja dari bi Imah bahwa aku memiliki seorang kakak. Tapi keadaan yang memaksa kami untuk berpisah.“Imah, ayo kita pergi sekarang!” Seorang pria menghampiri bu Imah. Aku tidak tahu dia siapa.Pria itu kemudian membukakan pintu mobil untuk bi Imah. Melihat pemandangan itu, mataku terbelalak. Kenapa bisa bi Imah menaiki mobil mewah seperti itu? Apakah mereka sudah menikah? Tubuhku menjadi panas, bukan karena panas demam atau cuaca t
(POV Bu Imah)Seminggu kemudian, setelah Risa resmi menikah dengan Jona. Kini aku tinggal seorang diri di rumah Risa. Awalnya aku berniat pergi dari rumah ini. Namun Risa mencegah, dia tak tega jika aku pergi dari sini. Aku merasa tidak enak kepadanya, karena ini bukan rumahku, aku hanya menumpang disini. Tapi sungguh hati Risa sangat baik, entah terbuat dari apa hatinya, dia tidak mempermasalahkan aku tinggal di rumah ini sampai kapanpun. Baginya aku sudah seperti ibunya.Risa pun sempat menawariku untuk tinggal di rumah barunya bersama Jona. Namun aku menolak dan memilih tinggal seorang diri. Bukan aku tak menghargai niat baiknya, namun aku tidak mau jika sampai mengganggu mereka dengan keberadaanku di tengah-tengah mereka.Ting ….“Bibi, aku barusan sudah memesan makanan buat Bibi. Sebentar lagi ada kurir yang mengantarkannya. Bibi tidak usah repot-repot memasak hari ini. Oh iya, kalau perlu apa-apa, hubungi aku ya, Bi. Bibi juga bebas mau main ke rumahku. Mama sama Papa juga tidak
(POV Risa)“Risa!” teriak Jona, bu Imah dan pak Willy kompak.Tubuhku terhempas ke sisi jalan raya saat aku berusaha menyelamatkan bu Diva dari pengendara motor yang ugal-ugalan. Tubuhku rasanya sakit, namun beruntung aku tidak sampai pingsan.“Ya Tuhan, dahi dan kaki kamu berdarah.” Jona panik melihat keadaanku.Sementara pak Willy membantu bu Diva berdiri.“Tolong bawa Risa ke rumah sakit, Nak Jona. Kasihan dia pasti kesakitan,” imbuh bu Imah terlihat khawatir.Tanpa berlama-lama, Jona mengangkat tubuhku dan memasukkan ku ke dalam mobilnya.Beberapa kali aku mengaduh kesakitan. Dahiku terasa perih, terlebih kakiku selain berdarah mungkin juga terkilir.Dengan cepat Jona membawaku ke rumah sakit dekat-dekat sini.“Kamu yang kuat ya, sayang. Sebentar lagi kita sampai,” ujar Jona.Aku hanya mengangguk sambil meringis menahan sakit.Lima belas menit kemudian, kami sudah berada di rumah sakit. Aku segera ditangani oleh dokter. Dahi dan kakiku diperban supaya darah tidak terus menerus men
(POV Risa)Aku menunduk kala bu Diva sedari tadi memperhatikanku tanpa ekspresi dan tanpa banyak bicara. Entah apa yang ada di dalam pikirannya, namun itu membuatku merasa was-was.“Risa, rencananya kami mau mengajak kamu makan bersama. Apakah kamu sedang tidak sibuk?” tanya pak Willy.“Em … rencananya hari ini kami mau keliling lagi jualan, Pak,” jawabku.“Begini saja, semua jualan kamu biar saya borong semuanya untuk makan siang semua karyawan di kantor. Saya akan panggil rendra untuk datang kesini menjemput semua makanan itu. Sekarang kamu dan Ibu kamu segera bersiap-siap. Saya ingin mengenal lebih dekat dengan calon menantu saya,” imbuh pak Willy.Aku pun menyetujui permintaannya. Aku meminta izin untuk bersiap berganti pakaian, begitupun dengan bu Imah.Di dalam kamar, aku segera berganti pakaian dengan pakaian terbaik menuurutku yang aku punya. Semoga aku tidak malu-maluin dengan penampilan ini.Selesai berganti pakaian, aku keluar dari kamar dan bergabung kembali dengan keluarg