Dan ... balas dendam pun dimulaiii ...
“Pagi, Ma,” sapa Sastra menarik kursi di meja makan dan duduk di sana. Mama mertuanya itu sedang menikmati sarapan pagi, sementara Sastra baru saja akan sarapan.“Pagi,” balas Anggi tersenyum pada Sastra yang duduk di sampingnya, tetapi di sisi yang berbeda. “Nada nggak turun?”“Masih tidur.” Sastra menahan senyum, untuk meredam rasa canggung di depan mertuanya.Anggi melipat bibir sesaat. Berusaha untuk tidak tertawa, agar situasi di antara mereka tetap terjaga.“Oia, Ma.” Sastra buru-buru mengganti topik obrolan mereka, agar tidak semakin salah tingkah. Jika saat ini Arini dan Adrian yang berada di depannya, mereka berdua pasti sudah tertawa untuk meledek Sastra. “Nada sudah cerita masalah pertemuan kemarin dengan pak Rizal.”“Nggak papa,” ujar Anggi sambil mengunyah pelan makanannya. “Nggak usah terlalu dipikirkan, karena papanya Nada sekarang sedang ditahan.”“Tapi, Ma, apa besok gugatannya betul-betul dicabut?”“Betul.” Anggi mengangguk pelan. “Ada surat yang sudah Mama tanda tang
“Oke.” Sastra mengiyakan permintaan Nada, untuk tetap bekerja. “Tapi batasnya cuma sampai resepsi. Setelah itu, fokuslah dengan kuliahmu.”Nada mengangguk. “Makasih, Mas.”“Sama-sama,” ujar Sastra bergegas keluar mobil, lalu membukakan pintu untuk Nada.Jelang siang, Sastra memutuskan untuk menginap di hotel daripada tetap tinggal di rumah. Sebelum Milan dan Cairo pulang dari jalan-jalan, ia harus membawa Nada pergi lebih dulu. Sastra tahu betul, kalau dua bocah itu sudah datang, jangan harap ia bisa menikmati waktu berdua dengan istrinya.Terlebih lagi, ketika Sastra sudah menjanjikan Milan boleh menginap dengan Nada keesokan harinya, yaitu hari ini.Tidak .... Kali ini Sastra tidak akan mau mengalah dengan kedua keponakannya itu.“Ayo.” Sastra mengulurkan tangannya pada Nada, lalu segera membawa istrinya masuk ke dalam hotel. “Kamu duduk dulu, biar aku yang ke resepsionis.”“Tapi.” Nada mengeratkan genggamannya di tangan Sastra sebelum mereka berpisah. “Aku lupa tanya. Emm, Mas bawa
“Nggak dicabut?” Anggi sontak terkejut, begitu mendengar Sastra mengatakan bahwa gugatan cerainya dan Rizal akan terus diproses. Ia menatap pria itu dengan raut tidak percaya, berharap ada kesalahan dalam ucapannya. “Tapi kenapa?”“Saya tahu Mama terpaksa,” ucap Sastra.Mereka baru selesai makan malam dan sebelum beranjak ke mana-mana, maka Sastra menceritakan perihal pertemuannya dengan Rizal hari itu.“Dan saya harap, Mama nggak perlu lagi memikirkan harta gono gini,” sambungnya sambil meraih tangan Nada dan menggenggam erat. “Jangan pernah khawatir dengan masa depan Mama dan Nada, karena saya akan memastikan kalian tidak kekurangan apa pun.”“Sastra, Mama nggak mau merepotkan.” Anggi menghela napas panjang, tatapannya bergantian berpindah dari Sastra ke Nada. “Biarlah. Cabut saja gugatannya. Toh, papanya Nada juga ada di penjara dan mungkin akan ditahan beberapa tahun.”“Saya nggak pernah merasa direpotkan,” ucap Sastra. “Ibu Anggi itu sekarang juga mama saya, jadi, nggak usah sung
“Siang, bu Mercy,” sapa Nada ramah dan tetap bersikap profesional, ketika melihat Mercy datang ke Firma. “Ada yang bisa dibantu.”“Siang,” balas Mercy juga bersikap ramah. “Saya sudah ada janji sama mas Ian. Tapi, beliau sudah telpon dan bilang sedikit telat.”Tanpa sengaja, tatapan Mercy menangkap sebuah cincin berlian yang begitu indah melingkar di jari manis Nada. Seketika hatinya dipenuhi tanda tanya. Apakah benar, Sastra menikah dengan Nada di malam reuni mereka kala itu?Mercy sempat menanyakan langsung pada Ian, dan pria itu membenarkan bahwa Sastra memang sudah menikah. Pernikahan itu digelar secara tertutup, tanpa mengundang siapa pun dari Firma. Namun, Ian menyebutkan bahwa resepsi akan menyusul kemudian, di mana seluruh karyawan akan turut diundang.Selain itu, Mercy juga sempat bertanya perihal hubungan Sastra dan Nada. Namun, Ian mengatakan jika ia tidak terlalu menyimak gosip yang ada di Firma. Jadi, Ian tidak bisa memberitahunya dengan pasti, gadis mana yang telah dinik
“Apa resepsinya nggak terlalu mewah?” Nada jadi khawatir sendiri dengan pandangan orang-orang nantinya. “Papaku lagi kena kasus. Aku nggak mau keluarga Mas Sastra nanti jadi bahan omongan.”“Nggak ada yang perlu dikhawatirkan,” ujar Sastra yang menggunakan punggung Nada sebagai bantalnya. Sementara istrinya, sedang bertelungkup dan mengecek kembali semua persiapan resepsi mereka yang berada di layar laptop. “Berani buat fitnah, onar, atau bikin gosip yang nggak jelas, mereka sudah tahu konsekuensinya.”“Sombongnyaaa.”"Bukan sombong," sanggah Sastra, lalu meletakkan ponselnya. "Tapi itu fakta. Siapa pun yang kenal keluarga kami pasti tahu, sekali kami diganggu, kami nggak akan tinggal diam. Kami akan tuntut sampai pelakunya dapat hukuman yang setimpal."“Serem.” Nada menggoyangkan tubuhnya. Memberi kode agar Sastra bangkit dari punggungnya.Sastra bangkit seraya menggeram. “Kalau serem, kamu nggak bakal betah ada di tengah-tengah keluargaku,” ucapnya lalu membuka laci nakas dan berdec
“Aku sudah sering ke Bali,” kata Nada lalu menggeser layar ponsel yang dipegang Sastra. “Lombok juga pernah beberapa kali. Hampir semua tempat di Pulau Jawa juga sudah pernah aku datangi. Jadi, kita bulan madunya di luar itu.”Sastra menoleh pelan pada Nada yang bersandar padanya. Mereka sedang merencanakan bulan madu, tetapi belum menetapkan destinasi serta tanggal kepergiannya. “Jadi, hidupmu selama ini isinya cuma liburan?”Nada mengangguk. “Setiap libur sekolah, kami sekeluarga pasti keluar kota,” ucapnya kembali mengingat beberap kenangan indah di masa lalu.”“Sepertinya kita juga harus bikin jadwal liburan ke luar kota,” kata Sastra sambil melempar ponselnya di tempat tidur. Ia merentangkan satu tangan, lalu membawa Nada ke dalam pelukan. “Setiap kamu libur semester.”“Milan Cairo ikut?”“Tentu tidak.” Sastra meringis. “Ada waktunya ngajak mereka, tapi ada waktunya kita cuma berdua aja.”“Ayo sarapan!” Nada menepuk dada Sastra. Melepas pelukan pria itu dan segera menjauh secepat
“Kamu sama Nada lagi ada masalah?” tanya Anggi begitu Sastra baru saja duduk di sampingnya.Saat ini, Nada tengah memberikan kesaksian dalam persidangan Rizal. Sementara giliran Anggi sudah selesai beberapa waktu lalu. Setelah ini, seharusnya giliran Dina. Namun, hingga sekarang, Anggi belum melihat batang hidung wanita itu sama sekali.Sastra mendesah pelan, lalu mengangguk saat menatap Anggi. “Saya nggak tahu, kalau hari ini Nada ulang tahun. Jadi, dia ngambek.”Anggi spontan menutup mulut dengan satu tangan, berusaha menahan tawa. Tubuhnya bergetar pelan, menahan geli yang nyaris meledak.“Saya pernah lihat data diri Nada, tapi saya betul-betul nggak perhatikan masalah tanggal lahirnya,” sambung Sastra lalu mengusap kasar wajahnya. “Makanya, di mobil tadi saya cuma didiamin aja.”Anggi semakin menutup rapat mulutnya. Bukannya tidak prihatin dengan kondisi menantunya, tetapi bagi seorang istri, hal yang dilakukan Sastra tersebut akan menjadi sebuah kesalahan yang tidak akan terlupak
“Nggak perlu diperpanjang,” ujar Anggi memberi nasihat dengan tenang. “Kamu tahu sendiri kalau Sastra itu sibuk. Kasus yang dikerjakan juga nggak sedikit. Jadi, buruan baikan. Nggak baik diemin suami terus-terusan.”“Salah sendiri.” Nada masih saja kesal dan tidak akan semudah itu memaafkan suaminya. “Masa’ ulang tahun istrinya nggak tahu dan nggak diinget?”“Kan, sudah Mama kasih tahu alasannya.”“Biarin aja.” Nada mencebik. “Biar mas Sastra tahu rasa. Aku, tuh, padahal nggak minta apa-apa. Cuma minta diucapin aja sudah seneng. Itu artinya mas Sastra emang peduli sama istrinya.”“Kalau dia nggak peduli sama kamu, nggak mungkin kamu dikasih fasilitas seperti sekarang.”Menurut Anggi, putrinya masih memiliki sifat kekanak-kanakan. Ia bisa memakluminya, mengingat usia Nada yang baru menginjak 21 tahun. Nada tumbuh dalam lingkungan yang nyaman, tanpa banyak kesulitan yang menempa, sehingga kedewasaan dalam berpikir belum sepenuhnya melekat pada dirinya.Meskipun kejadian yang menimpa kel
Bagi Sastra, tidak masalah jika Nada menghukumnya dengan menghadirkan Milan dan Cairo di rumah mereka. Asalkan, ia juga masih bisa mendapatkan haknya dan bisa melakukan apa pun yang diinginkan. Meskipun, Sastra harus melakukan segala cara untuk merayu istrinya lebih dulu.Awalnya, mulut Nada itu akan selalu berkata tidak. Namun, ujung-ujungnya Sastra pasti akan mendapat apa yang ia inginkan, karena istrinya itu tidak akan bisa menolak sentuhannya.“Mas, ke Raja Ampat aja, ya?” ujar Nada setelah memilih deretan destinasi wisata untuk bulan madu.“Kita bisa ke luar negeri kalau kamu mau,” balas Sastra sambil memakai dasinya dan menghampiri Nada yang sedang berada di meja belajarnya. Istrinya sedang belajar, untuk persiapan ujian semesternya esok hari. “Ke Thailand, Singapur, Vietnam. Cari yang bebas visa aja.”“Ke Raja Ampat aja,” ujar Nada sudah mantap ingin pergi ke sana. “Aku belum pernah ke sana soalnya.”“Oke.” Sastra tidak lagi memberi opsi. “Nanti aku minta bu Wirda uruskan semua
“Nggak perlu diperpanjang,” ujar Anggi memberi nasihat dengan tenang. “Kamu tahu sendiri kalau Sastra itu sibuk. Kasus yang dikerjakan juga nggak sedikit. Jadi, buruan baikan. Nggak baik diemin suami terus-terusan.”“Salah sendiri.” Nada masih saja kesal dan tidak akan semudah itu memaafkan suaminya. “Masa’ ulang tahun istrinya nggak tahu dan nggak diinget?”“Kan, sudah Mama kasih tahu alasannya.”“Biarin aja.” Nada mencebik. “Biar mas Sastra tahu rasa. Aku, tuh, padahal nggak minta apa-apa. Cuma minta diucapin aja sudah seneng. Itu artinya mas Sastra emang peduli sama istrinya.”“Kalau dia nggak peduli sama kamu, nggak mungkin kamu dikasih fasilitas seperti sekarang.”Menurut Anggi, putrinya masih memiliki sifat kekanak-kanakan. Ia bisa memakluminya, mengingat usia Nada yang baru menginjak 21 tahun. Nada tumbuh dalam lingkungan yang nyaman, tanpa banyak kesulitan yang menempa, sehingga kedewasaan dalam berpikir belum sepenuhnya melekat pada dirinya.Meskipun kejadian yang menimpa kel
“Kamu sama Nada lagi ada masalah?” tanya Anggi begitu Sastra baru saja duduk di sampingnya.Saat ini, Nada tengah memberikan kesaksian dalam persidangan Rizal. Sementara giliran Anggi sudah selesai beberapa waktu lalu. Setelah ini, seharusnya giliran Dina. Namun, hingga sekarang, Anggi belum melihat batang hidung wanita itu sama sekali.Sastra mendesah pelan, lalu mengangguk saat menatap Anggi. “Saya nggak tahu, kalau hari ini Nada ulang tahun. Jadi, dia ngambek.”Anggi spontan menutup mulut dengan satu tangan, berusaha menahan tawa. Tubuhnya bergetar pelan, menahan geli yang nyaris meledak.“Saya pernah lihat data diri Nada, tapi saya betul-betul nggak perhatikan masalah tanggal lahirnya,” sambung Sastra lalu mengusap kasar wajahnya. “Makanya, di mobil tadi saya cuma didiamin aja.”Anggi semakin menutup rapat mulutnya. Bukannya tidak prihatin dengan kondisi menantunya, tetapi bagi seorang istri, hal yang dilakukan Sastra tersebut akan menjadi sebuah kesalahan yang tidak akan terlupak
“Aku sudah sering ke Bali,” kata Nada lalu menggeser layar ponsel yang dipegang Sastra. “Lombok juga pernah beberapa kali. Hampir semua tempat di Pulau Jawa juga sudah pernah aku datangi. Jadi, kita bulan madunya di luar itu.”Sastra menoleh pelan pada Nada yang bersandar padanya. Mereka sedang merencanakan bulan madu, tetapi belum menetapkan destinasi serta tanggal kepergiannya. “Jadi, hidupmu selama ini isinya cuma liburan?”Nada mengangguk. “Setiap libur sekolah, kami sekeluarga pasti keluar kota,” ucapnya kembali mengingat beberap kenangan indah di masa lalu.”“Sepertinya kita juga harus bikin jadwal liburan ke luar kota,” kata Sastra sambil melempar ponselnya di tempat tidur. Ia merentangkan satu tangan, lalu membawa Nada ke dalam pelukan. “Setiap kamu libur semester.”“Milan Cairo ikut?”“Tentu tidak.” Sastra meringis. “Ada waktunya ngajak mereka, tapi ada waktunya kita cuma berdua aja.”“Ayo sarapan!” Nada menepuk dada Sastra. Melepas pelukan pria itu dan segera menjauh secepat
“Apa resepsinya nggak terlalu mewah?” Nada jadi khawatir sendiri dengan pandangan orang-orang nantinya. “Papaku lagi kena kasus. Aku nggak mau keluarga Mas Sastra nanti jadi bahan omongan.”“Nggak ada yang perlu dikhawatirkan,” ujar Sastra yang menggunakan punggung Nada sebagai bantalnya. Sementara istrinya, sedang bertelungkup dan mengecek kembali semua persiapan resepsi mereka yang berada di layar laptop. “Berani buat fitnah, onar, atau bikin gosip yang nggak jelas, mereka sudah tahu konsekuensinya.”“Sombongnyaaa.”"Bukan sombong," sanggah Sastra, lalu meletakkan ponselnya. "Tapi itu fakta. Siapa pun yang kenal keluarga kami pasti tahu, sekali kami diganggu, kami nggak akan tinggal diam. Kami akan tuntut sampai pelakunya dapat hukuman yang setimpal."“Serem.” Nada menggoyangkan tubuhnya. Memberi kode agar Sastra bangkit dari punggungnya.Sastra bangkit seraya menggeram. “Kalau serem, kamu nggak bakal betah ada di tengah-tengah keluargaku,” ucapnya lalu membuka laci nakas dan berdec
“Siang, bu Mercy,” sapa Nada ramah dan tetap bersikap profesional, ketika melihat Mercy datang ke Firma. “Ada yang bisa dibantu.”“Siang,” balas Mercy juga bersikap ramah. “Saya sudah ada janji sama mas Ian. Tapi, beliau sudah telpon dan bilang sedikit telat.”Tanpa sengaja, tatapan Mercy menangkap sebuah cincin berlian yang begitu indah melingkar di jari manis Nada. Seketika hatinya dipenuhi tanda tanya. Apakah benar, Sastra menikah dengan Nada di malam reuni mereka kala itu?Mercy sempat menanyakan langsung pada Ian, dan pria itu membenarkan bahwa Sastra memang sudah menikah. Pernikahan itu digelar secara tertutup, tanpa mengundang siapa pun dari Firma. Namun, Ian menyebutkan bahwa resepsi akan menyusul kemudian, di mana seluruh karyawan akan turut diundang.Selain itu, Mercy juga sempat bertanya perihal hubungan Sastra dan Nada. Namun, Ian mengatakan jika ia tidak terlalu menyimak gosip yang ada di Firma. Jadi, Ian tidak bisa memberitahunya dengan pasti, gadis mana yang telah dinik
“Nggak dicabut?” Anggi sontak terkejut, begitu mendengar Sastra mengatakan bahwa gugatan cerainya dan Rizal akan terus diproses. Ia menatap pria itu dengan raut tidak percaya, berharap ada kesalahan dalam ucapannya. “Tapi kenapa?”“Saya tahu Mama terpaksa,” ucap Sastra.Mereka baru selesai makan malam dan sebelum beranjak ke mana-mana, maka Sastra menceritakan perihal pertemuannya dengan Rizal hari itu.“Dan saya harap, Mama nggak perlu lagi memikirkan harta gono gini,” sambungnya sambil meraih tangan Nada dan menggenggam erat. “Jangan pernah khawatir dengan masa depan Mama dan Nada, karena saya akan memastikan kalian tidak kekurangan apa pun.”“Sastra, Mama nggak mau merepotkan.” Anggi menghela napas panjang, tatapannya bergantian berpindah dari Sastra ke Nada. “Biarlah. Cabut saja gugatannya. Toh, papanya Nada juga ada di penjara dan mungkin akan ditahan beberapa tahun.”“Saya nggak pernah merasa direpotkan,” ucap Sastra. “Ibu Anggi itu sekarang juga mama saya, jadi, nggak usah sung
“Oke.” Sastra mengiyakan permintaan Nada, untuk tetap bekerja. “Tapi batasnya cuma sampai resepsi. Setelah itu, fokuslah dengan kuliahmu.”Nada mengangguk. “Makasih, Mas.”“Sama-sama,” ujar Sastra bergegas keluar mobil, lalu membukakan pintu untuk Nada.Jelang siang, Sastra memutuskan untuk menginap di hotel daripada tetap tinggal di rumah. Sebelum Milan dan Cairo pulang dari jalan-jalan, ia harus membawa Nada pergi lebih dulu. Sastra tahu betul, kalau dua bocah itu sudah datang, jangan harap ia bisa menikmati waktu berdua dengan istrinya.Terlebih lagi, ketika Sastra sudah menjanjikan Milan boleh menginap dengan Nada keesokan harinya, yaitu hari ini.Tidak .... Kali ini Sastra tidak akan mau mengalah dengan kedua keponakannya itu.“Ayo.” Sastra mengulurkan tangannya pada Nada, lalu segera membawa istrinya masuk ke dalam hotel. “Kamu duduk dulu, biar aku yang ke resepsionis.”“Tapi.” Nada mengeratkan genggamannya di tangan Sastra sebelum mereka berpisah. “Aku lupa tanya. Emm, Mas bawa
“Pagi, Ma,” sapa Sastra menarik kursi di meja makan dan duduk di sana. Mama mertuanya itu sedang menikmati sarapan pagi, sementara Sastra baru saja akan sarapan.“Pagi,” balas Anggi tersenyum pada Sastra yang duduk di sampingnya, tetapi di sisi yang berbeda. “Nada nggak turun?”“Masih tidur.” Sastra menahan senyum, untuk meredam rasa canggung di depan mertuanya.Anggi melipat bibir sesaat. Berusaha untuk tidak tertawa, agar situasi di antara mereka tetap terjaga.“Oia, Ma.” Sastra buru-buru mengganti topik obrolan mereka, agar tidak semakin salah tingkah. Jika saat ini Arini dan Adrian yang berada di depannya, mereka berdua pasti sudah tertawa untuk meledek Sastra. “Nada sudah cerita masalah pertemuan kemarin dengan pak Rizal.”“Nggak papa,” ujar Anggi sambil mengunyah pelan makanannya. “Nggak usah terlalu dipikirkan, karena papanya Nada sekarang sedang ditahan.”“Tapi, Ma, apa besok gugatannya betul-betul dicabut?”“Betul.” Anggi mengangguk pelan. “Ada surat yang sudah Mama tanda tang