“Hati-hati, sayang!” ucap Fajar sambil membantu Naura untuk duduk di kursi tunggu.Naura pun mengangguk sambil tersenyum ramah ke arah Fajar. Kali ini mereka berdua kembali mesra seperti tidak pernah ada masalah diantara mereka berdua.Naura duduk di kursi tunggu klinik dengan hati yang berdebar-debar. Di sampingnya, Fajar memegang tangannya erat, memberikan dukungan yang tak tergantikan. Mereka berdua datang untuk memeriksa kandungan Naura, dan ketegangan terasa begitu kentara di udara.“Kamu kenapa?” tanya Fajar ramah.“Nggak ada apa-apa, cuma takut aja. Kamu tahu kan kalau ini pertama kalinya aku memeriksa kandungan.”Fajar semakin mempererat genggaman tangannya semakin erat, kemudin mengecup lembut. “Sayang, kamu nggak usah khawatir. Aku akan selalu bersamamu. Aku akan menemanimu di dalam sekaligus mengetahui perkembangan anak kita nanti akan seperti apa.”Naura mengangguk, “Ya, tapi kamu janji jangan ninggalin aku.” Naura mengatakan hal itu sambil meruncingkan bibirnya. Saat ini
Siang ini Naura pergi dengan Fajar untuk makan siang. Sudah biasa pasangan ini melewatkan makan siang di luar. Kadang-kadang menyempatkan diri untuk memadu kasih di sebuah hotel.Saat ini, Fajar menatap kosong piringnya yang sudah bersih dan alat makan yang sudah ditutup. Di seberang meja, duduk Naura kekasihnya yang cantik tampak berbinar-binar ketika berbicara tentang rencana pernikahan mereka berdua.“Sayang, aku maunya kita nikah pakai tema outdoor aja, yang ala ala rustic gitu. Kayaknya bakalan keren deh,” ucap Naura mengawali sambil sesekali menggigit manisan buah yang ada di hadapannya.Semenjak kehamilannya, Naura memang lebih suka menikmati makanan yang terasa masam.“Iya tidak apa-apa asal kamu suka,” jawab Fajar.Naura mengangguk dan tersenyum. Kembali peremouan berdagu belah itu berceloteh tentang pernikahannya, “Aku ingin pakai gaun yang lebar, tidak mau menggunakan pakaian yang membentuk lekuk tubuh, aku takut kalau perutku kelihatan. Kamu tahu kan gimana orang-orang kal
“Mil, iniduit buat kamu sama anak kamu,” ucap Radit sambil memberikan sepuluh lembar uang merah pada Mila.“Ini buat apa Pak? Bukannya saya udah nerima gaji dua hari lalu?” tanya Mila membuat Radit membelalakkan matanya. Tampaknya Mila masih belum terbiasa dengan statusnya bersama Radit sekarang ini.“Sa … saya salah ya Pak?” tanya Mila sedikit terlihat gugup.“Salah banget, kamu udah lupa ya siapa saya?” tanya Radit berpura-pura marah.Mila langsung menepuk kepalanya dan berkata, “Ya ampun maaf saya lupa. Maksudnya Mas Radit.” kemudian ia pun menyentuh tangan Radit dan mengguncang-guncangkannya.Radit langsung mengusap kepala perempuan yang akan dinikahinya itu dan berkata lembut, “Kalau kemarin itu kan gaji karena kamu kerja untuk ngerawat ibu. Yang sekarang saya ngasih kamu untuk kebutuhan kamu dan Kinan. Emangnya dia nggak butuh beli popok, sabun dan lainnya?”“Nanti kalau kita udah nikah semua pendapatan kamu yang atur, aku cuma minta untuk urusan transpor sama pegangan di jalan
Sambil tersenyum, Doni pun berdiri di depan rumah tinggal Mila, hatinya penuh dengan niatan yang tidak baik. Tentu saja ini semua untuk memberikan keuntungan pada dirinya sendiri.Kemarin ia membuntuti Mila yang mengemudikan sepeda listriknya dengan diam-diam. Ia telah mengetahui alamat Mila melalui pertemuan mereka di supermarket kemarin. Sepulang dari membuntuti Mila, ia pun menyusun rencana agar perempuan itu tidak dapat menolak permintaannya lagi. Tanpa ragu, ia pun melangkah mendekati pintu pagar dan berulang kali menekan bel dengan keras. Saat ia membunyikan bel yang ketiga kalinya, Pintu depan pun terbuka perlahan, dan Mila muncul di ambang pintu dengan wajah penuh kecemasan. Ia segera menyadari bahwa ini bukan kunjungan yang diinginkannya.Dengan tergopoh-gopoh Mila pun langsung mendekati pintu pagar. Ia tak mau Doni datang ke tempat ini. Kehadiran Doni di sini pasti hanya membuat keributan saja, dan ia takut hal ini akan berdampak pada hubungannya dengan Radit."Doni, apa ya
Radit yang baru pulang pun membuka pintu rumah, ia sedikit lelah setelah bekerja seharian. Seperti biasa saat membuka pintu dan mencuci tangan serta bersalaman dengan Ibu.“Mila sama Kinan kemana Bu? Kok tumben, saya pulang nggak kelihatan mereka.”Wanita paruh baya itu pun mengangkat bahu dan berkata, “Mungkin ada di kamar, lagian sekarang juga sudah jam delapan, bukannya waktunya Kinan tidur.”Radit pun mengangguk kemudian menuju ke kamarnya, tapi dari arah belakang ia mendengar suara tangis. Radit pun langsung menuju ke sana dan mendapati Mila sedang menggendong putri kecilnya sambil membuka pintu belakang.“Kinan kenapa?” tanya Radit.“Eh Mas udah pulang,” tegur Mila kemudian mengusap air matanya. Ia tentu tak ingin Radit memergokinya sedang menangis.“Nggak tahu Mas, mungkin dia kepanasan,” jawab Mila yang masih menggendong putri kecilnya. Radit menatap Mila tajam, berulang kali perempuan itu terlihat murung dan memalingkan wajah dari Radit untuk menyembunyikan kesedihannya. Ha
Saat ini Mila duduk di teras samping rumah sambil memperhatikan Radit yang tengah bersama dengan putrinya, Kinanthi. Senyum manis terkembang di wajahnya saat melihat kedekatan mereka berdua.“Mas Radit kayaknya sayang banget sama Kinan. Semoga kebahagiaan ini bisa terus bersamaku,” gumam Mila sambil memperhatikan mereka berdua.Mila pun tersenyum bahagia melihat Radit dan Kinan saling bersenda gurau. Anak kecil itu duduk di stroller sambil tersenyum. Wajahnya begitu menggemaskan, apalagi dengan makanan yang belepotan di sekitar bibir mungilnya.Saat ini usia Kinan memang sudah memasuki enam bulan dan sudah mulai mengkonsumsi MPASI. Bayi itu terlihat begitu lahap dan tidak sabar untuk menikmati makanannya. Sesekali Kinan mencoba untuk merebut sendok dari Radit.“Aku sangat bersyukur saat ini dikelilingi oleh orang-orang yang begitu menyayangiku,” gumam Mila.Namun kebhagaiaan itu tidak bisa berlangsung lama. Secara tiba-tiba saja, ponsel di pangkuan Mila pun bergetar dan muncul notifik
Naura duduk di sisi belakang taksi online yang baru ia pesan. Saat ini tujuannya hanya satu yaitu menuju rumah Fajar. Setiap hari usia kandungannya semakin bertambah, dan ia selalu saja dibayang-bayangi oleh kehadiran anaknya yang tak memiliki sosok ayah.Naura sangat membutuhkan pernikahan ini, sekaligus ingin membuat pernyataan tentang hubungannya dengan Fajar secara resmi. Sayangnya sejak pertemuan mereka siang itu, Fajar sama sekali tidak menampakkan batang hidungnya.Mereka bekerja dalam satu gedung, tapi sudah hampir seminggu ini Naura tidak bertemu dengan Fajar. Menurut penuturan rekan satu kantornya Fajar memang diminta untuk ke kantor pusat beberapa hari belakangan ini.Naura pun turun dari taksi online dan mulai melangkah m enuju pintu utama. Namun ada kegelisahan yang tak terdefinisikan dalam hati Naura saat ia mengetuk pintu rumah Fajar.Fajar membukakan pintu, dan senyumnya terhias di wajahnya. "Naura, apa yang membawa kamu ke sini?" tanya Fajar dengan hangat, tapi sikap
Dengan malas, Naura memasuki mobil taksi online yang dipesannya. Sempat supir taksi online memperhatikannya dengan tatapan penuh dengan tanda tanya. Mungkin saja menganggap Naura seperti orang gila.Namun Naura tak peduli, ia hanya mengatakan, “Jalan Pak!”Sesekali supir taksi memperhatikan Naura dari kaca narrow, khawatir Naura akan melakukan hal yang tidak-tidak. Namun Naura hanya menatap jendela dan menangis.“Mbak, kalau butuh tisu, di jok belakang ada, silakan diambil,” tawar supir taksi oline.Naura menoleh ke arah depan dan mengangguk lalu kembali memperhatikan jendela. Saat ini perasaannya benar-benar hancur. Fajar yang selama ini selalu dibanggakan olehnya adalah sosok pria kasar dan pecemburu.Seharusnya ia sadar kalau kekerasan dalam hubungan tidak pernah terjadi atau berkali-kali. Ia tidak harus memaafkan Fajar saat itu, dan benar-benar memutuskan hubungan dengannya. Namun bujuk rayu mampu membuat Naura luluh.Kembali Naura menangis tersedu. Saking lamanya menangis, sampai
Kali ini Mila duduk di depan meja rias sambil mengenakan kebaya putih yang panjang. Rambutnya yang hitam legam sudah disanggul modern.Ia mengusap-ngusapkan telapak tangannya yang terasa dingin. Bu Laely yang menganakn kebaya kuning gading pun menepuk pundak putrinya yang belum juga beranjak dari meja rias.“Ma, apa Mas Radit udah datang?” tanyanya masih menatap ke depan kaca.“Sudah sayang, keluarganya sudah datang semua. Penghulu pun juga sudah datang.”Mila pun berdiri perlahan. Kali ini ia terlihat begitu anggun, dan lebih cantik dari biasanya. Balutan kebaya yang melekat di tubuhnya menunjukkan siluet yang indah.“Kamu cantik sekali nak. Akhirnya hari ini tiba juga,” kata Bu Laely sambil memperhatikan putrinya.“Makasih Ma. Kira-kira Mas Radit suka nggak ya? Apa Mas Radit nggak bakal batalin pernikahan ini?” tanya Mila.Bu Laely menggandeng tangan putrinya yang saat ini dihiasi oleh hena. “Mila, kenapa kamu berpikir begitu? Radit adalah laki-laki yang tepat untukmu. Apa kamu tida
Mila menghembuskan napas panjang, “Sebenarnya kasihan juga, tapi aku takut mereka akan menyakiti Kinan.”“Mereka nggak akan berani. Di sini ada Mas, Mbak Rima, Mas Rangga dan Mas Andar. Mereka semua akan bantu Mas untuk menjaga kalian berdua.”Mila memperhatikan sekitar. Calon kakak iparnya benar-benar pasang badan sekarang ini. Radit duduk bersebelahan dengan Doni. Mas Rangga berada di dekat pintu keluar, Mbak Rima dekat dengan Ibu Doni, mas Andar dekat dengan ayah Doni.“Sepertinya mereka akan sulit untuk berbuat macam-macam,” batin Mila kemudian mengangguk.“Baik, aku ijinkan kalian untuk menggendong dan memeluk Kinan. Namun aku tidak mengijinkan kalian membawanya pergi!” kata Mila dengan tegas.“Makasih nak Mila.”Mila pun mulai melonggarkan pelukannya pada Kinan dan bersiap menyerahkan putrinya pada Doni. Namun belum sempat bayinya berpindah, Radit sudah mencegah.“Tunggu sebentar! Meskipun kalian ada hubungan darah dengan Kinan, tapi kalian harus tahu kalau dia masih bayi dan ti
Mila mempererat pelukannya pada putri kesayangannya dan bersembunyi di balik punggung Radit. Saat ini napas Mila terdengar memburu, jelas ia mulai ketakutan dengan kehadiran seseorang yang ada di depannya.Radit yang melihat keadaan Mila yang merasa tidak nyaman pun menoleh sekilas ke arah Mila. “Kamu masuk dulu ke mobil sama Kinan, biar Mas yang urus dia!”Mila yang sedang ketakutan pun mengangguk dan langsung meraih kunci mobil Radit untuk segera masuk ke dalam SUV putih dan menguncinya rapat-rapat.Radit memicingkan mata lalu berdiri sambil berkacak pinggang. “Ada apa kamu datang kemari? Apa masih kurang puas dengan pelajaran yang saya berikan kemarin? Kamu masih mau mengganggu calon istri dan anak saya?”Laki-laki yang ada di depan Radit sekarang adalah Doni. Beberapa waktu sebelumnya, Doni pernah membuat masalah dengan Mila dan meneror Mila hingga menyisakan trauma.Namun Radit tidak tinggal diam dan dengan mudahnya membuat Doni tak bisa berkutik. Saat itulah Doni berjanji untuk
Radit membalas ucapan ayah Naura dengan senyum. Kemudian dengan ramah, Radit pun menawarkan tumpangan pada mantan mertuanya itu.Meskipun Naura dan ibunya bertingkah menyebalkan, tapi tidak dengan Bapaknya. Pria yang berdiri di hadapannya selama ini benar-benar menjadi sosok yang mengayomi dan bisa menjadi panutan.“Nak Radit, tidak perlu. Saya masih bisa naik bis nanti,” tolak Pak Rustam.Radit tahu, ucapan pria di hadapannya memang benar-benar tulus, bukan sekedar basa-basi. Semasa jadi mertuanya pun, pria ini sama sekali tidak pernah merepotkannya.Apa yag dilakukan oleh Radit saat ini semata-mata karena rasa kemanusiaan pada pria yang ada di hadapannya itu. Usia Pak Rustam yang tidak muda lagi tentu akan sangat mudah lelah jika harus menggunakan bis ke kampung halamannya. Belum lagi, saat turun di terminal beliau harus menumpang sebuah mobil angkutan ke terminal kampung dan naik ojek sejauh 8 kilometer lagi.“Tidak masalah Pak, setidaknya nanti Bapak bisa menghemat waktu.”Namun a
Ayah Naura melirik jam tangang begitu turun dari bis kota. Kemudian ia pun bergumam lirih, “Alhamdulillah tidak terlalu siang.”Sudah hampir seminggu Pak Rustam berada di kampung halaman bersama istri dan Naura. Keseharian Naura dan istrinya di sana benar-benar tidak bahagia.Tidak sekali dua kali istri dan putri tunggalnya memohon unutk kembali ke kota dan hidup normal seperti dulu. Mereka benar-benar tidak cocok dengan kehidupan di kampung yang menurutnya terlalu jauh dari kata modern.Kadang-kadang ayah Naura pun kasihan saat melihat istri dan anaknya harus bangun pagi-pagi karena di sana tidak memiliki kompor gas. Untuk memasak masih harus menggunakan tungku. Belum lagi cibiran dari keluarga besar tentang kehamilan Naura.Meskipun tidak benar-benar membuka aib putrinya karena Pak Rustam mengatakan kalau Naura dan suaminya bercerai tapi tidak mengatakan tentang perselingkuhan putrinya. Namun tetap saja orang-orang menganggap ada apa-apa dengan pernikahan mereka berdua.Naura sering
Langit senja berwarna jingga menghiasi kota, suasana yang indah itu berbanding terbalik dengan Naura memasuki pintu rumahnya dengan langkah lesu. Wajahnya mencerminkan kepedihan yang dalam, matanya merah akibat tangis yang tak terbendung. Ia baru saja pulang dari rumah Radit melakukan rencana yang telah diatur bersama ibunya. Namun yang didapat, jangankan keberhasilan, ia justru diusir oleh mantan kakak iparnya itu.Naura yang kelelahan karena berbadan dua, ia pun duduk di kursi makan sambil menikmati air dingin. Hatinya betul-betul merasa sakit, bukan karena dia tidak mendapatkan kasih sayang Radit lagi, tapi tidak bisa mendapatkan kejelasan untuk masa depan dia dan anaknya.“Kamu udah pulang Naura?” tanya Bu Fatma tiba-tiba kemudian duduk di kursi yang berada di hadapan Naura.“Iya Ma,” jawab Naura dengan malas.“Udah ketemu Radit? Tadi dia antar kamu pulang kan?” tanya Bu Fatma antusias.“Hmm boro-boro antar pulang, ngobrol enak aja nggak,” jawab Naura kesal.“Maksud kamu? Dia jah
Radit pun langsung menoleh ke arah yang ditunjukkan oleh kakak iparnya. Tamu tak diundang itu pun memasuki pelataran rumah Radit dan mengangguk kemudian mencoba untuk menyalami Mbak Rima. Namun wanita ini langsung menepiskan tangannya.“Ngapain kamu ke sini?” tanya Mbak Rima ketus. Walaupun dia satu-satunya anak perempuan Bu Wuri, tapi dia selalu berusaha untuk menjadi yang paling terdepan setiap ada masalah dalam keluarganya. Terlahir sebagai putri sulunglah yang membuatnya selalu bersikap demikian.Mas Rangga yang sudah paham perangai kakak tertuanya pun langsung melirik Dewi istrinya agar membawa anak-anak yang masih berada di sekitar mereka masuk ke dalam. Kakak kedua Radit seperti meramalkan akan ada kejadian tidak menyenangkan, dan kurang pantas dilihat oleh anak-anak.“Apa kabar, Mbak?” sapa Naura dengan sopan, kemudian mencoba menyalami mantan kakak ipar dan juga Radit. Namun mereka semua hanya menangkupkan tangan di depan dada enggan bersentuhan.Saat Naura hendak menyalami M
Pagi ini waktu sudah semakin dekat dengan jam sepuluh pagi. Radit tampak berdiri dengan penuh kegelisahan. Kedua tangannya terasa dingin kali ini.Ini bukan balasan lamaran pertama baginya, dia pernah melewati momen ini sebelumnya. Namun entah kenapa perasaan gugup itu masih ada.“Kamu kenapa, Le? Kok kelihatan gelisah seperti itu. Apa keluarga Mila nggak jadi datang?”Radit menggeleng. “Bukan Bu Bukan begitu. Mereka sudah dalam perjalanan kemari, mungkin dalam beberapa menit lagi sampai. Aku cuma … nggak tahu aku ngerasa gugup seperti baru pertama kali menyambut keluarga calon, padahal aku sudah pernah melewati sebelumnya.”“Ha ha, kamu seperti pengantin baru saja,” kata mbak Rima kakak sulung Radit yang datang menyaksikan kebahagaiaan adik bungsunya kali ini.“Itu tandanya perempuan itu spesial buat Radit,” celetuk mas Andar suaminya.Sejak kabar bahagia itu datang, Radit langsung menghubungi ketiga kakaknya Rima, Rangga dan juga Raka mengenai rencana kedatangan keluarga Mila. Ketig
Suara mesin motor yang berhenti tiba-tiba di depan rumah membuat Pak Rustam terkejut dan membuatnya terpaksa menghentikan aktivitas menyambung tanaman. Ia pun segera menuju pagar dan melihat siapa yang datang.Tampak dua sosok asing dengan jaket kulit berwarna hitam dan berperangai sangar pun turun dari motor. Pak Rustam sama sekali tidak pernah mengenal dua sosok laki-laki itu.“Selamat sore, permisi Pak apa benar ini rumah Ibu Nur Fatmawati?” tanya salah satunya yang berkepala botak.Pak Rustam mengerutkan alis dan balik bertanya, “Anda siapa ya?”“Jawab saja Pak, benar atau tidak?” tanya pria itu lagi.Sikap menggertak seperti ini jelas tidak disukai oleh Pak Rustam, dan tidak seharusnya ditunjukkan. Pak Rustam pun berdiri berkacak pinggang dan menantang mereka.“Hei, kalian ini apa-apaan. Ini rumah saya! Jika ingin membuat keributan di sini silakan pergi sebelum saya panggil warga yang akan mengusir kalian!” bentak Pak Rustam.Meskipun usianya tak lagi muda, tapi ayah Naura tetap