Dengan malas, Naura memasuki mobil taksi online yang dipesannya. Sempat supir taksi online memperhatikannya dengan tatapan penuh dengan tanda tanya. Mungkin saja menganggap Naura seperti orang gila.Namun Naura tak peduli, ia hanya mengatakan, “Jalan Pak!”Sesekali supir taksi memperhatikan Naura dari kaca narrow, khawatir Naura akan melakukan hal yang tidak-tidak. Namun Naura hanya menatap jendela dan menangis.“Mbak, kalau butuh tisu, di jok belakang ada, silakan diambil,” tawar supir taksi oline.Naura menoleh ke arah depan dan mengangguk lalu kembali memperhatikan jendela. Saat ini perasaannya benar-benar hancur. Fajar yang selama ini selalu dibanggakan olehnya adalah sosok pria kasar dan pecemburu.Seharusnya ia sadar kalau kekerasan dalam hubungan tidak pernah terjadi atau berkali-kali. Ia tidak harus memaafkan Fajar saat itu, dan benar-benar memutuskan hubungan dengannya. Namun bujuk rayu mampu membuat Naura luluh.Kembali Naura menangis tersedu. Saking lamanya menangis, sampai
“Kamu hamil Naura?” tanya Pak Rustam terkejut.Naura mengangguk dengan ragu-ragu dan menceritakan janji manis Fajar yang akan menikahinya, hingga ia pun terlena dan membiarkan laki-laki itu menanam benih di tubuhnya.“I … Iya Pa, Naura sudah hamil dua bulan. Maka dari itu aku datang menemuinya untuk menanyakan tentang pernikahan ini. Aku nggak mau anak ini lahir tanpa ayah.”Pak Rustam menggeleng, wajahnya tampak memerah kali ini. “Kamu benar-benar bikin Papa malu. Kamu benar-benar bodoh Naura! Mungkin saja ini adalah balasan dari karma yang kamu lakukan terhadap Radit. Dulu kamu mengecewakan kepercayaan dan kebaikannya demi rayuan seorang lelaki, dan sekarang kamu mendapatkan seorang lelaki yang hanya bisa membuatmu sakit,” tutur pak Rustam kesal.Naura pun hanya diam dan menangis mendengar ucapan ayahnya. Ini semua memang benar-benar kesalahannya dan nasi sudah menjadi bubur, untuk apa disesali lagi.Kali ini wanita yang biasanya selalu membela Fajar hanya menggeleng kepala. Kemudia
Naura masih berbaring di ranjangnya, dia masih saja menatap langit-langit kamar sambil terisak. Kejadian yang dialaminya barusan benar-benar tidak bisa membuatnya berpikir banyak hal. Sakit sekali rasanya mengalami hal seperti ini.Saat ini pandangannya begitu kosong, seperti orang linglung. Tak ada yang bisa dia lakukan selain meratapi apa yang terjadi padanya.Beberapa kali ia berpikir apa sebaiknya ia mengakhiri hidupnya saja. Namun jika itu terjadi bagaimana keadaan orang tuanya, iya kalau dia langsung mati bersama bayinya, tapi jika tidak bukankah ia hanya akan membuat masalah saja.“Arrgh sialan!” amuk Naura lirih dan mengacak-acak rambutnya.Sementara di luar …Bu Fatma melangkah perlahan menuju pintu kamar putrinya. Setiap langkahnya terasa berat seolah membawa beban yang tak terlukiskan. Ia bisa merasakan kegelisahan yang menghampiri hati Naura.Tok! Tok! Tok!“Naura, sayang. Ini Mama Nak,” ucap Bu Fatma sambil tetap mengetuk pintu.Namun hingga kini tak juga ada jawaban dari
Bibir Naura tampak bergetar begitu mendengar perintah ayahnya. Bukankah tadi ia sudah mengatakan kalau tidak mau memperpanjang masalah ini ke ranah hukum. Hal ini hanya akan membuatnya semakin malu dan terhina.Naura pun menggeleng mendengar permintaan ayahnya yang terlihat begitu keras hati. Ia duduk sambil menekuk lututnya dan menyembunyikan wajah, kembali ia menangis."Naura, sekarang kita harus pergi ke kantor polisi dan melaporkan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh Fajar terhadapmu!" ucap Pak Rustam dengan suara tegas.Naura merasa dadanya berdesir. Ia memandang ke bawah, merasa malu untuk menghadapi realitas yang menyakitkan. Dia tahu bahwa jika ia melangkah ke kantor polisi, ia harus menceritakan segala yang terjadi pada dirinya. Rasa malu dan ketakutan pun memenuhi hatinya.Saat ini ia benar-benar tidak siap jika ada yang mengetahui kejadian yang menimpa dirinya. Sedapat mungkin kehamilan ini harus ia sembunyikan, tapi bagaimana ia akan melakukannya."Pa, apa kita harus m
“Mas, kamu yakin akan menemui Doni?” tanya Mila sambil memegangi lengan Radit.Beberapa hari yang lalu, saat Doni kembali melancarkan terornya terhadap Mila. Hal itu benar-benar membuat Radit geram sehingga ia memutuskan untuk mengurus masalah Mila kali ini, sekaligus sebagai pembuktian terhadap Mila akan cintanya.Cinta memang bukan sekedar rangkaian kata, tapi perlu pembuktian. Salah satunya dengan tanggung jawab yang bisa dilakukan olehnya.“Aku yakin, aku sudah menyiapkan semuanya,” jawab Radit dengan santai dan tanpa beban. Sementara jantung Mila malah berdegup kencang.“Tapi aku … aku takut jika terjadi sesuatu denganmu, Mas,” jawab Mila dipenuhi kekhawatiran. Wajahnya terlihat pucat, dan Radit bisa melihat bagaimana tangan Mila tampak mendekap Kinan dengan begitu erat lantaran tangannya sedikit bergetar.Radit hanya tersenyum kemudian mengusap dahi Mila dengan lembut, “Kamu mikir apa Mil. Tenang aja di sini, temani kinan sama Ibu!”“Mas, aku beneran khawatir,” kata Mila lagi.S
Radit menghentikan mobilnya di depan sebuah ruko, dan ia pun berjalan menuju tempat bilyard yang berada di pojok ruko. Di situlah ia akan bertemu dengan Doni, laki-laki yang terus saja menyusahkan Mila.“Kamu nggak akan kuberi kesempatan untuk membuat Mila menderita lagi, Doni,” gumam Radit sambil mengepalkan tangannya.Pria 37 tahun ini pun melangkah menuju area permainan bilyard. Kedua tangannya pun mengepal kuat. Garis-garis wajahnya terlihat jelas dan kaku, seperti seorang diktator yang menakutkan. Sepertinya Radit tidak pernah menunjukkan ekspresi wajah seperti ini sebelumnya.Tanpa basa-basi ia pun langsung masuk ke area bilyard dan mendekat ke arah resepsionis.“Saya yang telepon anda tadi!” seru Radit sambil meletakkan satu bendel uang berwarna merah ke atas meja.Seorang pria dengan rambut merah pun datang mendekatinya dan menyambut Radit dengan begitu ramah, “Bapak yang tadi telepon dan berkata akan menyewa ruangan VIP ya? Perkenalkan saya Bima, Pak.”Radit pun mengangguk. B
Mila langsung tersentak dan berlari keluar untuk membuka pagar begitu mendengar mobil Radit datang.“Mas Radit, kamu nggak pa pa?” tanya Mila sambil memperhatikan penampilan Radit yang masih saja terlihat rapi.Ia pun tidak puas dan mulai memperhatikan penampilan Radit dan mengitarinya. Sepertinya Mila ingin memastikan apa Radit tidak terluka atau mengalami sesuatu yang tidak mengenakkan.“Kamu kenapa Mila?” tanya Radit.Mila menggeleng cepat, “Nggak Mas. Aku cuma khawatri aja. Doni nggak melakukan apa-apa yang bikin Mas celaka kan? Kondisi Mas aman kan?”Mila terus saja memberondong pertanyaan pada Radit dan membuat pria 37 tahun itu tertawa melihat sikap calon istrinya itu, “Nggak usah berlebihan, kamu lihat kan aku masih tetap ganteng.”Radit pun menyisir rambutnya ke belakang dengan menggunakan jari.Mila yang melihat ini pun hanya bersungut lalu mencubit lengan Radit gemas, “Lebay!”“Jadi ganteng Doni?” tanya Radit yang sengaja menggoda Mila dan membuatnya kesal.Mila menggeleng
Hari sudah mulai gelap, dan Fajar masih saja duduk memperhatikan situasi di luar jendela.Piring di hadapannya sudah kosong dan kopi yang tadi dipesan sudah tidak mengepulkan aroma lagi. Di hadapannya, duduk seorang teman lama yang memiliki hubungan cukup dekat,Rizky.Melihat Fajar yang seperti ini membuat Rizky merasa curiga ada sesuatu dengan sahabatnya itu. Ia pun memutuskan untuk sedikit menghidupkan suasana cafe yang begitu sepi."Fajar, kamu kenapa bro? Suntuk amat, nggak enak tahu ngeliatnya!” tegur Rizky dengan gaya bicaranya yang begitu spontan.Fajar langsung menghela napas panjang sebelum akhirnya menjawab pertanyaan sahabatnya itu. "Ini tentang Naura.”Rizky mengerutkan alis kemudian tersenyum tipis dan berkata, “Huh dia lagi! Sudah kukatakan tak ada gunanya untuk serius menjalin hubungan di usia kita sekarang, nanti saja kalu sudah 40 tahun baru pikirkan berumah tangga.”Meski mereka bersahabat sangat dekat, tapi keduanya memiliki prinsip dan karakter yang sangat berbeda.
Kali ini Mila duduk di depan meja rias sambil mengenakan kebaya putih yang panjang. Rambutnya yang hitam legam sudah disanggul modern.Ia mengusap-ngusapkan telapak tangannya yang terasa dingin. Bu Laely yang menganakn kebaya kuning gading pun menepuk pundak putrinya yang belum juga beranjak dari meja rias.“Ma, apa Mas Radit udah datang?” tanyanya masih menatap ke depan kaca.“Sudah sayang, keluarganya sudah datang semua. Penghulu pun juga sudah datang.”Mila pun berdiri perlahan. Kali ini ia terlihat begitu anggun, dan lebih cantik dari biasanya. Balutan kebaya yang melekat di tubuhnya menunjukkan siluet yang indah.“Kamu cantik sekali nak. Akhirnya hari ini tiba juga,” kata Bu Laely sambil memperhatikan putrinya.“Makasih Ma. Kira-kira Mas Radit suka nggak ya? Apa Mas Radit nggak bakal batalin pernikahan ini?” tanya Mila.Bu Laely menggandeng tangan putrinya yang saat ini dihiasi oleh hena. “Mila, kenapa kamu berpikir begitu? Radit adalah laki-laki yang tepat untukmu. Apa kamu tida
Mila menghembuskan napas panjang, “Sebenarnya kasihan juga, tapi aku takut mereka akan menyakiti Kinan.”“Mereka nggak akan berani. Di sini ada Mas, Mbak Rima, Mas Rangga dan Mas Andar. Mereka semua akan bantu Mas untuk menjaga kalian berdua.”Mila memperhatikan sekitar. Calon kakak iparnya benar-benar pasang badan sekarang ini. Radit duduk bersebelahan dengan Doni. Mas Rangga berada di dekat pintu keluar, Mbak Rima dekat dengan Ibu Doni, mas Andar dekat dengan ayah Doni.“Sepertinya mereka akan sulit untuk berbuat macam-macam,” batin Mila kemudian mengangguk.“Baik, aku ijinkan kalian untuk menggendong dan memeluk Kinan. Namun aku tidak mengijinkan kalian membawanya pergi!” kata Mila dengan tegas.“Makasih nak Mila.”Mila pun mulai melonggarkan pelukannya pada Kinan dan bersiap menyerahkan putrinya pada Doni. Namun belum sempat bayinya berpindah, Radit sudah mencegah.“Tunggu sebentar! Meskipun kalian ada hubungan darah dengan Kinan, tapi kalian harus tahu kalau dia masih bayi dan ti
Mila mempererat pelukannya pada putri kesayangannya dan bersembunyi di balik punggung Radit. Saat ini napas Mila terdengar memburu, jelas ia mulai ketakutan dengan kehadiran seseorang yang ada di depannya.Radit yang melihat keadaan Mila yang merasa tidak nyaman pun menoleh sekilas ke arah Mila. “Kamu masuk dulu ke mobil sama Kinan, biar Mas yang urus dia!”Mila yang sedang ketakutan pun mengangguk dan langsung meraih kunci mobil Radit untuk segera masuk ke dalam SUV putih dan menguncinya rapat-rapat.Radit memicingkan mata lalu berdiri sambil berkacak pinggang. “Ada apa kamu datang kemari? Apa masih kurang puas dengan pelajaran yang saya berikan kemarin? Kamu masih mau mengganggu calon istri dan anak saya?”Laki-laki yang ada di depan Radit sekarang adalah Doni. Beberapa waktu sebelumnya, Doni pernah membuat masalah dengan Mila dan meneror Mila hingga menyisakan trauma.Namun Radit tidak tinggal diam dan dengan mudahnya membuat Doni tak bisa berkutik. Saat itulah Doni berjanji untuk
Radit membalas ucapan ayah Naura dengan senyum. Kemudian dengan ramah, Radit pun menawarkan tumpangan pada mantan mertuanya itu.Meskipun Naura dan ibunya bertingkah menyebalkan, tapi tidak dengan Bapaknya. Pria yang berdiri di hadapannya selama ini benar-benar menjadi sosok yang mengayomi dan bisa menjadi panutan.“Nak Radit, tidak perlu. Saya masih bisa naik bis nanti,” tolak Pak Rustam.Radit tahu, ucapan pria di hadapannya memang benar-benar tulus, bukan sekedar basa-basi. Semasa jadi mertuanya pun, pria ini sama sekali tidak pernah merepotkannya.Apa yag dilakukan oleh Radit saat ini semata-mata karena rasa kemanusiaan pada pria yang ada di hadapannya itu. Usia Pak Rustam yang tidak muda lagi tentu akan sangat mudah lelah jika harus menggunakan bis ke kampung halamannya. Belum lagi, saat turun di terminal beliau harus menumpang sebuah mobil angkutan ke terminal kampung dan naik ojek sejauh 8 kilometer lagi.“Tidak masalah Pak, setidaknya nanti Bapak bisa menghemat waktu.”Namun a
Ayah Naura melirik jam tangang begitu turun dari bis kota. Kemudian ia pun bergumam lirih, “Alhamdulillah tidak terlalu siang.”Sudah hampir seminggu Pak Rustam berada di kampung halaman bersama istri dan Naura. Keseharian Naura dan istrinya di sana benar-benar tidak bahagia.Tidak sekali dua kali istri dan putri tunggalnya memohon unutk kembali ke kota dan hidup normal seperti dulu. Mereka benar-benar tidak cocok dengan kehidupan di kampung yang menurutnya terlalu jauh dari kata modern.Kadang-kadang ayah Naura pun kasihan saat melihat istri dan anaknya harus bangun pagi-pagi karena di sana tidak memiliki kompor gas. Untuk memasak masih harus menggunakan tungku. Belum lagi cibiran dari keluarga besar tentang kehamilan Naura.Meskipun tidak benar-benar membuka aib putrinya karena Pak Rustam mengatakan kalau Naura dan suaminya bercerai tapi tidak mengatakan tentang perselingkuhan putrinya. Namun tetap saja orang-orang menganggap ada apa-apa dengan pernikahan mereka berdua.Naura sering
Langit senja berwarna jingga menghiasi kota, suasana yang indah itu berbanding terbalik dengan Naura memasuki pintu rumahnya dengan langkah lesu. Wajahnya mencerminkan kepedihan yang dalam, matanya merah akibat tangis yang tak terbendung. Ia baru saja pulang dari rumah Radit melakukan rencana yang telah diatur bersama ibunya. Namun yang didapat, jangankan keberhasilan, ia justru diusir oleh mantan kakak iparnya itu.Naura yang kelelahan karena berbadan dua, ia pun duduk di kursi makan sambil menikmati air dingin. Hatinya betul-betul merasa sakit, bukan karena dia tidak mendapatkan kasih sayang Radit lagi, tapi tidak bisa mendapatkan kejelasan untuk masa depan dia dan anaknya.“Kamu udah pulang Naura?” tanya Bu Fatma tiba-tiba kemudian duduk di kursi yang berada di hadapan Naura.“Iya Ma,” jawab Naura dengan malas.“Udah ketemu Radit? Tadi dia antar kamu pulang kan?” tanya Bu Fatma antusias.“Hmm boro-boro antar pulang, ngobrol enak aja nggak,” jawab Naura kesal.“Maksud kamu? Dia jah
Radit pun langsung menoleh ke arah yang ditunjukkan oleh kakak iparnya. Tamu tak diundang itu pun memasuki pelataran rumah Radit dan mengangguk kemudian mencoba untuk menyalami Mbak Rima. Namun wanita ini langsung menepiskan tangannya.“Ngapain kamu ke sini?” tanya Mbak Rima ketus. Walaupun dia satu-satunya anak perempuan Bu Wuri, tapi dia selalu berusaha untuk menjadi yang paling terdepan setiap ada masalah dalam keluarganya. Terlahir sebagai putri sulunglah yang membuatnya selalu bersikap demikian.Mas Rangga yang sudah paham perangai kakak tertuanya pun langsung melirik Dewi istrinya agar membawa anak-anak yang masih berada di sekitar mereka masuk ke dalam. Kakak kedua Radit seperti meramalkan akan ada kejadian tidak menyenangkan, dan kurang pantas dilihat oleh anak-anak.“Apa kabar, Mbak?” sapa Naura dengan sopan, kemudian mencoba menyalami mantan kakak ipar dan juga Radit. Namun mereka semua hanya menangkupkan tangan di depan dada enggan bersentuhan.Saat Naura hendak menyalami M
Pagi ini waktu sudah semakin dekat dengan jam sepuluh pagi. Radit tampak berdiri dengan penuh kegelisahan. Kedua tangannya terasa dingin kali ini.Ini bukan balasan lamaran pertama baginya, dia pernah melewati momen ini sebelumnya. Namun entah kenapa perasaan gugup itu masih ada.“Kamu kenapa, Le? Kok kelihatan gelisah seperti itu. Apa keluarga Mila nggak jadi datang?”Radit menggeleng. “Bukan Bu Bukan begitu. Mereka sudah dalam perjalanan kemari, mungkin dalam beberapa menit lagi sampai. Aku cuma … nggak tahu aku ngerasa gugup seperti baru pertama kali menyambut keluarga calon, padahal aku sudah pernah melewati sebelumnya.”“Ha ha, kamu seperti pengantin baru saja,” kata mbak Rima kakak sulung Radit yang datang menyaksikan kebahagaiaan adik bungsunya kali ini.“Itu tandanya perempuan itu spesial buat Radit,” celetuk mas Andar suaminya.Sejak kabar bahagia itu datang, Radit langsung menghubungi ketiga kakaknya Rima, Rangga dan juga Raka mengenai rencana kedatangan keluarga Mila. Ketig
Suara mesin motor yang berhenti tiba-tiba di depan rumah membuat Pak Rustam terkejut dan membuatnya terpaksa menghentikan aktivitas menyambung tanaman. Ia pun segera menuju pagar dan melihat siapa yang datang.Tampak dua sosok asing dengan jaket kulit berwarna hitam dan berperangai sangar pun turun dari motor. Pak Rustam sama sekali tidak pernah mengenal dua sosok laki-laki itu.“Selamat sore, permisi Pak apa benar ini rumah Ibu Nur Fatmawati?” tanya salah satunya yang berkepala botak.Pak Rustam mengerutkan alis dan balik bertanya, “Anda siapa ya?”“Jawab saja Pak, benar atau tidak?” tanya pria itu lagi.Sikap menggertak seperti ini jelas tidak disukai oleh Pak Rustam, dan tidak seharusnya ditunjukkan. Pak Rustam pun berdiri berkacak pinggang dan menantang mereka.“Hei, kalian ini apa-apaan. Ini rumah saya! Jika ingin membuat keributan di sini silakan pergi sebelum saya panggil warga yang akan mengusir kalian!” bentak Pak Rustam.Meskipun usianya tak lagi muda, tapi ayah Naura tetap