“Ibu yakin?” tanya Sari menatap ragu saat Puspita mengatakan ingin bertemu Haidar. Karena ia sangat tahu apa yang menyebabkan hubungan majikannya berantakan seperti ini.Dan kini, saat laki-laki itu datang lagi, Puspita masih mengatakan ingin menemuinya.“Iya, tapi antar aku, ya. Temani aku bicara dengannya.”Sari tertegun sebelum akhirnya mengangguk, lalu mendorong kursi roda menuju pintu. Farah yang tidak tahu-menahu tentang apa yang terjadi dengan Puspita, memutuskan mendampinginya juga untuk turun.Sepanjang perjalanan menuju lantai dasar di mana Haidar menunggu, tidak ada yang bicara sepatah kata pun. Baik Sari maupun Farah, apalagi Puspita, mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Sari ingin melarang dan memperingatkan, tetapi ia tidak kuasa. Sementara Farah yang melihat wajah Puspita dan Sari sangat serius, tidak berani bertanya karena ia orang baru. Baru beberapa menit lalu mengenal Puspita.Lalu Puspita, kepalanya penuh dengan rangkaian kalimat yang sudah ia susun.Tiba di
Puspita terdiam cukup lama. Terlalu lama bahkan, hingga membuat Sari mulai takut jika Puspita akan menyetujui permintaan Haidar. Permintaan yang tidak masuk akal dan tidak tahu malu menurut pengasuh itu. Bagaimana bisa seorang laki-laki berkata demikian kepada wanita bersuami? Apa pun yang terjadi pada mereka di masa lalu, bukankah itu sudah berlalu?Kenapa Puspita begitu mudah goyah dan membiarkan dirinya terjebak dalam lingkaran rasa yang tidak seharusnya? Bukankah yang ia lihat selama ini pernikahannya dengan Pram sangat bahagia? Pram bahkan memperlakukannya bak ratu, terlepas dari berkali-kali cobaan menerpa biduk mereka.Sari nyaris tak mengedipkan mata menunggu Puspita menjawab. Ia takut melewatkan apa pun yang akan keluar dari mulut majikannya. Ditatapnya Puspita yang masih membisu dan Haidar yang menunggu penuh harap bergantian, hingga ….“Maaf, Kang … aku tidak bisa,” ucap Puspita akhirnya, dengan suara yang pelan tetapi penuh keteguhan.Haidar mengerjapkan mata, seakan tidak
1 “Jangan berharap terlalu banyak dengan pernikahan ini, Puspita. Aku tidak akan pernah seutuhnya menjadi suamimu.” Kalimat itu meluncur dari mulut pria tiga puluh lima tahun yang masih mengenakan jas putih khas pengantin pria. “Pernikahan ini terjadi hanya untuk membahagiakan Soraya. Kau dan aku tidak akan pernah lebih dari kesepakatan ini,” lanjut pria itu dengan tegas dan tanpa perasaan. Matanya yang dingin menatap ke depan, sementara kedua tangannya dilipat di dada. “Itulah yang berhak kau dapatkan ketika memanfaatkan kebaikan istriku.” Puspita, wanita 20 tahun yang duduk di tepi ranjang pengantin, hanya terdiam dengan salah satu tangan memilin ujung kebayanya. Ia sangat mengerti apa yang terjadi dengan pernikahan ini, tanpa harus Pramudya, majikan laki-laki yang baru saja menghalalkannya dalam kalimat ijabkabul pernikahan itu, menegaskan dengan kalimat setajam ini. “Saya tahu, Pak … saya sangat mengerti,” bisik Puspita dengan suara gemetar. “Saya tidak akan meminta lebih,”
2“Kenapa datang sepagi ini, Paman?”Puspita pura-pura tidak tahu, di saat dia sepenuhnya memahami apa maksud kedatangan pamannya ke sini. Gadis itu bahkan sempat ragu untuk membuka pintu tadi. Namun, ia tidak punya pilihan lain. Sekalipun ia perlu Soraya dan janjinya, nyatanya Puspita harus menghadapi ini sendirian karena Pram tidak mengizinkan ia menemui kakak madunya itu.“Pita ….” Pria yang tengah menghisap rokok itu langsung membuangnya saat melihat Puspita datang. Senyum menjijikan langsung terukir di bibir hitamnya sementara ia duduk di kursi yang tersedia di teras. Satu kakinya ditumpangkan di atas kaki lainnya.. “Sudahlah, jangan pura-pura, kamu pasti tahu kenapa Paman datang.”Puspita menelan ludah. Sementara itu, sepeninggal Puspita, Pramuda lanjut bersiap-siap. Pria itu mengenakan pakaiannya, lalu setelah rapi, Pram melangkahkan kaki ke kamar Soraya, satu-satunya wanita yang ia akui sebagai istrinya, untuk melihat wajah Soraya sebelum Pram berangkat kerja.Namun, tanpa
3Beberapa minggu berlalu setelah kepergian sang paman untuk menjemput paksa Puspita. Sekalipun pria paruh baya itu pergi dengan marah-marah, setengah diusir, paman Puspita tidak kembali lagi.Mungkin itu karena ucapan Pram juga, yang mengatakan bahwa sekalipun Puspita diseret pulang, ia tidak akan bisa dinikahi karena sudah menjadi istri Pramudya.Harusnya Puspita merasa senang dan lega. Masalahnya selesai.Namun, kalimat yang dikatakan Pram padanya setelah itu membuatnya tidak mudah.“Sekarang kau bisa tenang di sini sebagai nyonya muda, hm? Menikmati kemewahan karena sudah menikahi laki-laki kaya, demi menaikkan derajatmu.” Pram mendengus. “Selamat. Wanita picik.”Puspita berusaha meluruskan kesalahpahaman itu, karena bukan seperti itu pernikahan impiannya. Namun, Pram tidak mau dengar.Hingga akhirnya, Puspita menyerah. Ia di sini bukan untuk mengambil hati Pram, melainkan untuk merawat Soraya dan putrinya, sesuai pekerjaan dan janjinya pada wanita baik hati itu.“Sebentar ya, Bu.
4"Kamu menikah lagi tanpa restu Ibu? Ibu doakan istri barumu juga kena kanker seperti Soraya!""Ibu, cukup!" Pram berseru, wajahnya menegang. Ia menatap ibunya dalam-dalam, mencoba mengendalikan emosinya, tetapi tetap tak bisa menutupi kegeraman. "Apa Ibu tahu betapa sulitnya situasi kami sekarang?""Sulit?" Bu Hasna mendengus. "Kamu bilang sulit? Kamu tahu apa yang Ibu rasakan saat tahu kamu menikah dengan seorang pembantu tanpa restu?"Puspita yang berdiri di sudut ruangan hanya bisa meremas ujung kerudungnya. Ia menahan diri, tetapi hatinya perih mendengar cemoohan Bu Hasna. Akhirnya, dengan suara bergetar, ia berkata, "Maaf…."Hasna menatap tajam wanita yang menunduk itu. "Seharusnya kau sadar diri sejak awal. Kau hanya seorang pembantu. Apa itu memang tujuanmu bekerja di sini?" Kata-kata Hasna semakin menusuk."Ibu, jangan berkata seperti itu pada Puspita!" Soraya tidak tahan lagi. Meski sangat lemah, ia tidak bisa membiarkan ibu mertuanya berkata buruk pada Puspita. "Saya yang
5Pramudya dan Puspita masih terpaku di tempatnya, sementara wanita cantik yang baru saja bicara itu mendekat. Senyum manis terus mengembang dari bibir merahnya. Tepat saat wanita dengan dress selutut itu tiba di meja makan, Hasna muncul dari pintu yang sama."Pram, ini Imelda, anak Tante Dini. Jangan bilang kamu lupa." Hasna langsung menjelaskan saat menyadari keheranan di wajah anaknya."Imelda?" gumam Pram. Keheranan masih menghiasi wajahnya."Iya, Pram. Imel yang waktu kecil suka kamu gendong-gendong, suka main pengantin-pengantinan sama kamu. Cantik, kan, dia sekarang?" Hasna tersenyum bangga sambil melirik wanita bernama Imel itu. Setelahnya, wanita lebih setengah abad itu duduk di kursi, mendekat ke arah Puspita yang kini menundukkan kepala."Lebih cantik dari kedua istrimu, bahkan jika kecantikan keduanya digabungkan," lanjut Hasna dengan sengaja. Matanya mengerling tajam ke arah Puspita.Puspita menelan ludahnya, sementara Pramudya memejamkan matanya sebentar, lalu mengembusk
“Apa? Prily sesak napas?” Pram berteriak bicara di telepon. “Ya sudah, langsung bawa ke rumah sakit, aku menyusul ke sana.” Laki-laki itu menutup panggilan dengan gusar.“Pak, putar arah ke rumah sakit!” perintahnya pada sopir sambil memasukkan ponsel ke dalam saku bajunya. Wajahnya diliputi kecemasan.“Ada apa, Mas?” tanya Imel yang duduk di samping Pram. Wajahnya tampak simpatik, padahal beberapa saat sebelumnya seulas senyum terukir di wajahnya.“Prily sesak napas.” Pram menjawab tanpa menoleh. Sejujurnya, saat ini ia merasa dirinya yang tidak bisa bernapas. Apalagi Puspita meneleponnya sambil menangis. Sudah dapat dipastikan jika kondisi Prily sangat serius.Pram takut. Ia baru saja ditinggalkan orang tercintanya. Dan jika Prily pun sampai kenapa-napa, ia bisa gila.“Sesak napas?” Imel mengulang. “Perasaan, saat kita tinggal tadi, Prily baik-baik saja, kan? Kok, bisa sih, sesak napas?” tanya Imel dengan irama kalimat yang sangat diatur. Pram tidak ingin menjawab. Ia memutuskan memejamk
Puspita terdiam cukup lama. Terlalu lama bahkan, hingga membuat Sari mulai takut jika Puspita akan menyetujui permintaan Haidar. Permintaan yang tidak masuk akal dan tidak tahu malu menurut pengasuh itu. Bagaimana bisa seorang laki-laki berkata demikian kepada wanita bersuami? Apa pun yang terjadi pada mereka di masa lalu, bukankah itu sudah berlalu?Kenapa Puspita begitu mudah goyah dan membiarkan dirinya terjebak dalam lingkaran rasa yang tidak seharusnya? Bukankah yang ia lihat selama ini pernikahannya dengan Pram sangat bahagia? Pram bahkan memperlakukannya bak ratu, terlepas dari berkali-kali cobaan menerpa biduk mereka.Sari nyaris tak mengedipkan mata menunggu Puspita menjawab. Ia takut melewatkan apa pun yang akan keluar dari mulut majikannya. Ditatapnya Puspita yang masih membisu dan Haidar yang menunggu penuh harap bergantian, hingga ….“Maaf, Kang … aku tidak bisa,” ucap Puspita akhirnya, dengan suara yang pelan tetapi penuh keteguhan.Haidar mengerjapkan mata, seakan tidak
“Ibu yakin?” tanya Sari menatap ragu saat Puspita mengatakan ingin bertemu Haidar. Karena ia sangat tahu apa yang menyebabkan hubungan majikannya berantakan seperti ini.Dan kini, saat laki-laki itu datang lagi, Puspita masih mengatakan ingin menemuinya.“Iya, tapi antar aku, ya. Temani aku bicara dengannya.”Sari tertegun sebelum akhirnya mengangguk, lalu mendorong kursi roda menuju pintu. Farah yang tidak tahu-menahu tentang apa yang terjadi dengan Puspita, memutuskan mendampinginya juga untuk turun.Sepanjang perjalanan menuju lantai dasar di mana Haidar menunggu, tidak ada yang bicara sepatah kata pun. Baik Sari maupun Farah, apalagi Puspita, mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Sari ingin melarang dan memperingatkan, tetapi ia tidak kuasa. Sementara Farah yang melihat wajah Puspita dan Sari sangat serius, tidak berani bertanya karena ia orang baru. Baru beberapa menit lalu mengenal Puspita.Lalu Puspita, kepalanya penuh dengan rangkaian kalimat yang sudah ia susun.Tiba di
Puspita menggenggam ponselnya erat, berulang kali mencoba menghubungi Prabu. Namun, hasilnya tetap sama—tidak bisa dihubungi. Ia berusaha mengatur napas, tetapi dadanya terasa sesak. Pikirannya berkecamuk, menebak-nebak apa yang sedang terjadi di tanah air.Oma masuk rumah sakit? Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa ia tidak tahu apa pun? Kenapa Prabu tidak menjawab teleponnya?Ia ingin pulang. Ia ingin segera kembali ke tanah air, ke keluarganya. Namun, tubuhnya masih lemah. Kakinya belum bisa digerakkan dengan baik. Luka di wajahnya belum sepenuhnya pulih. Bagaimana mungkin ia kembali dalam keadaan seperti ini? Bahkan untuk berdiri pun masih terasa sulit.Air matanya mengalir deras, jatuh ke pangkuannya. Kepalanya mulai berdenyut karena tekanan yang ia rasakan semakin berat. Ia ingin bertanya kepada Opa, tapi pria itu pasti sedang sibuk menjaga Oma di rumah sakit. Tidak mungkin ia mengganggu.Ketidakberdayaan itu menusuknya dari segala arah. Ia merasa sendirian, terjebak di negeri o
Puspita duduk di kursi rodanya dengan tatapan kosong. Ruang terapi di Mount Elizabeth Hospital yang biasanya penuh semangat kini terasa dingin dan sepi. Sari berdiri di sisinya, memberikan dukungan moral, tetapi itu tidak cukup. Biasanya, Pram yang ada di sana. Biasanya, Pram yang menggenggam tangannya sebelum terapi dimulai, memberikan kata-kata penyemangat dengan suara lembutnya.Hari ini, Pram tidak ada.Puspita menggigit bibirnya, menahan isakan yang mengancam pecah. Sejak Pram pergi bersama Prily kemarin, ia belum sekali pun mendengar kabarnya. Tidak ada pesan. Tidak ada telepon. Pram benar-benar menghilang dari kehidupannya dalam sekejap. Dan itu sangat menyakitkan."Bu, kita mulai, ya?" sapa terapis yang sudah bersiap membantunya menjalani sesi latihan hari ini.Puspita hanya mengangguk lemah. Ia memaksa tubuhnya untuk fokus, tetapi hatinya berantakan. Setiap gerakan yang biasanya ia lakukan dengan penuh usaha kini terasa lebih berat dari sebelumnya. Ketika kakinya mencoba berg
“Mas …” panggil Puspita di antara napasnya yang memburu. Pandangan diedarkan ke sekeliling, tapi yang ia dapati hanya ruangan kosong dengan dinding-dinding bisu. Ternyata ia berada di dalam kamarnya.Puspita mengerjap dan menyeka peluh di pelipisnya. Mencoba mengingat apa yang terjadi sebelum ini. Tadi pinggangnya pegal karena terlalu banyak duduk, ia meminta Sari membantunya untuk berbaring. Lalu ia sengaja memejamkan matanya agar tak terjadi kontak dengan Pram. Siapa sangka ia malah tertidur dan didatangi mimpi buruk yang capeknya terbawa ke dunia nyata.Mimpi?Ya, tadi ia bermimpi sangat mengerikan. Pram terjatuh saat ingin menyelamatkannya. Dan itu seperti sangat nyata.“Mas …” panggil Puspita lagi seraya menyibak selimutnya, lalu menurunkan kaki dari ranjang. Saat ia berusaha untuk berdiri, ia memekik dan tubuhnya langsung ambruk ke lantai.Puspita meringis merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Ia bahkan lupa jika kakinya belum berfungsi sebagaimana mestinya. Mimpi yang terasa nya
Pram mondar-mandir di kamarnya. Kalimat-kalimat Prabu yang tidak dimengertinya terus terngiang-ngiang. Ia masih tidak bisa menyimpulkan arti ucapan itu, tetapi satu hal yang ia yakini—Prabu sedang tidak baik-baik saja.Pram menengadah, lalu meremas rambutnya. Ia ingin bertanya lebih lanjut, tetapi sejak awal Prabu memang bicara tersendat-sendat dan terdengar ragu. Tidak mungkin ia memaksa kakak iparnya itu untuk bicara lebih jelas.Lalu, ia harus bagaimana?Ingin memberi solusi? Bagaimana bisa, jika masalah yang sebenarnya saja ia tidak tahu. Prabu langsung pamit setelah mengatakan itu, dan ia tidak bisa mencegahnya.Andai berada di tanah air, mungkin ia bisa sedikit membantu. Masalahnya, jika pulang pun, bagaimana dengan Puspita?Untuk mengatakan bahwa kakaknya ada masalah saja, rasanya Pram tidak tega. Ia yakin itu hanya akan menjadi beban pikiran bagi istrinya. Pram takut Puspita tidak fokus pada pengobatannya. Belum lagi jika benar-benar ingin berpisah. Lalu, apa yang harus dilaku
Pram sedang mengemas beberapa barang ke dalam ransel di kamarnya. Ia hanya sedang bersiap jika tiba-tiba Puspita mengatakan ia harus pergi.Bukannya menyerah jika ia melakukan ini sejak dini. Sekali lagi, ia hanya sedang bersiap jika suatu saat Puspita benar-benar tak menginginkannya lagi, karena setelah dua hari semenjak ia bertanya, wanita itu belum juga memberikan jawaban.Puspita seolah menggantung hubungan mereka, membuatnya berada dalam ketidakpastian. Namun, Pram sama sekali tak marah atau menyalahkan istrinya karena ia pun dulu pernah melakukan hal yang sama. Mengabaikan Puspita dalam ketidakjelasan hubungan sejak Soraya meninggal. Membuat Puspita tenggelam dalam pusaran keputusasaan. Mungkin, ini juga yang dirasakan Puspita saat itu.Semua yang terjadi padanya saat ini seolah pantulan cahaya dalam cermin. Semua berbalik padanya. Apa yang pernah ia lakukan pada Puspita dulu, kini berbalik dirinya yang harus merasakan semua ini.Pram mengembuskan napas panjang. Kini Puspita sed
"Duduklah," ujar Ny. Bimantara akhirnya, sambil menunjuk kursi di seberang mereka.Irena duduk dengan tangan terkepal di pangkuannya. Perutnya terasa mual, bukan karena makanan, tapi karena suasana kaku yang menyesakkan.Pelayan datang dan mulai menyajikan makanan. Namun, bahkan setelah hidangan tersaji, tidak ada obrolan yang mengalir. Prabu sesekali mencoba mencairkan suasana dengan bertanya tentang kesehatan Opa dan Oma, tetapi jawaban yang didapat hanya sekadarnya."Jadi bagaimana, Opa, Oma? Pendapat kalian tentang rencana kami ke depannya?" Prabu terpaksa bertanya lebih dulu karena kedua orang tua itu tak kunjung bertanya sesuatu tentang mereka.Hening beberapa saat, membuat Prabu yang menunggu menjadi tidak sabar.Irena mencuri pandang ke arah Opa Rangga. Lelaki tua itu duduk dengan postur tegak, sorot matanya masih tajam meski usianya sudah senja. Lalu, tiba-tiba, pria itu meletakkan garpunya, membuat dentingan kecil yang menarik perhatian semua orang."Prabu," suaranya terdeng
Irena menatap dirinya di depan cermin. Seorang wanita empat puluh tahun terpampang di sana dengan wajah yang sudah dipoles make-up flawless. Garis kerutan memang jauh darinya karena ia selalu menjaga pola makan dan olahraga yang teratur. Tapi rasanya, senyum sudah jarang ia sunggingkan dalam kehidupan pribadinya.Jika pun selama ini terkesan ramah dan selalu ceria, itu hanya untuk para pasien dan siapa pun yang ia temui di rumah sakit. Selebihnya, bibirnya jarang sekali tersenyum. Perpisahan dengan Radit yang berbuntut perebutan hak asuh Chiara membuat hari-harinya seolah suram.Memang ia masih bisa menemui sang anak selama Chiara dalam pengasuhan mantan suaminya itu, tetapi dalam waktu yang sangat terbatas dan tentu saja harus mengikuti aturan Radit. Tidak bisa bertemu dan menumpahkan rindu dengan leluasa.Irena sangat menyesali hari-hari yang telah lewat. Ia terlalu sibuk bekerja hingga waktu untuk bersama Chiara sangat sedikit. Dan itu ternyata membuat Chiara lebih dekat dengan aya