“Mas … ber-canda, kan?” Suara Puspita bergetar. Ia mencoba tidak mempercayai apa yang barusan Pram katakan.Pram menatapnya lekat, ada kesedihan dalam sorot matanya. Sungguh, ia tidak tega mengatakan ini pada Puspita dalam kondisinya yang masih belum sepenuhnya pulih. Puspita baru saja bernapas lega karena salah satu cacat di tubuhnya telah berhasil dipulihkan. Kini, siap tidak siap, istrinya harus mendengar berita yang pastinya membuat hatinya hancur.“Mas ….” panggil Puspita lagi dengan bibir bergetar. “Tolong katakan jika barusan aku salah mendengar. Semua baik-baik saja, kan? Opa, Oma, dan Bang Prabu baik-baik saja, kan? Semuanya berjalan lancar dan mereka sedang menungguku sembuh?”Terlihat pergerakan di leher Pram, tanda pria itu menelan ludahnya. Matanya menatap iba, sungguh baru saja mulai bicara, ia sudah tidak tega melihat Puspita seperti ini. Kalau boleh memilih, Puspita lebih baik tidak tahu saja masalah ini agar tidak menjadi beban pikirannya.Namun, ia berhak tahu, bukan
Puspita berbaring menghadap dinding. Raganya di sini, tapi pikirannya entah di mana. Barusan Prabu menghubungi Pram, tapi sama sekali tidak ingin bicara dengannya. Hanya menitip salam dan memintanya menjaga kesehatan. Sama sekali bukan Prabu yang ia kenal sebelum berangkat ke sini.Ataukah memang ia sama sekali tidak berarti dalam keluarga itu?Ia bahkan tidak berani lagi menghubungi Opa Rangga atau kediaman Bimantara. Mungkin untuk saat ini ia melupakan saja jika bagian keluarga itu. Ya, sepertinya lebih baik seperti itu. Mungkin dengan begitu ia bisa fokus dengan kesehatannya sendiri. Ia ingin cepat sembuh dan kembali ke tanah air. Bukan untuk keluarga itu, tetapi untuk dirinya sendiri. Puspita tak ingin terus-terusan menyusahkan Pram yang harus bolak-balik dua negara.Lagi-lagi ia bersyukur memiliki Pram dalam hidupnya, karena orang lain belum tentu bisa selalu ada untuknya. Namun, seorang suami akan tetap membersamainya selamanya.Puspita mengerjap saat merasakan sebuah tangan mel
Pram bangkit setelah melepaskan tangan Puspita dengan hati-hati. Ia mengambil piyamanya yang terserak di lantai, lalu memakainya kembali. Matanya tak lepas menatap wajah pulas itu. Wajah yang terlihat lelah penuh peluh, tetapi bibirnya menyunggingkan senyum puas.Bibir Pram ikut tersenyum sebelum mendekatkan wajah. Satu kecupan lembut ia daratkan di kening itu. Punggung tangannya mengusap peluh yang membasahi pelipis istrinya. Terbayang bagaimana tegangnya Puspita tadi karena takut kakinya yang belum pulih akan membuatnya kesakitan. Tapi ia terus meyakinkan sang istri bahwa dirinya akan melakukannya dengan sangat hati-hati agar tidak menyakitinya.Seolah kemarau panjang yang terhapus hanya oleh hujan sehari, kerinduan yang menggunung dan hasrat yang tertahan selama berbulan-bulan terbayarkan dengan memadu kasih barusan. Sebenarnya, ia masih bisa bertahan lebih lama jika Puspita memilih menunda lagi. Toh dulu pun bersama Soraya ia bisa bertahan lama. Namun, sambutan yang tulus dari Pus
“Apa kamu yakin, Pak Prabu?” tanya Irena dengan pandangan lurus ke depan. Kedua tangannya menggenggam erat handel stir. Pundaknya terlihat tegang meski ia sudah berusaha setenang mungkin.Ya, ia memang sudah berpengalaman berumah tangga. Ia pernah menikah. Ini bukan pertama baginya, tetapi tentu saja situasinya berbeda. Pernikahan pertamanya dengan Radit dilakukan tidak mendadak dan tidak tanpa restu seperti ini. Dulu, ia juga menikah secara normal dengan pesta cukup meriah.Tapi kini, bersama pria yang duduk di sampingnya?“Kamu masih memanggilku Pak?” tanya Prabu jengah. Ia melirik tak berminat. Pria itu justru terlihat lebih tenang dan santai meski ini pengalaman pertamanya baginya. “Aku ini bukan siapa-siapa sekarang, Bu Dokter. Bukan CEO, bukan presdir, bahkan saat ini pekerjaan saja aku tidak punya,” lanjutnya lemah.Irena mengerjap dan menarik napas. Setelah memutuskan pergi dari rumah keluarganya, Prabu memang sangat sensitif.“Mau kupanggil apa?” tanya Irena lirih tetap tanpa
Prabu menatap jalan di depannya dengan sorot mata tajam. Irena, yang duduk di sampingnya, menggenggam setir erat, matanya sesekali melirik ke spion dengan gelisah."Ada yang mengikuti kita," ucap Irena dengan suara lirih, nyaris berbisik.Prabu menoleh sekilas ke kaca spion. Ia melihat beberapa mobil hitam yang familier di belakang mereka. Pria-pria berbadan tegap dengan wajah yang tampak tak bersahabat di dalamnya."Jangan panik." Prabu berusaha terdengar tenang. "Tetap melaju seperti biasa. Kita akan lihat apa yang mereka mau."Prabu sangat yakin jika mereka adalah orang-orang Opanya. Sejenak ia menyesali mengapa bukan dirinya yang mengemudi. Ia takut Irena ketakutan dan panik. Tadi, Irena memang memaksa menyetir mungkin karena melihat dirinya yang lelah. Namun, nyatanya wanita itu tetap tenang. Mengemudikan mobilnya seolah tidak terjadi sesuatu.Ya, tentu saja. Irena wanita matang yang ia yakin bukan hanya matang secara umur, tapi juga secara emosional. Apalagi ia seorang dokter ya
Irena terhenyak saat pintu ruangan itu terbuka dengan tiba-tiba. Tubuhnya menegang, pikirannya sempat dipenuhi kemungkinan buruk yang terjadi. Bukan tanpa alasan, pasalnya sejak dipisahkan dengan Prabu, ia digiring masuk ke sebuah ruangan sendirian. Cukup lama ia duduk di sana dengan pintu yang ditutup dan dijaga orang-orang yang mencegat mereka. Bahkan ia sempat mengira akan dibunuh hanya agar Prabu batal menikah dengannya.Namun, begitu melihat sosok yang berdiri di ambang pintu, ia menghela napas lega. Prabu. Pria itu tidak mengucapkan sepatah kata pun, hanya melangkah mendekat dengan sorot mata tajam. Tanpa peringatan, tangannya meraih pergelangan Irena dan menariknya keluar dari ruangan. Sentuhan itu tak kasar, tapi juga tak lembut. Ada ketegangan yang begitu nyata terpancar dari dirinya.Tak seorang pun yang mengganggu perjalanan mereka menuju keluar. Semua orang berseragam formal serba gelap yang tadi menculik mereka, kini hanya berdiri tegak tanpa kata dan tanpa aksi sama seka
Prabu masih menatap Irena dengan sorot mata penuh tanda tanya, tapi perempuan itu mengalihkan wajahnya. Jemarinya sedikit gemetar saat menggenggam ponselnya, ekspresi wajahnya berubah menjadi tegang."Kita ke KUA sekarang," ucapnya buru-buru.Prabu mengernyit, merasa aneh dengan perubahan sikap Irena yang mendadak. "Irena, ada apa? Siapa yang menelepon?""Tidak sekarang, Pak Prabu. Kita harus menikah secepatnya," jawabnya tanpa menoleh.Prabu bisa merasakan ketegangan yang begitu nyata dalam suaranya. Bibirnya hampir saja melontarkan pertanyaan lain, tetapi melihat wajah Irena yang pucat dan sorot matanya yang penuh kegelisahan, ia menahan diri.Tanpa banyak tanya lagi, Prabu menyalakan mesin mobil dan melaju ke KUA yang sudah mereka tunjuk. Sepanjang perjalanan, Irena terus menggigit bibirnya, menggenggam erat ponselnya seolah menahan sesuatu yang besar di dalam hatinya. Prabu meliriknya sesekali, tetapi tak ada kata yang keluar dari bibirnya.Sesampainya di KUA, mereka mengurus admi
Prabu menambah kecepatan mobil tanpa berkata-kata. Tak perlu Irena menjelaskan panjang lebar, ia sudah tahu apa yang harus dilakukan: mereka harus segera sampai di rumah Radit. Wajahnya memerah, dan napasnya tertahan. Kedua tangannya mencengkeram erat setir mobil.Sementara di sebelahnya, Irena duduk tegang dengan tangan mencengkeram rok panjangnya. Wajah perempuan itu pucat, matanya penuh dengan ketakutan yang nyata. Tidak ada yang lebih menakutkan bagi seorang ibu selain dipisahkan selamanya dari anak semata wayangnya.Irena sangat mengenal Radit. Mantan suaminya itu bisa melakukan apa pun untuk menghukumnya. Ia takut pria itu benar-benar membawa Chiara jauh.Bagaimana dengan hatinya jika hal itu terjadi? Sementara masih satu kota saja ia sudah kesulitan bertemu, apalagi jika benar Radit membawa Chiara pindah.“Bukankah aku sudah menawarkan pernikahan lebih awal padamu, Iren? Mungkin jika kita menikah lebih awal, kita bisa mencegah hal ini terjadi. Kita bisa menjemput Chiara lebih c
“Kok, pergi?” Prabu bergumam heran, tubuhnya otomatis bangkit berdiri dari belakang meja.Tanpa menghiraukan panggilan sekretarisnya yang terdengar risih, Prabu segera melangkah cepat ke arah pintu.“Pak Prabu, ini belum selesai tanda tangannya—”Tapi Prabu tidak mendengarkan. Langkahnya mantap, menyusul sosok wanita yang baru saja keluar dengan wajah dingin dan sorot mata menusuk.“Andini!” panggilnya dari belakang.Namun wanita itu tak menoleh. Ia terus berjalan cepat melewati lorong kantor yang dipenuhi aktivitas siang hari. Tumit sneakers-nya berdetak keras melawan lantai marmer, berpacu dengan degup jantungnya yang tak kalah gaduh.“Andini! Tunggu!”Panggilan itu tak dihiraukan. Perasaan aneh mulai bercokol di dada Andini. Ia menyesal datang. Menyesal membawa sesuatu yang bahkan sekarang terasa konyol. Di tangannya tergenggam kotak makan berisi grilled salmon, makanan kesukaan Prabu. Ia tahu dari Oma tadi pagi.Andini sengaja memasak sendiri. Ia ingin memberi kejutan dengan tiba-
Andini menghela napas pelan sambil merapikan kerudung kemarin yang dipakainya lagi. Kemeja putih Prabu yang kebesaran kini sudah terganti dengan satu yang sedikit lebih pas—setidaknya tidak membuatnya terlihat seperti memakai daster laki-laki. Ia menemukan kemeja berwarna biru tua di dalam lemari, mungkin milik Prabu saat masih bujangan. Untuk bawahannya, ia beruntung menemukan celana jeans yang tampaknya sudah lama tidak dipakai.“Lumayan…” gumamnya pelan sambil menatap pantulan dirinya di cermin. Meski masih kebesaran di beberapa bagian, setidaknya ia tidak terlihat seperti peserta lomba kostum paling nyeleneh pagi itu.Di belakangnya, Prabu bersandar di pintu sambil melipat tangan di dada. Kepalanya menggeleng pelan.Mereka keluar kamar setelah Andini merasa rapi, dan belum sempat mereka melangkah, mereka berpapasan dengan Puspita dan Pram yang juga sepertinya baru keluar kamar. Tangan keduanya yang saling mengait mesra menandakan bahwa mereka pasangan yang paling bahagia pagi ini.
Andini menahan napas, seluruh tubuhnya kaku seperti patung lilin. Jari-jarinya masih menempel di pipi Prabu, sementara matanya tak berkedip memandang lelaki itu yang kini membuka mata.Waktu seperti berhenti. Detik terasa seperti menit.Prabu menatapnya dalam diam. Tak ada ekspresi. Tak ada teguran. Tapi juga… tak ada senyum.Andini panik. Apa Prabu marah karena ia sudah lancang? Ah, ia sudah siap jika saja pria itu akan memarahinya.Namun tepat ketika ia hendak membuka mulut untuk meminta maaf atau sekadar mencari alasan, mata Prabu perlahan terpejam lagi. Tubuhnya bergeser sedikit, dan suara napasnya kembali terdengar pelan.“…Din…” gumamnya lirih, nyaris seperti bisikan dari alam mimpi.Andini menegakkan tubuhnya perlahan. “Mas?” tanyanya pelan, ragu.Tak ada jawaban. Hanya dengkuran lembut sebagai balasan.Andini mematung beberapa detik sebelum menjatuhkan diri ke kasur, punggungnya menghantam ranjang dengan lemas.“Ya Allah…” desahnya lega. “Dia cuma mengigau. Ya ampun, aku kira
Prabu mengangkat alis, meluaskan matanya. “Hmm… ya, ini Oma yang menyiapkan. Kamu bisa pilih salah satunya untuk malam ini,” ujarnya tanpa menoleh. Matanya masih menyapu seluruh koleksi baju di dalam lemari sambil menahan senyum.Andini mendesah frustrasi. Tangannya bersedekap di depan dada. “Aku tidak ganti baju saja,” ujarnya akhirnya, lalu berjalan pelan dan duduk di tepi ranjang. Ada rasa kesal, malu, dan bingung bercampur jadi satu di dalam hatinya. Situasi ini sungguh di luar dugaan.Prabu menutup pintu lemari perlahan, lalu berjalan mendekat ke arah Andini. Tatapannya lembut, tetapi suaranya mengandung ketegasan yang halus. “Ganti saja, tidak apa-apa. Itu sudah Oma siapkan buat kamu.”Andini mendongak, menatapnya sejenak lalu membuang pandangan lagi. “Aku tidak mungkin memakai pakaian seperti itu, Mas.”“Kenapa?” tanya Prabu, mengangkat satu tangannya, seolah benar-benar tidak mengerti.Wajah Andini memerah. Bibirnya mengatup rapat, mencoba menahan jawaban yang sebetulnya sudah
“Prilly sudah tidur?” tanya Andini dengan berbisik saat melihat Puspita bangkit dari ranjang Prilly. Mereka kini berada di dalam kamar di mana Chiara dan Prilly berbagi kamar. Ada dua tempat tidur kecil yang berdampingan di sana. Sengaja disediakan seperti itu agar saat kedua anak itu menginap mereka bisa menghabiskan waktu berdua.Puspita mengangguk. “Sudah, Mbak. Chiara bagaimana?” tanya Puspita balik, juga dengan berbisik.“Sudah,” Andini menjawab pelan sebelum bangkit dan merapikan selimut Chiara.Keduanya lalu keluar dari kamar itu setelah memastikan anak-anak lelap. Mereka baru saja membacakan dongeng pengantar tidur.“Chiara biasa dibacakan buku, ya?” tanya Andini setelah menutup pintu kamar dengan sangat hati-hati agar anak-anak tidak terganggu dengan suaranya.“Iya, Mbak. Sejak lahir kan, Prilly memang sama aku, jadi setiap mau tidur aku biasakan baca dongeng biar gampang tidurnya. Waktu dia baru lahir aku malah tidur sekamar sama dia, biar gampang kalau dia nangis.”“Ibunya?
Suara lembut gesekan sendok dan garpu berpadu harmonis dengan dentingan piano klasik yang dimainkan langsung oleh seorang pianis profesional di sudut ruangan. Lampu gantung kristal berkilau di atas meja makan panjang berlapis taplak renda putih gading, menambah kesan megah di ruang makan utama kediaman keluarga Bimantara.Andini nyaris tak bisa memercayai semua ini. Ia berada di antara keluarga suaminya yang merupakan salah satu konglomerat negeri ini. Opa Rangga—pemilik kerajaan bisnis Bimantara Group—menyambutnya dengan pelukan dan senyum tulus sejak mereka tiba tadi sore. Bahkan Chiara dipeluk hangat oleh Oma, sebelum seorang pelayan membawanya menuju ruang bermain yang diisi segala jenis mainan edukatif impor.Benar-benar penyambutan sempurna untuk seseorang yang menjadi bagian keluarga itu pun tidak sengaja dan tanpa rencana. Sesuatu yang tidak pernah dirasakan oleh kakaknya dulu, kini justru didapatkan secara utuh olehnya. Rasa haru dan syukur membuncah di dada Andini, namun tet
Mungkin Prabu memang beruntung pernah memperistri Irena, tapi dirinya … ah, rasanya itu tidak mungkin. Tak ada yang bisa dibanggakan dari dirinya. Bahkan menyiapkan sarapan pagi saja masih kerepotan.Andini tersenyum kaku sebelum akhirnya membuka suara lagi. “Kamu udah lama nikah, ya?”Puspita yang saat itu sedang menekuri ponselnya karena baru saja ada pesan masuk, menoleh sekilas. “Belum sampai dua tahun, Mbak,” jawabnya, tangan masih sibuk membalas pesan.“Jadi, kamu nikah umur dua puluh?”“Iya.”“Wah, hebat. Kamu nikah usia muda, tapi langsung bisa ngurus rumah tangga. Ngurus suami, ngurus anak sambung.”Puspita melirik lagi sedikit, lalu kembali pada ponselnya. Bibirnya menahan senyum. “Aku kan, dulu pembantu sebelum nikah sama Mas Pram, Mbak. Jadi, hal seperti itu sudah biasa kulakukan.”“Apa? Pembantu?” suara Andini terdengar sedikit lebih keras dari sebelumnya.“Hmmm…” Puspita mengangguk dan tersenyum lembut. “Aku pembantu di rumah Mas Pram. Bu Soraya, istri pertama Mas Pram y
Andini melangkah perlahan menyusuri lorong rumah sakit, aroma disinfektan menyambut tiap hembusan napasnya. Dari balik kaca besar ruang NICU, matanya tertuju pada satu inkubator kecil yang menampung makhluk mungil bernama Raja. Ia berdiri dalam diam, menatap dengan tatapan sendu dan penuh rindu. Setiap hari, ada rasa khawatir sekaligus harapan yang bertarung dalam dadanya.Entah sampai kapan Raja akan di sana, karena sampai saat ini pihak rumah sakit belum melaporkan perkembangan signifikan. Menurut mereka, butuh waktu berbulan-bulan hingga ia tumbuh normal seperti bayi yang lahir cukup bulan.Namun, ia dan Prabu akan menunggu waktu itu tiba. Waktu di mana Raja bisa mereka peluk dan bawa pulang. Untuk saat ini, Raja mungkin masih betah di sini karena merasakan ibunya setiap saat. Secara, ini rumah sakit tempat sang ibu bekerja.“Masih tidur, ya?” suara lembut menyapa dari sampingnya.Andini menoleh. Puspita berdiri di sana tanpa ia sadari kedatangannya. Adik iparnya itu tampak begitu
Prabu dan Chiara bersiap-siap berangkat. Andini membantu membetulkan dasi kecil di leher Chiara yang kini berseragam rapi. Prabu berdiri di dekat pintu, menggenggam tas kerja dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya menggandeng jemari mungil Chiara.“Hati-hati di jalan, ya,” ucap Andini sambil tersenyum lembut, berdiri di ambang pintu. Ia melambaikan tangan kecilnya—kebiasaan yang mulai terasa hangat setiap pagi.Prabu tersenyum, dan Chiara balas melambaikan tangan. “Kami berangkat dulu, Onti, eh maaf … Mama ….” Chiara menutup mulut dengan lima jari mungilnya.Andini berkedip lembut seraya mengulum senyum. Semua hanya butuh waktu saja sampai mereka terbiasa, karena sejatinya ia pun sedang beradaptasi. Anak sekecil Chiara sudah bagus bisa cepat tanggap.Prabu dan Chiara akhirnya berjalan menyusuri lorong apartemen. Suara ketukan sepatu mereka yang bergema bagai simfoni yang mengalun lembut, membelai dada Andini.Wanita itu masih berdiri di sana, memandangi punggung keduanya yang p