“Selamat siang, Pak Pramudya. Bagaimana kabar istri Anda?” Wanita berhijab yang duduk sendirian itu bangkit dan tersenyum ramah.Pram mengangguk dan mengulurkan tangan, tetapi Prabu menepisnya. “Tidak perlu bersalaman,” ujarnya ketus. Lalu duduk dan meminta Pram melakukan hal yang sama.“Alhamdulillah, istri saya sudah lebih baik, Dok. Hari ini menjalani operasi luka di wajahnya.” Pram menjawab setelah mereka semua duduk.“Oh, syukurlah. Semoga lekas membaik.” Dokter Irena terus menebar senyum.“Terima kasih, Dok.” Pram menganggukkan kepalanya penuh penghormatan.“Untuk?” Mata Irena memicing.“Untuk pertolongan Anda pada istri saya kemarin. Jika bukan karena perjuangan dokter dan tim untuk menyelamatkan istri saya, mungkin kami tidak bisa berkumpul lagi.”“Jangan berlebihan, Pak Pramudya. Itu sudah tugas saya sebagai dokter yang menangani Bu Puspita. Dan soal umur, itu urusan Yang Di Atas. Jika Dia berkehendak umat-Nya masih harus melanjutkan hidup dan berkumpul dengan keluarganya, ma
“Terima kasih, Pak Prabu. Lagi-lagi sudah membantu saya.” Irena mengatakan itu seraya menangkup wajahnya dengan kedua tangan. Kedua sikunya bertumpu di atas meja. Ia memijat pelipisnya yang terasa berdenyut.“Apa dia benar-benar mantan suamimu, Bu Dokter?”Pertanyaan Prabu membuat Irena menghentikan pijatan di pelipisnya, tetapi wajahnya masih menunduk melihat meja. Tak berani bersitatap dengan Prabu karena rasa malunya masih sangat besar.Bahkan saat Pram pamit dan berangkat lebih dulu ke asrama Sakti, wanita itu hanya mengangguk tanpa berani mengangkat wajahnya.“Kenapa aku tidak yakin ya, kalau dia benar-benar mantan suamimu?”Lanjutan ucapan Prabu membuat Irena memberanikan diri mengangkat wajahnya hingga Prabu dapat melihat wajah kuyunya. Persis seperti yang ia lihat pertama kali di kafe samping rumah sakit. Kini Prabu mengerti kenapa di luar rumah sakit wanita itu terlihat sangat lelah, sementara di rumah sakit ia sangat bersemangat dan ramah.Prabu mengerti, itulah profesionalis
Prabu bergegas menghampiri Irena yang masih berusaha mengejar mobil Radit. Napas wanita itu terengah, matanya nanar menatap kepergian anaknya yang menghilang di kejauhan."Beri aku kunci mobilmu," kata Prabu tegas.Irena menoleh dengan mata berkaca-kaca, tetapi tanpa banyak tanya, ia mengulurkan kunci mobilnya. Dengan cepat, Prabu membuka pintu mobil dan menarik Irena agar masuk. Ia melesat keluar area sekolah, mengejar mobil Radit yang membawa Chiara.Sepanjang perjalanan, Irena terus memegang erat dadanya yang sesak. Tangannya mencengkeram sabuk pengaman, mencoba menahan ketakutan dan amarah yang berkecamuk dalam dirinya.“Tenang, kamu akan mendapatkan Chiara kembali,” ucap Prabu berusaha menenangkannya.Irena memejam pedih. “Anda tidak mengenal mantan suamiku. Dia bisa saja—"“Irena.” Prabu menoleh sekilas, menatapnya tajam sebelum kembali fokus mengendalikan kemudi. “Jangan biarkan ketakutan menguasaimu. Kamu wanita hebat, seorang dokter pula. Kamu harus tenang.”Irena menggigit b
“Menikahlah denganku, dan akan kubantu kau merebut lagi Chiara apa pun caranya.”Irena membuka mata. Tubuhnya menegang. Ia menegakkan tubuhnya dan berbalik perlahan, menatap Prabu dengan matanya yang lelah.“Apa?” bisiknya. Raut tak percaya tergambar jelas.“Kau ingin mendapatkan hak asuh Chiara, bukan?” Prabu menjelaskan. “Jika kau menikah lagi dan memiliki kehidupan yang stabil, itu akan menjadi faktor kuat di pengadilan. Pengadilan akan lebih mempertimbangkan seorang ibu yang menikah dengan pria yang memiliki kehidupan mapan.”Irena berkedip lemah setelah menatapnya dengan campuran keterkejutan dan kesedihan. “Itu tidak mungkin, Pak Prabu.”“Apanya yang tidak mungkin? Kamu sendiri yang mengatakan pada mantan suamimu kalau aku calon suamimu.”Irena menundukkan kepala, suaranya lirih, “Saya minta maaf, Pak Prabu. Saya tahu itu perbuatan tidak benar. Tapi saya terpaksa mengatakannya hanya untuk menggertak Radit, tapi hasilnya … dia tetap membawa Chiara. Dia tahu kalau saya hanya menga
“Pram, coba ceritakan bagaimana awalnya perasaanmu sama adikku!”Pramudya melirik ke samping saat mendengar pertanyaan aneh dari kakak iparnya. Ya, menurut Pram, pertanyaan itu aneh karena tiba-tiba saja Prabu menanyakan hal yang tidak ada hubungannya dengan topik yang sedang mereka bahas.Pram meluangkan sedikit waktu untuk menanyakan perusahaannya sebelum kembali ke Singapura. Dan tiba-tiba saat mereka sedang membahas pekerjaan, pria itu bertanya aneh.Walaupun sebenarnya sejak tadi Pram melihat gelagat tak biasa dari kakak iparnya itu, tetapi tak urung ia heran. Prabu terlihat tidak fokus dan banyak berdiam diri. Tidak sebawel biasanya.“Apa barusan?” Pram merasa tidak yakin dengan pendengarannya. Matanya memicing tajam melihat Prabu.“Aku bertanya bagaimana perasaanmu saat jatuh cinta pada adikku? Apa yang membuatmu jatuh cinta padanya? Dan bagaimana kamu mengungkapkannya?”Pram masih mengerutkan keningnya mendengar rentetan pertanyaan itu, tetapi ia tidak langsung menanggapi. Mal
Prabu meletakkan ponselnya dengan kasar di atas meja hingga benda itu menggelosor mengenai vas bunga. Untung saja benda kristal itu tidak pecah, hanya tumbang menumpahkan beberapa tangkai bunga di meja kerjanya.Berkali-kali ia menghubungi nomor Irena, berkali-kali juga mengirim pesan, tetapi tidak pernah berbalas. Nomor itu sudah tidak lagi aktif, panggilannya hanya dijawab operator.Sejak mengantar Irena ke apartemennya dan bicara serius tempo hari, Prabu memang tidak pernah bertemu lagi dengan wanita itu. Mengikuti saran Pram, ia butuh waktu untuk merenung, apa sebenarnya yang ia rasakan pada Irena. Ia tidak mau terburu-buru dan gegabah.Sayangnya, saat kembali menghubungi wanita itu, ia tak lagi bisa bicara dengannya. Nomornya tidak aktif, dan setiap kali datang ke apartemen, ART-nya mengatakan Irena sedang tidak di rumah, berlibur ke luar kota.Waktu terus bergulir. Prabu tidak tahu apa yang salah karena ia merasa tidak melakukan hal apa pun yang membuat wanita itu menjauh. Hingg
Irena buru-buru memutus tatapan dengan berkata, “Saya akan buatkan resep obatnya, Pak.” Kemudian, ia menarik tangannya dan kembali berjalan ke mejanya.“Obat apa, Dok?” Prabu menyusul bangkit, lalu kembali duduk di kursi pengunjung dengan santai.“Sesuai dengan keluhan Anda, nanti obatnya bisa ditebus di apotek,” jawab Irena tanpa melihat Prabu.Prabu menatapnya tajam. “Memangnya saya sakit apa, Dok? Kenapa dokter tidak bertanya penyebab saya sakit? Dokter juga tidak bertanya sejak kapan saya sakit.”Irena menghentikan sejenak gerakan tangannya yang sedang menggoreskan pena. Namun, tak lama ia melanjutkannya, seolah tak terusik dengan pertanyaan Prabu.“Dok, ayo tanya kenapa saya sakit. Tanya juga sejak kapan sakitnya terasa,” Prabu bersikeras. Tangan Prabu terulur, mengguncang tangan Irena yang sedang menulis.Perawat yang sejak tadi berdiri di samping meja, tak sadar membelalakkan mata. Tidak menyangka ada kejadian seperti ini. Ia juga tidak menyangka pria perlente yang tampak berwi
Prabu menegakkan punggungnya begitu mendengar denting suara lift yang terbuka, diikuti ketukan heels yang beradu dengan lantai. Matanya hampir tidak berkedip, dan telinganya terbuka lebar hingga suara ketukan sepatu semakin jelas tertangkap indera pendengarannya.Sang pria mengeratkan pegangan pada seikat bunga segar yang di antara untaiannya terselip secarik kartu ucapan kata maaf.Sebenarnya, tadi wanita tiga puluhan itu menawarkan diri untuk menunggu di dalam. Namun, Prabu memutuskan untuk menunggu di depan pintu saja. Bukan apa-apa, di sana ia bisa lebih mudah mengetahui jika orang yang ditunggunya datang.Koridor yang lengang membuat suara ketukan sepatu semakin nyaring menggema. Dan Prabu yakin jika pemiliknya adalah orang yang ia tunggu. Apartemen ini private, hanya ada empat unit di lantai ini yang memiliki dua lift untuk akses masuk. Jika sekarang ada ketukan sepatu yang semakin jelas mendekat, tentulah itu milik seseorang yang sedang ia nantikan.Benar saja, tak butuh waktu
Andini menghela napas pelan sambil merapikan kerudung kemarin yang dipakainya lagi. Kemeja putih Prabu yang kebesaran kini sudah terganti dengan satu yang sedikit lebih pas—setidaknya tidak membuatnya terlihat seperti memakai daster laki-laki. Ia menemukan kemeja berwarna biru tua di dalam lemari, mungkin milik Prabu saat masih bujangan. Untuk bawahannya, ia beruntung menemukan celana jeans yang tampaknya sudah lama tidak dipakai.“Lumayan…” gumamnya pelan sambil menatap pantulan dirinya di cermin. Meski masih kebesaran di beberapa bagian, setidaknya ia tidak terlihat seperti peserta lomba kostum paling nyeleneh pagi itu.Di belakangnya, Prabu bersandar di pintu sambil melipat tangan di dada. Kepalanya menggeleng pelan.Mereka keluar kamar setelah Andini merasa rapi, dan belum sempat mereka melangkah, mereka berpapasan dengan Puspita dan Pram yang juga sepertinya baru keluar kamar. Tangan keduanya yang saling mengait mesra menandakan bahwa mereka pasangan yang paling bahagia pagi ini.
Andini menahan napas, seluruh tubuhnya kaku seperti patung lilin. Jari-jarinya masih menempel di pipi Prabu, sementara matanya tak berkedip memandang lelaki itu yang kini membuka mata.Waktu seperti berhenti. Detik terasa seperti menit.Prabu menatapnya dalam diam. Tak ada ekspresi. Tak ada teguran. Tapi juga… tak ada senyum.Andini panik. Apa Prabu marah karena ia sudah lancang? Ah, ia sudah siap jika saja pria itu akan memarahinya.Namun tepat ketika ia hendak membuka mulut untuk meminta maaf atau sekadar mencari alasan, mata Prabu perlahan terpejam lagi. Tubuhnya bergeser sedikit, dan suara napasnya kembali terdengar pelan.“…Din…” gumamnya lirih, nyaris seperti bisikan dari alam mimpi.Andini menegakkan tubuhnya perlahan. “Mas?” tanyanya pelan, ragu.Tak ada jawaban. Hanya dengkuran lembut sebagai balasan.Andini mematung beberapa detik sebelum menjatuhkan diri ke kasur, punggungnya menghantam ranjang dengan lemas.“Ya Allah…” desahnya lega. “Dia cuma mengigau. Ya ampun, aku kira
Prabu mengangkat alis, meluaskan matanya. “Hmm… ya, ini Oma yang menyiapkan. Kamu bisa pilih salah satunya untuk malam ini,” ujarnya tanpa menoleh. Matanya masih menyapu seluruh koleksi baju di dalam lemari sambil menahan senyum.Andini mendesah frustrasi. Tangannya bersedekap di depan dada. “Aku tidak ganti baju saja,” ujarnya akhirnya, lalu berjalan pelan dan duduk di tepi ranjang. Ada rasa kesal, malu, dan bingung bercampur jadi satu di dalam hatinya. Situasi ini sungguh di luar dugaan.Prabu menutup pintu lemari perlahan, lalu berjalan mendekat ke arah Andini. Tatapannya lembut, tetapi suaranya mengandung ketegasan yang halus. “Ganti saja, tidak apa-apa. Itu sudah Oma siapkan buat kamu.”Andini mendongak, menatapnya sejenak lalu membuang pandangan lagi. “Aku tidak mungkin memakai pakaian seperti itu, Mas.”“Kenapa?” tanya Prabu, mengangkat satu tangannya, seolah benar-benar tidak mengerti.Wajah Andini memerah. Bibirnya mengatup rapat, mencoba menahan jawaban yang sebetulnya sudah
“Prilly sudah tidur?” tanya Andini dengan berbisik saat melihat Puspita bangkit dari ranjang Prilly. Mereka kini berada di dalam kamar di mana Chiara dan Prilly berbagi kamar. Ada dua tempat tidur kecil yang berdampingan di sana. Sengaja disediakan seperti itu agar saat kedua anak itu menginap mereka bisa menghabiskan waktu berdua.Puspita mengangguk. “Sudah, Mbak. Chiara bagaimana?” tanya Puspita balik, juga dengan berbisik.“Sudah,” Andini menjawab pelan sebelum bangkit dan merapikan selimut Chiara.Keduanya lalu keluar dari kamar itu setelah memastikan anak-anak lelap. Mereka baru saja membacakan dongeng pengantar tidur.“Chiara biasa dibacakan buku, ya?” tanya Andini setelah menutup pintu kamar dengan sangat hati-hati agar anak-anak tidak terganggu dengan suaranya.“Iya, Mbak. Sejak lahir kan, Prilly memang sama aku, jadi setiap mau tidur aku biasakan baca dongeng biar gampang tidurnya. Waktu dia baru lahir aku malah tidur sekamar sama dia, biar gampang kalau dia nangis.”“Ibunya?
Suara lembut gesekan sendok dan garpu berpadu harmonis dengan dentingan piano klasik yang dimainkan langsung oleh seorang pianis profesional di sudut ruangan. Lampu gantung kristal berkilau di atas meja makan panjang berlapis taplak renda putih gading, menambah kesan megah di ruang makan utama kediaman keluarga Bimantara.Andini nyaris tak bisa memercayai semua ini. Ia berada di antara keluarga suaminya yang merupakan salah satu konglomerat negeri ini. Opa Rangga—pemilik kerajaan bisnis Bimantara Group—menyambutnya dengan pelukan dan senyum tulus sejak mereka tiba tadi sore. Bahkan Chiara dipeluk hangat oleh Oma, sebelum seorang pelayan membawanya menuju ruang bermain yang diisi segala jenis mainan edukatif impor.Benar-benar penyambutan sempurna untuk seseorang yang menjadi bagian keluarga itu pun tidak sengaja dan tanpa rencana. Sesuatu yang tidak pernah dirasakan oleh kakaknya dulu, kini justru didapatkan secara utuh olehnya. Rasa haru dan syukur membuncah di dada Andini, namun tet
Mungkin Prabu memang beruntung pernah memperistri Irena, tapi dirinya … ah, rasanya itu tidak mungkin. Tak ada yang bisa dibanggakan dari dirinya. Bahkan menyiapkan sarapan pagi saja masih kerepotan.Andini tersenyum kaku sebelum akhirnya membuka suara lagi. “Kamu udah lama nikah, ya?”Puspita yang saat itu sedang menekuri ponselnya karena baru saja ada pesan masuk, menoleh sekilas. “Belum sampai dua tahun, Mbak,” jawabnya, tangan masih sibuk membalas pesan.“Jadi, kamu nikah umur dua puluh?”“Iya.”“Wah, hebat. Kamu nikah usia muda, tapi langsung bisa ngurus rumah tangga. Ngurus suami, ngurus anak sambung.”Puspita melirik lagi sedikit, lalu kembali pada ponselnya. Bibirnya menahan senyum. “Aku kan, dulu pembantu sebelum nikah sama Mas Pram, Mbak. Jadi, hal seperti itu sudah biasa kulakukan.”“Apa? Pembantu?” suara Andini terdengar sedikit lebih keras dari sebelumnya.“Hmmm…” Puspita mengangguk dan tersenyum lembut. “Aku pembantu di rumah Mas Pram. Bu Soraya, istri pertama Mas Pram y
Andini melangkah perlahan menyusuri lorong rumah sakit, aroma disinfektan menyambut tiap hembusan napasnya. Dari balik kaca besar ruang NICU, matanya tertuju pada satu inkubator kecil yang menampung makhluk mungil bernama Raja. Ia berdiri dalam diam, menatap dengan tatapan sendu dan penuh rindu. Setiap hari, ada rasa khawatir sekaligus harapan yang bertarung dalam dadanya.Entah sampai kapan Raja akan di sana, karena sampai saat ini pihak rumah sakit belum melaporkan perkembangan signifikan. Menurut mereka, butuh waktu berbulan-bulan hingga ia tumbuh normal seperti bayi yang lahir cukup bulan.Namun, ia dan Prabu akan menunggu waktu itu tiba. Waktu di mana Raja bisa mereka peluk dan bawa pulang. Untuk saat ini, Raja mungkin masih betah di sini karena merasakan ibunya setiap saat. Secara, ini rumah sakit tempat sang ibu bekerja.“Masih tidur, ya?” suara lembut menyapa dari sampingnya.Andini menoleh. Puspita berdiri di sana tanpa ia sadari kedatangannya. Adik iparnya itu tampak begitu
Prabu dan Chiara bersiap-siap berangkat. Andini membantu membetulkan dasi kecil di leher Chiara yang kini berseragam rapi. Prabu berdiri di dekat pintu, menggenggam tas kerja dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya menggandeng jemari mungil Chiara.“Hati-hati di jalan, ya,” ucap Andini sambil tersenyum lembut, berdiri di ambang pintu. Ia melambaikan tangan kecilnya—kebiasaan yang mulai terasa hangat setiap pagi.Prabu tersenyum, dan Chiara balas melambaikan tangan. “Kami berangkat dulu, Onti, eh maaf … Mama ….” Chiara menutup mulut dengan lima jari mungilnya.Andini berkedip lembut seraya mengulum senyum. Semua hanya butuh waktu saja sampai mereka terbiasa, karena sejatinya ia pun sedang beradaptasi. Anak sekecil Chiara sudah bagus bisa cepat tanggap.Prabu dan Chiara akhirnya berjalan menyusuri lorong apartemen. Suara ketukan sepatu mereka yang bergema bagai simfoni yang mengalun lembut, membelai dada Andini.Wanita itu masih berdiri di sana, memandangi punggung keduanya yang p
“Din … kamu lihat dasiku yang navy ada titik kecil putih, tidak?” Suara Prabu terdengar dari kamar, sedikit meninggi karena jarak kamar tidur dan dapur lumayan jauh.Andini sedang berkutat di dapur. Tangannya sibuk mengaduk telur orak-arik sambil sesekali melirik roti yang mulai kecokelatan di toaster. Aroma kopi menguar dari cangkir di sebelahnya. Pagi ini seperti medan perang baginya. Mbak Sri—ART mereka—kebetulan sedang cuti.Kompor menyala, toaster bunyi klik, air galon tinggal sedikit, dan... kakinya hampir terpeleset karena butter yang tadi tumpah dari spatula.Sebagai ibu rumah tangga baru yang belum berpengalaman—karena tiba-tiba menjadi seorang istri dan ibu—tentu saja ini perjuangan tersendiri bagi Andini. Ia yang terbiasa hanya mengurus dirinya sendiri, kini harus membagi tenaga untuk mengurus dan menyiapkan keperluan orang lain.Keadaan jadi sangat riweuh karena Prabu yang sudah terbiasa segala dilayani, dan juga Chiara yang belum bisa mengurus dirinya sendiri—minta dilaya