“Aku bisa sendiri, Mas!” Puspita merebut underwear-nya dari tangan Pram, lalu membungkukkan tubuhnya, mencoba memasangkannya sendiri di kakinya yang tidak dapat digerakkan. Bersusah payah ia berusaha memakai celananya sendiri, tetapi kesulitan. Bahkan, tubuhnya yang duduk di tepi ranjang hampir saja terjatuh jika Pram tak menahannya.Pram membantu menegakkan kembali tubuh itu, lalu mengambil alih pakaian dalam dari tangan Puspita. Ia memakaikannya dengan lembut dan hati-hati hingga terpasang sempurna di tubuh istrinya. Setelahnya, ia juga memakaikan pakaian lainnya hingga sang istri terlihat rapi.Semua ia lakukan dengan lembut dan telaten tanpa berkata-kata. Bukan hanya itu, rambut Puspita pun ia sisir dan ikat hingga rapi. Layaknya seorang ibu kepada putri kecilnya, ia melakukan semua itu dengan penuh kasih.“Mau jalan-jalan ke taman kota?” tanya Pram setelah pekerjaannya selesai.Sore yang cerah di Singapura. Dari jendela apartemen mereka di The Orchard Residences, Pram melihat mat
“Sayang … Oma di sini.”Pintu apartemen baru saja Pram buka. Prily sedang berjingkrak senang karena akan diajak jalan-jalan, dan Puspita tengah membetulkan letak masker di wajahnya agar menyamarkan luka yang melintang dari tengah dahi ke rahang kirinya, saat suara seseorang dengan riang menyambut mereka di depan pintu.Berdiri di sana sepasang orang tua yang rambutnya sudah memutih semua. Dengan senyum teduh dan sorot mata penuh kerinduan, mereka menatap keluarga kecil itu.“Oma sangat merindukanmu, Puspita.”Wanita sepuh dengan syal membalut lehernya maju dan menghambur memeluk Puspita. Sementara itu, Pram bergegas menghampiri pria yang masih menunggu di luar.“Opa, kenapa tidak mengabari kami mau ke sini?” tanya Pram seraya memeluk pria itu.Sang pria menepuk punggung Pram beberapa kali, lalu melepaskan pelukan. “Oma kalian terus merengek ingin ke sini. Katanya merindukan cucunya. Apa Opa bisa menolak?” ujarnya dengan mimik lucu seolah teraniaya.Pram tersenyum dan menoleh ke arah N
“Pram, lusa kamu harus pulang dulu. Kamu harus hadir sebagai saksi di persidangan Arya.” Prabu bicara di telepon dengan kursi yang bergoyang ke sana ke mari. Pena di tangannya diputar-putar secara acak.“Aku tidak bisa meninggalkan Puspita, Bang. Besok jadwal Puspita ke rumah sakit. Operasi di wajahnya akan segera dilakukan.” Jawaban Pram di seberang sana terdengar kebingungan.“Tapi sidang ini juga penting, Pram. Kamu saksi kunci. Kalau kamu belum juga bersaksi, kasus ini tidak akan selesai. Sementara aku sudah muak dengan Arya. Aku ingin semua segera rampung.”“Aku tahu, Bang. Aku juga ingin semuanya segera selesai, tapi Puspita ….”“Mumpung Opa dan Oma di sana bisa menemani ke rumah sakit, sebaiknya kamu pulang barang sehari.”Tidak ada jawaban dari Pram sampai beberapa lama hingga Prabu harus mengulang ucapannya.“Pram, kamu masih di sana, kan?”“Iya, Bang.”“Kamu sudah harus berada di sini pukul sepuluh pagi. Kita harus briefing dulu. Pengacara harus memberikan beberapa instruksi
Pram menarik napas panjang sebelum mulai melangkahkan kakinya. Meski Prabu dan pengacara sudah menginstruksikan apa saja jawaban yang harus ia berikan saat jaksa nanti bertanya, hatinya tetap saja deg-degan.Bagaimanapun, pria yang sedang diadili itu adalah Arya. Pria yang selama ini ia anggap sebagai ayah kandungnya. Selama hampir tiga puluh tahun hidupnya, ia hanya mengenal Arya sebagai ayah karena menjadi suami ibunya.Meski Arya bukan ayah yang baik untuknya dan juga Sakti, cukup banyak kenangan yang mengikat mereka sebagai keluarga. Berdiri berseberangan dengannya di pengadilan ini tentu saja bukan perkara mudah bagi psikisnya, meski kebencian dan rasa marah membumbung tinggi.Dengan didampingi Prabu dan pengacaranya, serta dikawal beberapa pria berbadan besar di belakangnya, Pram berjalan tegak dengan langkah-langkah panjang. Ia tidak ingin membuang waktu. Hari ini, urusan di sini harus cepat selesai sebelum ia kembali ke Singapura untuk mendampingi Puspita menjalani pengobatann
Pram menahan napasnya, berusaha meredam gejolak yang berkecamuk dalam dadanya. Tangannya mengepal erat, kukunya hampir menembus telapak. Matanya tetap terfokus ke depan, mengabaikan semua tatapan penuh tanya yang diarahkan padanya.Sidang baru saja dimulai, tapi atmosfer ruang sidang sudah terasa begitu menyesakkan. Hatinya semakin berat saat matanya tanpa sengaja menangkap sosok Arya yang duduk di kursi roda di sisi terdakwa. Tubuh pria itu terlihat lebih ringkih daripada terakhir kali mereka bertemu. Paha yang terputus hingga pangkal membuatnya terlihat kecil dan lemah. Wajahnya tampak pucat, pipinya tirus, dan sorot matanya tak lagi sekokoh dulu. Tatapan itu, mata yang dulu penuh kebanggaan dan otoritas, kini hanya menyiratkan permohonan dan penyesalan yang terlambat.Tidak ada lagi keangkuhan yang menjadi ciri khasnya. Kini ia laksana ternak yang tak berdaya seolah menanti untuk dieksekusi penjagal di rumah pemotongan.Namun, Pram tidak akan terperdaya. Ia harus tetap kuat. Bayanga
Pram mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja. Ruangan yang tidak begitu luas itu terasa sangat pengap. Hanya ada satu meja kayu dan tiga kursi di sana. Setelah sekian menit menunggu, akhirnya pintu terdengar berderit dan terdorong masuk. Seseorang membukanya dari luar.Pram menegakkan tubuhnya. Matanya awas menatap benda yang akhirnya terbuka itu hingga muncul laki-laki berseragam warna oranye dari sana. Tangannya diborgol, kepalanya menunduk dalam. Petugas yang membawanya menyuruhnya untuk menemui Pram.“Waktu Anda hanya sepuluh menit, Pak Pramudya,” petugas yang mengantar laki-laki berseragam oranye itu berkata, sebelum berdiri di pojokan.Pram mengangguk. “Jangan khawatir, Pak. Saya bahkan akan selesai sebelum lima menit,” timpal Pram dengan tatapan tidak lepas dari laki-laki yang kini berdiri di dekat meja. Hanya berjarak sekitar dua langkah saja darinya.Jika Pram tidak salah lihat, ada banyak lebam di wajah laki-laki itu walaupun tidak begitu kentara karena terus menunduk. Tapi Pram
“Selamat siang, Pak Pramudya. Bagaimana kabar istri Anda?” Wanita berhijab yang duduk sendirian itu bangkit dan tersenyum ramah.Pram mengangguk dan mengulurkan tangan, tetapi Prabu menepisnya. “Tidak perlu bersalaman,” ujarnya ketus. Lalu duduk dan meminta Pram melakukan hal yang sama.“Alhamdulillah, istri saya sudah lebih baik, Dok. Hari ini menjalani operasi luka di wajahnya.” Pram menjawab setelah mereka semua duduk.“Oh, syukurlah. Semoga lekas membaik.” Dokter Irena terus menebar senyum.“Terima kasih, Dok.” Pram menganggukkan kepalanya penuh penghormatan.“Untuk?” Mata Irena memicing.“Untuk pertolongan Anda pada istri saya kemarin. Jika bukan karena perjuangan dokter dan tim untuk menyelamatkan istri saya, mungkin kami tidak bisa berkumpul lagi.”“Jangan berlebihan, Pak Pramudya. Itu sudah tugas saya sebagai dokter yang menangani Bu Puspita. Dan soal umur, itu urusan Yang Di Atas. Jika Dia berkehendak umat-Nya masih harus melanjutkan hidup dan berkumpul dengan keluarganya, ma
“Terima kasih, Pak Prabu. Lagi-lagi sudah membantu saya.” Irena mengatakan itu seraya menangkup wajahnya dengan kedua tangan. Kedua sikunya bertumpu di atas meja. Ia memijat pelipisnya yang terasa berdenyut.“Apa dia benar-benar mantan suamimu, Bu Dokter?”Pertanyaan Prabu membuat Irena menghentikan pijatan di pelipisnya, tetapi wajahnya masih menunduk melihat meja. Tak berani bersitatap dengan Prabu karena rasa malunya masih sangat besar.Bahkan saat Pram pamit dan berangkat lebih dulu ke asrama Sakti, wanita itu hanya mengangguk tanpa berani mengangkat wajahnya.“Kenapa aku tidak yakin ya, kalau dia benar-benar mantan suamimu?”Lanjutan ucapan Prabu membuat Irena memberanikan diri mengangkat wajahnya hingga Prabu dapat melihat wajah kuyunya. Persis seperti yang ia lihat pertama kali di kafe samping rumah sakit. Kini Prabu mengerti kenapa di luar rumah sakit wanita itu terlihat sangat lelah, sementara di rumah sakit ia sangat bersemangat dan ramah.Prabu mengerti, itulah profesionalis
Andini menghela napas pelan sambil merapikan kerudung kemarin yang dipakainya lagi. Kemeja putih Prabu yang kebesaran kini sudah terganti dengan satu yang sedikit lebih pas—setidaknya tidak membuatnya terlihat seperti memakai daster laki-laki. Ia menemukan kemeja berwarna biru tua di dalam lemari, mungkin milik Prabu saat masih bujangan. Untuk bawahannya, ia beruntung menemukan celana jeans yang tampaknya sudah lama tidak dipakai.“Lumayan…” gumamnya pelan sambil menatap pantulan dirinya di cermin. Meski masih kebesaran di beberapa bagian, setidaknya ia tidak terlihat seperti peserta lomba kostum paling nyeleneh pagi itu.Di belakangnya, Prabu bersandar di pintu sambil melipat tangan di dada. Kepalanya menggeleng pelan.Mereka keluar kamar setelah Andini merasa rapi, dan belum sempat mereka melangkah, mereka berpapasan dengan Puspita dan Pram yang juga sepertinya baru keluar kamar. Tangan keduanya yang saling mengait mesra menandakan bahwa mereka pasangan yang paling bahagia pagi ini.
Andini menahan napas, seluruh tubuhnya kaku seperti patung lilin. Jari-jarinya masih menempel di pipi Prabu, sementara matanya tak berkedip memandang lelaki itu yang kini membuka mata.Waktu seperti berhenti. Detik terasa seperti menit.Prabu menatapnya dalam diam. Tak ada ekspresi. Tak ada teguran. Tapi juga… tak ada senyum.Andini panik. Apa Prabu marah karena ia sudah lancang? Ah, ia sudah siap jika saja pria itu akan memarahinya.Namun tepat ketika ia hendak membuka mulut untuk meminta maaf atau sekadar mencari alasan, mata Prabu perlahan terpejam lagi. Tubuhnya bergeser sedikit, dan suara napasnya kembali terdengar pelan.“…Din…” gumamnya lirih, nyaris seperti bisikan dari alam mimpi.Andini menegakkan tubuhnya perlahan. “Mas?” tanyanya pelan, ragu.Tak ada jawaban. Hanya dengkuran lembut sebagai balasan.Andini mematung beberapa detik sebelum menjatuhkan diri ke kasur, punggungnya menghantam ranjang dengan lemas.“Ya Allah…” desahnya lega. “Dia cuma mengigau. Ya ampun, aku kira
Prabu mengangkat alis, meluaskan matanya. “Hmm… ya, ini Oma yang menyiapkan. Kamu bisa pilih salah satunya untuk malam ini,” ujarnya tanpa menoleh. Matanya masih menyapu seluruh koleksi baju di dalam lemari sambil menahan senyum.Andini mendesah frustrasi. Tangannya bersedekap di depan dada. “Aku tidak ganti baju saja,” ujarnya akhirnya, lalu berjalan pelan dan duduk di tepi ranjang. Ada rasa kesal, malu, dan bingung bercampur jadi satu di dalam hatinya. Situasi ini sungguh di luar dugaan.Prabu menutup pintu lemari perlahan, lalu berjalan mendekat ke arah Andini. Tatapannya lembut, tetapi suaranya mengandung ketegasan yang halus. “Ganti saja, tidak apa-apa. Itu sudah Oma siapkan buat kamu.”Andini mendongak, menatapnya sejenak lalu membuang pandangan lagi. “Aku tidak mungkin memakai pakaian seperti itu, Mas.”“Kenapa?” tanya Prabu, mengangkat satu tangannya, seolah benar-benar tidak mengerti.Wajah Andini memerah. Bibirnya mengatup rapat, mencoba menahan jawaban yang sebetulnya sudah
“Prilly sudah tidur?” tanya Andini dengan berbisik saat melihat Puspita bangkit dari ranjang Prilly. Mereka kini berada di dalam kamar di mana Chiara dan Prilly berbagi kamar. Ada dua tempat tidur kecil yang berdampingan di sana. Sengaja disediakan seperti itu agar saat kedua anak itu menginap mereka bisa menghabiskan waktu berdua.Puspita mengangguk. “Sudah, Mbak. Chiara bagaimana?” tanya Puspita balik, juga dengan berbisik.“Sudah,” Andini menjawab pelan sebelum bangkit dan merapikan selimut Chiara.Keduanya lalu keluar dari kamar itu setelah memastikan anak-anak lelap. Mereka baru saja membacakan dongeng pengantar tidur.“Chiara biasa dibacakan buku, ya?” tanya Andini setelah menutup pintu kamar dengan sangat hati-hati agar anak-anak tidak terganggu dengan suaranya.“Iya, Mbak. Sejak lahir kan, Prilly memang sama aku, jadi setiap mau tidur aku biasakan baca dongeng biar gampang tidurnya. Waktu dia baru lahir aku malah tidur sekamar sama dia, biar gampang kalau dia nangis.”“Ibunya?
Suara lembut gesekan sendok dan garpu berpadu harmonis dengan dentingan piano klasik yang dimainkan langsung oleh seorang pianis profesional di sudut ruangan. Lampu gantung kristal berkilau di atas meja makan panjang berlapis taplak renda putih gading, menambah kesan megah di ruang makan utama kediaman keluarga Bimantara.Andini nyaris tak bisa memercayai semua ini. Ia berada di antara keluarga suaminya yang merupakan salah satu konglomerat negeri ini. Opa Rangga—pemilik kerajaan bisnis Bimantara Group—menyambutnya dengan pelukan dan senyum tulus sejak mereka tiba tadi sore. Bahkan Chiara dipeluk hangat oleh Oma, sebelum seorang pelayan membawanya menuju ruang bermain yang diisi segala jenis mainan edukatif impor.Benar-benar penyambutan sempurna untuk seseorang yang menjadi bagian keluarga itu pun tidak sengaja dan tanpa rencana. Sesuatu yang tidak pernah dirasakan oleh kakaknya dulu, kini justru didapatkan secara utuh olehnya. Rasa haru dan syukur membuncah di dada Andini, namun tet
Mungkin Prabu memang beruntung pernah memperistri Irena, tapi dirinya … ah, rasanya itu tidak mungkin. Tak ada yang bisa dibanggakan dari dirinya. Bahkan menyiapkan sarapan pagi saja masih kerepotan.Andini tersenyum kaku sebelum akhirnya membuka suara lagi. “Kamu udah lama nikah, ya?”Puspita yang saat itu sedang menekuri ponselnya karena baru saja ada pesan masuk, menoleh sekilas. “Belum sampai dua tahun, Mbak,” jawabnya, tangan masih sibuk membalas pesan.“Jadi, kamu nikah umur dua puluh?”“Iya.”“Wah, hebat. Kamu nikah usia muda, tapi langsung bisa ngurus rumah tangga. Ngurus suami, ngurus anak sambung.”Puspita melirik lagi sedikit, lalu kembali pada ponselnya. Bibirnya menahan senyum. “Aku kan, dulu pembantu sebelum nikah sama Mas Pram, Mbak. Jadi, hal seperti itu sudah biasa kulakukan.”“Apa? Pembantu?” suara Andini terdengar sedikit lebih keras dari sebelumnya.“Hmmm…” Puspita mengangguk dan tersenyum lembut. “Aku pembantu di rumah Mas Pram. Bu Soraya, istri pertama Mas Pram y
Andini melangkah perlahan menyusuri lorong rumah sakit, aroma disinfektan menyambut tiap hembusan napasnya. Dari balik kaca besar ruang NICU, matanya tertuju pada satu inkubator kecil yang menampung makhluk mungil bernama Raja. Ia berdiri dalam diam, menatap dengan tatapan sendu dan penuh rindu. Setiap hari, ada rasa khawatir sekaligus harapan yang bertarung dalam dadanya.Entah sampai kapan Raja akan di sana, karena sampai saat ini pihak rumah sakit belum melaporkan perkembangan signifikan. Menurut mereka, butuh waktu berbulan-bulan hingga ia tumbuh normal seperti bayi yang lahir cukup bulan.Namun, ia dan Prabu akan menunggu waktu itu tiba. Waktu di mana Raja bisa mereka peluk dan bawa pulang. Untuk saat ini, Raja mungkin masih betah di sini karena merasakan ibunya setiap saat. Secara, ini rumah sakit tempat sang ibu bekerja.“Masih tidur, ya?” suara lembut menyapa dari sampingnya.Andini menoleh. Puspita berdiri di sana tanpa ia sadari kedatangannya. Adik iparnya itu tampak begitu
Prabu dan Chiara bersiap-siap berangkat. Andini membantu membetulkan dasi kecil di leher Chiara yang kini berseragam rapi. Prabu berdiri di dekat pintu, menggenggam tas kerja dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya menggandeng jemari mungil Chiara.“Hati-hati di jalan, ya,” ucap Andini sambil tersenyum lembut, berdiri di ambang pintu. Ia melambaikan tangan kecilnya—kebiasaan yang mulai terasa hangat setiap pagi.Prabu tersenyum, dan Chiara balas melambaikan tangan. “Kami berangkat dulu, Onti, eh maaf … Mama ….” Chiara menutup mulut dengan lima jari mungilnya.Andini berkedip lembut seraya mengulum senyum. Semua hanya butuh waktu saja sampai mereka terbiasa, karena sejatinya ia pun sedang beradaptasi. Anak sekecil Chiara sudah bagus bisa cepat tanggap.Prabu dan Chiara akhirnya berjalan menyusuri lorong apartemen. Suara ketukan sepatu mereka yang bergema bagai simfoni yang mengalun lembut, membelai dada Andini.Wanita itu masih berdiri di sana, memandangi punggung keduanya yang p
“Din … kamu lihat dasiku yang navy ada titik kecil putih, tidak?” Suara Prabu terdengar dari kamar, sedikit meninggi karena jarak kamar tidur dan dapur lumayan jauh.Andini sedang berkutat di dapur. Tangannya sibuk mengaduk telur orak-arik sambil sesekali melirik roti yang mulai kecokelatan di toaster. Aroma kopi menguar dari cangkir di sebelahnya. Pagi ini seperti medan perang baginya. Mbak Sri—ART mereka—kebetulan sedang cuti.Kompor menyala, toaster bunyi klik, air galon tinggal sedikit, dan... kakinya hampir terpeleset karena butter yang tadi tumpah dari spatula.Sebagai ibu rumah tangga baru yang belum berpengalaman—karena tiba-tiba menjadi seorang istri dan ibu—tentu saja ini perjuangan tersendiri bagi Andini. Ia yang terbiasa hanya mengurus dirinya sendiri, kini harus membagi tenaga untuk mengurus dan menyiapkan keperluan orang lain.Keadaan jadi sangat riweuh karena Prabu yang sudah terbiasa segala dilayani, dan juga Chiara yang belum bisa mengurus dirinya sendiri—minta dilaya