Pram menahan napasnya, berusaha meredam gejolak yang berkecamuk dalam dadanya. Tangannya mengepal erat, kukunya hampir menembus telapak. Matanya tetap terfokus ke depan, mengabaikan semua tatapan penuh tanya yang diarahkan padanya.Sidang baru saja dimulai, tapi atmosfer ruang sidang sudah terasa begitu menyesakkan. Hatinya semakin berat saat matanya tanpa sengaja menangkap sosok Arya yang duduk di kursi roda di sisi terdakwa. Tubuh pria itu terlihat lebih ringkih daripada terakhir kali mereka bertemu. Paha yang terputus hingga pangkal membuatnya terlihat kecil dan lemah. Wajahnya tampak pucat, pipinya tirus, dan sorot matanya tak lagi sekokoh dulu. Tatapan itu, mata yang dulu penuh kebanggaan dan otoritas, kini hanya menyiratkan permohonan dan penyesalan yang terlambat.Tidak ada lagi keangkuhan yang menjadi ciri khasnya. Kini ia laksana ternak yang tak berdaya seolah menanti untuk dieksekusi penjagal di rumah pemotongan.Namun, Pram tidak akan terperdaya. Ia harus tetap kuat. Bayanga
Pram mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja. Ruangan yang tidak begitu luas itu terasa sangat pengap. Hanya ada satu meja kayu dan tiga kursi di sana. Setelah sekian menit menunggu, akhirnya pintu terdengar berderit dan terdorong masuk. Seseorang membukanya dari luar.Pram menegakkan tubuhnya. Matanya awas menatap benda yang akhirnya terbuka itu hingga muncul laki-laki berseragam warna oranye dari sana. Tangannya diborgol, kepalanya menunduk dalam. Petugas yang membawanya menyuruhnya untuk menemui Pram.“Waktu Anda hanya sepuluh menit, Pak Pramudya,” petugas yang mengantar laki-laki berseragam oranye itu berkata, sebelum berdiri di pojokan.Pram mengangguk. “Jangan khawatir, Pak. Saya bahkan akan selesai sebelum lima menit,” timpal Pram dengan tatapan tidak lepas dari laki-laki yang kini berdiri di dekat meja. Hanya berjarak sekitar dua langkah saja darinya.Jika Pram tidak salah lihat, ada banyak lebam di wajah laki-laki itu walaupun tidak begitu kentara karena terus menunduk. Tapi Pram
“Selamat siang, Pak Pramudya. Bagaimana kabar istri Anda?” Wanita berhijab yang duduk sendirian itu bangkit dan tersenyum ramah.Pram mengangguk dan mengulurkan tangan, tetapi Prabu menepisnya. “Tidak perlu bersalaman,” ujarnya ketus. Lalu duduk dan meminta Pram melakukan hal yang sama.“Alhamdulillah, istri saya sudah lebih baik, Dok. Hari ini menjalani operasi luka di wajahnya.” Pram menjawab setelah mereka semua duduk.“Oh, syukurlah. Semoga lekas membaik.” Dokter Irena terus menebar senyum.“Terima kasih, Dok.” Pram menganggukkan kepalanya penuh penghormatan.“Untuk?” Mata Irena memicing.“Untuk pertolongan Anda pada istri saya kemarin. Jika bukan karena perjuangan dokter dan tim untuk menyelamatkan istri saya, mungkin kami tidak bisa berkumpul lagi.”“Jangan berlebihan, Pak Pramudya. Itu sudah tugas saya sebagai dokter yang menangani Bu Puspita. Dan soal umur, itu urusan Yang Di Atas. Jika Dia berkehendak umat-Nya masih harus melanjutkan hidup dan berkumpul dengan keluarganya, ma
“Terima kasih, Pak Prabu. Lagi-lagi sudah membantu saya.” Irena mengatakan itu seraya menangkup wajahnya dengan kedua tangan. Kedua sikunya bertumpu di atas meja. Ia memijat pelipisnya yang terasa berdenyut.“Apa dia benar-benar mantan suamimu, Bu Dokter?”Pertanyaan Prabu membuat Irena menghentikan pijatan di pelipisnya, tetapi wajahnya masih menunduk melihat meja. Tak berani bersitatap dengan Prabu karena rasa malunya masih sangat besar.Bahkan saat Pram pamit dan berangkat lebih dulu ke asrama Sakti, wanita itu hanya mengangguk tanpa berani mengangkat wajahnya.“Kenapa aku tidak yakin ya, kalau dia benar-benar mantan suamimu?”Lanjutan ucapan Prabu membuat Irena memberanikan diri mengangkat wajahnya hingga Prabu dapat melihat wajah kuyunya. Persis seperti yang ia lihat pertama kali di kafe samping rumah sakit. Kini Prabu mengerti kenapa di luar rumah sakit wanita itu terlihat sangat lelah, sementara di rumah sakit ia sangat bersemangat dan ramah.Prabu mengerti, itulah profesionalis
Prabu bergegas menghampiri Irena yang masih berusaha mengejar mobil Radit. Napas wanita itu terengah, matanya nanar menatap kepergian anaknya yang menghilang di kejauhan."Beri aku kunci mobilmu," kata Prabu tegas.Irena menoleh dengan mata berkaca-kaca, tetapi tanpa banyak tanya, ia mengulurkan kunci mobilnya. Dengan cepat, Prabu membuka pintu mobil dan menarik Irena agar masuk. Ia melesat keluar area sekolah, mengejar mobil Radit yang membawa Chiara.Sepanjang perjalanan, Irena terus memegang erat dadanya yang sesak. Tangannya mencengkeram sabuk pengaman, mencoba menahan ketakutan dan amarah yang berkecamuk dalam dirinya.“Tenang, kamu akan mendapatkan Chiara kembali,” ucap Prabu berusaha menenangkannya.Irena memejam pedih. “Anda tidak mengenal mantan suamiku. Dia bisa saja—"“Irena.” Prabu menoleh sekilas, menatapnya tajam sebelum kembali fokus mengendalikan kemudi. “Jangan biarkan ketakutan menguasaimu. Kamu wanita hebat, seorang dokter pula. Kamu harus tenang.”Irena menggigit b
“Menikahlah denganku, dan akan kubantu kau merebut lagi Chiara apa pun caranya.”Irena membuka mata. Tubuhnya menegang. Ia menegakkan tubuhnya dan berbalik perlahan, menatap Prabu dengan matanya yang lelah.“Apa?” bisiknya. Raut tak percaya tergambar jelas.“Kau ingin mendapatkan hak asuh Chiara, bukan?” Prabu menjelaskan. “Jika kau menikah lagi dan memiliki kehidupan yang stabil, itu akan menjadi faktor kuat di pengadilan. Pengadilan akan lebih mempertimbangkan seorang ibu yang menikah dengan pria yang memiliki kehidupan mapan.”Irena berkedip lemah setelah menatapnya dengan campuran keterkejutan dan kesedihan. “Itu tidak mungkin, Pak Prabu.”“Apanya yang tidak mungkin? Kamu sendiri yang mengatakan pada mantan suamimu kalau aku calon suamimu.”Irena menundukkan kepala, suaranya lirih, “Saya minta maaf, Pak Prabu. Saya tahu itu perbuatan tidak benar. Tapi saya terpaksa mengatakannya hanya untuk menggertak Radit, tapi hasilnya … dia tetap membawa Chiara. Dia tahu kalau saya hanya menga
“Pram, coba ceritakan bagaimana awalnya perasaanmu sama adikku!”Pramudya melirik ke samping saat mendengar pertanyaan aneh dari kakak iparnya. Ya, menurut Pram, pertanyaan itu aneh karena tiba-tiba saja Prabu menanyakan hal yang tidak ada hubungannya dengan topik yang sedang mereka bahas.Pram meluangkan sedikit waktu untuk menanyakan perusahaannya sebelum kembali ke Singapura. Dan tiba-tiba saat mereka sedang membahas pekerjaan, pria itu bertanya aneh.Walaupun sebenarnya sejak tadi Pram melihat gelagat tak biasa dari kakak iparnya itu, tetapi tak urung ia heran. Prabu terlihat tidak fokus dan banyak berdiam diri. Tidak sebawel biasanya.“Apa barusan?” Pram merasa tidak yakin dengan pendengarannya. Matanya memicing tajam melihat Prabu.“Aku bertanya bagaimana perasaanmu saat jatuh cinta pada adikku? Apa yang membuatmu jatuh cinta padanya? Dan bagaimana kamu mengungkapkannya?”Pram masih mengerutkan keningnya mendengar rentetan pertanyaan itu, tetapi ia tidak langsung menanggapi. Mal
Prabu meletakkan ponselnya dengan kasar di atas meja hingga benda itu menggelosor mengenai vas bunga. Untung saja benda kristal itu tidak pecah, hanya tumbang menumpahkan beberapa tangkai bunga di meja kerjanya.Berkali-kali ia menghubungi nomor Irena, berkali-kali juga mengirim pesan, tetapi tidak pernah berbalas. Nomor itu sudah tidak lagi aktif, panggilannya hanya dijawab operator.Sejak mengantar Irena ke apartemennya dan bicara serius tempo hari, Prabu memang tidak pernah bertemu lagi dengan wanita itu. Mengikuti saran Pram, ia butuh waktu untuk merenung, apa sebenarnya yang ia rasakan pada Irena. Ia tidak mau terburu-buru dan gegabah.Sayangnya, saat kembali menghubungi wanita itu, ia tak lagi bisa bicara dengannya. Nomornya tidak aktif, dan setiap kali datang ke apartemen, ART-nya mengatakan Irena sedang tidak di rumah, berlibur ke luar kota.Waktu terus bergulir. Prabu tidak tahu apa yang salah karena ia merasa tidak melakukan hal apa pun yang membuat wanita itu menjauh. Hingg
Pram mondar-mandir di kamarnya. Kalimat-kalimat Prabu yang tidak dimengertinya terus terngiang-ngiang. Ia masih tidak bisa menyimpulkan arti ucapan itu, tetapi satu hal yang ia yakini—Prabu sedang tidak baik-baik saja.Pram menengadah, lalu meremas rambutnya. Ia ingin bertanya lebih lanjut, tetapi sejak awal Prabu memang bicara tersendat-sendat dan terdengar ragu. Tidak mungkin ia memaksa kakak iparnya itu untuk bicara lebih jelas.Lalu, ia harus bagaimana?Ingin memberi solusi? Bagaimana bisa, jika masalah yang sebenarnya saja ia tidak tahu. Prabu langsung pamit setelah mengatakan itu, dan ia tidak bisa mencegahnya.Andai berada di tanah air, mungkin ia bisa sedikit membantu. Masalahnya, jika pulang pun, bagaimana dengan Puspita?Untuk mengatakan bahwa kakaknya ada masalah saja, rasanya Pram tidak tega. Ia yakin itu hanya akan menjadi beban pikiran bagi istrinya. Pram takut Puspita tidak fokus pada pengobatannya. Belum lagi jika benar-benar ingin berpisah. Lalu, apa yang harus dilaku
Pram sedang mengemas beberapa barang ke dalam ransel di kamarnya. Ia hanya sedang bersiap jika tiba-tiba Puspita mengatakan ia harus pergi.Bukannya menyerah jika ia melakukan ini sejak dini. Sekali lagi, ia hanya sedang bersiap jika suatu saat Puspita benar-benar tak menginginkannya lagi, karena setelah dua hari semenjak ia bertanya, wanita itu belum juga memberikan jawaban.Puspita seolah menggantung hubungan mereka, membuatnya berada dalam ketidakpastian. Namun, Pram sama sekali tak marah atau menyalahkan istrinya karena ia pun dulu pernah melakukan hal yang sama. Mengabaikan Puspita dalam ketidakjelasan hubungan sejak Soraya meninggal. Membuat Puspita tenggelam dalam pusaran keputusasaan. Mungkin, ini juga yang dirasakan Puspita saat itu.Semua yang terjadi padanya saat ini seolah pantulan cahaya dalam cermin. Semua berbalik padanya. Apa yang pernah ia lakukan pada Puspita dulu, kini berbalik dirinya yang harus merasakan semua ini.Pram mengembuskan napas panjang. Kini Puspita sed
"Duduklah," ujar Ny. Bimantara akhirnya, sambil menunjuk kursi di seberang mereka.Irena duduk dengan tangan terkepal di pangkuannya. Perutnya terasa mual, bukan karena makanan, tapi karena suasana kaku yang menyesakkan.Pelayan datang dan mulai menyajikan makanan. Namun, bahkan setelah hidangan tersaji, tidak ada obrolan yang mengalir. Prabu sesekali mencoba mencairkan suasana dengan bertanya tentang kesehatan Opa dan Oma, tetapi jawaban yang didapat hanya sekadarnya."Jadi bagaimana, Opa, Oma? Pendapat kalian tentang rencana kami ke depannya?" Prabu terpaksa bertanya lebih dulu karena kedua orang tua itu tak kunjung bertanya sesuatu tentang mereka.Hening beberapa saat, membuat Prabu yang menunggu menjadi tidak sabar.Irena mencuri pandang ke arah Opa Rangga. Lelaki tua itu duduk dengan postur tegak, sorot matanya masih tajam meski usianya sudah senja. Lalu, tiba-tiba, pria itu meletakkan garpunya, membuat dentingan kecil yang menarik perhatian semua orang."Prabu," suaranya terdeng
Irena menatap dirinya di depan cermin. Seorang wanita empat puluh tahun terpampang di sana dengan wajah yang sudah dipoles make-up flawless. Garis kerutan memang jauh darinya karena ia selalu menjaga pola makan dan olahraga yang teratur. Tapi rasanya, senyum sudah jarang ia sunggingkan dalam kehidupan pribadinya.Jika pun selama ini terkesan ramah dan selalu ceria, itu hanya untuk para pasien dan siapa pun yang ia temui di rumah sakit. Selebihnya, bibirnya jarang sekali tersenyum. Perpisahan dengan Radit yang berbuntut perebutan hak asuh Chiara membuat hari-harinya seolah suram.Memang ia masih bisa menemui sang anak selama Chiara dalam pengasuhan mantan suaminya itu, tetapi dalam waktu yang sangat terbatas dan tentu saja harus mengikuti aturan Radit. Tidak bisa bertemu dan menumpahkan rindu dengan leluasa.Irena sangat menyesali hari-hari yang telah lewat. Ia terlalu sibuk bekerja hingga waktu untuk bersama Chiara sangat sedikit. Dan itu ternyata membuat Chiara lebih dekat dengan aya
Pram mengganjal kepalanya dengan kedua tangan. Kini ia berbaring di sofa dengan tatapan lurus ke langit-langit. Ada banyak hal berputar-putar di kepalanya. Entah apa yang akan terjadi setelah ini.Puspita tidak memberikan jawaban apa pun. Dan ia memang sengaja memberikan waktu untuk istrinya itu untuk memikirkan masak-masak keputusannya. Dan apa pun nanti yang akan dikatakan wanita itu, ia harus siap. Bahkan hal terburuk sekalipun.Pram tidak ingin lagi menyakiti hati wanita itu. Sudah terlalu sering ia membuat Puspita terluka. Dan jika dengan menjauh darinya bisa membuat wanita itu bahagia, akan ia lakukan. Tidak ada lagi paksaan, tidak akan ada lagi drama. Ia juga tak akan menggunakan Prily sebagai alasan untuk menahan Puspita tetap di sisinya.Prily harus bisa tanpa Puspita jika wanita itu sudah tak lagi menghendaki mereka di sisinya. Dan tugasnya adalah membuat Prily mengerti, walaupun ia belum tahu apa yang harus ia lakukan nanti untuk membuat anak itu lepas.Entah sudah berapa b
Pramudya berjongkok di hadapan Prily, tangannya mengelus lembut punggung gadis kecil itu yang terus memeluk Puspita erat. Wajahnya berusaha menampilkan kelembutan, tapi sorot matanya menyiratkan sesuatu yang lebih dalam. Rasa bersalah.Selama perjalanan mereka menuju unit, Prily bahkan terus berjalan di samping kursi roda Puspita, seolah merasakan firasat yang kurang baik. Lalu, setelah mereka tiba, ia sama sekali tak ingin melepaskan wanita yang sudah dianggapnya ibu kandung itu."Sayang, sama Mbak Sari dulu, ya? Mama mau istirahat dulu biar cepat sembuh," bujuk Pram dengan suara selembut mungkin.Prily bukannya melepaskan pelukan di pinggang Puspita, tetapi justru semakin erat. Kepalanya menggeleng dan menyuruk."Lily butuh tidur siang supaya nanti bisa main lagi, ya. Ayo ikut Mbak Sari, ganti baju dulu, keringatan," lanjut Pram.Prily menggeleng semakin kuat, wajah mungilnya menekan perut Puspita. "Nggak mau. Lily mau tidur sama Mama."Puspita mengusap kepala Prily dengan tatapan l
Puspita merasakan dunianya berguncang. Kata-kata Haidar seperti pukulan telak yang mengusik keyakinannya selama ini. Ia selalu berpikir bahwa Haidar pergi meninggalkannya begitu saja, tetapi jika yang dikatakan pria itu benar, maka ada seseorang yang dengan sengaja menjauhkan mereka.“Ini tidak mungkin,” gumamnya lirih, matanya menatap tajam ke arah Haidar. “Bukannya selama ini Akang yang ninggalin aku? Akang yang membatalkan rencana kita? Akang yang mundur karena orang tua Akang tidak setuju karena aku seorang janda dan hanya wanita miskin?”“Itu tidak benar. Orang tua Akang bahkan terus menanyakan janji Akang yang akan membawa kamu pada mereka. Mereka sangat ingin bertemu kamu, Pita. Mereka mengira Akang sedang berhalusinasi tentang kamu karena kenyataannya kamu tidak ada.” Haidar menjelaskan dengan suaranya yang serak.Puspita menggeleng keras. Matanya memanas. “Ini tidak mungkin, Kang. Tidak mungkin … Akang yang ninggalin aku.”Haidar mengembuskan napas panjang. "Tapi kenyataannya
Malam ini, kamar yang biasanya terasa hangat oleh percakapan ringan dan tawa kecil kini diselimuti kesunyian yang menyesakkan. Puspita sudah lebih dulu berbaring, membelakangi Pramudya, seolah menutup dirinya dari segala bentuk interaksi. Biasanya, sebelum tidur, ia akan menunggu Pram mendekat, mengusap punggungnya yang lelah, lalu mereka akan bercanda—entah soal hal-hal kecil yang terjadi hari itu atau tentang Prily yang selalu meminta perhatian berlebihan padahal Puspita belum pulih. Tapi malam ini berbeda.Pramudya berdiri di ambang tempat tidur, menatap punggung Puspita yang tak bergerak. Napasnya teratur, tapi Pram tahu istrinya belum tidur. Sejenak, ia ingin mengulurkan tangan, menyentuh bahunya, mengembalikan kebiasaan mereka yang telah terbangun begitu lama. Namun, sesuatu yang tak kasatmata menghalangi langkahnya. Ada dinding tak terlihat yang kini memisahkan mereka.Tanpa suara, Pram naik ke tempat tidur, berbaring dengan posisi yang berlawanan. Biasanya, ia akan langsung me
Puspita memejamkan matanya, lalu menutup wajahnya dengan kedua tangan sesaat setelah pintu kamarnya tertutup. Tadi, Prily memeluk pinggangnya erat. Tidak mau melepaskannya, tetapi Pram terus membujuk anak itu hingga akhirnya berhasil membawanya keluar dari sana.Entahlah, kenapa situasi kembali seperti ini. Padahal hidupnya sudah terasa tenang meski belum sepenuhnya pulih. Bersama Pram dan Prily ia bahagia di sini meski sedang menjalani pengobatan. Siapa sangka kehadiran Haidar membuat semuanya berbeda.Puspita memijat pelipisnya. Mencoba mengingat kejadian sebelum ia kehilangan kontak dengan pemuda satu kampungnya itu. Benar-benar tidak ada perpisahan di antara mereka, hingga ia sempat masih berharap.Lalu setelah lama tidak ada kabar dari pemuda itulah ia mulai membuka hati untuk Pram. Saat itu ia mengira orang tua Haidar tidak menyetujui hubungan mereka karena dirinya hanya seorang wanita miskin, janda pula. Tentu saja Haidar yang anak pemilik perkebunan dan pabrik teh di sana diha