Pak Min menekan gas mobil hingga menyentuh batas maksimal yang diizinkan. Tangannya mencengkeram erat setir. Entah berapa kali Pram memerintahkan ia menambah kecepatan agar segera tiba di rumah.Sementara Pram sendiri napasnya memburu. Pikirannya terus berputar, membayangkan wajah Sakti yang menangis ketakutan saat dijemput paksa oleh Arya. Hatinya bergemuruh, campuran antara marah, cemas, dan frustrasi. Ia tahu Arya bisa sangat licik, tapi membawa polisi untuk menjemputnya? Ini benar-benar di luar dugaan. Benar-benar keterlaluan.Sesampainya di rumah, Pram langsung mendapati suasana yang berbeda. Pintu rumah terayun lebar, menampilkan ruang tamu yang biasanya hangat, kini terasa dingin dan penuh ketegangan. Semua pelayan menunduk takut, tidak berani menatapnya. Ruang itu terasa mencekam, seperti tempat di mana badai baru saja berlalu.Pram berhenti di ambang pintu. Kakinya seakan terpaku. Langit-langit rumah yang megah tak mampu menyembunyikan suasana mencekam yang menyergapnya.Pusp
Pram berjalan hilir-mudik di ruang kerjanya, langkah-langkahnya berat seperti membawa beban yang tak terlihat. Tangannya terus menggenggam kepala, jemarinya menjelajahi rambut yang sudah berantakan akibat terlalu sering diremas. Tatapannya kosong, bergantian menatap meja kayu di sudut ruangan dan jendela yang memantulkan bayangan dirinya. Ia mencoba mencari secercah solusi di dalam benaknya, tetapi yang muncul hanyalah bayangan wajah Arya dan senyum liciknya saat membawa Sakti pergi.Pram terus berjalan mondar-mandir, mencoba menyusun strategi untuk menghadapi Arya. Namun, pikirannya terus buntu. Setiap opsi yang ia pertimbangkan terasa berisiko, terutama jika Arya menggandeng pengacara berpengalaman untuk merebut warisan Sakti.Terdengar suara ketukan jam dinding yang menggema di ruangan. Setiap dentangnya seperti pengingat waktu yang terus berjalan tanpa solusi. Pram berhenti sejenak, menarik napas panjang, lalu membanting tubuhnya ke kursi di dekat meja. Ia menatap ponsel yang terg
Efek kurang tidur membuat Pram pagi ini bangun dengan tubuh lemas dan wajah lesu. Semakin banyak beban pikiran yang menggelayutinya, membuatnya benar-benar frustrasi. Ia harus tetap berangkat ke kantor meski tubuhnya tidak fit.Puspita yang sangat paham kondisi suaminya, tidak bisa melarang banyak. Meski jauh di lubuk hatinya ia ingin sang suami tetap di rumah dan istirahat, tetapi ada banyak hal yang tidak akan pernah selesai jika tidak segera dicari solusi.Karenanya ia hanya bisa berpesan agar menjaga kesehatan dan selalu berhati-hati.Puspita menciumi wajah dan tangan Pram saat suaminya itu pamit ke kantor. “Selalu hati-hati, ya, Mas,” pesannya seraya mengusap wajah Pram yang baru saja diciuminya. Tatapannya nanar dan bibirnya dipaksakan tersenyum agar suaminya merasa tenang.“Jangan lupa makan dan minum yang banyak biar tubuhnya tetap sehat.”Pram juga memaksakan tersenyum. “Kan tadi udah minum vitamin, Sayang.”“Iya, tapi vitamin aja nggak cukup. Harus diimbangi banyak minum dan
Pram keluar dari gedung perkantoran Prabu dengan langkah gontai. Udara dingin AC yang memenuhi ruangan tadi kini digantikan oleh teriknya matahari siang, namun rasa dingin di tubuhnya masih menguasai. Hatinya berkecamuk. Jawaban-jawaban samar Prabu membuatnya semakin frustrasi.Pram masuk ke mobilnya dan membanting pintu dengan kesal. Ia menundukkan kepala, mencoba mengatur napas yang terasa berat. Telepon di dashboard mobil berdering, tapi ia tidak peduli. Hanya satu hal yang kini ada di kepalanya—Sakti. Bagaimana jika Arya benar-benar menjual saham bagian Sakti tanpa sepengetahuan mereka?“Ini tidak bisa dibiarkan,” gumam Pram, matanya memerah menahan amarah.Tanpa pikir panjang, ia menyalakan mesin mobilnya. Tujuannya sudah jelas—kantor Arya. Ia harus mendapatkan jawaban langsung dari ayahnya, apa pun caranya. Gas diinjaknya dalam-dalam, membuat mobil melesat di jalanan kota yang ramai. Kali ini ia memilih berkendara sendiri.**Kantor Arya terletak di salah satu gedung tinggi di p
Pram menggenggam ponselnya erat, emosinya membuncah. Mereka menikah? Sungguh tidak punya hati. Belum genap 40 hari sang ibu meninggal, dan yang lebih tidak punya hati lagi, mereka membawa Sakti untuk dipamerkan seolah mendapat restu dari keluarga Arya.Pram tidak habis pikir, di mana hati dan otak orang-orang seperti mereka. Arya, Imel, juga keluarganya, di mana meletakkan hati mereka? Tidak ingatkah mereka siapa Arya? Siapa Hasna?“Arghhh...!” Pram menggeram, lalu memukul handel stir. Tak ada kata yang mampu mendeskripsikan kondisi hatinya saat ini. Sakit membayangkan bagaimana ibunya jika masih ada.Foto-foto dan video itu terus berputar di kepalanya. Wajah Arya yang semringah seolah tidak baru saja kehilangan istri, lalu Imel yang tidak tahu malu, dan keluarganya yang bersuka cita dengan pernikahan itu. Dan terakhir, wajah Sakti yang...“Arghhh...!” Sekali lagi Pram memukul stir. Dengan napas memburu, ia mencoba menekan nomor Arya lagi. Kali ini ia tidak peduli apakah panggilan itu
“Kamu tidak apa-apa, Sayang?” tanya Pram panik seraya membantu Puspita minum, lalu mengelap bibirnya dengan tisu.Puspita mengangguk meski tenggorokannya masih seperti tercekik. Dengan mengabaikan gelas di tangan Prabu yang tersodor lebih dulu, tentu ia lebih memilih air dari Pram.“Hati-hati, Sayang,” ujar Pram lagi sembari kembali duduk. Lagi-lagi Puspita hanya mengangguk sebelum melirik perempuan muda yang dipanggil dengan nama Kartika Bimantara itu. Tatapan mereka bertemu, sebelum gadis yang pakaiannya serba branded itu menatap ke arah lain.“Maafkan istri saya.” Pram berucap penuh penyesalan karena takut mengganggu acara keluarga itu. “Sebaiknya kami mengambil meja sendiri saja,” lanjut Pram sembari menghujamkan tatapan tajam pada Prabu.“Tidak apa-apa, Nak Pram. Itu bukan masalah besar. Hanya tersedak. Seharusnya kami yang minta maaf atas ketidaknyamanannya.” Bu Rangga menyahut karena sadar Pram kesal dengan Prabu yang terlalu reaktif melebihi Pram sendiri.“Kita lanjutkan makan
“Lho, kamu sakit, Sayang?” Wanita sepuh yang rambutnya sudah putih semua itu menatap gadis muda yang baru kembali dari toilet.“Kebetulan Oma bawa obat,” lanjutnya seraya meminta ajudannya yang sejak tadi berdiri tak jauh darinya untuk mengambilkan obat. “Oma selalu bawa persediaan obat setiap pergi ke mana pun. Maklum sudah tua.” Sebuah kekehan terdengar dari mulutnya.Setelahnya, ia meminta Kartika untuk duduk kembali, lalu menyodorkan obat yang diambilnya dari tas khusus.Gadis muda yang sejak awal tidak menikmati momen itu kembali duduk. Keterpaksaan kentara di wajahnya, tetapi sepertinya ia tidak bisa berbuat banyak. Ia menuruti neneknya yang sudah memberi titah. Setidaknya, itu yang Pram dan Puspita pikirkan. Gadis muda itu terlihat menelan obat dari neneknya, lalu berusaha menikmati hidangan penutup yang baru disajikan pelayan.Semua gerak-geriknya tak lepas dari perhatian Puspita. Mungkin tidak sopan, tetapi rasa penasarannya tak dapat ia abaikan.Rangga dan istrinya mengembal
Mobil melaju dengan tenang di jalanan siang yang membara. Seperti membaranya hati Pram. Debu dan polusi yang berbaur terbawa angin, terlihat samar dan abu-abu. Seperti pikiran Pram yang juga semrawut.Puspita duduk diam di kursi penumpang, sesekali melirik Pram yang menggenggam kemudi dengan cengkeraman erat. Rahang pria itu mengeras, matanya menatap lurus ke depan tanpa sekalipun meliriknya.Sejak keluar dari restoran tadi, Pram tak mengucapkan sepatah kata pun. Wajahnya yang merah dan rahangnya yang mengeras cukup menjelaskan jika ia sangat marah. Alhasil mobil yang dikemudikannya sendiri itu dikepung keheningan seperti kabut tebal yang sulit ditembus.Puspita menggigit bibirnya. Ia tahu suaminya marah. Tapi itu bukan salahnya, kan? Prabu memang terlalu reaktif sejak awal. Prabu keterlaluan. Entah kenapa pria itu terlalu berlebihan padanya. Tapi sekali lagi itu bukan salahnya. Ia tidak pernah meminta siapa pun untuk perhatian padanya. Dan kini, ia tidak tahu bagaimana membuat hati P
Puspita merasakan dadanya sesak seolah oksigen tidak mau masuk ke paru-parunya. Pandangannya berkunang-kunang, dan tubuhnya terasa lemas. Semua yang baru saja tersaji di depan matanya seolah cerita dongeng fantasi yang hanya ada dalam khayalan.Otaknya mendadak tidak bekerja hingga sulit mencerna apa yang baru saja terjadi. Suara melengking Tika yang memanggil namanya dan meminta tolong masih terngiang hingga memekakkan telinga. Tetapi, slide-slide nyata dalam kehidupan yang dijalaninya terus berputar di kepalanya.Tubuhnya nyaris terjengkang jika Pram tidak sigap menangkapnya. Pram sampai duduk bersimpuh untuk menahan tubuh Puspita yang tidak bertenaga sama sekali. Tubuh wanita itu ia sandarkan di pangkuannya. Sejatinya, ia pun terlalu kaget dengan semua ini hingga tak mampu melakukan apa pun selain ternganga.Nama Putra Pradipta ia sebut dua kali saat menikahi Puspita sebagai ayahnya, tetapi siapa sangka jika itu adalah Pradipta Putra Bimantara, anak tunggal Rangga Bimantara dan jug
Ruangan mendadak penuh dengan gemuruh para tamu yang saling berbicara heran, sebelum akhirnya pandangan mereka tertuju pada Puspita yang mulutnya menganga.Wanita itu sejak tadi sudah merasa lelembutnya tak lagi di sana. Bahkan suara Prabu bagai seorang pendongeng yang jauh dan hanya terdengar suaranya saja.Yang dirasakan Puspita adalah kembali ke masa lalu, masa-masa kecilnya yang penuh kebahagiaan bersama kedua orang tuanya. Sebelum akhirnya semua kebahagiaan itu direnggut paksa darinya bersamaan dengan meninggalnya orang tuanya.Puspita di sini, tapi hati dan pikirannya kembali ke masa-masa itu. Masa-masa yang diceritakan Prabu. Semua tergambar dengan jelas dalam ingatannya, seperti yang terjadi dalam semua slide foto itu.Puspita masih mematung. Ia tidak mengerti apa arti semua ini. Sementara mata semua orang kini tertuju padanya. Sebagian menatap iba, sebagian lagi meremehkan, dan sebagian lainnya tampak bingung. Semua orang di sana kembali berdengung, saling bicara sambil menat
“Ini adalah orang tua saya.”Prabu menunjuk layar besar yang kini menampilkan pasangan muda yang sangat serasi. Tampan dan cantik.“Pradipta Putra Bimantara dan Riyanti Rahman,” lanjut Prabu dengan bangga."Mereka pasangan yang bahagia dan saling mencintai. Sayangnya ….” Prabu menjeda kalimat, terlihat ada napas yang berat untuk diembuskan. Kilat luka berpendar di matanya.“Ibu saya harus meninggalkan kami semua saat menghadirkan saya ke dunia. Ibu saya berpulang dan meninggalkan luka yang mendalam untuk ayah saya.” Akhirnya, Prabu menarik napas meski terlihat sangat berat.Semua hadirin sepertinya ikut larut dengan apa yang Prabu rasakan. Terlebih ada getar dalam kalimat terakhir Prabu. Nyonya Rangga yang berdiri didampingi suaminya, juga Tika, bahkan sudah menghapus sudut matanya dengan tisu.“Ayah saya frustrasi berat atas meninggalnya wanita terkasih hingga akhirnya memutuskan menanggalkan semua yang sudah ia miliki sebagai satu-satunya penerus Bimantara Group. Ayah pergi jauh den
Puspita menoleh dan mendapati Pram yang menatapnya kesal. Ternyata pria itu menunggunya. Hanya saja, saking tidak mau bicara, sang suami hanya menatapnya.Puspita mengerjap dan menunduk, lalu menghampiri Pram dan mengekorinya. Mereka bergabung dengan tetamu lain yang sudah menyimak Prabu di panggung sana.Baru saja beberapa detik mereka bergabung, seseorang datang dan berdiri di samping Pram. Lalu mengucapkan kalimat yang membuat mood Pram semakin buruk.“Halo, anak laki-lakiku, aku tidak menyangka akan bertemu di sini denganmu.”Pram menelan ludah tanpa melirik sama sekali. Ia mencoba fokus pada Prabu di depan sana.“Oh, ya, perkenalkan dulu, ibu barumu,” lanjut suara itu seraya menunjuk wanita muda yang bergelayut manja di lengannya.“Mungkin kamu belum tahu kalau kami sudah menikah secara resmi, Pram. Jadi mulai sekarang hormati Imel sebagai istriku, ya.”Pram sama sekali tidak peduli, mencoba mengabaikan apa pun yang Arya ucapkan. Jika pun ada banyak hal yang ingin ia bicarakan, b
Puspita sontak menarik tangannya dari genggaman Prabu. Seakan tersengat, matanya membelalak lebar. Ia tidak menyangka Pram menemukannya di sini. Dalam keadaan yang akan membuatnya semakin salah paham.Lorong yang sepi pun terasa sangat mencekam saat Pram melangkah mendekat. Suara ketukan sepatunya yang bersatu dengan lantai berlomba dengan detak jantung Puspita yang melonjak-lonjak.“Jadi … memang begini perbuatan kalian di belakangku?” tanya Pram dengan tatapan perpaduan antara kekecewaan dan kemarahan. Ada luka juga di sana.Puspita menggeleng cepat. Ia ingin menyangkal, tetapi Pram dengan cepat mendahului.“Apa kamu mau bilang lagi ini tidak seperti yang aku pikirkan?” tanya Pram sinis. “Jadi, apa yang harus aku pikirkan melihat istriku berduaan bahkan berpegangan dengan pria lain?”“Mas ….” Kepala Puspita semakin menggeleng. Bibirnya bergetar.“Kemarin kamu bisa bilang aku salah paham karena hanya melihat foto. Apa aku masih salah paham juga jika sudah melihat dengan mata sendiri
Puspita mencuri-curi pandang saat Pram berbincang dengan Rangga dan istrinya. Ia mencari keberadaan Prabu. Ia berharap bisa bicara dengan pria itu sebelum acara dimulai. Sayangnya, pria itu tidak terlihat di mana pun di ruangan itu. Matanya justru menangkap seseorang yang wajahnya sangat familiar.Puspita sampai terjengkit kaget.Di sana, di antara para tamu undangan yang ia yakin semuanya adalah relasi bisnis keluarga Bimantara, ia melihat ada pria berusia lebih dari setengah abad yang menatap sinis ke arahnya.Puspita mengucek matanya setelah beberapa saat terperangah. Sayangnya, setelah ia mengucek mata, orang itu sudah tak terlihat lagi di sana. Puspita berkedip beberapa kali, lalu mencari dengan matanya ke semua penjuru ruangan, tetapi ia tidak mendapati orang yang dicarinya.Wanita itu kemudian menggeleng. Mungkin ia sedang berhalusinasi karena melihat pamannya berada di antara para tamu undangan.Bagaimana mungkin sang paman ada di sana? Bukankah semua tamu hanya dari kalangan
Puspita menarik napas panjang sebelum turun dari mobil. Dadanya terasa sangat sesak karena selama dalam perjalanan menuju rumah keluarga Bimantara itu, tak sepatah kata pun Pram berucap. Mereka hanya saling diam meski duduk berdampingan.Saat menerima surat undangan dari Prily, sebenarnya ia malas untuk ikut datang. Toh, hubungannya dengan Pram sedang tidak baik-baik saja. Bahkan, Pram hanya menitipkan surat itu pada anaknya. Sebenci itukah Pram padanya, bahkan sekadar menyampaikan kartu undangan saja tidak sudi?Kalau mau egois, Puspita lebih baik tidak ikut datang. Toh, ia juga tidak tahu pesta apa gerangan yang harus dihadirinya itu. Namun, ia tidak ingin Pram malu. Ia bahkan masih memikirkan reputasi Pram meski sang suami sedang marah padanya.Lagipula, bukankah di sana ia bisa bertemu dengan Prabu? Ini kesempatan baik, harus ia gunakan untuk meminta tolong Prabu menjelaskan yang sesungguhnya. Bagaimanapun caranya, ia harus bicara dengan pria itu. Jika bukan pada kesempatan ini, i
Wanita berrok pendek berlari menuju pintu ruangan Prabu saat mendengar suara gaduh dari dalam sana. Ia sebenarnya sudah curiga sejak awal karena tamu bosnya datang dengan wajah tegang dan penuh amarah.Suara bentakan terdengar menggema di ruangan megah itu. Sekretaris membuka pintu dan langsung memekik melihat bosnya tersungkur di lantai dengan tamunya masih melayangkan tangan.Wanita itu berlari untuk melerai, berusaha menenangkan Pram yang tengah dikuasai amarah. Setelahnya, ia membantu Prabu untuk bangun dan memapahnya ke sofa.Pram berdiri dengan rahang mengeras, napasnya memburu. Tangannya mengepal di sisi tubuh, menahan amarah yang membara dalam dadanya.Sementara itu, Prabu yang kini duduk bersandar di sofa mengusap sudut bibirnya yang berdarah. Tatapannya tetap lurus di wajah merah Pram. Senyum sinis tersungging dari bibir pecah Prabu. Sama sekali tidak ada rasa marah atau takut yang ia tampakkan."Beginikah cara seorang Pramudya Adiguna menyelesaikan masalah?" tanya Prabu san
Puspita berjalan mondar-mandir di dalam kamar. Dadanya sesak, pikirannya kusut, dan hatinya penuh dengan kegelisahan. Sudah dua hari sejak kejadian kemarin, dan Pram tetap diam. Pria itu bahkan memilih tidur di ruang kerjanya, seolah kehadiran Puspita di rumah ini hanyalah gangguan yang harus dihindari.Tidak ada pengusiran dan kata talak seperti dulu, tidak ada kata-kata kasar yang menghujam lagi, tapi didiamkan seperti ini jauh lebih menyakitkan.Ia tinggal di rumah seseorang, tapi si empunya rumah sama sekali tak menganggapnya ada. Pram selalu menghindarinya seolah tak ingin lagi melihatnya. Waktu makan yang biasanya mereka gunakan untuk bercengkerama hangat, hanya kekosongan meja makan yang didapatkan Puspita. Hingga terkadang ia pun malas untuk sekadar mengisi perut.Pram selalu meminta pelayan yang mengantar makan ke ruang kerjanya dan bukan dirinya.Puspita sampai bingung bagaimana melanjutkan hidup. Ia tidak mungkin pergi karena tidak ada kata talak dan pengusiran seperti dulu