“Bos, ingat siang ini ada meeting dengan Pak Prabu. Jangan diundur lagi, tetap usung profesionalisme karena itu yang akan dinilai relasi.”Pram memejam mendengar ujaran Regan yang masuk membawa sebuah dokumen. Bukan tanpa alasan jika Regan mengingatkan seperti itu. Sudah berkali-kali Pram menunda untuk meeting dengan Prabu karena persoalan pribadi. Regan takut Prabu yang sudah berbaik hati menawarkan kerja sama akhirnya membatalkan karena menilai Pram tidak profesional.“Seharusnya bos bersyukur Pak Prabu selalu bersedia dan mau mengerti untuk menukar waktunya karena bos berhalangan. Saya takutnya ia menilai kita tidak profesional dan tidak kompeten, Bos. Ingat, perusahaan ini berada di ujung tanduk. Jangan pernah sia-siakan kesempatan ini.”Regan memaparkan panjang lebar opininya karena dirasa Pram mulai keterlaluan. Selalu menunda-nunda untuk bertemu Prabu. Regan bukan tidak mengerti kondisi Pram saat ini yang tengah dilanda banyak permasalahan keluarga, hanya saja profesionalisme t
Pak Min menekan gas mobil hingga menyentuh batas maksimal yang diizinkan. Tangannya mencengkeram erat setir. Entah berapa kali Pram memerintahkan ia menambah kecepatan agar segera tiba di rumah.Sementara Pram sendiri napasnya memburu. Pikirannya terus berputar, membayangkan wajah Sakti yang menangis ketakutan saat dijemput paksa oleh Arya. Hatinya bergemuruh, campuran antara marah, cemas, dan frustrasi. Ia tahu Arya bisa sangat licik, tapi membawa polisi untuk menjemputnya? Ini benar-benar di luar dugaan. Benar-benar keterlaluan.Sesampainya di rumah, Pram langsung mendapati suasana yang berbeda. Pintu rumah terayun lebar, menampilkan ruang tamu yang biasanya hangat, kini terasa dingin dan penuh ketegangan. Semua pelayan menunduk takut, tidak berani menatapnya. Ruang itu terasa mencekam, seperti tempat di mana badai baru saja berlalu.Pram berhenti di ambang pintu. Kakinya seakan terpaku. Langit-langit rumah yang megah tak mampu menyembunyikan suasana mencekam yang menyergapnya.Pusp
Pram berjalan hilir-mudik di ruang kerjanya, langkah-langkahnya berat seperti membawa beban yang tak terlihat. Tangannya terus menggenggam kepala, jemarinya menjelajahi rambut yang sudah berantakan akibat terlalu sering diremas. Tatapannya kosong, bergantian menatap meja kayu di sudut ruangan dan jendela yang memantulkan bayangan dirinya. Ia mencoba mencari secercah solusi di dalam benaknya, tetapi yang muncul hanyalah bayangan wajah Arya dan senyum liciknya saat membawa Sakti pergi.Pram terus berjalan mondar-mandir, mencoba menyusun strategi untuk menghadapi Arya. Namun, pikirannya terus buntu. Setiap opsi yang ia pertimbangkan terasa berisiko, terutama jika Arya menggandeng pengacara berpengalaman untuk merebut warisan Sakti.Terdengar suara ketukan jam dinding yang menggema di ruangan. Setiap dentangnya seperti pengingat waktu yang terus berjalan tanpa solusi. Pram berhenti sejenak, menarik napas panjang, lalu membanting tubuhnya ke kursi di dekat meja. Ia menatap ponsel yang terg
Efek kurang tidur membuat Pram pagi ini bangun dengan tubuh lemas dan wajah lesu. Semakin banyak beban pikiran yang menggelayutinya, membuatnya benar-benar frustrasi. Ia harus tetap berangkat ke kantor meski tubuhnya tidak fit.Puspita yang sangat paham kondisi suaminya, tidak bisa melarang banyak. Meski jauh di lubuk hatinya ia ingin sang suami tetap di rumah dan istirahat, tetapi ada banyak hal yang tidak akan pernah selesai jika tidak segera dicari solusi.Karenanya ia hanya bisa berpesan agar menjaga kesehatan dan selalu berhati-hati.Puspita menciumi wajah dan tangan Pram saat suaminya itu pamit ke kantor. “Selalu hati-hati, ya, Mas,” pesannya seraya mengusap wajah Pram yang baru saja diciuminya. Tatapannya nanar dan bibirnya dipaksakan tersenyum agar suaminya merasa tenang.“Jangan lupa makan dan minum yang banyak biar tubuhnya tetap sehat.”Pram juga memaksakan tersenyum. “Kan tadi udah minum vitamin, Sayang.”“Iya, tapi vitamin aja nggak cukup. Harus diimbangi banyak minum dan
Pram keluar dari gedung perkantoran Prabu dengan langkah gontai. Udara dingin AC yang memenuhi ruangan tadi kini digantikan oleh teriknya matahari siang, namun rasa dingin di tubuhnya masih menguasai. Hatinya berkecamuk. Jawaban-jawaban samar Prabu membuatnya semakin frustrasi.Pram masuk ke mobilnya dan membanting pintu dengan kesal. Ia menundukkan kepala, mencoba mengatur napas yang terasa berat. Telepon di dashboard mobil berdering, tapi ia tidak peduli. Hanya satu hal yang kini ada di kepalanya—Sakti. Bagaimana jika Arya benar-benar menjual saham bagian Sakti tanpa sepengetahuan mereka?“Ini tidak bisa dibiarkan,” gumam Pram, matanya memerah menahan amarah.Tanpa pikir panjang, ia menyalakan mesin mobilnya. Tujuannya sudah jelas—kantor Arya. Ia harus mendapatkan jawaban langsung dari ayahnya, apa pun caranya. Gas diinjaknya dalam-dalam, membuat mobil melesat di jalanan kota yang ramai. Kali ini ia memilih berkendara sendiri.**Kantor Arya terletak di salah satu gedung tinggi di p
Pram menggenggam ponselnya erat, emosinya membuncah. Mereka menikah? Sungguh tidak punya hati. Belum genap 40 hari sang ibu meninggal, dan yang lebih tidak punya hati lagi, mereka membawa Sakti untuk dipamerkan seolah mendapat restu dari keluarga Arya.Pram tidak habis pikir, di mana hati dan otak orang-orang seperti mereka. Arya, Imel, juga keluarganya, di mana meletakkan hati mereka? Tidak ingatkah mereka siapa Arya? Siapa Hasna?“Arghhh...!” Pram menggeram, lalu memukul handel stir. Tak ada kata yang mampu mendeskripsikan kondisi hatinya saat ini. Sakit membayangkan bagaimana ibunya jika masih ada.Foto-foto dan video itu terus berputar di kepalanya. Wajah Arya yang semringah seolah tidak baru saja kehilangan istri, lalu Imel yang tidak tahu malu, dan keluarganya yang bersuka cita dengan pernikahan itu. Dan terakhir, wajah Sakti yang...“Arghhh...!” Sekali lagi Pram memukul stir. Dengan napas memburu, ia mencoba menekan nomor Arya lagi. Kali ini ia tidak peduli apakah panggilan itu
“Kamu tidak apa-apa, Sayang?” tanya Pram panik seraya membantu Puspita minum, lalu mengelap bibirnya dengan tisu.Puspita mengangguk meski tenggorokannya masih seperti tercekik. Dengan mengabaikan gelas di tangan Prabu yang tersodor lebih dulu, tentu ia lebih memilih air dari Pram.“Hati-hati, Sayang,” ujar Pram lagi sembari kembali duduk. Lagi-lagi Puspita hanya mengangguk sebelum melirik perempuan muda yang dipanggil dengan nama Kartika Bimantara itu. Tatapan mereka bertemu, sebelum gadis yang pakaiannya serba branded itu menatap ke arah lain.“Maafkan istri saya.” Pram berucap penuh penyesalan karena takut mengganggu acara keluarga itu. “Sebaiknya kami mengambil meja sendiri saja,” lanjut Pram sembari menghujamkan tatapan tajam pada Prabu.“Tidak apa-apa, Nak Pram. Itu bukan masalah besar. Hanya tersedak. Seharusnya kami yang minta maaf atas ketidaknyamanannya.” Bu Rangga menyahut karena sadar Pram kesal dengan Prabu yang terlalu reaktif melebihi Pram sendiri.“Kita lanjutkan makan
“Lho, kamu sakit, Sayang?” Wanita sepuh yang rambutnya sudah putih semua itu menatap gadis muda yang baru kembali dari toilet.“Kebetulan Oma bawa obat,” lanjutnya seraya meminta ajudannya yang sejak tadi berdiri tak jauh darinya untuk mengambilkan obat. “Oma selalu bawa persediaan obat setiap pergi ke mana pun. Maklum sudah tua.” Sebuah kekehan terdengar dari mulutnya.Setelahnya, ia meminta Kartika untuk duduk kembali, lalu menyodorkan obat yang diambilnya dari tas khusus.Gadis muda yang sejak awal tidak menikmati momen itu kembali duduk. Keterpaksaan kentara di wajahnya, tetapi sepertinya ia tidak bisa berbuat banyak. Ia menuruti neneknya yang sudah memberi titah. Setidaknya, itu yang Pram dan Puspita pikirkan. Gadis muda itu terlihat menelan obat dari neneknya, lalu berusaha menikmati hidangan penutup yang baru disajikan pelayan.Semua gerak-geriknya tak lepas dari perhatian Puspita. Mungkin tidak sopan, tetapi rasa penasarannya tak dapat ia abaikan.Rangga dan istrinya mengembal
“Kok, pergi?” Prabu bergumam heran, tubuhnya otomatis bangkit berdiri dari belakang meja.Tanpa menghiraukan panggilan sekretarisnya yang terdengar risih, Prabu segera melangkah cepat ke arah pintu.“Pak Prabu, ini belum selesai tanda tangannya—”Tapi Prabu tidak mendengarkan. Langkahnya mantap, menyusul sosok wanita yang baru saja keluar dengan wajah dingin dan sorot mata menusuk.“Andini!” panggilnya dari belakang.Namun wanita itu tak menoleh. Ia terus berjalan cepat melewati lorong kantor yang dipenuhi aktivitas siang hari. Tumit sneakers-nya berdetak keras melawan lantai marmer, berpacu dengan degup jantungnya yang tak kalah gaduh.“Andini! Tunggu!”Panggilan itu tak dihiraukan. Perasaan aneh mulai bercokol di dada Andini. Ia menyesal datang. Menyesal membawa sesuatu yang bahkan sekarang terasa konyol. Di tangannya tergenggam kotak makan berisi grilled salmon, makanan kesukaan Prabu. Ia tahu dari Oma tadi pagi.Andini sengaja memasak sendiri. Ia ingin memberi kejutan dengan tiba-
Andini menghela napas pelan sambil merapikan kerudung kemarin yang dipakainya lagi. Kemeja putih Prabu yang kebesaran kini sudah terganti dengan satu yang sedikit lebih pas—setidaknya tidak membuatnya terlihat seperti memakai daster laki-laki. Ia menemukan kemeja berwarna biru tua di dalam lemari, mungkin milik Prabu saat masih bujangan. Untuk bawahannya, ia beruntung menemukan celana jeans yang tampaknya sudah lama tidak dipakai.“Lumayan…” gumamnya pelan sambil menatap pantulan dirinya di cermin. Meski masih kebesaran di beberapa bagian, setidaknya ia tidak terlihat seperti peserta lomba kostum paling nyeleneh pagi itu.Di belakangnya, Prabu bersandar di pintu sambil melipat tangan di dada. Kepalanya menggeleng pelan.Mereka keluar kamar setelah Andini merasa rapi, dan belum sempat mereka melangkah, mereka berpapasan dengan Puspita dan Pram yang juga sepertinya baru keluar kamar. Tangan keduanya yang saling mengait mesra menandakan bahwa mereka pasangan yang paling bahagia pagi ini.
Andini menahan napas, seluruh tubuhnya kaku seperti patung lilin. Jari-jarinya masih menempel di pipi Prabu, sementara matanya tak berkedip memandang lelaki itu yang kini membuka mata.Waktu seperti berhenti. Detik terasa seperti menit.Prabu menatapnya dalam diam. Tak ada ekspresi. Tak ada teguran. Tapi juga… tak ada senyum.Andini panik. Apa Prabu marah karena ia sudah lancang? Ah, ia sudah siap jika saja pria itu akan memarahinya.Namun tepat ketika ia hendak membuka mulut untuk meminta maaf atau sekadar mencari alasan, mata Prabu perlahan terpejam lagi. Tubuhnya bergeser sedikit, dan suara napasnya kembali terdengar pelan.“…Din…” gumamnya lirih, nyaris seperti bisikan dari alam mimpi.Andini menegakkan tubuhnya perlahan. “Mas?” tanyanya pelan, ragu.Tak ada jawaban. Hanya dengkuran lembut sebagai balasan.Andini mematung beberapa detik sebelum menjatuhkan diri ke kasur, punggungnya menghantam ranjang dengan lemas.“Ya Allah…” desahnya lega. “Dia cuma mengigau. Ya ampun, aku kira
Prabu mengangkat alis, meluaskan matanya. “Hmm… ya, ini Oma yang menyiapkan. Kamu bisa pilih salah satunya untuk malam ini,” ujarnya tanpa menoleh. Matanya masih menyapu seluruh koleksi baju di dalam lemari sambil menahan senyum.Andini mendesah frustrasi. Tangannya bersedekap di depan dada. “Aku tidak ganti baju saja,” ujarnya akhirnya, lalu berjalan pelan dan duduk di tepi ranjang. Ada rasa kesal, malu, dan bingung bercampur jadi satu di dalam hatinya. Situasi ini sungguh di luar dugaan.Prabu menutup pintu lemari perlahan, lalu berjalan mendekat ke arah Andini. Tatapannya lembut, tetapi suaranya mengandung ketegasan yang halus. “Ganti saja, tidak apa-apa. Itu sudah Oma siapkan buat kamu.”Andini mendongak, menatapnya sejenak lalu membuang pandangan lagi. “Aku tidak mungkin memakai pakaian seperti itu, Mas.”“Kenapa?” tanya Prabu, mengangkat satu tangannya, seolah benar-benar tidak mengerti.Wajah Andini memerah. Bibirnya mengatup rapat, mencoba menahan jawaban yang sebetulnya sudah
“Prilly sudah tidur?” tanya Andini dengan berbisik saat melihat Puspita bangkit dari ranjang Prilly. Mereka kini berada di dalam kamar di mana Chiara dan Prilly berbagi kamar. Ada dua tempat tidur kecil yang berdampingan di sana. Sengaja disediakan seperti itu agar saat kedua anak itu menginap mereka bisa menghabiskan waktu berdua.Puspita mengangguk. “Sudah, Mbak. Chiara bagaimana?” tanya Puspita balik, juga dengan berbisik.“Sudah,” Andini menjawab pelan sebelum bangkit dan merapikan selimut Chiara.Keduanya lalu keluar dari kamar itu setelah memastikan anak-anak lelap. Mereka baru saja membacakan dongeng pengantar tidur.“Chiara biasa dibacakan buku, ya?” tanya Andini setelah menutup pintu kamar dengan sangat hati-hati agar anak-anak tidak terganggu dengan suaranya.“Iya, Mbak. Sejak lahir kan, Prilly memang sama aku, jadi setiap mau tidur aku biasakan baca dongeng biar gampang tidurnya. Waktu dia baru lahir aku malah tidur sekamar sama dia, biar gampang kalau dia nangis.”“Ibunya?
Suara lembut gesekan sendok dan garpu berpadu harmonis dengan dentingan piano klasik yang dimainkan langsung oleh seorang pianis profesional di sudut ruangan. Lampu gantung kristal berkilau di atas meja makan panjang berlapis taplak renda putih gading, menambah kesan megah di ruang makan utama kediaman keluarga Bimantara.Andini nyaris tak bisa memercayai semua ini. Ia berada di antara keluarga suaminya yang merupakan salah satu konglomerat negeri ini. Opa Rangga—pemilik kerajaan bisnis Bimantara Group—menyambutnya dengan pelukan dan senyum tulus sejak mereka tiba tadi sore. Bahkan Chiara dipeluk hangat oleh Oma, sebelum seorang pelayan membawanya menuju ruang bermain yang diisi segala jenis mainan edukatif impor.Benar-benar penyambutan sempurna untuk seseorang yang menjadi bagian keluarga itu pun tidak sengaja dan tanpa rencana. Sesuatu yang tidak pernah dirasakan oleh kakaknya dulu, kini justru didapatkan secara utuh olehnya. Rasa haru dan syukur membuncah di dada Andini, namun tet
Mungkin Prabu memang beruntung pernah memperistri Irena, tapi dirinya … ah, rasanya itu tidak mungkin. Tak ada yang bisa dibanggakan dari dirinya. Bahkan menyiapkan sarapan pagi saja masih kerepotan.Andini tersenyum kaku sebelum akhirnya membuka suara lagi. “Kamu udah lama nikah, ya?”Puspita yang saat itu sedang menekuri ponselnya karena baru saja ada pesan masuk, menoleh sekilas. “Belum sampai dua tahun, Mbak,” jawabnya, tangan masih sibuk membalas pesan.“Jadi, kamu nikah umur dua puluh?”“Iya.”“Wah, hebat. Kamu nikah usia muda, tapi langsung bisa ngurus rumah tangga. Ngurus suami, ngurus anak sambung.”Puspita melirik lagi sedikit, lalu kembali pada ponselnya. Bibirnya menahan senyum. “Aku kan, dulu pembantu sebelum nikah sama Mas Pram, Mbak. Jadi, hal seperti itu sudah biasa kulakukan.”“Apa? Pembantu?” suara Andini terdengar sedikit lebih keras dari sebelumnya.“Hmmm…” Puspita mengangguk dan tersenyum lembut. “Aku pembantu di rumah Mas Pram. Bu Soraya, istri pertama Mas Pram y
Andini melangkah perlahan menyusuri lorong rumah sakit, aroma disinfektan menyambut tiap hembusan napasnya. Dari balik kaca besar ruang NICU, matanya tertuju pada satu inkubator kecil yang menampung makhluk mungil bernama Raja. Ia berdiri dalam diam, menatap dengan tatapan sendu dan penuh rindu. Setiap hari, ada rasa khawatir sekaligus harapan yang bertarung dalam dadanya.Entah sampai kapan Raja akan di sana, karena sampai saat ini pihak rumah sakit belum melaporkan perkembangan signifikan. Menurut mereka, butuh waktu berbulan-bulan hingga ia tumbuh normal seperti bayi yang lahir cukup bulan.Namun, ia dan Prabu akan menunggu waktu itu tiba. Waktu di mana Raja bisa mereka peluk dan bawa pulang. Untuk saat ini, Raja mungkin masih betah di sini karena merasakan ibunya setiap saat. Secara, ini rumah sakit tempat sang ibu bekerja.“Masih tidur, ya?” suara lembut menyapa dari sampingnya.Andini menoleh. Puspita berdiri di sana tanpa ia sadari kedatangannya. Adik iparnya itu tampak begitu
Prabu dan Chiara bersiap-siap berangkat. Andini membantu membetulkan dasi kecil di leher Chiara yang kini berseragam rapi. Prabu berdiri di dekat pintu, menggenggam tas kerja dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya menggandeng jemari mungil Chiara.“Hati-hati di jalan, ya,” ucap Andini sambil tersenyum lembut, berdiri di ambang pintu. Ia melambaikan tangan kecilnya—kebiasaan yang mulai terasa hangat setiap pagi.Prabu tersenyum, dan Chiara balas melambaikan tangan. “Kami berangkat dulu, Onti, eh maaf … Mama ….” Chiara menutup mulut dengan lima jari mungilnya.Andini berkedip lembut seraya mengulum senyum. Semua hanya butuh waktu saja sampai mereka terbiasa, karena sejatinya ia pun sedang beradaptasi. Anak sekecil Chiara sudah bagus bisa cepat tanggap.Prabu dan Chiara akhirnya berjalan menyusuri lorong apartemen. Suara ketukan sepatu mereka yang bergema bagai simfoni yang mengalun lembut, membelai dada Andini.Wanita itu masih berdiri di sana, memandangi punggung keduanya yang p