1. Ingin keduanya.
[Nggak usah datang ke persidangan ya, Nye. Supaya proses persidangan lebih cepet]Kubiarkan saja pesan dari Luna, kekasih Mas Bian yang sebentar lagi menggantikan posisiku sebagai istri Mas Bian itu, tapi kali ini berbeda. Jika aku dinikahi karena uang, dia dinikahi karena cinta.[Nye?! Kok dibaca aja? Kenapa nggak bales?] Kembali Luna mengirimkan pesannya yang terlihat begitu tak sabaran melihat aku menjadi janda.[Iya, Luna.]Berat tangan ini walau hanya membalas dengan dua kata itu. Pesan dari Luna itu semakin membuat diri ini seolah tak berharga saja. Setelah sedemikian rupa dia datang dalam kehidupanku dan Mas Bian, dia juga mengatur jalannya perceraian kami, seolah hanya dia dan perasaannya saja yang penting, sedang perasaanku bak butiran debu yang tersapu angin. Tak berharga."Siapa, Nye?" tanya Mas Bian yang duduk di sebelahku. Saat ini kami sedang duduk di bangku belakang rumah, tempat biasa kami menghabiskan waktu sebelum maghrib menyapa."Ibu, Mas," jawabku yang tak mau membahas Luna disisa hariku bersama Mas Bian. Biantara Wisnu Wardana. Menikahiku dengan sah secara hukum dan agama enam bulan yang lalu.Entah, apa yang ada dalam benaknya, hingga mau menikahi aku yang kotor ini. Masih teringat jelas dalam benakku, peristiwa kejam yang aku alami di waktu menjelang maghrib, di mana orang sedang sibuk melakukan ibadah, justru dia, orang yang sampai saat ini belum diketahui siapa dan dimana, malah melakukan hal keji padaku. Merampas kesucian yang amat sangat berharga bagi seorang wanita.Saat itu aku sedang melakukan bimbingan skripsi bab 3 ku di kampus, hingga pukul 5 sore bimbingan baru selesai.Aku bergegas menuju halte bis agar Ayah yang kala itu menjemputku tidak perlu masuk ke halaman kampus. Lama aku menunggu hingga suara adzan maghrib berkumandang, namun Ayah tak kunjung datang. Sampai akhirnya Ayah menghubungi dan mengatakan bahwa ban mobilnya pecah, harus diganti.Aku pun memutuskan untuk kembali masuk ke dalam kampus untuk beribadah maghrib sambil menunggu Ayah karena tempat ini juga sepi. Baru beberapa langkah aku melangkah sebuah tangan kokoh membekap mulut hingga aku tak sadar. Setelah itu aku tak tahu lagi apa yang terjadi.Sesaat aku membuka mata dan saat itu pula aku sudah ada di rumah sakit. Terlihat Ayah dan Ibu menunggu dengan wajah menunduk lesu, tangan mereka saling berpegangan seolah saling menguatkan. Ada rasa sakit yang terasa perih pada salah satu bagian tubuhku, namun aku mengabaikannya, saat kulihat air mata di sudut mata Ayah dan Ibu yang menghambur ke pelukanku ketika melihatku sudah sadar.Saat itu aku masih merasa semua baik-baik saja dan masih sempat melontarkan candaan pada kedua orang tersayangku itu saat mereka menangis tanpa sebab, yang aku tahu mereka menangis karena melihat aku terbaring sakit.Dokter pun datang dan menyampaikan hasil visum yang menyatakan bahwa aku telah ternoda. Seketika tubuhku lemah tak berdaya, tulang-tulangku seolah patah seperti patahnya cita-cita dan masa depanku menjadi seorang dosen.Ayah bekerja sama dengan polisi mencari siapa pelakunya setelah kejadian itu, namun beberapa minggu berlalu belum juga ada hasil. Aku kacau dan hancur kala itu, kuliah yang hanya tinggal menghitung hari pun aku tinggalkan begitu saja. Rasanya tak sanggup memperlihatkan wajah di hadapan orang-orang.Kepedihan tak hanya berhenti di situ, satu bulan setelahnya aku dinyatakan positif hamil. Aku semakin hancur, begitu pula dengan Ayah dan Ibu.Pada akhirnya, Ayah memutuskan untuk menggunakan seluruh tabungan selama menjadi pegawai negeri sipil bahkan menjual tanah warisan untuk mencari seorang pendamping bagiku, menikahiku agar janin yang ada di dalam kandunganku bisa mempunyai ayah secara hukum.Setelah Ayah memutuskan untuk menghabiskan semua uang demi ada yang menikahiku, beliau juga memutuskan untuk menutup kasus yang menimpaku. Ayah tak mau menambah traumaku semakin dalam saat tahu siapa pelakunya. Biarlah semua berjalan seperti ini dan laki-laki bejat itu akan lebih baik tidak muncul di hadapan kami untuk selamanya.Tak mudah mendapatkan lelaki yang mau menikah dengan orang yang sudah tidak suci, lama kami menanti, hingga akhirnya Mas Bian datang. Mas Bian adalah teman dari suami Mbak Mayang, kakak sepupuku. Ia datang dan menerima tawaran kami, serta berjanji akan menerima aku apa adanya.Pertama aku melihatnya, dia adalah sosok yang tampan, dan terlihat dari keluarga berkecukupan. Namun, hingga detik ini aku tak tahu kenapa orang seperti Mas Bian mau menutupi aib keluargaku, padahal jika dilihat dari fisik seharusnya dia mampu mendapat yang lebih dariku.Selama enam bulan pernikahan kami, meskipun tak ada kontak fisik diantara kami, Mas Bian memperlakukan aku dengan sangat sopan dan baik. Menganggap anakku sebagai anaknya sendiri. Bahkan, setiap malam rela memijat kakiku yang semakin hari terasa semakin berat dan pegal. Ya, kami sepakat untuk tidak berhubungan sampai anak ini lahir. Hingga akhirnya, dua minggu yang lalu, ia mengatakan ingin berpisah karena mencintai orang lain. Bukan mencintai, namun masih mencintai masa lalunya yang kandas terhalang oleh restu.Apa kebaikannya selama ini, karena dia sudah bermain di belakangku? Hah ... entah, aku pun tak tahu."Ibu? Biasanya Ibu jarang mengirim pesan, Nye? Apa ada yang penting?""Nggak, Mas. Ibu memintaku untuk berkunjung, kangen katanya.""Oh ... hai anak Papa. Sedang apa, Dek?" Mas Bian mendekatkan wajahnya di depan perutku yang sudah membesar seraya mengusapnya lembut. Benar-benar tak bisa kupercaya, seolah semua hanya mimpi, mimpi buruk saat aku mengingat bahwa sebentar lagi kami akan berpisah. Pria yang nyaris sempurna dan tak pernah meninggalkan kewajiban sebagai muslim ini, nyatanya masih bisa terlena oleh masa lalu."Apa dia rewel, Nye. Hari ini?" sambungnya tersenyum menatap lekat pada perutku.Aku menggeleng. "Nggak, Mas." Singkat aku menjawab, rasanya sudah tak ada yang bisa aku katakan di hadapan lelakiku ini."Nye, maafkan mas, yang nggak bisa menahan diri dan perasaan mas pada Luna. Mas ....""Jangan menyalahkan diri sendiri, Mas. Lagi pula pernikahan ini sudah salah dari awal, kan? Tidak seharusnya, Mas Bian bertanggung jawab atas janin yang bukan ....""Nye! Sudah berapa kali mas bilang, anak ini sudah mas anggap sebagai anak mas sendiri. Setelah ijab kabul itu, bahkan sampai kita sudah tak lagi bersama nanti, anak itu tetap berhak atas diriku. Aku akan tetap menjadi papa untuknya, Nye!" ucap Mas Bian marah. Sifatnya yang begitu peduli dan menyayangi kami itulah yang membuatku tak butuh waktu lama untuk jatuh cinta dan tak rela melepasnya untuk wanita lain. Namun sayang, cintaku tak bersambut. Mas Bian hanya mencintai Luna dan hanya ada Luna di hatinya.Tapi tak mengapa, aku harus tetap kuat meski hati ini remuk redam, aku harus tetap terlihat baik-baik saja, meski nyatanya luka itu sangat dalam."Mbak, Mas, duh, tambah mesra aja." Via, adik Mas Bian yang centil itu tiba-tiba datang dengan menepuk pundak kami, Via berhasil membuat kami terkejut dan terlonjat kaget."Via! Anyelir lagi hamil, kalau sampai jatuh karena kaget gimana?" sungut Mas Bian pada adik satu-satunya itu."He he, maaf, Mas.""Sadar juga kalau istri lagi hamil," sambung Via, lirih, namun terlihat begitu jelas lirikan tajam ke arah Mas Bian."Sama siapa kesini?" tanya Mas Bian mencubit hidung Via. Mereka memang sangat dekat, Via yang masih duduk di bangku SMA memang berjarak jauh usiannya dengan Mas Bian yang sudah menginjak 28 tahun."Nganterin Mama sama Papa, Mas.""Naik apa?""Mobil.""Sudah mas bilang, kamu belum cukup umur, jangan naik mobil.""Ya, mau gimana lagi. Kakakku sedang sibuk dengan selingkuhannya, sih," ceplos Via. Nampaknya Via sudah tau masalah kami juga."Via!" bentak Mas Bian."Mas! Sudah. Via, ayo masuk. Mbak mau ketemu Mama sama Papa," ucapku, sebelum mereka bertengkar dan masalah semakin runyam.Kugandeng Via masuk ke dalam rumah dan kutinggalkan Mas Bian yang masih mematung. "Bagaimana sekolahnya, Via?" tanyaku mengalihkan pembicaraan saat kulihat Via masih melirik kesal ke arah Mas Bian."Aman, Mbak. Mbak sendiri, sehat, kan? Keponakanku rewel nggak?""Nggak, Via."Via, gadis manis itu memang yang paling berani pada Mas Bian. Meski masih muda, namun Via mampu menempatkan diri. Buktinya, dia tau bahwa anak yang aku kandung ini bukanlah anak dari kakaknya, tapi dia tetap menganggap bahwa anak ini keponakannya. Keluarga ini sungguh baik padaku.Kami masuk dan segera menemui Mama yang sudah duduk di ruang tamu bersama Papa. Kukecup punggung tangan mereka bergantian. "Ma, Pa," sapaku tersenyum, Mama memelukku dan mengusap lembut punggungku."Sehat, Nye?" tanya Mama mertuaku tersenyum ramah, tangannya mengusap perut yang hanya tinggal menghitung beberapa bulan untuk lahiran."Alhamdulillah, Ma. Mama sama Papa sehat juga?""Sehat, Nye. Cuma akhir-akhir ini darah tinggi Papa sering kambuh. Gara-gara mikir suamimu yang tidak tahu diri itu," sahut Papa dengan nada sebal. Papa pernah terkena stroke dan bisa sembuh setelah melalui pengobatan yang cukup panjang. Namun, setelah itu beliau tidak banyak beraktifitas, bahkan untuk mengendarai mobil saja Mama melarang demi keselamatan semua karena tangan Papa sering kram dan kaku mendadak.Aku hanya bisa tersenyum simpul mendengar penuturan Papa."Nye, Mama bawain soto daging. Via bilang kamu mau makan soto. Tinggal diangetin aja, Nye. Mama juga bawa rendang buat Bian," kata Mama menunjuk pada rantang dan tas yang ada di meja."Ya ampun, Ma. Harusnya nggak perlu repot-repot.""Nggak repot kok, Nye. Mama seneng kalau bisa ngurus kamu di kehamilan kamu, Nye." Mama Lisa namanya. Beliau memang hanya seorang ibu mertua, namun kasih sayangnya sama seperti kasih sayang Ibu padaku. Apa nanti saat aku dan Mas Bian berpisah, aku bisa mendapat mertua seperti beliau? Ah, Anye, mikir apa. Siapa yang mau menikah sama seorang Anyelir coba?"Di mana Bian, Nye?" Mama bertanya seraya mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut ruangan, membuyarkan semua anganku tentang Mama mertua."Aku di sini, Ma." Mas Bian datang dari belakang bersamaan dengan berkumandangnya adzan maghrib. Menghampiri kami dan mengecup punggung tangan kedua orang tuanya."Nye, Bian. Kita Sholat maghrib dulu, setelah itu Mama sama Papa mau bicara," kata Mama serius. Aku bisa meraba apa yang akan mereka bahas. Pasti tidak jauh dari masalah rumah tanggaku dan Mas Bian yang sudah tidak bisa lagi dipertahankan.Aku pun bergegas menuju kamar, menjalankan sholat maghrib dengan Mas Bian. Tenang, hati ini rasanya nyaman tiap kali menjalankan ibadah bersamanya. Tapi sepertinya aku harus membuang jauh-jauh rasa nyaman itu sebelum semua berubah menjadi rasa sakit karena kami harus perpisahan dan rasa nyaman itu semakin besar, bisa dibayangkan seperti apa akibatnya jika aku terus memupuk rasa nyaman ini.Usai sholat kami jalankan, laki-laki yang ada di hadapanku ini pun tak pernah berubah, meski keinginannya untuk berpisah sudah bulat, ia tetap melantunkan surat Yusuf untuk anak yang ada di dalam kandunganku, yang diperkirakan berjenis kelamin laki-laki. Apa yang ia lakukan semakin membuatku berat untuk melepasnya. Namun apalah daya, hati akan selalu menjadi pemenang. Luna, beruntung sekali wanita itu bisa mendapatkan hati Mas Bian.Sesaat aku menatap nanar lelaki yang masih setia melantunkan surat Yusuf. Entah, apa yang ada di dalam pikirannya saat ini. Seharusnya tak perlu berbuat baik sedemikian rupa jika ingin berpisah. Hatiku terluka, hatiku basah, mata pun memanas.Segera aku beranjak agar air mata tak jatuh di depan laki-laki yang sudah memantapkan hati pada wanita lain. Dia yang sudah mantap untuk meninggalkanku."Nye," panggil Mas Bian saat aku berbalik dan hendak melangkah meninggalkan kamar.Cepat aku menghapus air mata yang masih menggenang, kemudian kutarik napas dalam agar suaraku tidak bergetar. "Ya, Mas.""Kemarilah, duduklah." Sekuat tenaga aku berbalik, Mas Bian sudah duduk bersila dan mengahadap ke arahku, bergeser sedikit lalu mengulurkan tangannya membantuku untuk duduk. Dengan kondisi perut sebesar ini memang lebih sulit jika harus duduk di bawah.Kami pun duduk bersama, di atas sajadah yang sama, yaitu milik Mas Bian."Nye, maafkan mas, ya. Kamu dan anak ini juga sangat penting untuk Mas, tapi ....""Perasaan Mas jauh lebih penting. Sudah cukup Mas mengorbankan perasaan demi menutupi aibku. Insyaallah, Anye ikhlas," sergahku. Hatiku basah, getaran di dalam dada pun semakin hebat. Sekuat tenaga aku mengatakan apa yang bertolakan dengan hati. Sungguh, aku tak rela jika harus berakhir seperti ini. Lelaki baik yang tak pernah sekalipun meninggikan suara meski amarah menyelimuti. Lelaki yang kurasa sempurna untuk dijadikan sebagai panutan keluarga kecilku itu, aku harus rela melepasnya untuk wanita lain.Hening."Apa Mas serakah, kalau Mas mau keduanya?" ucapnya dengan tatapan yang begitu dalam. Tatapan yang menunjukkan adanya luka yang dalam pula. Genggaman tangannya pun terasa begitu kuat, kebimbangan terlihat begitu jelas di wajah tampan itu.2. Tak mau dimaduMadu? Apa Mas Bian mengutarakan tentang keinginannya untuk menikahi Luna tanpa menceraikan aku? Mustahil, melihat Luna yang begitu tak sabar bahkan mampu mengatur jalannya persidangan agar cepat selesai maka sudah sangat jelas, jika menunggu proses persidangan saja dia sudah tak sabar, mana mungkin dia mau berbagi. Aku pun sama, lebih baik berpisah dari pada harus dimadu. Terlebih, madu dari suamiku adalah Luna, wanita cantik, masih perawan, berkarier sangat bagus, setia menunggu Mas Bian, dan tidak menjalin hubungan dengan laki-laki lain. Sampai ayah yang menentang hubungan mereka meninggal pun Luna masih menyendiri sampai akhirnya mereka kembali bersama, sungguh pengorbanan yang sangat luar biasa menurutku. Mungkin itu juga yang membuat Mas Bian semakin mencintainya, kesetiaan Luna teramat besar.Dari pengamatanku selama ini, cinta mereka terulang saat Mas Bian mendapat tawaran di perusahaan lain untuk menggantikan kepala divisi. Aku dengar mereka berada di bawah
3. KeputusanTak kuhiraukan bentakan itu. Kutinggalkan saja Mas Bian sendirian di dapur. Lantas aku membaur bersama Mama, Papa, dan Via di meja makan."Mbak, sini, duduk. Kita makan," ajak Via begitu aku datang, menarik kursi yang ada di sebelahnya untukku. Aku pun duduk di sebelah Via, sedang Mama dan Papa di depan kami. "Mana Bian?" tanya Mama seraya mengambil nasi untukku."Ada di dapur.""Bian!" teriak Papa memanggil Mas Bian tak sabar. Mungkin Papa sudah lapar."Iya." Mas Bian datang, masih dengan segelas air di tangannya. Melirik ke arahku sejenak kemudian beralih ke Papa dan Mama sebelum duduk di sebelahku.Segera kusiapkan nasi di piring Mas Bian, seperti biasa, aku masih setia melayani semua kebutuhan dan keperluannya termasuk melayaninya saat makan, meski aku dan dia akan berpisah. Setidaknya, aku tidak meninggalkan bekas luka jika aku tahu benar, luka itu menyakitkan."Mau rendang atau soto, Mas?" tanyaku lembut, anggap saja tak ada apa-apa meski hatiku tidak baik-baik sa
4. Pulang.Bisa aku rasakan, Mas Bian datang dan duduk di sisi sebelahku. "Nye ... apa kamu sudah tidur?" tanyanya lembut, mengusap rambut dan pundakku pun lembut. Aku bergeming, sebisa mungkin menahan kemarahan yang sudah memenuhi dada agar tidak keluar karena bisa saja menimbulkan luka baru."Mas tau kamu belum tidur, Nye. Maafkan mas, mas terpaksa melakukannya.""Apa karena Mas sudah meniduri Luna?" celetukku tanpa sadar. "Anyelir! Demi Allah, mas tidak segila itu. Mas masih waras dan tau dosa.""Apa berselingkuh itu bukan dosa?" "Maaf, Nye. Maaf. Mas sudah berusaha sekuat tenaga mengabaikan rasa itu, tapi mas selalu gagal." Bisa dibayangkan bagaimana rasanya hati ini saat suami sendiri mencintai wanita lain dengan begitu hebatnya? Seolah anak panah menancap tepat di jantungku saat Mas Bian mengatakan tak bisa menahan rasa cintanya pada Luna.Aku beranjak duduk, dengan sigap Mas Bian membantuku."Apa karena aku kurang cantik, pendidikanku putus di tengah jalan? Bukan wanita kari
5. Terluka lagiSelepas Mas Bian pergi, aku segera mengemasi semua barang-barangku dan memasukkannya ke dalam koper. Sebisa mungkin aku memasukkan semuanya, terutama barang yang penting. Karena aku sudah memutuskan untuk tidak lagi menginjakkan kakiku di rumah ini meski hanya untuk mengambil barang. Setelah semua beres aku segera memesan taksi, jadwal periksa kehamilan adalah jam 10. Kali ini aku memilih untuk tidak mengingatkan Mas Bian. Sudah waktunya aku belajar untuk mandiri karena setelah ini aku akan mengurus segala sesuatunya sendiri, bukan?Dari hasil pemerikasaan hari ini, dokter mengatakan bayiku sehat dan baik. Hanya saja tekanan darahku agak tinggi, dokter menyarankan agar aku tidak stress dan terlalu banyak pikiran. Dokter juga menanyakan di mana Mas Bian, tumben tidak ikut, padahal seharusnya dia ikut, agar bisa membantuku menurunkan tensi dan menjaga agar sang Ibu tetap dalam kondisi stabil. Ya, itu pandangan dokter, dokter tidak tahu bahwa justru suamiku sendirilah
POV Bian[ Mas, aku sudah berangkat bersama Pak Tarjo. Tidak perlu khawatir, aku sudah sampai. Makanan tinggal dipanaskan saja, sudah aku siapkan di lemari dapur. Tadi aku sudah periksa kehamilan dan semua baik. Tak perlu khawatir. Dan tak perlu menyempatkan diri atau terburu-buru jika memang masih sibuk dengan Luna. Aku sudah sampai dengan selamat.]"Tadi Anyelir menghubungiku, Lun?" tanyaku pada Luna setelah aku membuka pesan dari Anyelir dan memeriksa daftar panggilan masuk. Ada nama Anyelir di sana."Iya, Mas. Kamu masih di kamar mandi tadi. Aku mengangkatnya dan aku menyuruhnya meninggalkan pesan kalau ada yang penting." Astaga, pasti Anyelir berpikir yang tidak-tidak. Dia pasti marah karena sampai jam segini aku belum juga pulang. Aku bahkan lupa kalau ada jadwal periksa yang sebelumnya satu bulan sekali sekarang menjadi dua minggu sekali dan dia tidak memberi tahuku lagi. Fatal, hari ini aku melakukan kesalahan yang sangat besar."Aku pulang dulu, Lun.""Loh, Mas kan sudah jan
Setelah hampir satu jam perjalanan, aku pun meminggirkan mobil di depan toko kue Ibu. Tepat pukul 10 malam aku sampai. Kulihat lampu rumah masih menyala tertanda mereka masih belum tidur.Kuketuk pintu perlahan, semoga ada yang berkenan untuk membuka. Aku cukup tahu diri dengan kesalahanku, kalaupun mereka tidak mau membuka aku memaklumi dan aku akan menunggu di teras atau mobil sampai besok pagi ada yang keluar.Kuketuk kembali setelah beberapa saat kulihat dari kaca jendela, Ibu keluar dari kamar Anyelir. Kamar Anyelir menghadap ke arah jendela depa, sehingga aku bisa melihat dengan jelas karen gorden juga belum ditutup. Ibu pun menoleh ke arahku dan berjalan membuka pintu."Assalamualaikum," sapaku begitu Ibu membuka pintu kemudian kuraih dan kukecup punggung tangannya."Waalaikumsalam, Nak Bian, mari masuk," jawabnya tersenyum ramah. Bu Lestari namanya, wanita paruh baya yang berparas cantik dan teduh itu menyambutku hangat setelah sedemikian rupa aku menyakiti putri semata waya
POV AnyelirSebuah tangan kokoh memeluk tubuhku saat aku terbangun di sepertiga malam. Dari aroma parfum yang bercampur dengan keringat, aku tahu benar siapa yang sedang memelukku. Aku menoleh sebentar, Mas Bian masih dengan kemeja kerjanya sedang terlelap di belakangku, sejak kapan dia ada di sini? Dan untuk apa? Rasanya aku sudah lelah dengan peperangan, berperang dengan hati lebih melelahkan dibanding perang antar fisik.Kupindahkan tangan yang sebentar lagi juga akan memeluk wanita lain di setiap malamnya itu. Kemudian kuambil air wudhu sebelum kubentangkan sajadah. Melakukan sholat malam agar hati lebih ikhlas menerima segala yang akan terjadi setelah ini. Tanganku menengadah setelah sholat kujalankan. Berdoa, semoga aku bisa ikhlas dan kuat menerima semua yang sudah ditetapkan. Jika Mas Bian memang bukan jodohku maka ajari aku untuk ikhlas, namun jika memang dia Engkau ciptakan untukku maka permudah kami untuk bersatu kembali meski hati sudah tak lagi utuh, aku akan mencoba men
"Apa maksudmu, Nye?""Mas, kalau kamu ingin aku dan anak ini selamat. Pergilah!" ancamku, sudah cukup aku gila melihat kegilaan mereka. Sudah waktunya aku tegas pada diri sendiri. Aku harus kuat dan aku harus tetap tegar demi Ibu juga demi anak ini."Biantara!" Teriakan Mas Arya memekakkan telinga, ia datang dari rumah yang tidak jauh dari rumahku bersama Mbak Mayang. Terlihat jelas dadanya naik turun dengan mata membulat sempurna dan rahang mengeras. "Mana janjimu, apa yang kamu lakukan setelah apa yang kamu dapatkan, Bian?!" Mas Arya mencengkeram kerah baju Mas Bian, mendorong mundur Mas Bian hingga tubuhnya membentur mobil."Ya, maaf, aku tau aku salah.""Aku memberikan adikku padamu, untuk kau bahagiakan bukan kau campakkan. Kalau seperti ini akan lebih baik jika Anyelir tidak usah menikah!" Bugh! Pukulan tajam pun mendarat di pipi Mas Bian hingga ujung bibirnya terluka dan mengeluarkan sedikit darah. Sontak aku dan Mbak Mayang pun berteriak. "Mas Arya, cukup. Sudah, Mas, sud
Besoknya mereka benar-benar kembali ke Bali tentu saja rumah kembali sepi. Sebelum pergi, mereka mempersiapkan seorang asisten rumah tangga baru dari agensi resmi untuk membantu Anyelir mengurus rumah dan Nizam. Malam harinya, aku memenuhi janji. Datang ke tempat yang sudah Anyelir beritahu sore tadi. Sepulang dari rumah sakit, aku meluncur ke sana karena Anyelir sudah menunggu katanya. Aku senang, sedikit demi sedikit dia mulai kembali mengenal dunia luar. Tidak lagi acuh dan enggan. Bahkan malam ini begitu mengejutkan. Dia sendiri yang menginginkan untuk makan di luar. Sungguh mencengangkan dan juga di luar dugaan.Setelah mobil terparkir di halaman restoran. Aku bergegas masuk, kucari keberadaan Anyelir dan kutemukan dia di meja paling ujung dekat jendela. Kulangkahkan kaki mendekatinya. Dia menoleh ke arahku dan berdebar lah jantungku saat melihat wajah dengan polesan yang membuatnya tampak begitu berbeda, sangat cantik. Penampilannya semakin sempurna dengan balutan gamis indah
POV Megantara[Bang, aku baik-baik saja. Aku akan mengantar Renata ke Bali. Thanks atas kesempatan dan aku tahu semua adalah siasatmu.]Kusunggingkan senyum setelah membaca pesan dari Denis yang entah sudah berapa hari menghilang dan sempat membuat kami sekeluarga kelimpungan. Sengaja, aku tidak ikut menemuinya, memberi waktu untuknya agar bisa bersama Renata yang entah kenapa tidak pernah bisa melihat cinta yang begitu besar dari Denis untuknya sejak dulu sampai sekarang, sedangkan Denis yang malang justru memilih diam dan tidak tahu bagaimana cara mengungkapkan perasaan.Aku tahu, meski telah bersama Tita, Denis belum sepenuhnya melupakan Renata. Keputusannya yang tiba-tiba, degan mudah menerima Tita tanpa pikir panjang pun aku yakin hanya karena pada saat itu dia sedang putus asa. Awalanya aku mengira dia juga sudah mati rasa. Tapi, ketika kami kembali dipertemukan di tempat yang sama, aku menangkap tatapannya pada Renata tidak berubah, tetap sama, penuh cinta. Namun, aku juga tah
Tepuk tangan menyambut begitu kami turun. "Hebat, Mas, keren," ucap mereka yang ada di lokasi pada Denis."Sip," kata Denis menunjukkan jari jempol.Keren? Apa yang keren? Menurutku justru sangat menyedihkan, tak ada teriak kebahagiaan yang harusnya aku lakukan di atas sana apa lagi perasaan bebas seperti elang, melainkan beban berat menghimpit dadaku karena sikap Denis yang terkesan acuh dan berubah, tenggelam memikirkan Tita.Aku bergegas meninggalkan mereka yang masih terlihat sibuk dengan parasut dan sabuk pengaman. Hari sudah mulai petang, sudah saatnya untuk pulang. Hari ini sudah cukup untuk menjadi kenangan."Ren, mau ke mana?" Denis berlari mengikuti langkahku."Pulang, kamu bilang kan setelah terbang cepetan pulang. Lagi pula tiket penerbanganku ke New York tinggal beberapa hari lagi, aku harus ke Bali dulu, ketemu mama sama papa. Setidaknya aku sudah memastikan kalau kamu baik-baik saja, masih sehat," jawabku melanjutkan langkah. Namun, langkahku harus terhenti karena tan
POV RenataSudah hampir satu minggu aku mencarinya dan baru bisa menemukannya di sini, tempat yang sam sekali tidak ada dalam pemikiran kami sebelumnya. Sebuah tempat yang lumayan jauh dari keramaian. Entah, sudah berapa tempat di Jakarta hingga Bandung yang aku, Megantara, dan Om Hakam datangi hanya untuk menemukan pria yang saat ini sedang berada di atas sana, menikmati alam merayakan kebebasan atau mungkin juga sedang menghibur diri. Kami menemukan keberadaannya dari unggahan Instagram yang dia unggah, yang memperlihatkan pemandangan perbukitan dengan caption-nya 'Bebas'. Kemudian kami mencari tahu detail dari gambar tersebut. Di sinilah aku, di gunung Banyak kota Batu Malang. Megantara tidak ikut hari ini karena istrinya sedang kurang enak badan. Tapi dia tetap mau aku menemui Denis. Ya, kami bertiga memang sangat dekat, dia sangat khawatir dengan adiknya mungkin. Sehingga memaksaku untuk datang ke tempat yang menurutku lumayan jauh.Aku tahu ini tidak mudah. Kehilangan dua h
POV BiantaraDengan berakhirnya sidang berarti kewajibanku pun telah berakhir. Aku bisa lebih tenang sekarang, karena Megantara selamat dari ancaman atas tuduhan pencemaran nama baik termasuk aku, karena pada kenyataanya aku juga lah yang melaporkan atas tindakan penculikan Anyelir, sebab, pada saat itu Megantara tidak ada di tempat, jadi jikalau Megantara masuk penjara aku pun sama.Hari ini akta ceraiku dengan Luna sudah dikirim melalui kuasa hukum yang aku tunjuk. Semua sudah berakhir, tak ada lagi yang tersisa. Kami benar-benar sudah berakhir dan ini aku nikmati sebagai bentuk dari segala karma atas perbuatan dan status yang sempat aku sematkan pada wanita yang tanpa aku sadari mampu membuat hatiku berdenyut sakit setiap melihatnya bersama laki-laki lain. Wanita yang membuat hatiku teriris setiap melihatnya menangis. Aku telah menjanda kan Anyelir dan sekarang aku didudakan oleh Luna. Apa lagi kalau bukan karma yang dibayar tunai?Kuketuk pintu bercat putih setelah penjaga memberi
Pintu kamar ditutup dengan kasar menimbulkan debar di dalam dada karena keterkejutan. Aku memutar badan sambil mengusap dada pelan, setelah sebelumnya melangkah masuk kamar terlebih dahulu. Kemudian memutar bola mata mencari jawaban apa yang terjadi pada wanita yang saat ini menatap nyalang ke arahku. Kuangkat dagu seraya menyipitkan mata bertanya. "Kenapa?""Kenapa? Tadi kamu bilang apa? Mas Bian kucing? Kalau Mas Bian kucing terus kamu apa? Buaya?" tanyanya sambil marah-marah."Buaya? Buaya apa, sih?!" Aku balik bertanya karena merasa kurang begitu paham. Bukan kurang tapi memang tidak paham."Kalau bukan buaya apa namanya lelaki yang suka deketin wanita lain begitu ada kesempatan? Nggak mau rugi," ucapnya penuh penekanan."Apa sih, Anye? Kamu kalau Biantara ngomong langsung aja masuk otak kiri nggak keluar-keluar, klop banget.""Mau balik melempar kesalahan, ni, romannya," sindirnya."Enggak, orang aku ngga deketin ngapain? Jangan cemburu gitu, ah," candaku."Bukan cemburu, tapi m
Sekarang yang menjadi pertanyaanku adalah bagaimana mungkin hasil tes DNA itu tidak cocok? Siapa yang mereka bayar untuk mengotak-atik hasil tes itu?Ruang sidang kembali riuh. Jeritan, tangisan terdengar begitu menyedihkan. Tangis orang tua Ervan, istri yang kemudian memilih meninggalkan ruangan, dan juga tangis Renata yang pecah begitu hakim meninggalkan ruang sidang disusul Ervan yang dibawa keluar dari ruang sidang menuju tahanan. Denis dan Nando berusaha menenangkan Renata yang terlihat begitu terpukul atau bahkan menyesal atas keputusannya menjadi saksi. Entah.Tapi, aku tahu, bagaimana perasaan ketiganya. Wanita paruh baya itu melangkah maju ke arah kami dengan derai air mata setelah sang suami digelandang petugas untuk dimintai keterangan. Biantara bangkit kemudian menghadang. Langkah wanita itu pun terhenti, menatap ke arah Biantara dengan tatapan sendu kemudian tatapan itu berubah menjadi permohonan dalam bisu."Kita pulang," Papa datang setelah melepas seragam hitam khas
"Ambil anak itu diam-diam, jangan sampai ketahuan. Kirim ke luar negeri, bawa kembali kalau dia sudah dewasa dengan identitas baru."Terdengar isakan dari bangku keluarga terdakwa. Selain Anyelir, wanita lain yang sudah pasti sangat terluka pada bagian ini adalah istri Ervan, Alana. Bagaimana tidak? Seorang wanita yang sudah menemani bahkan memberikan buah hati seakan tidak ada nilainya hanya karena anak yang dilahirkan perempuan. Di mana nurani mereka sebagai suami dan kakek? Bukankah bisa mencobanya lagi untuk kembali mendapatkan anak laki-laki, mereka masih muda. Lagi pula bukankah wanita atau laki-laki itu sama saja? Banyak di luar sana wanita-wanita hebat yang sukses melebihi kesuksesan laki-laki dan bukankah laki-laki juga terlahir diri rahim seorang wanita? Lalu kenapa mereka menganggap remeh wanita?Suara gemerisik kembali terdengar, kali ini rekaman diganti dengan rekaman yang dipasang oleh Renata di kantor Om Winata. Awalnya hanya terdengar suara sepatu dan gesekan kerta
Di kursi saksi, Renata mulai berbicara, sesekali ia menghela napas. Mengurangi ketegangan, mungkin. Aku sangat mengerti apa yang dia rasakan. Biar bagaimana pun mereka adalah keluarga, memilih antara keluarga dan keadilan tentu sangat sulit sekaligus membuatnya dilema."Beberapa bulan lalu setelah acara pernikahannya di Bali. Megantara menemui saya. Menceritakan tentang istrinya. Awalnya saya sangat tersentuh dan iba. Hingga pada akhirnya, dia mengatakan bahwa dia mencurigai saudara saya, Ervan. Meminta bantuan saya untuk menyelidiki Ervan diam-diam. Saya sempat marah. Biar bagaimana pun juga, Ervan adalah sepupu saya, tentu saya tidak terima. Akhirnya saya mengiyakan, tapi dengan niat agar Megantara tau bahwa saudara saya tidak demikian. Pada saat itu saya benar-benar yakin bahwa Ervan orang baik. Dengan percaya diri saya menyelidiki Ervan dengan berbagai cara." ucap Renata sambil sesekali menghapus sudut matanya. Sedangkan Ervan menunduk dalam. Mungkin dia tidak menyangka Renata