3. Keputusan
Tak kuhiraukan bentakan itu. Kutinggalkan saja Mas Bian sendirian di dapur. Lantas aku membaur bersama Mama, Papa, dan Via di meja makan."Mbak, sini, duduk. Kita makan," ajak Via begitu aku datang, menarik kursi yang ada di sebelahnya untukku. Aku pun duduk di sebelah Via, sedang Mama dan Papa di depan kami."Mana Bian?" tanya Mama seraya mengambil nasi untukku."Ada di dapur.""Bian!" teriak Papa memanggil Mas Bian tak sabar. Mungkin Papa sudah lapar."Iya." Mas Bian datang, masih dengan segelas air di tangannya. Melirik ke arahku sejenak kemudian beralih ke Papa dan Mama sebelum duduk di sebelahku.Segera kusiapkan nasi di piring Mas Bian, seperti biasa, aku masih setia melayani semua kebutuhan dan keperluannya termasuk melayaninya saat makan, meski aku dan dia akan berpisah. Setidaknya, aku tidak meninggalkan bekas luka jika aku tahu benar, luka itu menyakitkan."Mau rendang atau soto, Mas?" tanyaku lembut, anggap saja tak ada apa-apa meski hatiku tidak baik-baik saja."Mas bisa ambil sendiri, Nye," tolak Mas Bian, mengambil sendok sayur dari tanganku, tampaknya dia masih marah atas ucapanku di dapur barusan."Bian!" sentak Papa."Nggak papa, Pa. Mungkin Mas Bian sedang melatih diri tanpa Anye. Lagi pula setelah ini Anyelir akan pulang ke rumah Ibu, jadi Mas Bian harus banyak-banyak latihan, kan dia akan di rumah ini sendiri sebelum pernikahannya dengan Luna," sindirku, cepat Mas Bian meletakkan sendok sayur itu kasar kemudian berdecak kesal."Bisa nggak, Nye, nggak bahas Luna! Dan kamu akan tetap tinggal bersamaku sampai anak ini lahir. Toh proses persidangan akan memakan waktu kurang lebih 6 bulan, kan?" sentak Mas Bian menatapku tajam. Dia tidak tahu, apa yang diharapkan dan dititahkan pujaan hatinya padaku tentang proses perceraian kami."Akan lebih baik kalau kalian tidak bercerai, Bian!" celetuk Mama."Ma ....""Ma, Mas, tidak baik berdebat di depan makanan. Lebih baik makan dulu," ucapku menengahi sebelum mereka beradu pendapat di meja makan dan masalah semakin runyam."Benar kata Anyelir. Makanlah dulu. Setelah itu Papa mau bicara di ruang tengah," sambung Papa membenarkan ucapanku.Kami pun makan malam tanpa suara, hanya ada suara sendok dan piring menemani makan malam kami.***Seperti perintah Papa, kami berkumpul di ruang tengah, kecuali Via. Mama menyuruh Via untuk pulang ke rumah karena besok harus sekolah. Sedangkan Mama dan Papa rencananya akan menginap dan pulang besok pagi.Aku dan Mas Bian duduk bersisian di sofa ruang keluarga, sedang Mama dan Papa duduk di depan kami.Tak lama kemudian Papa pun membuka suara."Kalian pasti tahu, apa yang mau Papa tanyakan dan sampaikan. Kalian sudah dewasa. Bian, Papa tahu perceraian ini atas keinginanmu, kamu sudah curang terhadap Anyelir. Kamu bermain api dengan wanita lain. Papa harap kamu sadar dan kembali pada istrimu.""Papa, Luna bukan wanita lain, Papa tau pasti siapa Luna." Dengan entengnya Mas Bian membela Luna di hadapanku, sadarkah dia bahwa dia telah menyakitiku?"Papa tahu, tapi yang paling benar sekarang, Anyelir lah istrimu, dia yang lebih penting dibanding apapun. Masih ingatkah kamu, bagaimana kamu memohon untuk menikah dengan Anyelir? Apa kamu lupa?""Papa tahu pasti alasannya.""Kalau begitu kembalikan rumah dan uang Anyelir, Bian!" sambung Mama."Ambil juga nyawa Papa, karena Anyelir lah yang menyelamatkannya. Uangnya lah yang menyelamatkan Papa, untuk pengobatan Papa!""Oke, Bian akan mengembalikan uang Anyelir.""Hah, sombong sekali kamu Bian! Apa karena posisi kamu sudah bagus sekarang? Sehingga kamu meremehkan Anyelir?!" Papa bertanya dengan meninggikan suara. Mas Bian hanya melirik sekilas ke arahku lalu menundukkan wajahnya, diam tak menjawab."Cukup, Mas, Ma, Pa. Bisakah tidak membahas uang di hadapanku?""Nye." Mas Bian meraih tanganku, menggenggamnya erat. Aku pun menepisnya."Cukup, Mas. Mas Bian sudah menjalankan janjinya, jika pada akhirnya di tengah jalan Mas Bian terlena, itu semua di luar kendali, kan. Tidak perlu mengembalikan uang, mengembalikannya berarti sama saja menginjak-injak harga diriku yang sudah jatuh untuk kesekian kalinya. Lupakan masalah uang."Uang? Tidak bisakah mereka meraba betapa sakitnya hatiku? Mengapa harus membahas perkara uang di hadapanku? Rasanya aku sungguh tidak berharga, seolah mereka menekankan bahwa aku dinikahi karena uang. Terjawab sudah pertanyaanku. Rupanya Mas Bian membutuhkan uang saat itu untuk menyelamatkan rumah dan biaya pengobatan Papa."Sudah kubilang, Ma, Pa, membahas masalah ini hanya akan membuat hati Anyelir semakin sakit! Biarlah masalah ini Bian sendiri yang menyelesaikan!" bentak Mas Bian. Air mataku pun luruh seketika."Nye, maafkan Mama ya, Sayang. Mama sama sekali tidak ada niatan untuk itu. Mama hanya ingin membuka mata Bian, agar sadar akan kesalahannya selama ini," ucap Mama dengan wajah penuh penyesalan. Ya, sebetulnya aku tau maksud Mama baik, hanya saja hatiku ini sudah terlalu sakit sehingga sedikit saja kata-kata tidak mengenakkan di telinga kudengar, bisa berdampak besar."Bian, pikirkan kembali keputusanmu sebelum kamu menyesal. Apa kurangnya Anyelir? Cantik, baik, dan selalu taat padamu," ucap Mama beralih pada Mas Bian."Nggak usah membahasnya, Anyelir ... tidak mau dimadu!" terang Mas Bian."Apa, Mas? Kamu mau menikah denganku tanpa meninggalkan Anyelir?" Tiba-tiba Luna masuk tanpa salam atau permisi. Sama dengan Luna, kami pun terkejut dengan penuturan Mas Bian. Aku kira dia tidak serius dengan celotehnya sehabis maghrib tadi."Luna?" Mas Bian beranjak dari sebelahku menghampiri pujaan hatinya. Entah, apa yang dilakukannya di sini. Aku hanya bisa diam, seolah sedang melihat drama romantis, di hadapanku, Mas Bian berusaha menenangkan Luna yang terlihat begitu marah oleh ucapan Mas Bian."Jadi wanita seperti ini yang kamu harapkan menggantikan Anyelir, Bian? Pantas saja, masuk ke dalam rumah saja tanpa salam atau permisi makanya mudah sekali baginya masuk ke dalam rumah tangga orang tanpa permisi." Sindiran pedas Mama begitu tajam terlontar untuk Luna. Membuat Mas Bian terlihat sangat marah."Ma, Luna tidak seperti itu. Luna kesini juga untuk mengambil dokumen," bela Mas Bian."Tidak ada wanita baik yang mau merusak rumah tangga orang lain, Bian. Mereka lebih terhormat jika mengubur dan memendam rasa cinta pada suami orang, dari pada merebutnya!" terang Mama begitu penuh penekanan."Aku cinta sama Luna, Ma. Aku hanya mencintai Luna.""Benarkah? Tidak kah ada rasa untuk Anyelir? Mama nggak yakin, Bian!"Mas Bian bergeming, aku semakin sesak melihat suamiku yang dengan sigapnya melindungi wanita lain di hadapanku. Menyatakan cinta seolah aku tidak bukanlah siapa-siapa."Mas Bian sudah melamar dan meminta saya pada Mama, Tante!" seloroh Luna.Degh! Degh! Degh! Jantungku berdebar begitu hebat mendengar penuturan dari Luna yang amat mencengangkan. Jadi, sudah sejauh ini Mas Bian bermain di belakangku? Melamar wanita lain pada ibunya saat masih berstatus menjadi suamiku? Tidak sabarkah dia menunggu sampai sidang perceraian? Inikah jawaban dari pertanyaan yang masih aku raba selama ini? Sakit, sangat sakit rasanya menerima kenyataan yang baru saja aku dengar."Benar, Bian?!" bentak Papa.Mas Bian masih bergeming, kediamannya itu sudah cukup menjadi jawaban atas pertanyaan Papa."Keterlaluan kamu! Plak!" Tamparan Papa akhirnya jatuh di pipi Mas Bian yang masih saja mematung atas pertanyaan Papa.Aku beranjak, tak tahan rasanya jika harus terus berada di sana, mual, bahkan rasanya ingin muntah saja mendengar pengakuan Luna."Anye permisi. Anye capek, mau istirahat.""Nye, Anye. Mas bisa jelasin, Nye." Mas Bian menahanku untuk pergi dengan mencekal tangan yang sudah terasa sangat dingin ini."Mas!" Suara lantang Luna memanggil Mas Bian, aku tahu dia melarang Mas Bian untuk bersamaku."Sebentar, Lun. Aku antar Anyelir masuk dulu, ya."Aku tersenyum getir. Tak bisa aku percaya, suamiku justru meminta ijin pada wanita lain meski hanya untuk mengantar aku, istrinya sendiri?"Aku bisa sendiri, Mas. Mas selesaikan saja pekerjaan Mas dengan Luna." Kulepaskan tangannya dari tanganku. Sudah cukup aku menyaksikan hal yang membuat aku semakin sakit dan hancur. Cepat aku melangkah memasuki kamar dengan terus mengucap istighfar, agar amarahku bisa tertahan dan tidak keluar. Aku harus tetap tenang, tetap menjaga harga diri. Sebagai wanita aku sudah terinjak-injak oleh perbuatan mereka, tak mau lagi semakin jatuh dengan marah yang tak akan ada gunanya, karena hanya akan membuatku semakin terlihat tidak berharga, memepertahankan lelaki yang sudah tidak ada keinginan untuk untuk membersamaiku.Kututup pintu, Air mata pun kembali harus jatuh, lagi-lagi aku harus menelan pahitnya kenyataan bahwa suamiku sudah sangat jauh bertindak, melamar wanita lain di belakangku. Kupegang dada yang terasa sesak, sesak yang teramat menyiksa.Dengan sempoyongan aku meraih bibir ranjang lantas duduk di sana r dengan air mata yang terus menganak sungai. Aku sakit, hatiku perih, berharap dengan menangis aku bisa lebih lega.Kuraih benda pipih persegi panjang yang kuletakkan di atas nakas, sudah saatnya aku mengambil keputusan.Kucari kontak Ibu, kemudian kutekan tombol hijau."Halo, assalamualaikum, Sayang," jawab Ibu dari seberang sana, dengan penuh kelembutan."Waalaikumsalam, Bu. Bu, apa Anye boleh ke rumah Ibu? Kapan Pak Tarjo bisa menjemput Anye?" tanyaku, sebisa mungkin aku tahan agar suaraku tidak bergetar."Ke rumah Ibu?""Anye lelah, Bu. Anye sudah lelah." Aku tergugu, tak bisa lagi menahan, penat sudah aku rasakan."Anye, sudah, Nduk. Kalau tidak kuat, menyerah tidak apa-apa. Jangan terlalu stress, ingat, kamu itu sedang mengandung. Ini rumah kamu, Nduk. Pintu rumah ibu akan selalu terbuka untukmu, kamu anak ibu satu-satunya. Tapi jangan lupa minta ijin suamimu, biar bagaimana pun juga Bian masih berhak atas kamu, Nduk.""Hem, apa Pak Tarjo senggang besok?""Kebetulan besok Pak Tarjo ada kiriman pesanan kue di dekat rumahmu, Nye." Sejak kepergian Ayah beberapa bulan yang lalu, toko kue yang dimiliki Ibu sebelum Ayah meninggal berkembang semakin pesat, tentu karena kerja keras Ibu. Ibu seorang yang pekerja keras, seharusnya uang pensiun Ayah sudah bisa mencukupi kebutuhan Ibu, namun Ibu tak mau berhenti bekerja. Kalau berhenti hanya akan teringat pada Ayah terus katanya. Ya, Ayah mengalami gagal jantung tiga bulan setelah aku dan Mas Bian menikah."Ya sudah, suruh Pak Tarjo mampir, menjemput Anye.""Nye, apa Bian tidak mengantarmu?"Aku terdiam, bagaimana mau mengantar jika besok saja dia sudah janji mengantar wanitanya."Mas Bian sedang sibuk akhir-akhir ini, Anye nggak mau mengganggunya," jawabku beralasan."Ya sudah, ibu kasih tau Pak Tarjo. Ingat ya, Nye. Jangan berkecil hati. Ibu selalu ada untukmu, Sayang."Beberapa waktu yang lalu Ibu menghubungi, sebetulnya aku tidak memberi tahu tentang hal ini terlebih dahulu, namun Mama Lisa, besannya yang tak lain dan tak bukan adalah Mama Mas Bian terlebih dulu menghubungi Ibu dan memberi tahu Ibu tentang masalah kami.Niat Mama Lisa mungkin ingin mencari solusi bersama, namun semua gagal karena Mas Bian sudah tergila-gila pada wanitanya. Tentu saja awalnya Ibu kaget, tapi lama-lama ibu menerima keputusanku."Iya, Bu. Assalamualaikum."Setelah berbicara dengan Ibu, hatiku merasa lebih tenang. Tak peduli apa yang dilakukan dan terjadi di luar sana. Aku harus tenang, aku sadar menjaga kewarasan itu penting, aku pun membentangkan sajadah, menumpahkan segala keluh kesah di atas sajadah. Aku tahu kemana harus datang dan mengadu saat hati benar-benar dilanda nestapa.Setelah semakin tenang, aku pun merebahkan tubuhku di ranjang dengan posisi miring. Miring tentu lebih nyaman bagi wanita hamil besar sepertiku. Mas Bian belum juga kembali setelah sekian lama, mungkin saja dia sedang membujuk dan merayu Luna yang merajuk.Kucoba menutup mata dan telinga, berusaha mengistirahatkan pikiran, namun sulit, hati tak bisa berbohong. Meski ragaku ingin melupakan, akan tetapi hati dan pikiran tetap saja berkeliaran, memikirkan suamiku yang tengah bersama wanita lain.Lamat-lamat kudengar suara langkah kaki dan pintu di buka perlahan. Segera aku memejamkan mata agar tak ada lagi pembahasan yang bisa saja akan membuat hatiku terkoyak lagi dan lagi4. Pulang.Bisa aku rasakan, Mas Bian datang dan duduk di sisi sebelahku. "Nye ... apa kamu sudah tidur?" tanyanya lembut, mengusap rambut dan pundakku pun lembut. Aku bergeming, sebisa mungkin menahan kemarahan yang sudah memenuhi dada agar tidak keluar karena bisa saja menimbulkan luka baru."Mas tau kamu belum tidur, Nye. Maafkan mas, mas terpaksa melakukannya.""Apa karena Mas sudah meniduri Luna?" celetukku tanpa sadar. "Anyelir! Demi Allah, mas tidak segila itu. Mas masih waras dan tau dosa.""Apa berselingkuh itu bukan dosa?" "Maaf, Nye. Maaf. Mas sudah berusaha sekuat tenaga mengabaikan rasa itu, tapi mas selalu gagal." Bisa dibayangkan bagaimana rasanya hati ini saat suami sendiri mencintai wanita lain dengan begitu hebatnya? Seolah anak panah menancap tepat di jantungku saat Mas Bian mengatakan tak bisa menahan rasa cintanya pada Luna.Aku beranjak duduk, dengan sigap Mas Bian membantuku."Apa karena aku kurang cantik, pendidikanku putus di tengah jalan? Bukan wanita kari
5. Terluka lagiSelepas Mas Bian pergi, aku segera mengemasi semua barang-barangku dan memasukkannya ke dalam koper. Sebisa mungkin aku memasukkan semuanya, terutama barang yang penting. Karena aku sudah memutuskan untuk tidak lagi menginjakkan kakiku di rumah ini meski hanya untuk mengambil barang. Setelah semua beres aku segera memesan taksi, jadwal periksa kehamilan adalah jam 10. Kali ini aku memilih untuk tidak mengingatkan Mas Bian. Sudah waktunya aku belajar untuk mandiri karena setelah ini aku akan mengurus segala sesuatunya sendiri, bukan?Dari hasil pemerikasaan hari ini, dokter mengatakan bayiku sehat dan baik. Hanya saja tekanan darahku agak tinggi, dokter menyarankan agar aku tidak stress dan terlalu banyak pikiran. Dokter juga menanyakan di mana Mas Bian, tumben tidak ikut, padahal seharusnya dia ikut, agar bisa membantuku menurunkan tensi dan menjaga agar sang Ibu tetap dalam kondisi stabil. Ya, itu pandangan dokter, dokter tidak tahu bahwa justru suamiku sendirilah
POV Bian[ Mas, aku sudah berangkat bersama Pak Tarjo. Tidak perlu khawatir, aku sudah sampai. Makanan tinggal dipanaskan saja, sudah aku siapkan di lemari dapur. Tadi aku sudah periksa kehamilan dan semua baik. Tak perlu khawatir. Dan tak perlu menyempatkan diri atau terburu-buru jika memang masih sibuk dengan Luna. Aku sudah sampai dengan selamat.]"Tadi Anyelir menghubungiku, Lun?" tanyaku pada Luna setelah aku membuka pesan dari Anyelir dan memeriksa daftar panggilan masuk. Ada nama Anyelir di sana."Iya, Mas. Kamu masih di kamar mandi tadi. Aku mengangkatnya dan aku menyuruhnya meninggalkan pesan kalau ada yang penting." Astaga, pasti Anyelir berpikir yang tidak-tidak. Dia pasti marah karena sampai jam segini aku belum juga pulang. Aku bahkan lupa kalau ada jadwal periksa yang sebelumnya satu bulan sekali sekarang menjadi dua minggu sekali dan dia tidak memberi tahuku lagi. Fatal, hari ini aku melakukan kesalahan yang sangat besar."Aku pulang dulu, Lun.""Loh, Mas kan sudah jan
Setelah hampir satu jam perjalanan, aku pun meminggirkan mobil di depan toko kue Ibu. Tepat pukul 10 malam aku sampai. Kulihat lampu rumah masih menyala tertanda mereka masih belum tidur.Kuketuk pintu perlahan, semoga ada yang berkenan untuk membuka. Aku cukup tahu diri dengan kesalahanku, kalaupun mereka tidak mau membuka aku memaklumi dan aku akan menunggu di teras atau mobil sampai besok pagi ada yang keluar.Kuketuk kembali setelah beberapa saat kulihat dari kaca jendela, Ibu keluar dari kamar Anyelir. Kamar Anyelir menghadap ke arah jendela depa, sehingga aku bisa melihat dengan jelas karen gorden juga belum ditutup. Ibu pun menoleh ke arahku dan berjalan membuka pintu."Assalamualaikum," sapaku begitu Ibu membuka pintu kemudian kuraih dan kukecup punggung tangannya."Waalaikumsalam, Nak Bian, mari masuk," jawabnya tersenyum ramah. Bu Lestari namanya, wanita paruh baya yang berparas cantik dan teduh itu menyambutku hangat setelah sedemikian rupa aku menyakiti putri semata waya
POV AnyelirSebuah tangan kokoh memeluk tubuhku saat aku terbangun di sepertiga malam. Dari aroma parfum yang bercampur dengan keringat, aku tahu benar siapa yang sedang memelukku. Aku menoleh sebentar, Mas Bian masih dengan kemeja kerjanya sedang terlelap di belakangku, sejak kapan dia ada di sini? Dan untuk apa? Rasanya aku sudah lelah dengan peperangan, berperang dengan hati lebih melelahkan dibanding perang antar fisik.Kupindahkan tangan yang sebentar lagi juga akan memeluk wanita lain di setiap malamnya itu. Kemudian kuambil air wudhu sebelum kubentangkan sajadah. Melakukan sholat malam agar hati lebih ikhlas menerima segala yang akan terjadi setelah ini. Tanganku menengadah setelah sholat kujalankan. Berdoa, semoga aku bisa ikhlas dan kuat menerima semua yang sudah ditetapkan. Jika Mas Bian memang bukan jodohku maka ajari aku untuk ikhlas, namun jika memang dia Engkau ciptakan untukku maka permudah kami untuk bersatu kembali meski hati sudah tak lagi utuh, aku akan mencoba men
"Apa maksudmu, Nye?""Mas, kalau kamu ingin aku dan anak ini selamat. Pergilah!" ancamku, sudah cukup aku gila melihat kegilaan mereka. Sudah waktunya aku tegas pada diri sendiri. Aku harus kuat dan aku harus tetap tegar demi Ibu juga demi anak ini."Biantara!" Teriakan Mas Arya memekakkan telinga, ia datang dari rumah yang tidak jauh dari rumahku bersama Mbak Mayang. Terlihat jelas dadanya naik turun dengan mata membulat sempurna dan rahang mengeras. "Mana janjimu, apa yang kamu lakukan setelah apa yang kamu dapatkan, Bian?!" Mas Arya mencengkeram kerah baju Mas Bian, mendorong mundur Mas Bian hingga tubuhnya membentur mobil."Ya, maaf, aku tau aku salah.""Aku memberikan adikku padamu, untuk kau bahagiakan bukan kau campakkan. Kalau seperti ini akan lebih baik jika Anyelir tidak usah menikah!" Bugh! Pukulan tajam pun mendarat di pipi Mas Bian hingga ujung bibirnya terluka dan mengeluarkan sedikit darah. Sontak aku dan Mbak Mayang pun berteriak. "Mas Arya, cukup. Sudah, Mas, sud
Sudah satu bulan lebih sejak kepergian Mas Bian bersama Lun a pagi itu, sejak itu juga aku mengganti nomor ponsel. Aku memantapkan hati untuk menutup diri dari Mas Bian. Kadang Mas Bian masih menghubungi lewat ponsel Ibu. Namun, aku meminta Ibu untuk bicara saja, asal jangan denganku.Mas Bian belum kesini setelah kepergiannya. Mungkin wanita itu sudah menguasainya sekarang. Aku juga tau dari sosial media bahwa Luna sudah menyiapkan pernikahannya dengan Mas Bian sedemikian rupa, bahkan persidangan pun baru berjalan meski aku tidak datang, tapi Luna sudah kegirangan."Selamat pagi, Cantik," sapa Mbak Mayang yang sudah siap dengan seragam serba putihnya. Ya, Mbak Mayang adalah seorang perawat di sebuah rumah sakit terbesar di daerah kami. Senang melihatnya. Hebat, sedang aku? Lulus saja tidak."Pagi anaknya Bude Menik.""Nye, ikut Mbak, yuk.""Kemana?" "Ke tempat kerja, Mbak. Ada dokter kandungan baru. Masih muda, gantengnya ... Subhanallah. Dijamin betah kalau konsultasi." Aku terseny
"Halah, kebetulan aja. Dokter anak tunggal, nggak mungkin kayak di sinetron yang ternyata saudara dari Biantara. Mereka jauh lah, setia sama peselingkuh mah kelasnya beda." Mbak Mayang memang suka ceplas ceplos kalau bicara, terutama kalau sudah menyangkut Mas Bian. Kebenciannya sudah sampai ke ubun-ubun. Mungkin dia tidak enak karena bagaimanapun juga yang membawa dan memperkenalkan Mas Bian adalah Mas Arya, suaminya. Meski aku dan Ibu tidak mempermasalahkan, tapi Mbak Mayang dan Mas Arya masih saja tidak enak dan kerap meminta maaf pada kami."Anyelir Prabandari Nugroho." Namaku dipanggil oleh petugas setelah belum lama aku mendudukkan diri di kursi tunggu."Lah, Mbak, Mbak main belakang ya? Kasihan lo yang lain," protesku pada Mbak Mayang."Nggak, Nye, Mbak ambil nomor, Mbak minta tolong temen Mbak. Ayo buruan. Mbak sudah nggak sabar ingin tahu keadaanmu yang sudah telat kontrol."Mbak Mayang dengan tak sabarnya masuk ke dalam ruangan seolah dia lah yang hamil."Pagi, Dok," sapa M
Besoknya mereka benar-benar kembali ke Bali tentu saja rumah kembali sepi. Sebelum pergi, mereka mempersiapkan seorang asisten rumah tangga baru dari agensi resmi untuk membantu Anyelir mengurus rumah dan Nizam. Malam harinya, aku memenuhi janji. Datang ke tempat yang sudah Anyelir beritahu sore tadi. Sepulang dari rumah sakit, aku meluncur ke sana karena Anyelir sudah menunggu katanya. Aku senang, sedikit demi sedikit dia mulai kembali mengenal dunia luar. Tidak lagi acuh dan enggan. Bahkan malam ini begitu mengejutkan. Dia sendiri yang menginginkan untuk makan di luar. Sungguh mencengangkan dan juga di luar dugaan.Setelah mobil terparkir di halaman restoran. Aku bergegas masuk, kucari keberadaan Anyelir dan kutemukan dia di meja paling ujung dekat jendela. Kulangkahkan kaki mendekatinya. Dia menoleh ke arahku dan berdebar lah jantungku saat melihat wajah dengan polesan yang membuatnya tampak begitu berbeda, sangat cantik. Penampilannya semakin sempurna dengan balutan gamis indah
POV Megantara[Bang, aku baik-baik saja. Aku akan mengantar Renata ke Bali. Thanks atas kesempatan dan aku tahu semua adalah siasatmu.]Kusunggingkan senyum setelah membaca pesan dari Denis yang entah sudah berapa hari menghilang dan sempat membuat kami sekeluarga kelimpungan. Sengaja, aku tidak ikut menemuinya, memberi waktu untuknya agar bisa bersama Renata yang entah kenapa tidak pernah bisa melihat cinta yang begitu besar dari Denis untuknya sejak dulu sampai sekarang, sedangkan Denis yang malang justru memilih diam dan tidak tahu bagaimana cara mengungkapkan perasaan.Aku tahu, meski telah bersama Tita, Denis belum sepenuhnya melupakan Renata. Keputusannya yang tiba-tiba, degan mudah menerima Tita tanpa pikir panjang pun aku yakin hanya karena pada saat itu dia sedang putus asa. Awalanya aku mengira dia juga sudah mati rasa. Tapi, ketika kami kembali dipertemukan di tempat yang sama, aku menangkap tatapannya pada Renata tidak berubah, tetap sama, penuh cinta. Namun, aku juga tah
Tepuk tangan menyambut begitu kami turun. "Hebat, Mas, keren," ucap mereka yang ada di lokasi pada Denis."Sip," kata Denis menunjukkan jari jempol.Keren? Apa yang keren? Menurutku justru sangat menyedihkan, tak ada teriak kebahagiaan yang harusnya aku lakukan di atas sana apa lagi perasaan bebas seperti elang, melainkan beban berat menghimpit dadaku karena sikap Denis yang terkesan acuh dan berubah, tenggelam memikirkan Tita.Aku bergegas meninggalkan mereka yang masih terlihat sibuk dengan parasut dan sabuk pengaman. Hari sudah mulai petang, sudah saatnya untuk pulang. Hari ini sudah cukup untuk menjadi kenangan."Ren, mau ke mana?" Denis berlari mengikuti langkahku."Pulang, kamu bilang kan setelah terbang cepetan pulang. Lagi pula tiket penerbanganku ke New York tinggal beberapa hari lagi, aku harus ke Bali dulu, ketemu mama sama papa. Setidaknya aku sudah memastikan kalau kamu baik-baik saja, masih sehat," jawabku melanjutkan langkah. Namun, langkahku harus terhenti karena tan
POV RenataSudah hampir satu minggu aku mencarinya dan baru bisa menemukannya di sini, tempat yang sam sekali tidak ada dalam pemikiran kami sebelumnya. Sebuah tempat yang lumayan jauh dari keramaian. Entah, sudah berapa tempat di Jakarta hingga Bandung yang aku, Megantara, dan Om Hakam datangi hanya untuk menemukan pria yang saat ini sedang berada di atas sana, menikmati alam merayakan kebebasan atau mungkin juga sedang menghibur diri. Kami menemukan keberadaannya dari unggahan Instagram yang dia unggah, yang memperlihatkan pemandangan perbukitan dengan caption-nya 'Bebas'. Kemudian kami mencari tahu detail dari gambar tersebut. Di sinilah aku, di gunung Banyak kota Batu Malang. Megantara tidak ikut hari ini karena istrinya sedang kurang enak badan. Tapi dia tetap mau aku menemui Denis. Ya, kami bertiga memang sangat dekat, dia sangat khawatir dengan adiknya mungkin. Sehingga memaksaku untuk datang ke tempat yang menurutku lumayan jauh.Aku tahu ini tidak mudah. Kehilangan dua h
POV BiantaraDengan berakhirnya sidang berarti kewajibanku pun telah berakhir. Aku bisa lebih tenang sekarang, karena Megantara selamat dari ancaman atas tuduhan pencemaran nama baik termasuk aku, karena pada kenyataanya aku juga lah yang melaporkan atas tindakan penculikan Anyelir, sebab, pada saat itu Megantara tidak ada di tempat, jadi jikalau Megantara masuk penjara aku pun sama.Hari ini akta ceraiku dengan Luna sudah dikirim melalui kuasa hukum yang aku tunjuk. Semua sudah berakhir, tak ada lagi yang tersisa. Kami benar-benar sudah berakhir dan ini aku nikmati sebagai bentuk dari segala karma atas perbuatan dan status yang sempat aku sematkan pada wanita yang tanpa aku sadari mampu membuat hatiku berdenyut sakit setiap melihatnya bersama laki-laki lain. Wanita yang membuat hatiku teriris setiap melihatnya menangis. Aku telah menjanda kan Anyelir dan sekarang aku didudakan oleh Luna. Apa lagi kalau bukan karma yang dibayar tunai?Kuketuk pintu bercat putih setelah penjaga memberi
Pintu kamar ditutup dengan kasar menimbulkan debar di dalam dada karena keterkejutan. Aku memutar badan sambil mengusap dada pelan, setelah sebelumnya melangkah masuk kamar terlebih dahulu. Kemudian memutar bola mata mencari jawaban apa yang terjadi pada wanita yang saat ini menatap nyalang ke arahku. Kuangkat dagu seraya menyipitkan mata bertanya. "Kenapa?""Kenapa? Tadi kamu bilang apa? Mas Bian kucing? Kalau Mas Bian kucing terus kamu apa? Buaya?" tanyanya sambil marah-marah."Buaya? Buaya apa, sih?!" Aku balik bertanya karena merasa kurang begitu paham. Bukan kurang tapi memang tidak paham."Kalau bukan buaya apa namanya lelaki yang suka deketin wanita lain begitu ada kesempatan? Nggak mau rugi," ucapnya penuh penekanan."Apa sih, Anye? Kamu kalau Biantara ngomong langsung aja masuk otak kiri nggak keluar-keluar, klop banget.""Mau balik melempar kesalahan, ni, romannya," sindirnya."Enggak, orang aku ngga deketin ngapain? Jangan cemburu gitu, ah," candaku."Bukan cemburu, tapi m
Sekarang yang menjadi pertanyaanku adalah bagaimana mungkin hasil tes DNA itu tidak cocok? Siapa yang mereka bayar untuk mengotak-atik hasil tes itu?Ruang sidang kembali riuh. Jeritan, tangisan terdengar begitu menyedihkan. Tangis orang tua Ervan, istri yang kemudian memilih meninggalkan ruangan, dan juga tangis Renata yang pecah begitu hakim meninggalkan ruang sidang disusul Ervan yang dibawa keluar dari ruang sidang menuju tahanan. Denis dan Nando berusaha menenangkan Renata yang terlihat begitu terpukul atau bahkan menyesal atas keputusannya menjadi saksi. Entah.Tapi, aku tahu, bagaimana perasaan ketiganya. Wanita paruh baya itu melangkah maju ke arah kami dengan derai air mata setelah sang suami digelandang petugas untuk dimintai keterangan. Biantara bangkit kemudian menghadang. Langkah wanita itu pun terhenti, menatap ke arah Biantara dengan tatapan sendu kemudian tatapan itu berubah menjadi permohonan dalam bisu."Kita pulang," Papa datang setelah melepas seragam hitam khas
"Ambil anak itu diam-diam, jangan sampai ketahuan. Kirim ke luar negeri, bawa kembali kalau dia sudah dewasa dengan identitas baru."Terdengar isakan dari bangku keluarga terdakwa. Selain Anyelir, wanita lain yang sudah pasti sangat terluka pada bagian ini adalah istri Ervan, Alana. Bagaimana tidak? Seorang wanita yang sudah menemani bahkan memberikan buah hati seakan tidak ada nilainya hanya karena anak yang dilahirkan perempuan. Di mana nurani mereka sebagai suami dan kakek? Bukankah bisa mencobanya lagi untuk kembali mendapatkan anak laki-laki, mereka masih muda. Lagi pula bukankah wanita atau laki-laki itu sama saja? Banyak di luar sana wanita-wanita hebat yang sukses melebihi kesuksesan laki-laki dan bukankah laki-laki juga terlahir diri rahim seorang wanita? Lalu kenapa mereka menganggap remeh wanita?Suara gemerisik kembali terdengar, kali ini rekaman diganti dengan rekaman yang dipasang oleh Renata di kantor Om Winata. Awalnya hanya terdengar suara sepatu dan gesekan kerta
Di kursi saksi, Renata mulai berbicara, sesekali ia menghela napas. Mengurangi ketegangan, mungkin. Aku sangat mengerti apa yang dia rasakan. Biar bagaimana pun mereka adalah keluarga, memilih antara keluarga dan keadilan tentu sangat sulit sekaligus membuatnya dilema."Beberapa bulan lalu setelah acara pernikahannya di Bali. Megantara menemui saya. Menceritakan tentang istrinya. Awalnya saya sangat tersentuh dan iba. Hingga pada akhirnya, dia mengatakan bahwa dia mencurigai saudara saya, Ervan. Meminta bantuan saya untuk menyelidiki Ervan diam-diam. Saya sempat marah. Biar bagaimana pun juga, Ervan adalah sepupu saya, tentu saya tidak terima. Akhirnya saya mengiyakan, tapi dengan niat agar Megantara tau bahwa saudara saya tidak demikian. Pada saat itu saya benar-benar yakin bahwa Ervan orang baik. Dengan percaya diri saya menyelidiki Ervan dengan berbagai cara." ucap Renata sambil sesekali menghapus sudut matanya. Sedangkan Ervan menunduk dalam. Mungkin dia tidak menyangka Renata