Tiga makhluk di belakang Palaka semua memakai jubah dengan penutup kepala. Sama dengan jubah yang dipakai para tetua dunia bawah. Berwarna coklat tua dengan tali ulir yang melilit di pinggang. "Nayara, putri Manendra. Akhirnya kau datang lagi ke rimba ini. Nyalimu besar juga. Apalagi untuk ukuran manusia dari atas. Tapi aku tidak mau mengotori tanganku dengan membunuhmu. Mereka bertiga saja aku rasa cukup untuk menjadi lawan tanding kalian." Palaka membalikkan badannya. Memberikan instruksi kepada ketiga prajuritnya. Tidak terdengar apa yang mereka bicarakan. Ketiga makhluk itu menarik tali di pinggang mereka. Melepaskan jubah dan melemparkannya ke tanah. Wajah-wajah itu tidak lagi bersembunyi di balik penutup kepala. Tubuh mereka dipenuhi sisik. Tersusun rapi seperti lapisan luar tubuh pangolin. Masing-masing berwarna kehijauan, keemasan dan kemerahan. Nay yakin tubuh mereka tidak mudah ditembus. Sisik di tubuh mereka terlihat keras dan kokoh. Rambut panjang mereka diikat ke bela
"Kau ambil alih selubung ini Wira. Gabungkan energimu dengan Agnimaya. Pertahankan selubung ini sampai aku selesai.""Apa yang akan kau lakukan, Nay?" tanya Agni. "Lihat saja nanti." Nay menyentuhkan telapak tangannya pada punggung Wira. Meneruskan selubung energi padanya. Sejurus kemudian telapak tangan Wira dan Agnimaya telah bersatu. Nay bersimpuh. Tangannya meraba tanah. Dia sedang membaca banyak energi pohon-pohon di Rimba Arana. Dia ingin mengunci mereka ke dasar bumi agar Palaka tidak bisa membuat mereka tercerabut dari tanah. Tangan kiri Nay mengirimkan energi ke dalam tanah. Menyebarkannya ke seluruh rimba. Saling bertalian mengikat akar-akar pohon di sana. Dengan satu mantra pengunci mereka akan tetap tertancap di tanah. Palaka yang sedang sibuk melakukan serangan tidak lagi sempat memperhatikan gerak-gerik Nay. "Kalian berdua bersiaplah melepaskan selubung ini. Aku akan melepaskan energi penuh untuk menghancurkan batang-batang pohon ini. Melesatlah ke udara secepat yang
Agnimaya merubah bentuknya menjadi naga, begitupun teman-temannya kembali ke bentuk samaran. Agnimaya melingkar di atas batu besar tak jauh dari tubuh Palaka yang sudah tidak bernyawa. "Agnimaya." Salah satu dari makhluk yang datang menyapa. "Cendra Dewi ... lama tidak berjumpa. Hormatku untukmu." Agnimaya membungkukkan tubuhnya. Makhluk cantik itu tersenyum membalas penghormatan Agni.Mereka berbincang-bincang dengan bahasa yang tidak Nay mengerti. Mata Wira tidak berkedip melihat makhluk cantik yang disebut Agni dengan nama Cendra Dewi itu. Bagaimana tidak, matanya yang membulat bening dengan dagu yang runcing begitu sempurna membuat mata tak ingin berpaling.Di punggungnya terdapat sayap kupu-kupu berwarna hijau bergradasi dengan corak hitam dan kuning yang terlihat serasi dan menawan, dengan sepasang kakinya yang jenjang. Sungguh perempuan cantik yang sedap dipandang. "Cantik ya, Wira?" Nay sengaja menggoda Wira. "Nanti aku tanyakan apakah dia masih jomlo. Jarang-jarang kita ke
"Maaf bila mengganggu kalian. Aku hanya mampir sebentar. Di luar hujan." Tidak ada jawaban. Semua hening. Sepertinya mereka tidak berani mendekat. "Nayara." Akhirnya satu dari mereka bersuara."Iya, aku. Kalian mengenalku?""Tentu. Makhluk seperti kami banyak yang pernah bersinggungan denganmu, dan itu menyebar dari mulut ke mulut." Perempuan berambut panjang tergerai melayang mendekati Nay. "Semoga kedatanganmu ke sini bukan untuk mengusir kami," sambungnya lagi. "Sudah kukatakan tadi, aku hanya mampir." Nay melangkah ke ruang tengah. "Lumayan besar juga tempat ini. Aku mau lihat-lihat saja. Sepertinya ada sesuatu di sini dan aku ingin tahu. Oh iya nama kamu siapa?" tanya Nay pada perempuan yang membuntutinya. "Aku Sarah. Sudah lama di sini, bahkan sebelum rumah ini ada." "Oh, begitu." Nay membalas singkat. Kakinya terus melangkah sampai pada ruang paling belakang rumah itu. Nay merasakan ada energi yang berbeda di sudut dapur. "Jangan ke sana!" Sarah setengah berteriak mencega
Tanpa membuang waktu mahluk itu menyerang Nay dengan menghunuskan tombaknya. Gerakan makhluk itu sudah terbaca oleh Nay. Dia bisa menghindar dengan cepat. Nay meraih batu seukuran tangannya yang banyak tergeletak di sekitar kubangan. Kini dua telapak tangan Nay mencengkram lempengan batu. Ujung tombak pasti tidak bisa menembusnya. Satu serangan kembali dilakukan, lebih tinggi dari serangan pertama. Ke arah kepala Nay. Dengan perhitungan kecepatan yang tepat mata tombak berhasil Nay patahkan. Dua tangan Nay dengan lempeng batu keras menangkap ujungnya dan saling berbenturan. Bukan hanya tombak yang patah, kedua lempeng pada tangan Nay juga terbelah. Dia membenturkannya sekuat tenaga. Sekarang posisi mereka sama. Tanpa senjata. "Tidak semudah itu bukan?" Kepercayaan diri Nay telah kembali. "Ahhh, jangan banyak bicara!" Sebuah tendangan lurus mendatar mendarat tepat di perut Nay. Namun kedua telapak tangan Nay masih sempat menghalaunya. Dengan kuda-kuda yang kokoh. Tubuh Nay tidak b
"Bagaimana kalau Wira dan Gantari serta orang-orang yang kau cintai semua meninggalkanmu?""Setiap ada yang datang pasti akan ada yang pergi. Aku pasti akan sedih. Menangis berhari-hari mungkin. Tidak mengapa. Seperti kata Bu Mien, tidak perlu takut sendiri, nanti mati pun kita sendiri.""Kau terlalu percaya diri, Nay!""Bukankah ini tujuanmu membawaku ke sini? Agar aku percaya pada diriku sendiri. Tidak harus selalu bergantung pada orang lain. Iya, kan?"Perempuan itu tidak menjawab. Dinding labirin yang mengelilingi Nay perlahan menghilang. Kini dia telah berdiri di tempat semula. Tangga ke bawah kini terarah ke atas. Nay mendongak. Terlihat sebuah portal untuk kembali. Nay tidak buru-buru menaiki tangganya. Dia masih penasaran siapa perempuan di balik suara-suara itu. "Sudah selesai kah ini?" tanya Nay dengan suara lantang. "Sudah, Nay." Suara perempuan itu terdengar dari belakangnya. Dia menoleh lalu mendekat memandangi perempuan itu. "Kenapa? Kau melihat apa?""Kau adalah dirik
Wira mendudukkan Nay pada batu itu. Membetulkan posisinya agar tubuh Nay tetap tegak. Dia duduk mengambang di depan Nay. Menahan tubuhnya seperti yang dilakukannya tadi. "Bertahanlah, Nay." Wira membetulkan rambut Nay yang berantakan. Mata Nay terus terpejam. Tidak ada suara yang keluar dari mulutnya. Tubuhnya tidak bergerak sama sekali. Raja Affandra duduk mengambang dengan posisi bersila. Dia memperhatikan luka mengangga di punggung Nay, kemmudian menyentuhnya. Terlihat mulutnya merapal sesuatu. Sepertinya ia sedang membuat suatu energi. "Bagaimana batu Astramaya bisa mengenai, Nay?" tanya raja Affandra pada Wira."Nay terhisap ke sebuah portal dimensi lain. Kami tidak bisa berkomunikasi dengannya. Jadi kami tidak tahu hal apa yang terjadi di sana.""Lalika," ucap raja Affandra pelan."Apakah yang Mulia mengenalnya? Nay sempat menyebut namanya tadi," tanya Wira. "Dimensi mimpi. Lalika membawanya ke sana. Sepertinya dia sengaja melakukan ini agar Nay tahu seperti apa hebatnya ba
Saat memasuki toko tidak ada yang aneh. Wajar selayaknya sebuah toko dengan aktivitas jual beli pada umumnya. Mungkin kabar burung itu hanya sekedar berita yang dibesar-besarkan. Pak Rahmat membawa Nay ke belakang toko. Di sana ada sebuah rumah yang cukup besar dengan desain minimalis yang cukup apik. Warna abu-abu mendominasi rumah itu. “Ini rumah yang mau direnovasi.” Pak Rahmat menunjuk rumah di depan mereka. “Mumpung yang ngontrak baru saja pindah. Saya mau bikin tampak depan yang berbeda dari ini. Lantai rumah dan susunan ruang juga mau saya rubah. Supaya kelihatan beda saja.”“Padahal ini sudah bagus loh, Pak,” sahut Nay. “Tidak apa, saya suka dengan suasana baru. Ini kuncinya. Tidak apa ya saya tinggal. Nanti pegawai saya menyusul ke sini menemani, Mbak Nay.” “Gak apa, Pak. Saya berani sendiri kok. Nanti kalau saya sudah selesai saya kembalikan ke Bapak kuncinya.” Nay, memasukkan kunci rumah itu ke dalam tas selempangnya. “Baiklah, kalau ada apa-apa langsung telepon saya.
Nay mengangguk. "Aku yakin orang-orang seperti kita sudah merasakan energi gelap yang semakin menyebar. Kalau dibiarkan dunia kita akan dikuasai kegelapan.""Kita tidak bisa hanya diam saja. Jujur, aku sangat kecewa dengan pilihan kakakku. Memalukan dan pasti merugikan dunia bawah.""Mungkin dengan bekerja sama dengan mereka, kakakmu bisa mewujudkan mimpinya menjadi satu-satunya penguasa dunia bawah.""Aku sekarang mengerti kenapa bejana itu diberikan padaku. Ayah dan ibu sepertinya sudah tahu tabiat anak laki-lakinya." Wajah Suri berubah muram. "Aku berharap kakakku bisa kembali pada tanggung jawabnya pada Banyuputih sebelum terlambat."Perlahan Nay menepuk pundak Suri. "Aku lapar. Kau mau mi instan?"Suri tersenyum kecil. "Seandainya makanan yang kau sebut mi instan itu bisa kumakan pasti tidak kutolak. Boleh aku di sini saja?""Mau menginap di sini pun boleh, Suri."Nay berjalan ke dapur mengambil mi instan cup yang cukup diseduh dengan air panas dari dispenser. Sambil menunggu mi
"Ada apa Nona ingin bicara dengan saya?" tanya istri Tuan Hansen. "Sebelumnya terima kasih Nyonya sudah bersedia menemui saya. Benar saya bicara dengan Nyonya Adhisti?""Iya, betul. Saya Adhisti.""Ini soal Bastian, Nyonya.""Bastian malang. Dia masih menunggu di rumah itu, bukan?"Kening Nay sedikit berkerut. Ia tidak menduga Nyonya Adhisti tahu tentang keberadaan putranya. "Iya, Nyonya. Saya bertemu dengan Bastian dan saya berjanji untuk mempertemukan Nyonya dengan dia.""Hansen membawa saya ke sini karena menganggap jiwa saya terganggu. Berhalusinasi tentang Bastian secara berlebihan. Hansen mengira saya gila. Dia sama sekali tidak percaya. Tapi saya punya cara lain. Memintanya merenovasi rumah itu.""Semesta merangkum doa. Setelah sekian lama menunggu, akhirnya Bastian akan bertemu Nyonya. Selama ini dia mengira, Nyonya marah dan membencinya. "Saya tahu Bastian masih ada di rumah itu. Saya ingin dia pergi dengan tenang. Saya juga sudah belajar ikhlas melepasnya." Manik mata Nyo
Nay tidak tahu mengapa pikiran tentang dark force membuatnya merasa panas dan tidak nyaman. Cukup lama ia berdiri di depan jendela apartemennya dengan mata memperhatikan langit yang terlihat suram. Seharusnya ia lebih peka bukan malah abai seperti yang dilakukannya belakangan ini. Berhenti menjadi seorang Nayara rasanya memang tidak mungkin. Ia dibutuhkan untuk berkontribusi pada bumi tempatnya berdiri. Dark force tidak main-main. Sebarannya cepat tetapi tidak terlihat. Mempengaruhi atmosfer kehidupan manusia sampai ke hal-hal yang paling kecil. Semakin banyak di media sosial jari-jari manusia menuliskan kata-kata kasar, makian dan hinaan yang ditujukan kepada manusia lain hanya karena ketidaksukaan. Kasus perundungan yang berujung kematian pun semakin banyak terjadi. Korupsi, perampasan hak, intoleransi dan masih seabrek persoalan lain yang semakin memprihatinkan. Disadari atau tidak semua itu bisa mengakibatkan ketidakseimbangan berskala besar. "Selama masih ada doa manusia yang
Setelah menyelesaikan tugasnya, Nay berpamitan pulang. Ekspresi wajah Tuan Hansen berubah muram. Sangat berbeda dengan raut wajahnya saat Nay datang. Hampir bisa dipastikan penyebabnya adalah pertanyaan Nay tentang anak lelakinya. "Pak Bos sudah kenal lama dengan Tuan Hansen?" tanya Nay begitu ia sampai di ruangan Pak Oey. "Lumayan lama. Kenapa, Nay?""Istrinya apa masih ada, Pak?""Setahu saya masih. Sejak kematian anak laki-lakinya, dia mengalami guncangan mental. Menurut desas-desus sampai sekarang masih seperti itu.""Jiwa anak lelaki Tuan Hansen masih menunggu mamanya di rumah itu. Saya tidak mungkin mengabaikannya, Pak.""Mungkin beberapa kenalan bisa membantu memberikan informasi. Nanti saya infokan ke kamu, Nay. Saya ada urusan di luar. Kau periksa berkas ini, kalau sudah selesai kau bebas." Pak Oey mengambil tumpukan berkas dari atas meja kemudian memberikannya pada Nay. "Baik, Bos." Nay menerima berkas tersebut lalu masuk ke ruangannya. Nay memeriksa berkas yang diberika
"Maaf kalau pertanyaan saya membuat Tuan Hansen teringat tentang masa lalu," ujar Nay. Matanya bergerak ke arah jendela. Ia melihat bocah lelaki yang belum ia ketahui namanya itu sedang berdiri memandangi papanya dari balik kaca jendela. "Silakan Nona mengecek area ini. Saya kedalam dulu." Tuan Hansen berbicara tanpa menoleh ke arah Nay. Ia kemudian melangkah masuk dari pintu yang sama. Nay melambaikan tangan dan membuka komunikasi dengan putra Tuan Hansen. Ia meminta bocah itu keluar. Ia ingin mendengar langsung apa yang sebenarnya terjadi sebelum mencari tahu sendiri. "Kita belum kenalan. Siapa namamu?" tanya Nay mengusap bangku besi yang menempel di dinding pagar beton sekadar untuk menyingkirkan debu dan kotoran. "Bastian. Mama biasa memanggilku Tian," jawab bocah itu sambil melongok ke dalam kolam renang. Ia berhenti beberapa saat lalu berjalan menghampiri Nay yang sudah duduk di bangku sambil memeriksa ponselnya. "Duduklah di samping Kakak. Kita ngobrol-ngobrol sebentar." N
Nay dan Rey memutuskan untuk menunda pernikahan sampai hati satu sama lain sudah merasa benar-benar yakin. Setidaknya dibutuhkan waktu beberapa bulan untuk saling melihat ke diri masing-masing. Mereka menyibukkan diri dengan aktivitas keseharian seperti biasa. Nay tetap dengan profesinya begitu pula Rey. Mereka sengaja membuat intensitas pertemuan menjadi sedikit. Cukup satu minggu sekali. "Apa kau yakin cara ini ampuh, Nay? Bukankah semakin jarang bertemu akan semakin jauh," tanya Sri yang sedang bersandar di lemari memperhatikan Nay. "Antara yakin dan tidak," jawab Nay sambil mengundurkan rambutnya di depan kaca wastafel. "Menurutku terlalu beresiko kalau kalian saling menjauh seperti sekarang. Yang ada ikatan batin kalian jadi longgar.""Kalau akhirnya semakin longgar artinya kami tidak berjodoh.""Enteng bener ngomong begitu. Kau harus ingat Nay, perjuangan kalian itu berat. Sudah sampai sejauh ini malah pisah.""Kalau memang itu takdirnya, kami bisa apa, Sri."Sri mendesah pe
"Sekarang kau sudah tahu, Nay. Jadi, bagaimana selanjutnya?" Akhirnya Rey membuka pembicaraan setelah beberapa menit mereka tidak mengatakan apa-apa. Nay mendesah pelan lalu meletakkan cangkirnya di atas nakas. "Aku tidak bisa menjawabnya sekarang. Aku perlu berpikir dengan tenang agar keputusan yang kuambil tidak kusesali nantinya.""Aku tidak akan memaksamu menjawabnya sekarang. Yang kau butuhkan saat ini adalah Istirahat. Kalau perlu apa-apa, telepon saja," kata Rey. Ia lalu berdiri tetapi ketika hendak melangkah, Nay memegang pergelangan tangannya. Pria itu menoleh. "Di sini saja. Banyak hal yang ingin aku tanyakan." Nay mendongak, melihat ke arah mata Rey. Tanpa berkata apa pun, Rey kembali duduk. Ia sejujurnya senang Nay menahannya. "Bertanyalah, aku akan menjawabnya dengan jujur." Suara Rey datar dan tenang. "Kenapa kau melakukan ini?" tanya Nay dengan intonasi suara yang sama dengan Rey. "Mungkin bagimu terdengar klise, tapi aku melakukan ini semua karena cinta. Walaupun
Sudwika tidak mengelak untuk tidak mengiakan pertanyaan Nay. Karena memang kenyataannya seperti itu. "Begitu pentingkah kekuasaan bagi kalian para penguasa dunia bawah? Apa kalian terbiasa memanfaatkan orang lain untuk mencapai tujuan?" tanya Nay tidak suka. "Ini bukan tentang kekuasaan tapi keseimbangan dunia bawah, Nay.""Keseimbangan seperti apa lagi? Alasan yang sudah pernah kudengar dan terkesan kalian buat-buat saja." Nay mendesah kasar. "Kembalikan aku ke duniaku. Masih ada urusanku dengan Rasendriya yang tidak perlu orang lain ikut campur.""Aku mengatakan yang sebenarnya, Nay. Naga sasra harusnya dibenamkan di dalam bejana emas milik ayahku agar energinya tetap. Tidak besar juga tidak kecil. Seimbang." Sudwika berusaha meyakinkan Nay. "Entahlah, aku sudah sulit mempercayai para penguasa. Di mulut berucap manis, tapi kenyataan terkecap pahit.""Sekarang kita pergi ke tempat di mana kau menancapkan naga sasra. Kau lihat dan rasakan apakah energi kerusi itu masih ada atau sud
Sebuah anak panah terlihat melesat dan tepat mendarat di samping Nay. Berpendar membawa untaian cahaya yang seketika berpendar menerangi sekitar. Ujung runcingnya menyentuh lapisan air yang membeku hingga menimbulkan suara retakan yang merambat cepat. Dari bentuk dan energinya, anak panah itu bulan milik Wirabadra. Bersamaan dengan retaknya lapisan es, jiwa Nay mulai bisa bergerak. Walaupun belum leluasa ia sudah bisa menggunakan jemarinya untuk mengumpulkan energi. Ia tetap harus waspada. Terlebih berada di tempat yang asing dengan sedikit cahaya yang membuat jarak pandangnya terbatas. "Akhirnya kau berada di Banyuputih, Nayara." Suara seorang laki-laki terdengar begitu dekat. Nay, berusaha bangkit dengan susah payah. Energinya belum cukup untuk melenturkan tubuhnya. Ya, pada dimensi lain jiwa terlihat tak ubahnya seperti tubuh kasar yang sebenarnya. "Apakah Anda raja Sudwika?" tanya Nayara setelah melihat dengan jelas sosok yang berdiri hanya beberapa jengkal darinya. "Kau menge