Saat memasuki toko tidak ada yang aneh. Wajar selayaknya sebuah toko dengan aktivitas jual beli pada umumnya. Mungkin kabar burung itu hanya sekedar berita yang dibesar-besarkan. Pak Rahmat membawa Nay ke belakang toko. Di sana ada sebuah rumah yang cukup besar dengan desain minimalis yang cukup apik. Warna abu-abu mendominasi rumah itu. “Ini rumah yang mau direnovasi.” Pak Rahmat menunjuk rumah di depan mereka. “Mumpung yang ngontrak baru saja pindah. Saya mau bikin tampak depan yang berbeda dari ini. Lantai rumah dan susunan ruang juga mau saya rubah. Supaya kelihatan beda saja.”“Padahal ini sudah bagus loh, Pak,” sahut Nay. “Tidak apa, saya suka dengan suasana baru. Ini kuncinya. Tidak apa ya saya tinggal. Nanti pegawai saya menyusul ke sini menemani, Mbak Nay.” “Gak apa, Pak. Saya berani sendiri kok. Nanti kalau saya sudah selesai saya kembalikan ke Bapak kuncinya.” Nay, memasukkan kunci rumah itu ke dalam tas selempangnya. “Baiklah, kalau ada apa-apa langsung telepon saya.
Siapa dia?” Pak Rahmat berusaha menutupi keterkejutannya. “Saya tidak pernah mendengar perempuan baju merah.” “Kok, Bapak tahu si baju merah itu perempuan. Tadi saya tidak menyebutnya.”Pak Rahmat terjebak dengan kalimatnya sendiri. “Kata orang-orang sini memang perempuan. Saya sendiri belum pernah melihatnya.” Dia mencoba berkilah. “Banyak orang di luar sana menjadikan Bapak sebagai panutan. Kedermawanan Bapak sudah sangat melekat di hati masyarakat. Kalau mereka tahu tentang ini. Karir Bapak akan hancur. Hukuman sosial itu berat, Pak.”“Saya tidak mengerti apa yang kamu maksudkan.” Pak Rahmat masih berpura-pura pada Nay. “Sudahlah, Pak. Berhenti bersikap seolah saya tidak tahu. Tidak perlu saya jabarkan semua di hadapan Bapak, bukan?”“Jangan sembarangan kalau bicara! Saya panggil satpam!” gertak Pak Rahmat.“Kalau Bapak bersikap kasar bisa saja kebusukan Bapak saya bongkar. Saya akan keluar sendiri, tidak perlu panggil satpam. Saya sudah menghafal di mana pintu keluar. Satu saj
Rey pulang berpamitan hampir jam sepuluh malam. Lusa mereka berjanji untuk bertemu lagi. Menemui Bu Mien sebagai lamaran resmi untuk menjadikan Nay istrinya. “Jadi kau akan menikah dengan dia, Nay?” tanya Wira memastikan.“Iya. Aku melihat kesungguhan dan ketulusannya,” jawab Nay sembari membereskan cangkir dan piring yang mereka pakai tadi. “Kalau semua urusanku dengan dunia bawah selesai, aku akan menikah dan menjalani hidup seperti perempuan manusia pada umumnya.”“Jadi kau akan meninggalkan kami?” Wira membuntuti Nay sampai ke dapur. “Kalian sudah mendengarnya sendiri tadi. Kalau kau sudah menemukan wanitamu kau baru boleh meninggalkan aku,” Nay meletakkan piring dan cangkir di sink dan akan mencucinya esok pagi. “Sudah, cemburunya dilanjutkan besok saja. Lihat Gantari, dia santai saja.” Nay bergabung dengan Gantari yang duduk tenang di sofa. “Walau aku tahu seperti apa berkecamuknya hatimu. Iya kan?” “Cukup melegakan bagiku bahwa kau tidak meninggalkan kami dalam keadaan apapu
Nay berlari melewati koridor apartemen. Pukul dua dini hari tentu sangat sepi. Untung saja penjaga malam masih ada di sekitar tempat parkir motornya. Buru-buru Nay men-start dan memacunya. Ia harus sampai di rumah sakit segera. Tidak sampai dua puluh menit Nay tiba di RS. Persada. Dia langsung menuju ke IGD. Terlihat Aruni duduk di kursi tunggu di depan IGD. “Aruni, bagaimana keadaan Ibu,” tanya Nay cemas. Aruni tidak menjawab. Dia langsung memeluk Nayara, terisak. Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Nay mematung. Tangis Aruni sudah cukup menjawab keadaan Bu Mien. Air bening mengalir di kedua pipi Nay. Ternyata Ini arti mimpinya tadi. Bu Mien berpamitan padanya. “Aruni, ayo kita masuk. Temani kakak.” Aruni menggeleng. “Kenapa?” “Uni tidak mau Ibu pergi. Uni tidak mau!” Tangisnya kembali pecah. Nay memeluknya lagi. “Uni, tunggu di sini. Kakak masuk dulu ya.”“Iya, Kak.” Aruni mengurai pelukannya. Kaki Nay seperti hilang kekuatan. Terasa sangat berat untuk melangkah k
Nay memacu sepeda motornya dengan kecepatan tak lebih dari enam puluh kilometer per jam. Menyusuri jalan beraspal yang mulai sunyi karena hujan turun hingga saat ini. Jaket denimnya tak cukup kuat menahan hawa dingin di perjalanan. Sesekali Nay mengeluarkan energi-energi kecil untuk menghangatkan tubuhnya. Kalau tidak alerginya akan bertingkah. Ya, Nay alergi udara dingin. Tubuhnya akan muncul ruam-ruam merah yang sangat gatal dan itu bisa sangat mengganggunya. Nay menambahkan kecepatan motornya. Dia ingin sampai di apartemennya sekitar pukul sebelas. Tidak ada janji memang. Hanya saja kekuatannya akan ada pada level sangat baik sebelum lewat tengah malam. Nay berencana mengunjungi dunia bawah malam ini. Bukan untuk bertemu penguasa Astramaya tapi untuk melacak seberapa besar kekuatan Tarangga yang konon tiada bandingnya. "Wira, kau mau ikut tidak? Aku mau ke Rimba Arana. Waktu itu aku belum sempat menanyakan ke Cendra Dewi, apakah dia masih jomlo atau sudah ada pacar." Nay bertanya
Nay menyerap energi Astramaya agar tubuhnya bisa menyesuaikan diri dengan panasnya. Hawa dari portal ini jauh berbeda dengan api Astramaya yang pernah dirasakan Nay saat mengambil jiwa Rey.Nay menarik napas dan mengembuskanya pelan. Dia sangat berhati-hati. Tidak ingin melakukan kesalahan yang bisa menimbulkan kerusakan pada tubuhnya. Nay mulai merambatkan energi masuk ke dalam portal. Dia sengaja menjalankannya secara perlahan. Bila melakukannya dengan cepat bisa saja seseorang di seberang portal ini mengetahui kedatangannya. Nay mulai mendengar suara banyak langkah-langkah kaki. Suara orang berbicara dengan bahasa dunia bawah. Penghuni Astramaya sedang berinteraksi satu dan lainnya. Energi Nay terus merambat maju. Dia mulai merasakan satu tarikan kuat seolah-olah mengarahkan energi Nay untuk bergerak ke sana. Nay tidak berusaha menolaknya. Dia ingin tahu ke mana arah energi itu menuju."Nayara." Suara pria dengan nada rendah mengejutkan Nay. "Untuk apa melakukan itu? Kenapa tidak
"Namanya Suri. Dia tinggal di dalam rimba ini juga. Memiliki kemampuan menyimpan energi semua kejadian di dunia bawah. Dia tinggal di ujung rimba yang gelap dan lembab. Aku tidak bisa berbicara padanya. Dia menutup diri sejak Palaka menguasai rimba ini. Tidak memperkenankan siapa pun berinteraksi dengannya. Semoga kali ini dia mau menerima kita." "Jadi saya bisa menanyakan tentang apa saja padanya?""Iya. Dia tidak bisa membohongimu. Sebuah bejana besar miliknya akan menunjukkan apa yang kau ingin ketahui. Bila niatmu baik, bejana itu akan menunjukkan. Tapi bila sebaliknya, warna air di dalamnya akan menghitam.""Tidak ada salahnya mencoba. Kita pergi sekarang, Ratu?" Mata Nay terlihat berbinar."Baiklah, Nay." Ratu Cendra Dewi membuka sebuah portal persis di sebelah portal sebelumnya. "Lewat sini!" Dua pasang sayap ratu kembali terlihat. Dia terbang memasuki portal. Nay mengikutinya.Tak berapa lama mereka tiba di ujung rimba. Udaranya berkabut dan dingin. Nay enggan untuk menapakk
"Maafkan, Ibu! Maafkan ibumu, Nak!" Kalimat yang berulang-ulang ia teriakkan. Tampak jelas bahwa ia menyesal dan tidak punya pilihan selain melakukan hal itu. Tubuh bayi itu terhempas ke dalam kawah yang panas. Letupan-letupan lava pijar mengenai tubuhnya. yang masih merah. Namun, bukannya menangis, bayi itu terlihat nyaman berada di atas genangan lava. Bermunculan makhluk-makhluk api mengelilingi bayi tersebut. Satu dari mereka mengambilnya, lalu berucap, "Kaulah bayi yang kami tunggu-tunggu. Kelak kau akan sehebat api Astramaya. Selamat datang Tarangga!" Mereka menamainya dengan Tarangga, bintang yang bersinar di Astramaya.Penglihatan Nay tertarik ke suatu ruangan. Ada perempuan yang dilihatnya tadi dan seorang laki-laki berbaju kebesaran persis seperti yang dikenakan raja Affandra. Wajahnya pun serupa. "Simpan rahasia ini. Jangan kau sebut-sebut anak itu lagi! Mau ditaruh di mana mukaku kalau penerus tahta kerajaan adalah anak cacat seperti itu! Buang saja dia! Biarkan dia dim
Nay mengangguk. "Aku yakin orang-orang seperti kita sudah merasakan energi gelap yang semakin menyebar. Kalau dibiarkan dunia kita akan dikuasai kegelapan.""Kita tidak bisa hanya diam saja. Jujur, aku sangat kecewa dengan pilihan kakakku. Memalukan dan pasti merugikan dunia bawah.""Mungkin dengan bekerja sama dengan mereka, kakakmu bisa mewujudkan mimpinya menjadi satu-satunya penguasa dunia bawah.""Aku sekarang mengerti kenapa bejana itu diberikan padaku. Ayah dan ibu sepertinya sudah tahu tabiat anak laki-lakinya." Wajah Suri berubah muram. "Aku berharap kakakku bisa kembali pada tanggung jawabnya pada Banyuputih sebelum terlambat."Perlahan Nay menepuk pundak Suri. "Aku lapar. Kau mau mi instan?"Suri tersenyum kecil. "Seandainya makanan yang kau sebut mi instan itu bisa kumakan pasti tidak kutolak. Boleh aku di sini saja?""Mau menginap di sini pun boleh, Suri."Nay berjalan ke dapur mengambil mi instan cup yang cukup diseduh dengan air panas dari dispenser. Sambil menunggu mi
"Ada apa Nona ingin bicara dengan saya?" tanya istri Tuan Hansen. "Sebelumnya terima kasih Nyonya sudah bersedia menemui saya. Benar saya bicara dengan Nyonya Adhisti?""Iya, betul. Saya Adhisti.""Ini soal Bastian, Nyonya.""Bastian malang. Dia masih menunggu di rumah itu, bukan?"Kening Nay sedikit berkerut. Ia tidak menduga Nyonya Adhisti tahu tentang keberadaan putranya. "Iya, Nyonya. Saya bertemu dengan Bastian dan saya berjanji untuk mempertemukan Nyonya dengan dia.""Hansen membawa saya ke sini karena menganggap jiwa saya terganggu. Berhalusinasi tentang Bastian secara berlebihan. Hansen mengira saya gila. Dia sama sekali tidak percaya. Tapi saya punya cara lain. Memintanya merenovasi rumah itu.""Semesta merangkum doa. Setelah sekian lama menunggu, akhirnya Bastian akan bertemu Nyonya. Selama ini dia mengira, Nyonya marah dan membencinya. "Saya tahu Bastian masih ada di rumah itu. Saya ingin dia pergi dengan tenang. Saya juga sudah belajar ikhlas melepasnya." Manik mata Nyo
Nay tidak tahu mengapa pikiran tentang dark force membuatnya merasa panas dan tidak nyaman. Cukup lama ia berdiri di depan jendela apartemennya dengan mata memperhatikan langit yang terlihat suram. Seharusnya ia lebih peka bukan malah abai seperti yang dilakukannya belakangan ini. Berhenti menjadi seorang Nayara rasanya memang tidak mungkin. Ia dibutuhkan untuk berkontribusi pada bumi tempatnya berdiri. Dark force tidak main-main. Sebarannya cepat tetapi tidak terlihat. Mempengaruhi atmosfer kehidupan manusia sampai ke hal-hal yang paling kecil. Semakin banyak di media sosial jari-jari manusia menuliskan kata-kata kasar, makian dan hinaan yang ditujukan kepada manusia lain hanya karena ketidaksukaan. Kasus perundungan yang berujung kematian pun semakin banyak terjadi. Korupsi, perampasan hak, intoleransi dan masih seabrek persoalan lain yang semakin memprihatinkan. Disadari atau tidak semua itu bisa mengakibatkan ketidakseimbangan berskala besar. "Selama masih ada doa manusia yang
Setelah menyelesaikan tugasnya, Nay berpamitan pulang. Ekspresi wajah Tuan Hansen berubah muram. Sangat berbeda dengan raut wajahnya saat Nay datang. Hampir bisa dipastikan penyebabnya adalah pertanyaan Nay tentang anak lelakinya. "Pak Bos sudah kenal lama dengan Tuan Hansen?" tanya Nay begitu ia sampai di ruangan Pak Oey. "Lumayan lama. Kenapa, Nay?""Istrinya apa masih ada, Pak?""Setahu saya masih. Sejak kematian anak laki-lakinya, dia mengalami guncangan mental. Menurut desas-desus sampai sekarang masih seperti itu.""Jiwa anak lelaki Tuan Hansen masih menunggu mamanya di rumah itu. Saya tidak mungkin mengabaikannya, Pak.""Mungkin beberapa kenalan bisa membantu memberikan informasi. Nanti saya infokan ke kamu, Nay. Saya ada urusan di luar. Kau periksa berkas ini, kalau sudah selesai kau bebas." Pak Oey mengambil tumpukan berkas dari atas meja kemudian memberikannya pada Nay. "Baik, Bos." Nay menerima berkas tersebut lalu masuk ke ruangannya. Nay memeriksa berkas yang diberika
"Maaf kalau pertanyaan saya membuat Tuan Hansen teringat tentang masa lalu," ujar Nay. Matanya bergerak ke arah jendela. Ia melihat bocah lelaki yang belum ia ketahui namanya itu sedang berdiri memandangi papanya dari balik kaca jendela. "Silakan Nona mengecek area ini. Saya kedalam dulu." Tuan Hansen berbicara tanpa menoleh ke arah Nay. Ia kemudian melangkah masuk dari pintu yang sama. Nay melambaikan tangan dan membuka komunikasi dengan putra Tuan Hansen. Ia meminta bocah itu keluar. Ia ingin mendengar langsung apa yang sebenarnya terjadi sebelum mencari tahu sendiri. "Kita belum kenalan. Siapa namamu?" tanya Nay mengusap bangku besi yang menempel di dinding pagar beton sekadar untuk menyingkirkan debu dan kotoran. "Bastian. Mama biasa memanggilku Tian," jawab bocah itu sambil melongok ke dalam kolam renang. Ia berhenti beberapa saat lalu berjalan menghampiri Nay yang sudah duduk di bangku sambil memeriksa ponselnya. "Duduklah di samping Kakak. Kita ngobrol-ngobrol sebentar." N
Nay dan Rey memutuskan untuk menunda pernikahan sampai hati satu sama lain sudah merasa benar-benar yakin. Setidaknya dibutuhkan waktu beberapa bulan untuk saling melihat ke diri masing-masing. Mereka menyibukkan diri dengan aktivitas keseharian seperti biasa. Nay tetap dengan profesinya begitu pula Rey. Mereka sengaja membuat intensitas pertemuan menjadi sedikit. Cukup satu minggu sekali. "Apa kau yakin cara ini ampuh, Nay? Bukankah semakin jarang bertemu akan semakin jauh," tanya Sri yang sedang bersandar di lemari memperhatikan Nay. "Antara yakin dan tidak," jawab Nay sambil mengundurkan rambutnya di depan kaca wastafel. "Menurutku terlalu beresiko kalau kalian saling menjauh seperti sekarang. Yang ada ikatan batin kalian jadi longgar.""Kalau akhirnya semakin longgar artinya kami tidak berjodoh.""Enteng bener ngomong begitu. Kau harus ingat Nay, perjuangan kalian itu berat. Sudah sampai sejauh ini malah pisah.""Kalau memang itu takdirnya, kami bisa apa, Sri."Sri mendesah pe
"Sekarang kau sudah tahu, Nay. Jadi, bagaimana selanjutnya?" Akhirnya Rey membuka pembicaraan setelah beberapa menit mereka tidak mengatakan apa-apa. Nay mendesah pelan lalu meletakkan cangkirnya di atas nakas. "Aku tidak bisa menjawabnya sekarang. Aku perlu berpikir dengan tenang agar keputusan yang kuambil tidak kusesali nantinya.""Aku tidak akan memaksamu menjawabnya sekarang. Yang kau butuhkan saat ini adalah Istirahat. Kalau perlu apa-apa, telepon saja," kata Rey. Ia lalu berdiri tetapi ketika hendak melangkah, Nay memegang pergelangan tangannya. Pria itu menoleh. "Di sini saja. Banyak hal yang ingin aku tanyakan." Nay mendongak, melihat ke arah mata Rey. Tanpa berkata apa pun, Rey kembali duduk. Ia sejujurnya senang Nay menahannya. "Bertanyalah, aku akan menjawabnya dengan jujur." Suara Rey datar dan tenang. "Kenapa kau melakukan ini?" tanya Nay dengan intonasi suara yang sama dengan Rey. "Mungkin bagimu terdengar klise, tapi aku melakukan ini semua karena cinta. Walaupun
Sudwika tidak mengelak untuk tidak mengiakan pertanyaan Nay. Karena memang kenyataannya seperti itu. "Begitu pentingkah kekuasaan bagi kalian para penguasa dunia bawah? Apa kalian terbiasa memanfaatkan orang lain untuk mencapai tujuan?" tanya Nay tidak suka. "Ini bukan tentang kekuasaan tapi keseimbangan dunia bawah, Nay.""Keseimbangan seperti apa lagi? Alasan yang sudah pernah kudengar dan terkesan kalian buat-buat saja." Nay mendesah kasar. "Kembalikan aku ke duniaku. Masih ada urusanku dengan Rasendriya yang tidak perlu orang lain ikut campur.""Aku mengatakan yang sebenarnya, Nay. Naga sasra harusnya dibenamkan di dalam bejana emas milik ayahku agar energinya tetap. Tidak besar juga tidak kecil. Seimbang." Sudwika berusaha meyakinkan Nay. "Entahlah, aku sudah sulit mempercayai para penguasa. Di mulut berucap manis, tapi kenyataan terkecap pahit.""Sekarang kita pergi ke tempat di mana kau menancapkan naga sasra. Kau lihat dan rasakan apakah energi kerusi itu masih ada atau sud
Sebuah anak panah terlihat melesat dan tepat mendarat di samping Nay. Berpendar membawa untaian cahaya yang seketika berpendar menerangi sekitar. Ujung runcingnya menyentuh lapisan air yang membeku hingga menimbulkan suara retakan yang merambat cepat. Dari bentuk dan energinya, anak panah itu bulan milik Wirabadra. Bersamaan dengan retaknya lapisan es, jiwa Nay mulai bisa bergerak. Walaupun belum leluasa ia sudah bisa menggunakan jemarinya untuk mengumpulkan energi. Ia tetap harus waspada. Terlebih berada di tempat yang asing dengan sedikit cahaya yang membuat jarak pandangnya terbatas. "Akhirnya kau berada di Banyuputih, Nayara." Suara seorang laki-laki terdengar begitu dekat. Nay, berusaha bangkit dengan susah payah. Energinya belum cukup untuk melenturkan tubuhnya. Ya, pada dimensi lain jiwa terlihat tak ubahnya seperti tubuh kasar yang sebenarnya. "Apakah Anda raja Sudwika?" tanya Nayara setelah melihat dengan jelas sosok yang berdiri hanya beberapa jengkal darinya. "Kau menge