"Maaf bila mengganggu kalian. Aku hanya mampir sebentar. Di luar hujan." Tidak ada jawaban. Semua hening. Sepertinya mereka tidak berani mendekat. "Nayara." Akhirnya satu dari mereka bersuara."Iya, aku. Kalian mengenalku?""Tentu. Makhluk seperti kami banyak yang pernah bersinggungan denganmu, dan itu menyebar dari mulut ke mulut." Perempuan berambut panjang tergerai melayang mendekati Nay. "Semoga kedatanganmu ke sini bukan untuk mengusir kami," sambungnya lagi. "Sudah kukatakan tadi, aku hanya mampir." Nay melangkah ke ruang tengah. "Lumayan besar juga tempat ini. Aku mau lihat-lihat saja. Sepertinya ada sesuatu di sini dan aku ingin tahu. Oh iya nama kamu siapa?" tanya Nay pada perempuan yang membuntutinya. "Aku Sarah. Sudah lama di sini, bahkan sebelum rumah ini ada." "Oh, begitu." Nay membalas singkat. Kakinya terus melangkah sampai pada ruang paling belakang rumah itu. Nay merasakan ada energi yang berbeda di sudut dapur. "Jangan ke sana!" Sarah setengah berteriak mencega
Tanpa membuang waktu mahluk itu menyerang Nay dengan menghunuskan tombaknya. Gerakan makhluk itu sudah terbaca oleh Nay. Dia bisa menghindar dengan cepat. Nay meraih batu seukuran tangannya yang banyak tergeletak di sekitar kubangan. Kini dua telapak tangan Nay mencengkram lempengan batu. Ujung tombak pasti tidak bisa menembusnya. Satu serangan kembali dilakukan, lebih tinggi dari serangan pertama. Ke arah kepala Nay. Dengan perhitungan kecepatan yang tepat mata tombak berhasil Nay patahkan. Dua tangan Nay dengan lempeng batu keras menangkap ujungnya dan saling berbenturan. Bukan hanya tombak yang patah, kedua lempeng pada tangan Nay juga terbelah. Dia membenturkannya sekuat tenaga. Sekarang posisi mereka sama. Tanpa senjata. "Tidak semudah itu bukan?" Kepercayaan diri Nay telah kembali. "Ahhh, jangan banyak bicara!" Sebuah tendangan lurus mendatar mendarat tepat di perut Nay. Namun kedua telapak tangan Nay masih sempat menghalaunya. Dengan kuda-kuda yang kokoh. Tubuh Nay tidak b
"Bagaimana kalau Wira dan Gantari serta orang-orang yang kau cintai semua meninggalkanmu?""Setiap ada yang datang pasti akan ada yang pergi. Aku pasti akan sedih. Menangis berhari-hari mungkin. Tidak mengapa. Seperti kata Bu Mien, tidak perlu takut sendiri, nanti mati pun kita sendiri.""Kau terlalu percaya diri, Nay!""Bukankah ini tujuanmu membawaku ke sini? Agar aku percaya pada diriku sendiri. Tidak harus selalu bergantung pada orang lain. Iya, kan?"Perempuan itu tidak menjawab. Dinding labirin yang mengelilingi Nay perlahan menghilang. Kini dia telah berdiri di tempat semula. Tangga ke bawah kini terarah ke atas. Nay mendongak. Terlihat sebuah portal untuk kembali. Nay tidak buru-buru menaiki tangganya. Dia masih penasaran siapa perempuan di balik suara-suara itu. "Sudah selesai kah ini?" tanya Nay dengan suara lantang. "Sudah, Nay." Suara perempuan itu terdengar dari belakangnya. Dia menoleh lalu mendekat memandangi perempuan itu. "Kenapa? Kau melihat apa?""Kau adalah dirik
Wira mendudukkan Nay pada batu itu. Membetulkan posisinya agar tubuh Nay tetap tegak. Dia duduk mengambang di depan Nay. Menahan tubuhnya seperti yang dilakukannya tadi. "Bertahanlah, Nay." Wira membetulkan rambut Nay yang berantakan. Mata Nay terus terpejam. Tidak ada suara yang keluar dari mulutnya. Tubuhnya tidak bergerak sama sekali. Raja Affandra duduk mengambang dengan posisi bersila. Dia memperhatikan luka mengangga di punggung Nay, kemmudian menyentuhnya. Terlihat mulutnya merapal sesuatu. Sepertinya ia sedang membuat suatu energi. "Bagaimana batu Astramaya bisa mengenai, Nay?" tanya raja Affandra pada Wira."Nay terhisap ke sebuah portal dimensi lain. Kami tidak bisa berkomunikasi dengannya. Jadi kami tidak tahu hal apa yang terjadi di sana.""Lalika," ucap raja Affandra pelan."Apakah yang Mulia mengenalnya? Nay sempat menyebut namanya tadi," tanya Wira. "Dimensi mimpi. Lalika membawanya ke sana. Sepertinya dia sengaja melakukan ini agar Nay tahu seperti apa hebatnya ba
Saat memasuki toko tidak ada yang aneh. Wajar selayaknya sebuah toko dengan aktivitas jual beli pada umumnya. Mungkin kabar burung itu hanya sekedar berita yang dibesar-besarkan. Pak Rahmat membawa Nay ke belakang toko. Di sana ada sebuah rumah yang cukup besar dengan desain minimalis yang cukup apik. Warna abu-abu mendominasi rumah itu. “Ini rumah yang mau direnovasi.” Pak Rahmat menunjuk rumah di depan mereka. “Mumpung yang ngontrak baru saja pindah. Saya mau bikin tampak depan yang berbeda dari ini. Lantai rumah dan susunan ruang juga mau saya rubah. Supaya kelihatan beda saja.”“Padahal ini sudah bagus loh, Pak,” sahut Nay. “Tidak apa, saya suka dengan suasana baru. Ini kuncinya. Tidak apa ya saya tinggal. Nanti pegawai saya menyusul ke sini menemani, Mbak Nay.” “Gak apa, Pak. Saya berani sendiri kok. Nanti kalau saya sudah selesai saya kembalikan ke Bapak kuncinya.” Nay, memasukkan kunci rumah itu ke dalam tas selempangnya. “Baiklah, kalau ada apa-apa langsung telepon saya.
Siapa dia?” Pak Rahmat berusaha menutupi keterkejutannya. “Saya tidak pernah mendengar perempuan baju merah.” “Kok, Bapak tahu si baju merah itu perempuan. Tadi saya tidak menyebutnya.”Pak Rahmat terjebak dengan kalimatnya sendiri. “Kata orang-orang sini memang perempuan. Saya sendiri belum pernah melihatnya.” Dia mencoba berkilah. “Banyak orang di luar sana menjadikan Bapak sebagai panutan. Kedermawanan Bapak sudah sangat melekat di hati masyarakat. Kalau mereka tahu tentang ini. Karir Bapak akan hancur. Hukuman sosial itu berat, Pak.”“Saya tidak mengerti apa yang kamu maksudkan.” Pak Rahmat masih berpura-pura pada Nay. “Sudahlah, Pak. Berhenti bersikap seolah saya tidak tahu. Tidak perlu saya jabarkan semua di hadapan Bapak, bukan?”“Jangan sembarangan kalau bicara! Saya panggil satpam!” gertak Pak Rahmat.“Kalau Bapak bersikap kasar bisa saja kebusukan Bapak saya bongkar. Saya akan keluar sendiri, tidak perlu panggil satpam. Saya sudah menghafal di mana pintu keluar. Satu saj
Rey pulang berpamitan hampir jam sepuluh malam. Lusa mereka berjanji untuk bertemu lagi. Menemui Bu Mien sebagai lamaran resmi untuk menjadikan Nay istrinya. “Jadi kau akan menikah dengan dia, Nay?” tanya Wira memastikan.“Iya. Aku melihat kesungguhan dan ketulusannya,” jawab Nay sembari membereskan cangkir dan piring yang mereka pakai tadi. “Kalau semua urusanku dengan dunia bawah selesai, aku akan menikah dan menjalani hidup seperti perempuan manusia pada umumnya.”“Jadi kau akan meninggalkan kami?” Wira membuntuti Nay sampai ke dapur. “Kalian sudah mendengarnya sendiri tadi. Kalau kau sudah menemukan wanitamu kau baru boleh meninggalkan aku,” Nay meletakkan piring dan cangkir di sink dan akan mencucinya esok pagi. “Sudah, cemburunya dilanjutkan besok saja. Lihat Gantari, dia santai saja.” Nay bergabung dengan Gantari yang duduk tenang di sofa. “Walau aku tahu seperti apa berkecamuknya hatimu. Iya kan?” “Cukup melegakan bagiku bahwa kau tidak meninggalkan kami dalam keadaan apapu
Nay berlari melewati koridor apartemen. Pukul dua dini hari tentu sangat sepi. Untung saja penjaga malam masih ada di sekitar tempat parkir motornya. Buru-buru Nay men-start dan memacunya. Ia harus sampai di rumah sakit segera. Tidak sampai dua puluh menit Nay tiba di RS. Persada. Dia langsung menuju ke IGD. Terlihat Aruni duduk di kursi tunggu di depan IGD. “Aruni, bagaimana keadaan Ibu,” tanya Nay cemas. Aruni tidak menjawab. Dia langsung memeluk Nayara, terisak. Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Nay mematung. Tangis Aruni sudah cukup menjawab keadaan Bu Mien. Air bening mengalir di kedua pipi Nay. Ternyata Ini arti mimpinya tadi. Bu Mien berpamitan padanya. “Aruni, ayo kita masuk. Temani kakak.” Aruni menggeleng. “Kenapa?” “Uni tidak mau Ibu pergi. Uni tidak mau!” Tangisnya kembali pecah. Nay memeluknya lagi. “Uni, tunggu di sini. Kakak masuk dulu ya.”“Iya, Kak.” Aruni mengurai pelukannya. Kaki Nay seperti hilang kekuatan. Terasa sangat berat untuk melangkah k