Nalini membeku di hadapan Vero. Apa yang harus ia katakan. Sejujurnya dia ingin tetap diam. Dia tak ingin hubungannya dengan Megantara diketahui banyak orang salah satunya karena orang lain pasti menganggap dirinyalah yang menggoda Megantara. Memiliki maksud buruk dengan mendekati bosnya. Berusaha ingin meningkatkan karir dengan cara licik, dan pikiran-pikiran negatif lainnya. "Bukti apa yang harus aku tunjukkan padamu?" Akhirnya Nalini membuka mulutnya. "Chef Nalini, ada seseorang yang ingin bertemu denganmu," panggil seorang pelayan. Nalini bersyukur karena dia bisa menghindari pembicaraannya dengan Vero yang sudah semakin berlebihan meskipun sesaat. Nalini berjalan menuju ke meja yang ditunjuk oleh pelayan yang tadi memanggilnya. Seorang perempuan berpenampilan glamor sedang duduk di sana. "Selamat sore. Ada yang perlu saya bantu?" Nalini menyapa sambil menunduk. Lalu saat dia sudah kembali tegak dan melihat siapa orang yang ada di hadapannya dia menjadi terpaku. Starla memper
"Mengapa tiba-tiba kau menyebut ayah curang?" tanya Megantara reflek ketika mendengar kalimat yang dilontarkan Sivia."Ayah bisa bertemu setiap hari dengan Bu Nalini. Bisa minta dimasakkan tiga kali sehari dan bisa minta ditemani makan. Aku iri. Aku cemburu," jawab Sivia sambil mengerucutkan bibirnya. Mulutnyapun masih berisi makanan. Nalini terkekeh di buatnya. Sedangkan Megantara baru menyadari selama ini dia sangat waspada dengan Pandu padahal sebenarnya anaknyalah yang akan menjadi saingan utamanya untuk memperebutkan Nalini. Sivia begitu menyukai sosok Nalini. "Kau tidak perlu merasa tercurangi. Ayahmu juga tidak meminta ditemani setiap waktu. Biasanya aku hanya mengantarkan makanan lalu kembali ke restoran," kata Nalini berusaha meredakan gerutuan gadis kecil di hadapannya itu. "Tapi aku memang lebih beruntung darimu. Teruslah iri pada ayah," Megantara justru bersikap sebaliknya. Dia semakin menggoda Sivia."Aaaayyyyyaaaaahhh," teriak Sivia. Sivia semakin kesal. Nalini member
"Masuklah, aku tidak suka mengobrol sambil berdiri di pintu seperti ini," kata Bobby mempersilakan Starla untuk masuk dan duduk di sofa minimalis yang ada di ruang tamunya. Apartemen tersebut tidak terlalu luas dan jujur kondisinya berantakan. Banyak botol-botol minuman dan makanan berserakan di meja sofa. Sepertinya semalam Bobby mengadakan pesta minum-minum di apartemennya. Starla menyingkirkan sebuah kemeja yang tergeletak di sofa dengan dua jarinya lalu duduk di sofa tersebut. "Bantuan apa yang kau inginkan, cantik?" Kata Bobby saat dirinya sudah duduk di samping Starla. Starla bergidik saat mendengar panggilan pria di hadapannya.Merupakan sebuah kenekatan yang dilakukan Starla ketika Starla menginjakkan kaki di apartemen Bobby. Bobby adalah pria yang sudah lama mengincar Starla untuk dijadikan kekasih namun selalu Starla tolak. Pria itu bukan pria baik. Hobinya menghamburkan uang orangtuanya untuk foya-foya. Mabuk-mabukan dan kenakalan-kenakalan lainnya. Betul-betul bukan ti
'Nalita? Bagaimana bisa foto Nalita ada di sini?' Batin Nalini saat melihat foto adiknya dengan ekspresi tersenyum sangat cantik. Sudah lama dia tidak pernah melihat senyuman itu. Dan tentu saja senyuman itu tak akan bisa ia lihat lagi. Nalini memegang figura kecil itu. Pikirannya berkecamuk. Ada sebuah hal melintas di pikirannya. Apakah Nalita adalah ibu dari Sivia? Oh tidak. Jika itu terjadi, maka takdirnya benar-benar kejam. Nalini menatap ke arah Sivia dan foto Nalita secara bergantian. Apakah ini jawaban dari pertanyaannya selama ini? Dia begitu menyayangi Sivia. Jatuh cinta pada Sivia di pertemuan pertama mereka. Merasa Sivia mirip seperti dirinya. Karena jika dilihat secara fisik, Sivia memang lebih mirip dengannya dibandingkan dengan Nalita. Matanya memerah. Ada bulir air yang siap meluncur kapan saja. Tidak. Dia harus menahannya. Nalini tidak boleh menangis di rumah ini. Nalini buru-buru meletakkan figura itu di tempatnya lagi lalu segera beranjak dari duduknya. Saat dia
"Bagus sekali. Ada seekor tikus kecil yang berani menyelinap ke dalam rumahku," suara bariton dari pria paruh baya yang notabene ayah dari Nalini mengagetkan Nalini dan sang ibu. Nalini menghapus secara kasar air mata di pipinya. Sejak dulu dia tak ingin terlihat lemah di hadapan sang ayah. Dan hari ini juga begitu. "Ayah. Tikus kecil apa? Jika kau menganggap anak kita sebagai tikus kecil, kali ini aku tidak terima. Dia juga anggota keluarga di rumah ini. Ini juga rumahnya. Berhentilah bersikap egois," sang ibu yang sejak dulu selalu diam tak bisa membela sang anak di hadapan suaminya kini ikut berbicara dengan nada sedikit kasar. Dia sudah muak dengan konflik diantara anak dan suaminya. "Kau masih bersedia menganggapnya seorang anak, setelah apa yang dia lakukan? Membangkang dari keputusanku. Pergi dari rumah. Menjalani kehidupan semaunya dan kini dengan gampangnya dia menginjakkan kaki di sini. Kau tidak merasa bersalah dan bersedih pada mendiang Nalita? Dia yang menanggung semua
Nalini berdiri di depan cermin sesaat setelah menutup sambungan teleponnya dengan Megantara. Kini dia harus keluar menemui Megantara. Tapi sebelum itu, dia harus bisa menutupi mata sembab yang diakibatkan oleh tangisannya sejak tadi. Nalini mencoba mengoleskan concealer di bawah matanya.Meskipun tak bisa menutup dengan sempurna karena matanyapun kini masih memerah. Tapi setidaknya bisa sedikit menyamarkan. Nalini berjalan menuju jalanan depan kontrakannya. Mobil Megantara terparkir di situ. Dan sosok Megantara terlihat berada di belakang kemudi. Nalini masuk ke dalam mobil dan bertemu dengan pria yang sudah menjadi kekasihnya. "Untuk apa datang kemari? Mengapa tidak menemani Sivia? Dia pasti ingin kau menemaninya di saat dia sakit," Nalini langsung memberondong Megantara dengan kalimatnya. Megantara tak langsung menjawab. Dia mengamati gadis di hadapannya. Gadis yang ia rindukan sekaligus khawatirkan sejak tadi. "Sivia sudah mendapatkan penanganan. Panasnya sudah turun. Dan kini
Nalini memasuki gerbang rumah kontrakannya lagi, baru saja mendorong pintu untuk masuk ke rumah, seseorang mencegahnya masuk. "Nalini," panggil Pandu yang berjalan mendekat."Oh. Mas pandu. Apa apa, mas?" Tanya Nalini sambil beralih menghadap ke lawan bicaranya. "Aku melihatmu bersama pak Megantara barusan," kata Pandu sambil menunjuk luar gerbang. Nalini salah tingkah, "Oh." Dia hanya bisa merespon demikian. "Kau menjalin hubungan dengannya?" Tanya Pandu langsung pada intinya. Nalini hanya menunduk dan malu. Bingung harus menjawab apa. Dia sudah ketahuan. Salahnya karena tetap menemui Megantara dan mengobrol di mobil. Tidak mengajak ke tempat lain. Hatinya sedang kalut sehingga otaknya tak bisa berpikir jernih sedari tadi. "Kau tidak takut?" Tanya Pandu lagi karena tak mendapat respon. "Takut? Apa yang harus kutakutkan?" Nalini penasaran dengan apa yang dimaksud oleh Pandu. "Menjalin hubungan dengan orang sepertinya. Kaya raya. Berstatus sosial tinggi dan dia sudah memiliki a
"Aku tidak apa-apa. Hanya luka ringan," kilah Nalini. "Kemarikan tanganmu. Aku ingin melihatnya," kata Megantara sambil mengulurkan tangannya. mencoba meraih tangan Nalini. Nalini berusaha menolak namun akhirnya Megantara memaksa. Kini tangannya sudah diraih oleh Megantara. Megantara mengamati luka di punggung tangan Nalini. "Terkena panas? Mengapa bisa terjadi?" Tanya Megantara menelisik. "Aku yang ceroboh," jawab Nalini sambil menunduk. "Tidak biasanya kau bersikap ceroboh? Kau pasti sedang memikirkan sesuatu sehingga kau tidak fokus?" Megantara tau betul keprofesionalan kekasihnya saat di dapur. Nalini tak menjawab. Dia masih saja tetap menunduk. "Duduklah!," perintah Megantara sambil menuntun Nalini untuk duduk. Megantara bergegas mencari kotak obat di kantornya. Sepertinya sekretarisnya pernah menyiapkan seperangkat alat untuk pertolongan pertama. Tapi karena tidak pernah memakainya, Megantara agak kesulitan mencarinya. Nalini hanya diam mengamati gerak-gerik kekasihnya.
Nalini menunggu penjelasan dari Megantara dengan terus menatap pria itu. "Apakah kau ingat bahwa saat kita masih kecil kita pernah bertemu? Di acara ulang tahun perusahaan ayahku. Kau datang bersama ayahmu," kata Megantara. Nalini mencoba mengingat. "Kau menolongku yang sedang dirundung oleh beberapa teman seusiaku. Gadis kecil pemberani," Megantara memberikan petunjuk. Nalini mengingat sesuatu."Tunggu dulu, apakah kau laki-laki gembul berkacamata?" tanyanya saat mengingat kejadian beberapa tahun silam. Megantara mengangguk. "Kau menjatuhkan jepit rambut ini. Sepertinya begitu khusus dibuatkan oleh seseorang untukmu," kata Megantara. "Ya. Ini pemberian ibuku. Ibuku membuatkan milikku dengan inisial NN dan milik Nalita dengan NT. Aku menangis semalaman karena kehilangan jepit rambut ini. Tapi mengapa kau masih menyimpannya sampai sekarang? Ini sudah sangat lama.Megantara tersenyum menatap jepit rambut itu. "Seperti di film-film. Aku jatuh cinta dengan gadis pemilik jepit rambut i
"Mengapa kau memintaku yang membebaskanmu?" tanya Megantara mendengar penuturan Nalini dengan raut wajah serius. "Karena hanya kau yang bisa. Aku sadar, yang selama ini paling terluka adalah kau, maafkan aku," kata Nalini tulus. Megantara tersenyum miris. Dia memasukkan kedua tangannya di dalam saku celananya. "Aku sudah mencoba memilih untuk pergi agar kau tidak semakin terluka. Tapi ternyata caraku salah. Tuhan tidak merestui itu karena pada akhirnya kau bisa kembali menemukanku. Saat ini aku tau, kau membawaku dan menempatkanku disampingmy semata-mata agar aku bisa menebus kesalahanku. Kau sengaja bersikap dingin, acuh, seolah tak peduli padaku," Nalini berkata panjang lebar lalu menunggu respon dari Megantara yang masih saja diam. "Lalu kau menerima sikapku?" Megantara justru balik bertanya. "Tidak masalah jika kau bersikap seperti itu karena rasa kecewamu yang begitu mendalam. Tapi sampai kapan? Aku memang egois, tapi tidak bisakah aku berharap bahwa takdir memberikanku kese
Megantara menoleh ke arah pria yang kini berdiri di sampingnya. "Rupanya Anda punya rasa percaya diri yang tinggi. Bisa memuji seorang wanita di hadapan suaminya," kata Megantara sarkas. "Sama seperti Anda. Anda juga sangat percaya diri karena Anda berani memasuki ruangan yang hanya pegawai saja yang boleh masuk meskipun Anda sudah membooking seluruh restoran," balas Haris tak kalah sarkas. Nalini sudah menyelesaikan pekerjaannya dan juga sudah meminta pelayan untuk menyajikan menu makan siang pada para tamu yang sudah datang. Nalini melirik ke arah pintu dan melihat dua pria tinggi dan tampan berdiri di sana. Nalini lantas menghampiri mereka. "Bagaimana bisa kau masuk kesini?" tanya Nalini pada Megantara. "Tentu saja menemuimu. Aku ingin mengenalkanmu pada rekan bisnisku," seulas senyum terbit di wajah Megantara. Membuat Nalini justru mengerutkan alisnya. Hal yang tak disangka juga Megantara lakukan. Memeluk pinggang Nalini di hadapan Haris. Seolah menunjukkan hak milik bahwa N
Megantara mengancingkan kerah kemejanya sambil menatap dirinya di pantulan kaca. Sesekali dia melirik Nalini yang juga masuk ke dalam pantulan kaca di belakangnya. Masih terlelap tidur di bergelung selimut. Tadi malam sesampainya di hotel mereka tidak banyak berkomunikasi. Saling diam dengan aktivitasnya masing-masing sampai pada akhirnya Nalini sudah tertidur lebih dulu disaat Megantara sedang berada di depan laptopnya. Mempersiapkan bahan yang harus dibahas untuk rapat hari ini. Sepertinya Nalini begitu lelah sampai saat Megantara sudah siap berangkatpun dia belum juga terbangun. Setelah selesai memakai jasnya, dia berjalan mendekat ke arah tempat tidur. Menuliskan di secarik kertas yang berada di nakas lalu pergi meninggalkan Nalini tanpa berniat membangunkan. Tiga puluh menit kemudian Nalini terbangun dengan sendirinya. Dia mengedarkan penglihatannya di sekeliling ruangan dan sepi. Tidak ada pria tampan yang merupakan suaminya. Nalini melihat jam yang tertata di nakas dan melo
Megantara mengatur nafasnya. Berada di dekat Nalini membuat detak jantungnya tak beraturan. Apalagi semenjak menikah, Nalini terlihat lebih cantik di matanya. Sulit rasanya untuk mengelak. Tapi dia harus ingat misi balas dendamnya saat menikahi Nalini. Membiarkan Nalini tetap di sampingnya. Tapi tidak dengan memberikan cintanya. Baru berapa hari namun rencananya terancam gagal jika dia tak bisa mempertahankan egonya dan juga luluh dengan Nalini.Megantara membasuh wajahnya dengan air keran. Menatap pantulan dirinya di kaca. Megantara merutuki kebodohannya sendiri. Dia harus mengembalikan akal sehatnya lalu memperingatkan dirinya untuk menjaga jarak dari Nalini. Mungkin itu yang harus ia lakukan agar bisa mempertahankan pendiriannya. Megantara membuka pintu kamar mandi dan keluar. Nalini sedang duduk di atas tempat tidur sambil menatap ke arah kamar mandi. Menunggu suaminya muncul. "Untuk apa kau melihat kesini. Tidurlah. Sudah malam," perintah Megantara. "Aku menunggumu. Kau terli
"Aku tidak tau harus mendefinisikan seperti apa tentang pernikahanku," jawab Megantara terhadap pertanyaan dari Niko. "Jujur saja, kau pasti bahagia karena bisa menikah dengan gadis yang kau cintai. Aku tidak bisa membayangkan jika saat itu kau jadi menikah dengan adikku. Akan jadi seperti apa kehidupanmu nantinya," kata Niko dengan senyum tulusnya dan menunduk di akhir kalimatnya karena malu. "Entahlah. Cinta? Aku tidak yakin apakah masih ada cinta dihatiku untuk gadis itu," Megantara mendesah. "Tapi kaupun juga tidak yakin apakah kau benar-benar membencinya atau tidak. Aku rasa ini tentang waktu, waktu yang akan berbicara," kata Niko. Megantara mengerutkan alis. Dia tau bahwa perkataan Niko ada benarnya. Megantara juga tak bisa terlalu yakin terhadap rasa benci dan marahnya pada Nalini. ***Megantara pulang larut. Semestinya di hari-hari awal pernikahannya, seorang suami tak akan meninggalkan pengantinnya hingga larut. Tapi Megantara seperti sengaja. Sengaja menjaga jarak dari N
Niko berlari menuju ke kamar Starla saat mendengar Mona memanggil namanya dengan berteriak. Starla tergeletak tak berdaya di lantai. Di sekelilingnya ada obat yang bertaburan tak beraturan. Mona menduga bahwa Starla sengaja mengkonsumsi obat secara berlebihan karena ingin mengakhiri hidupnya. Impiannya untuk menikah dengan orang yang ia cintai pupus. Lalu ia justru dihamili oleh pria lain. Niko menggendong Starla lalu berlari membawa adiknya itu ke mobil. Ibu Starla hanya bisa merapalkan doa. Semoga tidak terjadi hal buruk pada anaknya dan calon cucunya. Dia ikut masuk ke dalam mobil bersama Niko dan juga Mona. Starla segera mendapat pertolongan medis sesampainya di rumah sakit, beruntunglah Starla karena belum terlambat untuk menyelamatkan nyawanya dan juga bayi yang ada di dalam kandungannya. "Harusnya aku mati saja," keluh Starla saat dia sudah dipindahkan ke ruang rawat inap dan sudah sadarkan diri. Niko tertawa mencemooh, "Kau pikir dengan bunuh diri urusannya akan selesai?
Nalini merasa bingung bagaimana cara menjawab pertanyaan mertuanya. Dia memang tidak terbiasa memanggil Megantara dengan namanya saja atau sebutan lain. Selalu dengan sebutan Pak. Dulu saat masih berpacaranpun dia kesulitan dan tidak biasa memanggil dengan sebutan tidak formal. Sivia terkekeh melihat ekspresi Nalini. Megantara tak menolong sama sekali. Dia sedang berkutat pada makanannya yang sebetulnya sama sekali tidak penting karena tidak ada rasanya bagi lidah pria itu. "Kau bisa memanggilnya dengan sebutan kak, mas, atau sayang," ujar ibu mertuanya. "Maaf, aku belum terbiasa," jawab Nalini sambil menggeleng pelan. "Tara, menurutmu istrimu harus memanggilmu dengan sebutan apa? Ajarilah dia," goda sang ayah. Megantara terlihat berpikir lalu menatap Nalini dengan tatapan yang sulit diartikan. Nalini paling tidak bisa ditatap dengan intens seperti itu jadi dia menunduk. "Aku terserah saja, pilihan ketiga juga tidak buruk," jawab Megantara dengan nada datar. Nalini buru-buru me
Nalini baru saja selesai membersihkan dirinya. Badannya sangat lelah karena seharian berdiri menjadi ratu sehari. Dia berjalan ke arah tempat tidur dan mendapati Megantara sudah tertidur. Dia menatap Megantara agak lama. Pria itu, pria yang kini menjadi suaminya. Akan jadi seperti apa hubungan mereka kedepannya. Nalini tiba-tiba takut, berada di sampingnya dalam kondisi tak dicintai namun dibenci pasti akan sangat sulit. Tapi mau bagaimana lagi. Dia harus menjalaninya. Takdir menuntunnya untuk bisa pasrah dan menerima. Nalini berjalan ke arah kasur. Membaringkan tubuhnya di samping Megantara. Memiringkan tubuhnya membelakangi Megantara lalu menarik selimutnya sampai menutupi sebagian wajahnya. Itu yang bisa ia lakukan sekarang karena Nalini sangat membutuhkan tidur nyenyak. Keesokan harinya, Megantara terbangun lebih dahulu dan melihat Nalini masih tertidur pulas di sampingnya. Kini giliran Megantara yang menatap lekat wajah gadis polos yang kini menjadi istrinya. Tersirat rasa lela