"Tentu saja kau harus menikah lagi, mau sampai kapan kau akan bertahan dengan status dudamu. Apa kau tidak ingin memiliki pendamping hidup?" Ibu Megantata mencoba membujuk anaknya.
"Bu, menikah itu bukan sebuah keputusan yang mudah," Megantara menunduk.
"Ibu tau. Kau masih menyimpan penyesalan dan rasa bersalah pada mendiang istrimu bukan?" Ibu duduk di sebelah Megantara.
"Ibu sudah tau, tapi masih saja memaksaku menikah lagi," Megantara tertawa miris.
"Ibu dan ayah yang bersalah. Seandainya dahulu ibu dan ayah tidak bersikeras menjodohkanmu. Kau tidak akan menjalani pernikahan dengan setengah hati. Lalu menyia-nyiakan istri yang begitu tulus dan perhatian padamu," sesal ibu.
"Aku tidak menyalahkan ayah dan ibu. Memang sudah jalan takdirku. Jika ayah dan ibu menyesal, itu artinya kalian juga menyesali keberadaan Sivia," tutur Megantara.
"Tentu saja tidak. Sivia adalah cucu yang sangat kami sayangi,"
"Dia hadiah terindah dari istriku," Megantara mengenang kembali wajah cantik sang istri.
"Maka dari itu, ketika kau merasa bersalah dan menyesal lebih baik kau ingat lagi kondisi Sivia. Apa kau tega membiarkan dia tumbuh tanpa perhatian seorang ibu?"
"Apa perhatianku saja tidak cukup?"
"Kau tidak sadar, perhatianmu itu lebih bersifat kekangan,"
Megantara terkekeh, "Ya, aku seorang ayah yang over protektif."
"Jika kau takut Sivia mendapatkan ibu tiri seperti di film-film, singkirkan pikiran itu. Jika ada gadis yang mencintaimu. Pasti dia juga akan mencintai Sivia,"
"Ibu,"
"Tidak usah terlalu banyak mengelak, perdebatan kita tidak ada habisnya. Intinya adalah. Kau harus mulai membuka hatimu. Kau paham?"
Megantara masih terdiam. Tak menjawab dan tak lagi protes. Sang ibu berjalan meninggalkan Megantara yang akhirnya terhanyut dalam pikirannya.
***
"Waaah. Cantik sekali donatnya," Nalini memuji hasil karya dari salah satu murid di TK. Hari ini dia mulai bekerja sampingan di TK Lentera Ilmu. Tempat dimana sahabatnya juga bekerja di sana. Karena perlengkapan memasak di TK masih terbilang terbatas, maka dii hari pertamanya menjadi guru di kelas memasak Nalini mengajarkan membuat cemilan yang simpel. Dia memperagakan proses pembuatan donat goreng. Dan meminta para murid untuk menghiasnya dengan coklat glaze dan beberapa toping sesuai dengan kreativitas murid. Anak-anak yang berusia lima tahun itu terlihat sangat antusias mengikuti arahan dari Nalini, termasuk Sivia. Sedari tadi dia asyik memperhatikan Nalini, lalu menghias donatnya sedemikian rupa.
Nalini berulang kali mengecek jam di tangannya. Dia tiba-tiba gelisah karena waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi, dia harus segera pergi ke suatu tempat jika ia tidak ingin terlambat.
"Lin, cooking class hari ini sukses besar. Anak-anak terlihat sangat senang" puji Sandra saat mengamati suasana kelas.
"San, bolehkah aku meminta bantuanmu? Aku buru-buru karena harus pergi ke suatu tempat. Maukah kau membantuku membereskan semuanya dan melanjutkan kelas sampai semua pulang?" Nalini merasa bersyukud dengan kemunculan Sandra.
"Mau kemana kau? Ini hari pertamamu. Kau tidak takut dimarahi oleh ibu kepala? Kesan pertamamu kemarin saja tergolong buruk,"
"Bagaimana ini? Aku bingung. Tapi ini kesempatan emas. Tadi malam aku mendapatkan info lowongan pekerjaan koki di hotel. Aku langsung mengirimkan cv melalui email dan ternyata seleksinya hari ini, aku mohon bantu aku," Nalini terdengar gugup.
"Mendadak sekali. Tapi baiklah. Kau cepatlah pergi," Sandra selalu tak tega dengan sahabatnya satu itu.
"Terima kasih, Sandra. Aku pasti akan membalas kebaikanmu," Nalini langsung melepas apron di tubuhnya lalu menyambar tas dan segera berlari meninggalkan kelas. Sandra mencoba menyunggingkan senyum ke arah anak-anak yang menatap kepergian Nalini dengan bingung.
Nalini mempercepat langkahnya. Dia baru saja turun dari taksi. Perjalanan dari TK menuju hotel memakan waktu yang cukup lama. Dan kini jam menunjukkan pukul setengah dua belas. Dia sudah terlambat setengah jam. Apakah dia akan diterima untuk sekedar mengikuti seleksi?
Memasuki hotel megah membuat Nalini gugup. Dia membulatkan tekadnya, di sini tidak ada yang tau mengenai masalalu dan skandalnya. Jadi dia harus percaya diri dan percaya pada kemampuannya. Dia bertanya pada resepsionis terkait tempat seleksi chef yang ternyata terletak pada lantai paling atas hotel dimana restoran hotel berada. Dia langsung menuju ke lift dan jantungnya berdetak semakin kencang.
Nasib baik masih berpihak padanya, kepala koki yang menjadi salah satu juri tetap memberikan kesempatan pada Nalini untuk ikut serta dalam seleksi. Meskipun tak ada tambahan waktu dalam mengerjakan misi dan juga sudah mendapatkan nilai minus karena kedisiplinan juga dinilai.
"Misi untuk seleksi kali ini adalah membuat 3 menu yang meliputi appetizer dengan berbahan dasar keju, main course dengan bahan dasar seafood dan dessert dengan bahan dasar buah. Kau tidak mempunyai tambahan waktu. Jika yang lain mendapatkan waktu 2 jam untuk mengerjakannya. Kau sudah kehilangan 30 menit pertama,"
"Siap Chef," jawab Nalini dengan lantang.
Tanpa berpikir panjang Nalini segera menjalankan misinya. Dia harus berpikir cepat. Menu apa yang paling efisien dan mudah pembuatannya tapi tetap spesial baik rasa maupun penyajiannya.
Dia segera mengambil bahan-bahan makanan yang ada di pikirannya dan mulai mengerahkan segenap kemampuan dan ketrampilan tangannya dalam menyajikan makanan dengan cepat. Tiga menu berhasil dia selesaikan tepat waktu. Mozarella crispy stick sebagai makanan pembuka, spagetty marinara atau spagetty seafood sebagai menu utama dan strawberry mousse sebagai hidangan penutup. Dia tidak tau apakah hasil karyanya bisa memuaskan para juri karena jujur persiapannya begitu mendadak. Jadi dia tidak menciptakan menu baru melainkan menghasilkan menu yang sudah ada namun dengan citarasanya.
"Penilaian sebetulnya akan dilakukan secara transparan saat ini juga. Namun dikarenakan salah satu juri belum juga hadir. Maka hasil dari penilaian tidak bisa kami sampaikan hari ini. Pengumuman tentang siapa yang menjadi pemenang dan sekaligus diterima bekerja di sini akan kami kirimkan lewat email. Cek email kalian setiap pagi,"
Dua juri sudah selesai mencicipi seluruh masakan dari 30 peserta yang hadir. Setelah itu para peserta di persilakan untuk pulang dan menunggu keputusan. Nalini berdoa dalam hati semoga Tuhan menggerakkan hati para juri untuk memilihnya. Meskipun hasil makanan dari peserta lainpun sangat menakjubkan dan tidak bisa dianggap remeh.
***
Megantara baru saja duduk di kursi kerjanya. Dia mengendorkan ikatan dasinya dan menghela nafas lelah. Dia menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi kerjanya dan memejamkan mata. Belum ada lima menit, sudah ada suara ketukan pintu.
"Masuklah," perintah Megantara.
Seseorang dengan pakaian koki masuk ke ruangan Megantara dan berjalan mendekat.
"Pak, seleksi hari ini sudah selesai. Saya harap Anda bersedia untuk memberikan penilaian meskipun terlambat,"
"Baiklah, tapi jangan semuanya. Berikan aku tiga kandidat yang menurut juri lain memiliki nilai teratas. Aku akan menentukan pilihanku dari ketiga kandidat itu,"
Sang chef tersenyum, "Saya sudah mengira-ngiranya dan ternyata perkiraan saya tepat. Saya hanya membawakan 3 paket menu makanan yang menurut kami pantas untuk Anda coba".
Megantara memandang tampilan makanan yang ada di depannya. Dia pesimis bisa menilai secara objektif. Selama beberapa tahun ketika pemilihan chef, dia hanya menilai dengan melihat tampilan makanannya saja. Baginya semua makanan di mulutnya memiliki rasa yang sama saja alias hambar. Sudah sejak lama dia kehilangan selera makannya. Dia hanya makan karena memenuhi kebutuhan saja, bukan karena dia ingin dan bernafsu.
Tapi untuk menghormati kerja keras para koki, dia mulai memasukkan satu persatu makanan itu ke dalam mulutnya. Dan ketika dia mencicipi salah satu makanan yang tersaji, tubuhnya mematung. Pandangannya kabur karena bulir air menggenangi matanya. Dia mengunyah makanan itu dan menelannya perlahan.
"Pak, apakah Anda baik-baik saja?" tanya sang chef cemas melihat kondisi bosnya.
'Makanan ini, rasanya mirip sekali dengan buatan mendiang istriku,' batin Megantara takjub. Mulutnya tidak bisa berhenti mengunyah. Spagetty yang berisi potongan seafood tersebut ludes dalam hitungan kurang dari lima menit. "Chef, siapapun yang memasak makanan ini, pekerjakan dia di restoran hotel ini," kata Megantara pada kepala koki yang masih bingung di depannya. Megantara juga tak lupa mengusap jejak air mata di pipinya. "Apakah makanannya sangat enak sehingga membuat Anda menangis Tuan?" tanya koki hati-hati. Megantara hanya mengangguk sekilas. Tidak mungkin dia terlalu blak-blakan mengatakan rasa makanan ini begitu lezat di mulutnya setelah bertahun-tahun hanya merasakan makanan yang hambar. Dia sendiri masih takjub dan tidak percaya dengan keanehan ini. Dan kebetulannya, spagetty seafood memang makanan favorit mendiang istrinya. "Bagaimana dengan dua kandidat yang lainnya tuan?" tanya kepala koki lagi. "Aku hanya menginginkan yang satu itu. Tapi jika kau ingin menerima lebi
Nalini tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Dia dipertemukan lagi dengan lelaki itu. Lelaki yang bertemu dengannya di pesawat sekaligus seorang ayah yang menuduhnya menculik seorang anak perempuan.“Kau seperti sedang melihat hantu saja Nona,” cibir Megantara.“Anda memang seperti hantu karena berada dimana-mana,” celetuk Nalini. kemudian dia menutup mulutnya dengan tangan. Dia menyadari bahwa yang sedang ia hadapi adalah CEO hotel ini. itu artinya lelaki di hadapannya adalah bos dari bosnya.Megantara terkekeh, “Akupun tak menyangka jika kau adalah chef yang diterima di restoran hotelku. Aku pikir chefnya seorag pria. Dan dari penampilanmu tidak menunjukkan jika kau bisa mengelola dapur”.Kata-kata Megantara terdengar meremehkan di telinga Nalini.“Saya juga tidak menyangka jika Anda adalah CEO sekaligus pemilik hotel sebesar ini,” Nalini memberanikan diri untuk membalas. Tapi memang betul, pada kenyataannya Nalini pikir pemilik hotel ini adalah seorang pria yang sudah berumur, b
“Ya, aku akan menerima tugas dari Anda jika aku diperbolehkan untuk mengambil libur dua hari. Hari Minggu dan Senin. Karena aku ingin menikmati akhir pekanku dan Senin aku ingin mengajar di TK,” kata Nalini memberanikan diri menyuarakan keinginannya.“Di restoran ini tidak ada karyawan yang mengajukan libur di akhir pekan karena restoran akan lebih ramai saat akhir pekan,” Megantara merasa syarat yang diajukan Nalini sulit untuk di penuhi.“Inilah mengapa aku meminta ijin khusus, karena tugas yang harus aku jalani juga khusus,” Nalini mencoba bernegosiasi.Megantara terdiam dan berpikir sejenak. Gadis di hadapannya pintar juga. Dia pasti merasa sangat dibutuhkan sehingga berani mengajukan syarat. Padahal dia bukan siapa-siapa jika bukan karena makanan buatannya terasa enak di lidah Megantara.“Bagaimana Pak? Apakah syarat saya diterima? Jika tidak, maka dengan berat hati saya memilih untuk menjadi koki restoran biasa saja. Karena tugas khusus dari Anda akan cukup sulit untuk di lakuka
Nalini berjalan mendorong troli berisi makanan masuk ke ruangan Megantara.“Apakah kau tidak bisa mengetuk pintu terlebih dahulu ketika memasuki ruangan bosmu?”“Maaf pak, saya terburu-buru karena restoran siang hari ini sangat ramai. Saya harus cepat-cepat kembali ke tempat kerja saya,” jawab Nalini memberikan alasan. Dia segera meletakkan makanan di meja tamu milik Megantara. Karena dia tidak mungkin menghidangkannya langsung di meja kerja Megantara yang penuh dengan berkas.Megantara beranjak dari duduknya, mengendorkan dasinya dan duduk di sofa. Menatap makanan yang tersaji dengan mulut menganga. Dia sudah tidak sabar untuk memindahkan makanan itu ke mulutnya.“Banyak koki lain yang bisa mengurus pelanggan restoran. Tugas utamamu adalah mengurus makanku,” Megantara memberikan ultimatum dengan nada ketusnya. Tapi ekspresinya berubah manis saat sudah menyendokkan spagetty ke mulutnya. Dia benar-benar bisa memanjakan lidahnya.Nalini menahan senyumnya melihat sang bos yang bersikap a
“Ssssttt. Jangan keras-keras,” kata Kepala Chef pada Nalini dan Nalini menjawab dengan anggukan. “Aku yakin seratus persen, barusan Vero memperingatkanmu untuk tidak bersikap genit dan menggoda Pak Megantara,” kepala Chef menebak.“Ya, tebakan Anda tepat sekali, dan aku sempat heran tapi kini aku sudah memahaminya,” Nalini terkekeh.“Pak Megantara memang high quality duda di dunia ini, kau harus merasa beruntung bisa berkomunikasi langsung dengan beliau. Jadi jangan kaget jika banyak pegawai di hotel ini merasa iri padamu,” kepala Chef ternyata bukan orang yang pendiam. Dia adalah pria yang banyak bicara. Mungkin juga bisa dikategorikan suka menggosip. Nalini tertawa dalam hati.“Padahal aku merasa biasa saja, dan sesungguhnya aku tidak ingin mencari musuh di sini,” kata Nalini. Nadanya sedikit miris mengingat pengalaman bekerjanya di luar negeri yang begitu pahit.“Kalau begitu, tunjukkan pada mereka bahwa kau ada di sini murni karena kemampuanmu. Aku yakin kau bisa,” kata kepala Che
Megantara meninggalkan rapat pentingnya dan langsung menuju ke rumah sakit saat wali kelas Sivia memberitahunya bahwa Sivia terserang alergi. Megantara tak bisa melajukan mobilnya dengan cepat karena jalanan yang macet. Dia hanya berdoa semoga tidak terjadi hal buruk pada Sivia karena selama ini dia selalu mewanti-wanti pada anggota keluarganya agar menjauhkan makanan yang bisa mencetuskan alergi Sivia.Sesampainya di rumah sakit, dia berlari menyusuri memasuki IGD dan mencari keberadaan putri kecilnya.“Sivia,” seru Megantara lantang saat melihat Sivia terbaring lemah di ranjang rumah sakit.Dia berjalan mendekat dan menggenggam tangan Sivia, “Sayang, kau baik baik saja?” kata Megantara dengan lembut. Dielusnya pipi merah milik Sivia. Sivia membuka kelopak matanya dan tersenyum melihat kedatangan sang ayah.“Ayah,” Sivia duduk dan memeluk sang ayah.Megantara mengelus punggung sang anak. dia menghembuskan nafasnya lega. Anaknya baik-baik saja. Tapi mengapa keteledoran terjadi. Dia me
Megantara melihat ke arah jam tangannya. Sudah pukul sepuluh pagi, namun sarapannya belum juga datang. Dia sudah kelaparan. Sedari tadi dia hanya meminum kopi pahit dan mengerjakan pekerjaan.“Kemana gadis itu? Apakah sudah bosan bekerja di sini?” gerutu Megantara. Dia beranjak dari duduknya. Berjalan mondar mandir.“Apakah gadis itu marah padaku karena memarahinya dan tidak mau memasak untuknya lagi?” Megantara berpikir keras. Dan lalu menggelengkan kepala. Hal ini tidak boleh terjadi. Dia akan kehilangan seleranya lagi jika bukan gadis itu yang memasakkan makanan untuknya.Megantara berinisiatif mendatangi restoran sendiri. Dia berjalan keluar dari kantornya dan berjalan menuju restoran. Di dalam perjalanannya semua orang yang berpapasan dengannya menunduk dan memberi salam.Dia duduk di salah satu kursi di restoran. Secara otomatis beberapa pegawai langsung menghampirinya.“Selamat pagi Pak Megantara. Adakah yang bisa saya bantu?” tanya salah satu waiters senior di restoran.Para p
Wajah sang ibu memerah. Beberapa detik kemudian dia justru menangis sesenggukan. Dia tidak tau bagaimana cara menjelaskan pada Nalini tentang keberadaan sang adik. “Bu, mengapa ibu justru menangis? Ada apa dengan Nalita?” Nalini tidak tau maksud dari tangisan sang ibu. Sang ibu tetap belum sanggup merespon pertanyaan Nalini. “Apa Nalita juga kabur dari rumah karena tidak sanggup dengan paksaan ayah? Apa yang sudah ayah paksakan terhadap kehidupan Nalita, Bu?” Nalini mencoba menebak. Meskipun dia ragu dengan tebakannya sendiri. Nalita bukan gadis yang suka membangkang seperti dirinya. Apakah mungkin Nalita akan mengikuti jejaknya dengan berbuat nekat? Sang ibu menggeleng. Memberi tanda bahwa apa yang di katakan Nalini tidak tepat. Nalini mengusap pipi sang ibu dan membantu menghapus bulir air mata yang belum berhenti berjatuhan. “Tidak, Lin. Bukan seperti itu kenyataan yang terjadi. Ibu malah akan bersyukur jika Nalita memilih untuk kabur sepertimu,” jawaban dari sang ibu justru mem
Nalini menunggu penjelasan dari Megantara dengan terus menatap pria itu. "Apakah kau ingat bahwa saat kita masih kecil kita pernah bertemu? Di acara ulang tahun perusahaan ayahku. Kau datang bersama ayahmu," kata Megantara. Nalini mencoba mengingat. "Kau menolongku yang sedang dirundung oleh beberapa teman seusiaku. Gadis kecil pemberani," Megantara memberikan petunjuk. Nalini mengingat sesuatu."Tunggu dulu, apakah kau laki-laki gembul berkacamata?" tanyanya saat mengingat kejadian beberapa tahun silam. Megantara mengangguk. "Kau menjatuhkan jepit rambut ini. Sepertinya begitu khusus dibuatkan oleh seseorang untukmu," kata Megantara. "Ya. Ini pemberian ibuku. Ibuku membuatkan milikku dengan inisial NN dan milik Nalita dengan NT. Aku menangis semalaman karena kehilangan jepit rambut ini. Tapi mengapa kau masih menyimpannya sampai sekarang? Ini sudah sangat lama.Megantara tersenyum menatap jepit rambut itu. "Seperti di film-film. Aku jatuh cinta dengan gadis pemilik jepit rambut i
"Mengapa kau memintaku yang membebaskanmu?" tanya Megantara mendengar penuturan Nalini dengan raut wajah serius. "Karena hanya kau yang bisa. Aku sadar, yang selama ini paling terluka adalah kau, maafkan aku," kata Nalini tulus. Megantara tersenyum miris. Dia memasukkan kedua tangannya di dalam saku celananya. "Aku sudah mencoba memilih untuk pergi agar kau tidak semakin terluka. Tapi ternyata caraku salah. Tuhan tidak merestui itu karena pada akhirnya kau bisa kembali menemukanku. Saat ini aku tau, kau membawaku dan menempatkanku disampingmy semata-mata agar aku bisa menebus kesalahanku. Kau sengaja bersikap dingin, acuh, seolah tak peduli padaku," Nalini berkata panjang lebar lalu menunggu respon dari Megantara yang masih saja diam. "Lalu kau menerima sikapku?" Megantara justru balik bertanya. "Tidak masalah jika kau bersikap seperti itu karena rasa kecewamu yang begitu mendalam. Tapi sampai kapan? Aku memang egois, tapi tidak bisakah aku berharap bahwa takdir memberikanku kese
Megantara menoleh ke arah pria yang kini berdiri di sampingnya. "Rupanya Anda punya rasa percaya diri yang tinggi. Bisa memuji seorang wanita di hadapan suaminya," kata Megantara sarkas. "Sama seperti Anda. Anda juga sangat percaya diri karena Anda berani memasuki ruangan yang hanya pegawai saja yang boleh masuk meskipun Anda sudah membooking seluruh restoran," balas Haris tak kalah sarkas. Nalini sudah menyelesaikan pekerjaannya dan juga sudah meminta pelayan untuk menyajikan menu makan siang pada para tamu yang sudah datang. Nalini melirik ke arah pintu dan melihat dua pria tinggi dan tampan berdiri di sana. Nalini lantas menghampiri mereka. "Bagaimana bisa kau masuk kesini?" tanya Nalini pada Megantara. "Tentu saja menemuimu. Aku ingin mengenalkanmu pada rekan bisnisku," seulas senyum terbit di wajah Megantara. Membuat Nalini justru mengerutkan alisnya. Hal yang tak disangka juga Megantara lakukan. Memeluk pinggang Nalini di hadapan Haris. Seolah menunjukkan hak milik bahwa N
Megantara mengancingkan kerah kemejanya sambil menatap dirinya di pantulan kaca. Sesekali dia melirik Nalini yang juga masuk ke dalam pantulan kaca di belakangnya. Masih terlelap tidur di bergelung selimut. Tadi malam sesampainya di hotel mereka tidak banyak berkomunikasi. Saling diam dengan aktivitasnya masing-masing sampai pada akhirnya Nalini sudah tertidur lebih dulu disaat Megantara sedang berada di depan laptopnya. Mempersiapkan bahan yang harus dibahas untuk rapat hari ini. Sepertinya Nalini begitu lelah sampai saat Megantara sudah siap berangkatpun dia belum juga terbangun. Setelah selesai memakai jasnya, dia berjalan mendekat ke arah tempat tidur. Menuliskan di secarik kertas yang berada di nakas lalu pergi meninggalkan Nalini tanpa berniat membangunkan. Tiga puluh menit kemudian Nalini terbangun dengan sendirinya. Dia mengedarkan penglihatannya di sekeliling ruangan dan sepi. Tidak ada pria tampan yang merupakan suaminya. Nalini melihat jam yang tertata di nakas dan melo
Megantara mengatur nafasnya. Berada di dekat Nalini membuat detak jantungnya tak beraturan. Apalagi semenjak menikah, Nalini terlihat lebih cantik di matanya. Sulit rasanya untuk mengelak. Tapi dia harus ingat misi balas dendamnya saat menikahi Nalini. Membiarkan Nalini tetap di sampingnya. Tapi tidak dengan memberikan cintanya. Baru berapa hari namun rencananya terancam gagal jika dia tak bisa mempertahankan egonya dan juga luluh dengan Nalini.Megantara membasuh wajahnya dengan air keran. Menatap pantulan dirinya di kaca. Megantara merutuki kebodohannya sendiri. Dia harus mengembalikan akal sehatnya lalu memperingatkan dirinya untuk menjaga jarak dari Nalini. Mungkin itu yang harus ia lakukan agar bisa mempertahankan pendiriannya. Megantara membuka pintu kamar mandi dan keluar. Nalini sedang duduk di atas tempat tidur sambil menatap ke arah kamar mandi. Menunggu suaminya muncul. "Untuk apa kau melihat kesini. Tidurlah. Sudah malam," perintah Megantara. "Aku menunggumu. Kau terli
"Aku tidak tau harus mendefinisikan seperti apa tentang pernikahanku," jawab Megantara terhadap pertanyaan dari Niko. "Jujur saja, kau pasti bahagia karena bisa menikah dengan gadis yang kau cintai. Aku tidak bisa membayangkan jika saat itu kau jadi menikah dengan adikku. Akan jadi seperti apa kehidupanmu nantinya," kata Niko dengan senyum tulusnya dan menunduk di akhir kalimatnya karena malu. "Entahlah. Cinta? Aku tidak yakin apakah masih ada cinta dihatiku untuk gadis itu," Megantara mendesah. "Tapi kaupun juga tidak yakin apakah kau benar-benar membencinya atau tidak. Aku rasa ini tentang waktu, waktu yang akan berbicara," kata Niko. Megantara mengerutkan alis. Dia tau bahwa perkataan Niko ada benarnya. Megantara juga tak bisa terlalu yakin terhadap rasa benci dan marahnya pada Nalini. ***Megantara pulang larut. Semestinya di hari-hari awal pernikahannya, seorang suami tak akan meninggalkan pengantinnya hingga larut. Tapi Megantara seperti sengaja. Sengaja menjaga jarak dari N
Niko berlari menuju ke kamar Starla saat mendengar Mona memanggil namanya dengan berteriak. Starla tergeletak tak berdaya di lantai. Di sekelilingnya ada obat yang bertaburan tak beraturan. Mona menduga bahwa Starla sengaja mengkonsumsi obat secara berlebihan karena ingin mengakhiri hidupnya. Impiannya untuk menikah dengan orang yang ia cintai pupus. Lalu ia justru dihamili oleh pria lain. Niko menggendong Starla lalu berlari membawa adiknya itu ke mobil. Ibu Starla hanya bisa merapalkan doa. Semoga tidak terjadi hal buruk pada anaknya dan calon cucunya. Dia ikut masuk ke dalam mobil bersama Niko dan juga Mona. Starla segera mendapat pertolongan medis sesampainya di rumah sakit, beruntunglah Starla karena belum terlambat untuk menyelamatkan nyawanya dan juga bayi yang ada di dalam kandungannya. "Harusnya aku mati saja," keluh Starla saat dia sudah dipindahkan ke ruang rawat inap dan sudah sadarkan diri. Niko tertawa mencemooh, "Kau pikir dengan bunuh diri urusannya akan selesai?
Nalini merasa bingung bagaimana cara menjawab pertanyaan mertuanya. Dia memang tidak terbiasa memanggil Megantara dengan namanya saja atau sebutan lain. Selalu dengan sebutan Pak. Dulu saat masih berpacaranpun dia kesulitan dan tidak biasa memanggil dengan sebutan tidak formal. Sivia terkekeh melihat ekspresi Nalini. Megantara tak menolong sama sekali. Dia sedang berkutat pada makanannya yang sebetulnya sama sekali tidak penting karena tidak ada rasanya bagi lidah pria itu. "Kau bisa memanggilnya dengan sebutan kak, mas, atau sayang," ujar ibu mertuanya. "Maaf, aku belum terbiasa," jawab Nalini sambil menggeleng pelan. "Tara, menurutmu istrimu harus memanggilmu dengan sebutan apa? Ajarilah dia," goda sang ayah. Megantara terlihat berpikir lalu menatap Nalini dengan tatapan yang sulit diartikan. Nalini paling tidak bisa ditatap dengan intens seperti itu jadi dia menunduk. "Aku terserah saja, pilihan ketiga juga tidak buruk," jawab Megantara dengan nada datar. Nalini buru-buru me
Nalini baru saja selesai membersihkan dirinya. Badannya sangat lelah karena seharian berdiri menjadi ratu sehari. Dia berjalan ke arah tempat tidur dan mendapati Megantara sudah tertidur. Dia menatap Megantara agak lama. Pria itu, pria yang kini menjadi suaminya. Akan jadi seperti apa hubungan mereka kedepannya. Nalini tiba-tiba takut, berada di sampingnya dalam kondisi tak dicintai namun dibenci pasti akan sangat sulit. Tapi mau bagaimana lagi. Dia harus menjalaninya. Takdir menuntunnya untuk bisa pasrah dan menerima. Nalini berjalan ke arah kasur. Membaringkan tubuhnya di samping Megantara. Memiringkan tubuhnya membelakangi Megantara lalu menarik selimutnya sampai menutupi sebagian wajahnya. Itu yang bisa ia lakukan sekarang karena Nalini sangat membutuhkan tidur nyenyak. Keesokan harinya, Megantara terbangun lebih dahulu dan melihat Nalini masih tertidur pulas di sampingnya. Kini giliran Megantara yang menatap lekat wajah gadis polos yang kini menjadi istrinya. Tersirat rasa lela