Wajah sang ibu memerah. Beberapa detik kemudian dia justru menangis sesenggukan. Dia tidak tau bagaimana cara menjelaskan pada Nalini tentang keberadaan sang adik. “Bu, mengapa ibu justru menangis? Ada apa dengan Nalita?” Nalini tidak tau maksud dari tangisan sang ibu. Sang ibu tetap belum sanggup merespon pertanyaan Nalini. “Apa Nalita juga kabur dari rumah karena tidak sanggup dengan paksaan ayah? Apa yang sudah ayah paksakan terhadap kehidupan Nalita, Bu?” Nalini mencoba menebak. Meskipun dia ragu dengan tebakannya sendiri. Nalita bukan gadis yang suka membangkang seperti dirinya. Apakah mungkin Nalita akan mengikuti jejaknya dengan berbuat nekat? Sang ibu menggeleng. Memberi tanda bahwa apa yang di katakan Nalini tidak tepat. Nalini mengusap pipi sang ibu dan membantu menghapus bulir air mata yang belum berhenti berjatuhan. “Tidak, Lin. Bukan seperti itu kenyataan yang terjadi. Ibu malah akan bersyukur jika Nalita memilih untuk kabur sepertimu,” jawaban dari sang ibu justru mem
Megantara membolak balik beberapa lembar foto para gadis beserta biodata lengkapnya. Ibunya mengumpulkan banyak informasi mengenai gadis yang dinilai cocok untuk dijadikan pendamping Megantara. Megantara meletakkan lembaran-lembaran itu dengan kasar. Dia menyandarkan kepalannya di sandaran kursi kerjanya dan mendengus. Ibunya benar-benar kurang kerjaan.Sudah berkali-kali dia mengatakan pada sang ibu bahwa bukan hal yang mudah untuk memutuskan mencari pasangan lagi. Ada Sivia yang harus dia jaga agar bertumbuh dengan bahagia. Megantara tidak mau egois dengan mengorbankan perasaan putrinya. Lagipula saat ini belum ada gadis yang benar-benar membuatnya jatuh cinta. Jujur termasuk sang istripun begitu.Rasa yang Megantara miliki untuk istrinya jika ditelusuri dengan baik bukanlah rasa cinta yang mendalam. Selama menikah, dia tidak pernah mencintai sang istri. Hadirnya Sivia kedunia inipun bukan karena saling cinta. Sivia hadir karena keteledoran Megantara di suatu malam saat dia begitu p
Megantara sedang menaiki mobilnya menuju ke rumah. Hari ini dia memutuskan untuk pulang ke rumah lebih awal karena dia sudah merasa kelelahan. Dia ingin sekali bertemu dengan putri kecilnya, bersenda gurau dan melepas penat. Di tengah perjalanan, dia melihat kios buah. Tiba-tiba terbersit di pikirannya untuk mengirimkan parcel buah ke sesorang yang saat ini sedang sakit. Siapa lagi kalau bukan Nalini.Megantara membuka tabletnya dan mencari file cv milik Nalini, mengingat-ingat alamat tempat tinggal Nalini. Lalu dia turun dari mobil dan memasuki kios buah. Setelah memesan parcel buah dan meminta sang penjual untuk mengirimkan ke alamat yang ditulisnya, dia kembali melajukan mobilnya untuk pulang.“Sivia, kau sedang apa?” tanya sang ayah saat mendatangi gadis kecilnya yang sedang duduk di taman sambil memegag pensil dan buku gambar di pangkuannya.“Aku sedang mencari inspirasi untuk tugas menggambar di sekolah,” jawabnya sambil tak lupa memberikan senyum termanisnya untuk sang ayah yan
“Apa yang ingin nenek tanyakan padaku?” tanya Sivia. Dia mengubah posisinya menjadi duduk.“Nenek ingin menanyakan tentang bu guru Sivia yang mengajar memasak. Yang tadi disebut namanya oleh ayahmu. Siapa namanya?” tanya nenek penasaran.Sivia langsung sumringah ketika membicarakan gurunya itu, “Bu Nalini?”“Oh, bu Nalini. Apakah kau mengenalnya dengan baik? Bagaimana orangnya?”Sivia mengangguk semangat, “Dia sangat cantik dan baik. Dia pintar memasak. Aku sangat suka pelajaran memasak di hari senin. Dan Bu Nalini juga yang menolong Sivia saat Sivia alergi.”“Kau tau usia bu Nalini berapa?” nenek masih menginterogasi cucunya.“Tidak tau. Tapi jika melihat wajah cantiknya, sepertinya dia lebih muda dari ayah,” kata Sivia mencoba menerka-nerka.Sang nenek tersenyum penuh arti, sepertinya dia memiliki sebuah ide brilian. Dia dengan semangat membisikkan sesuatu ke telinga Sivia dan Sivia terkekeh karena geli. Namun tetap mendengarkan apa yang dikatakan oleh neneknya dan menganggukkan kep
Awalnya Megantara tidak yakin apakah pelukannya akan bisa membuat Nalini menghentikan tangisannya. Tapi ternyata pelukan itu memang berpengaruh besar bagi Nalini. Nalini sudah lama tak merasakan pelukan senyaman itu dari seseorang. Perlahan-lahan nafasnya mulai teratur. Tangisannyapun mulai reda.Megantara masih terdiam di posisinya, dia tak tau mengapa dia rela menjadikan tubuh kekarnya sebagai sandaran gadis yang notabene bukan siapa-siapa baginya. Tapi yang jelas nalurinya sebagai seorang pria baik-baik menuntunnya.Ada sedikit rasa tidak tega melihat Nalini terpuruk. Megantara merasa, jika gadis yang ia kira kuat seperti Nalini bisa menangis dan terlihat rapuh seperti saat ini, berarti ada masalah yang benar-benar tak bisa ia hadapi.Nalini mulai tersadar saat tangisnya terhenti. Dia mulai bisa menggunakan akal sehatnya dan menyadari dia di posisi yang salah, siapa yang sudah berani ia peluk dan ia basahi bahunya? Nalini mengendorkan pelukannya dan menengadahkan kepala.Nalini ter
Megantara memasuki tempat yang sebenarnya malas untuk ia datangi karena suasana ramai dan suara bising yang ditimbulkan dari alunan musik yang berdentum keras. Tapi malam ini Niko mengajaknya untuk bertemu di tempat itu, apalagi kalau bukan di sebuah club malam yang paling sering Niko kunjungi. Tak butuh waktu lama bagi Megantara untuk mencari keberadaan sang sahabat karena Niko selalu duduk di tempat favoritnya dan tak lupa ditemani dua gadis berpakaian seksi yang merusak penglihatan itu. “Untuk apa memintaku mendatangimu kesini lagi? Apa kau lupa dengan pengalaman burukku saat terakhir menginjakkan kaki disini?” omel Megantara pada Niko. Niko terkekeh, melihat sahabatnya datang dengan wajah yang kesal dan langsung mengomel. “Bagaimana mungkin aku lupa? Semua gadis cantik di sini seperti ingin menerkammu malam itu.” “Gadis cantik? Gadis nakal adalah istilah yang lebih tepat,” Megantara berbicara sarkas. Kedua gadis yang menemani Niko saling melirik. Mereka merasa tersindir. Mereka
“Sivia,mengapa kau menangis?” Megantara masuk ke kamar Sivia dan langsung mendatangi Sivia yang terduduk sambil berlinangan air mata. Tadi Megantara langsung pulang begitu sang ibu menghubunginya dan mengatakan bahwa Sivia terbangun dari tidurnya sambil berteriak dan menangis.“Ayah,” Sivia masih sesenggukan. Megantara mengusap kedua pipi sang anak. “Aku mengalami mimpi buruk,” tambah sang anak.Sang ayah menaikkan alisnya. Baru kali ini Sivia mengalami mimpi buruk sampai menangis.“Aku bermimpi teman-teman meledekku karena aku tidak punya ibu,” air mata kembali bercucuran. Nalini membayangkan gambaran di mimpinya lagi.“Mimpi itu adalah bunga tidur. Jadi kau tidak perlu bersedih. Itu tidak akan terjadi di dunia nyata, Nak,” Megantara memeluk sang anak untuk membuat Sivia nyaman.“Tapi tetap saja aku tidak bisa untuk tidak bersedih,” Sivia menjawab.“Maafkan ayah. Ayah belum bisa memenuhi harapanmu,” Megantara menghela nafas, dia juga sebenarnya merasa kasihan pada Sivia.Dulu saat m
“Selamat siang, Anda guru Sivia yang bernama Bu Nalini?” tanya Nenek. Dia memperhatikan Nalini dari atas sampai bawah dan tidak menemukan kekurangan. Sosok Nalini begitu sempurna.“Ya betul sekali. apakah Sivia sering bercerita di rumah?” tanya Nalini sambil menunjukkan senyumnya.“Ya. Dia sangat menyukai pelajaran memasak dan juga sangat menyukai gurunya. Anak lelakiku juga pernah bercerita tentang Anda,”Nalini mengerutkan keningnya. Butuh waktu beberapa detik untuk mencerna perkataan sang nenek di hadapannya.“Oh, maksud Anda Pak Megantara?” tanya Nalini memastikan.“Ya, dia juga sepertinya menyukai masakanmu. Dia tidak pernah meminta dimasakkan oleh koki untuk makan sehari-hari sebelum ini. berarti makananmu begitu spesial bagi anakku,” Nenek tersenyum penuh arti.Nalini hanya bisa tersenyum kikuk. Mendapatkan pujian dari ibu dari bos besarnya, tentu saja dia merasa senang tapi juga tidak enak hati.“Lain kali sepertinya aku harus mempersilakanmu untuk menggunakan dapurku. Aku jug
Nalini menunggu penjelasan dari Megantara dengan terus menatap pria itu. "Apakah kau ingat bahwa saat kita masih kecil kita pernah bertemu? Di acara ulang tahun perusahaan ayahku. Kau datang bersama ayahmu," kata Megantara. Nalini mencoba mengingat. "Kau menolongku yang sedang dirundung oleh beberapa teman seusiaku. Gadis kecil pemberani," Megantara memberikan petunjuk. Nalini mengingat sesuatu."Tunggu dulu, apakah kau laki-laki gembul berkacamata?" tanyanya saat mengingat kejadian beberapa tahun silam. Megantara mengangguk. "Kau menjatuhkan jepit rambut ini. Sepertinya begitu khusus dibuatkan oleh seseorang untukmu," kata Megantara. "Ya. Ini pemberian ibuku. Ibuku membuatkan milikku dengan inisial NN dan milik Nalita dengan NT. Aku menangis semalaman karena kehilangan jepit rambut ini. Tapi mengapa kau masih menyimpannya sampai sekarang? Ini sudah sangat lama.Megantara tersenyum menatap jepit rambut itu. "Seperti di film-film. Aku jatuh cinta dengan gadis pemilik jepit rambut i
"Mengapa kau memintaku yang membebaskanmu?" tanya Megantara mendengar penuturan Nalini dengan raut wajah serius. "Karena hanya kau yang bisa. Aku sadar, yang selama ini paling terluka adalah kau, maafkan aku," kata Nalini tulus. Megantara tersenyum miris. Dia memasukkan kedua tangannya di dalam saku celananya. "Aku sudah mencoba memilih untuk pergi agar kau tidak semakin terluka. Tapi ternyata caraku salah. Tuhan tidak merestui itu karena pada akhirnya kau bisa kembali menemukanku. Saat ini aku tau, kau membawaku dan menempatkanku disampingmy semata-mata agar aku bisa menebus kesalahanku. Kau sengaja bersikap dingin, acuh, seolah tak peduli padaku," Nalini berkata panjang lebar lalu menunggu respon dari Megantara yang masih saja diam. "Lalu kau menerima sikapku?" Megantara justru balik bertanya. "Tidak masalah jika kau bersikap seperti itu karena rasa kecewamu yang begitu mendalam. Tapi sampai kapan? Aku memang egois, tapi tidak bisakah aku berharap bahwa takdir memberikanku kese
Megantara menoleh ke arah pria yang kini berdiri di sampingnya. "Rupanya Anda punya rasa percaya diri yang tinggi. Bisa memuji seorang wanita di hadapan suaminya," kata Megantara sarkas. "Sama seperti Anda. Anda juga sangat percaya diri karena Anda berani memasuki ruangan yang hanya pegawai saja yang boleh masuk meskipun Anda sudah membooking seluruh restoran," balas Haris tak kalah sarkas. Nalini sudah menyelesaikan pekerjaannya dan juga sudah meminta pelayan untuk menyajikan menu makan siang pada para tamu yang sudah datang. Nalini melirik ke arah pintu dan melihat dua pria tinggi dan tampan berdiri di sana. Nalini lantas menghampiri mereka. "Bagaimana bisa kau masuk kesini?" tanya Nalini pada Megantara. "Tentu saja menemuimu. Aku ingin mengenalkanmu pada rekan bisnisku," seulas senyum terbit di wajah Megantara. Membuat Nalini justru mengerutkan alisnya. Hal yang tak disangka juga Megantara lakukan. Memeluk pinggang Nalini di hadapan Haris. Seolah menunjukkan hak milik bahwa N
Megantara mengancingkan kerah kemejanya sambil menatap dirinya di pantulan kaca. Sesekali dia melirik Nalini yang juga masuk ke dalam pantulan kaca di belakangnya. Masih terlelap tidur di bergelung selimut. Tadi malam sesampainya di hotel mereka tidak banyak berkomunikasi. Saling diam dengan aktivitasnya masing-masing sampai pada akhirnya Nalini sudah tertidur lebih dulu disaat Megantara sedang berada di depan laptopnya. Mempersiapkan bahan yang harus dibahas untuk rapat hari ini. Sepertinya Nalini begitu lelah sampai saat Megantara sudah siap berangkatpun dia belum juga terbangun. Setelah selesai memakai jasnya, dia berjalan mendekat ke arah tempat tidur. Menuliskan di secarik kertas yang berada di nakas lalu pergi meninggalkan Nalini tanpa berniat membangunkan. Tiga puluh menit kemudian Nalini terbangun dengan sendirinya. Dia mengedarkan penglihatannya di sekeliling ruangan dan sepi. Tidak ada pria tampan yang merupakan suaminya. Nalini melihat jam yang tertata di nakas dan melo
Megantara mengatur nafasnya. Berada di dekat Nalini membuat detak jantungnya tak beraturan. Apalagi semenjak menikah, Nalini terlihat lebih cantik di matanya. Sulit rasanya untuk mengelak. Tapi dia harus ingat misi balas dendamnya saat menikahi Nalini. Membiarkan Nalini tetap di sampingnya. Tapi tidak dengan memberikan cintanya. Baru berapa hari namun rencananya terancam gagal jika dia tak bisa mempertahankan egonya dan juga luluh dengan Nalini.Megantara membasuh wajahnya dengan air keran. Menatap pantulan dirinya di kaca. Megantara merutuki kebodohannya sendiri. Dia harus mengembalikan akal sehatnya lalu memperingatkan dirinya untuk menjaga jarak dari Nalini. Mungkin itu yang harus ia lakukan agar bisa mempertahankan pendiriannya. Megantara membuka pintu kamar mandi dan keluar. Nalini sedang duduk di atas tempat tidur sambil menatap ke arah kamar mandi. Menunggu suaminya muncul. "Untuk apa kau melihat kesini. Tidurlah. Sudah malam," perintah Megantara. "Aku menunggumu. Kau terli
"Aku tidak tau harus mendefinisikan seperti apa tentang pernikahanku," jawab Megantara terhadap pertanyaan dari Niko. "Jujur saja, kau pasti bahagia karena bisa menikah dengan gadis yang kau cintai. Aku tidak bisa membayangkan jika saat itu kau jadi menikah dengan adikku. Akan jadi seperti apa kehidupanmu nantinya," kata Niko dengan senyum tulusnya dan menunduk di akhir kalimatnya karena malu. "Entahlah. Cinta? Aku tidak yakin apakah masih ada cinta dihatiku untuk gadis itu," Megantara mendesah. "Tapi kaupun juga tidak yakin apakah kau benar-benar membencinya atau tidak. Aku rasa ini tentang waktu, waktu yang akan berbicara," kata Niko. Megantara mengerutkan alis. Dia tau bahwa perkataan Niko ada benarnya. Megantara juga tak bisa terlalu yakin terhadap rasa benci dan marahnya pada Nalini. ***Megantara pulang larut. Semestinya di hari-hari awal pernikahannya, seorang suami tak akan meninggalkan pengantinnya hingga larut. Tapi Megantara seperti sengaja. Sengaja menjaga jarak dari N
Niko berlari menuju ke kamar Starla saat mendengar Mona memanggil namanya dengan berteriak. Starla tergeletak tak berdaya di lantai. Di sekelilingnya ada obat yang bertaburan tak beraturan. Mona menduga bahwa Starla sengaja mengkonsumsi obat secara berlebihan karena ingin mengakhiri hidupnya. Impiannya untuk menikah dengan orang yang ia cintai pupus. Lalu ia justru dihamili oleh pria lain. Niko menggendong Starla lalu berlari membawa adiknya itu ke mobil. Ibu Starla hanya bisa merapalkan doa. Semoga tidak terjadi hal buruk pada anaknya dan calon cucunya. Dia ikut masuk ke dalam mobil bersama Niko dan juga Mona. Starla segera mendapat pertolongan medis sesampainya di rumah sakit, beruntunglah Starla karena belum terlambat untuk menyelamatkan nyawanya dan juga bayi yang ada di dalam kandungannya. "Harusnya aku mati saja," keluh Starla saat dia sudah dipindahkan ke ruang rawat inap dan sudah sadarkan diri. Niko tertawa mencemooh, "Kau pikir dengan bunuh diri urusannya akan selesai?
Nalini merasa bingung bagaimana cara menjawab pertanyaan mertuanya. Dia memang tidak terbiasa memanggil Megantara dengan namanya saja atau sebutan lain. Selalu dengan sebutan Pak. Dulu saat masih berpacaranpun dia kesulitan dan tidak biasa memanggil dengan sebutan tidak formal. Sivia terkekeh melihat ekspresi Nalini. Megantara tak menolong sama sekali. Dia sedang berkutat pada makanannya yang sebetulnya sama sekali tidak penting karena tidak ada rasanya bagi lidah pria itu. "Kau bisa memanggilnya dengan sebutan kak, mas, atau sayang," ujar ibu mertuanya. "Maaf, aku belum terbiasa," jawab Nalini sambil menggeleng pelan. "Tara, menurutmu istrimu harus memanggilmu dengan sebutan apa? Ajarilah dia," goda sang ayah. Megantara terlihat berpikir lalu menatap Nalini dengan tatapan yang sulit diartikan. Nalini paling tidak bisa ditatap dengan intens seperti itu jadi dia menunduk. "Aku terserah saja, pilihan ketiga juga tidak buruk," jawab Megantara dengan nada datar. Nalini buru-buru me
Nalini baru saja selesai membersihkan dirinya. Badannya sangat lelah karena seharian berdiri menjadi ratu sehari. Dia berjalan ke arah tempat tidur dan mendapati Megantara sudah tertidur. Dia menatap Megantara agak lama. Pria itu, pria yang kini menjadi suaminya. Akan jadi seperti apa hubungan mereka kedepannya. Nalini tiba-tiba takut, berada di sampingnya dalam kondisi tak dicintai namun dibenci pasti akan sangat sulit. Tapi mau bagaimana lagi. Dia harus menjalaninya. Takdir menuntunnya untuk bisa pasrah dan menerima. Nalini berjalan ke arah kasur. Membaringkan tubuhnya di samping Megantara. Memiringkan tubuhnya membelakangi Megantara lalu menarik selimutnya sampai menutupi sebagian wajahnya. Itu yang bisa ia lakukan sekarang karena Nalini sangat membutuhkan tidur nyenyak. Keesokan harinya, Megantara terbangun lebih dahulu dan melihat Nalini masih tertidur pulas di sampingnya. Kini giliran Megantara yang menatap lekat wajah gadis polos yang kini menjadi istrinya. Tersirat rasa lela