"Anak-anak. Hari ini kita akan membuat pancake. Siapa disini yang suka memakan pancake untuk sarapan?" Tanya Nalini pada para siswi TK di kelas. "Sayaaaaa..." seru beberapa siswa sambil tak lupa mengacungkan jarinya dengan semangat. "Adakah yang bisa membuatnya sendiri? Atau hanya tinggal memakannya saja?" tanya Nalini lagi. "Tinggal makan," jawab sebagian besar anak. Nalini terkekeh. "Lalu toping apa yang kalian suka untuk di tambahkan ke atas pancake yang sudah matang?" Nalinipun bersemangat."Coklat. . . Stroberi. . . Gula halus. . . Madu. . . Keju. . .," jawab para siswa berbarengan."Waw. Sangat beragam sekali ya. Hari ini Bu Nalini sudah menyiapkan bahan-bahan yang bisa kita gunakan untuk membuat pancake. Lalu sudah ada beberapa bahan juga yang bisa kita gunakan sebagai toping. Pesan bu Nalini, karena hari ini kita memasak menggunakan kompor, maka kalian harus tetap berhati-hati. Mengerti?" "Yaaaaaaa.. Chef," jawab anak-anak layaknya seorang chef. "Apakah kalian sudah siap
Megantara, Nalini dan Sivia berjalan bertiga menuju mobil. Aktivitas makan bersama dan bermain telah usai. Sivia sudah mulai mengantuk dan harus tidur siang. Megantarapun harus kembali ke hotel. "Kau senang hari ini?" Tanya Megantara pada sang anak. Sivia mengangguk bersemangat, "Andaikan saja bu Nalini ikut pulang ke rumah bersama kita. Aku pasti akan lebih lebih lebih senang lagi."Nalini merasa gemas dengan nada bicara si gadis kecil yang salah satu tangannya ia genggam itu. "Kau harus sering-sering membujuk bu Nalini kalau keinginanmu ingin terwujud," titah sang ayah. "Apakah ayah menyetujuinya?" Tanya Sivia dengan wajah berbinar. "Itu tergantung Bu Nalini," jawab sang ayah. "Oke. Aku akan berjuang lebih keras lagi," kata Sivia bersemangat. Nalini tidak ikut berkomentar namun dia tersenyum. Bahagia rasanya bisa tertawa bersama dengan dua orang di hadapannya itu. Megantara dan Sivia, membawa warna baru di kehidupannya yang sudah lama sepi. Tanpa mereka sadari saat mereka sed
Keluarga Wiryo dan Keluarga Ardiawan mengobrol sambil menikmati makan malam mereka. "Megantara ini karirnya sangat bagus, tapi mengapa belum mencari pasangan lagi?" Tanya bu Wiryo. Megantara hanya tersenyum kikuk, Nalini mau tak mau ikut mendengar pembicaraan mereka. "Megantara ingin mendapatkan pasangan yang bukan sekedar pasangan untuknya saja. Tapi untuk ibu bagi Sivia," Nyonya Ardiawanlah yang menjawab. "Memangnya gadis seperti apa yang menjadi kriteria? Starla selalu ribut karena tidak bisa menarik perhatian Megantara," ibu Starla semakin penasaran. "Bisa membuatku dan Sivia jatuh cinta," Megantara. Seorang lelaki yang tidak pernah berkata tentang cinta. Malam ini menyebut kata itu dan didengar banyak orang. Semua mata tertuju padanya. "Aku bukanlah orang yang sempurna dan mungkin masalaluku bersama ibu Sivia juga tak sempurna. Jadi aku tidak ingin mengulang kesalahan yang sama. Aku ingin menemukan wanita yang membuatku yakin aku bisa mencintainya. Dan membuatku yakin Sivia
"Jika kau terlalu lama memelukku, apakah kau tidak takut kesulitan melepaskannya?" tanya Nalini. Megantara menghirup dalam-dalam aroma tubuh Nalini sambil menggeleng. "Anehnya aku tidak takut. Aku juga tidak tau ternyata rasanya senyaman ini. Aku menyesal karena baru menyadarinya."Nalini melepas secara paksa pelukan Megantara, "Maksudmu kau menyesal baru mencoba memiliki hubungan dengan wanita lagi? Jika sedari dulu kau sudah mencoba? Kau akan memilih wanita lain karena belum pernah bertemu denganku?" "Tentu saja tidak, aku menyesal karena Tuhan tidak mempertemukan kita sejak dulu. Bahkan aku berharap Tuhan mempertemukan kita sebelum aku menikah," Megantara mengusap pipi Nalini dengan jarinya. "Jika begitu kau tentu tidak bisa memiliki Sivia di hidupmu, bersyukur saja dengan yang Tuhan sudah takdirkan untukmu," Nalini menasehati."Ya. Aku harus bersyukur karena aku memiliki kalian, kau dan Sivia," Megantara tersenyum lebar. Senyuman itu terlihat indah di mata Nalini. "Apa pendapa
Ayah Nalini sudah masuk ke mobilnya. Dia melanjutkan perjalanan untuk rapat dengan kolega bisnisnya di sebuah gedung pertemuan. Dia sengaja singgah di restoran Mega Hotel setelah mengetahui dari mata-mata yang bekerja padanya bahwa Nalini bekerja sebagai koki di sana.Hanya dengan mencicipi satu menu saja, Ayah Nalini sudah tau bahwa itu masakan Nalini. Ego sang ayah membuatnya tak pernah mengakui jika masakan Nalini benar-benar memanjakan lidah dan sulit untuk dilupakan cita rasanya. Pikiran pria paruh baya itu menerawang jauh, selama ini dia merasa begitu bersalah. Kedua anaknya menderita dan tak bahagia karena kekangan darinya. Sedari dulu dia menganggap bahwa keputusan yang ia ambil adalah keputusan yang tepat bagi semuanya. Keputusan yang ia ambil adalah hal mutlak yang wajib dituruti oleh seluruh anggota keluarganya. Tapi apakah itu membawa kebahagiaan baginya? Ternyata sama sekali tidak. Keputusannya membuat anak sulungnya kabur dari rumah dan mengejar cita-citanya sendiri t
Nalini menatap ke arah Megantara dengan serius. Nalini lupa, pria di hadapannya begitu pemberani dan memiliki kekuasaan. Untuk bisa berhadapan dengan sang ayah pasti bukanlah hal sulit dan menakutkan. Namun dia tidak ingin memanfaatkan Megantara untuk menyelesaikan masalahnya. Seharusnya dia menyelesaikan masalahnya sendiri sebelum dia bisa benar-benar mencapai kebahagiaan yang sempurna bersama Megantara. "Tidak perlu. Aku ingin menyelesaikannya sendiri. Aku harus bisa," jawab Nalini setelah berpikir. "Kau jangan lupa, kekasihmu ini adalah Megantara. Aku ingin menjadi orang yang bisa kau andalkan," kata Megantara menyombongkan diri. "Aku tau dan tidak akan pernah lupa. Tapi untuk urusan ayahku, lebih baik aku menyelesaikannya sendiri," Nalini yakin dia bisa. Hanya saja dia masih membutuhkan waktu dan harus lebih bersabar."Baiklah, tapi melihat wajahmu yang muram seperti itu aku merasa aku bukanlah pria yang baik untukmu. Pria yang tak bisa membahagiakanmu karena tak bisa kau andal
Megantara terjatuh tepat di atas sofa. Jadi dia tidak merasa kesakitan. Nalini panik melihat sosok di pintu. "Ups.. tak perlu mendorongnya dengan terlalu keras, aku sudah menonton adegan kalian. Dan sudah mencapturenya dalam otakku," kata Niko dengan senyum jahilnya. Nalini masih kaku di tempatnya sedangkan Megantara membenarkan letak dasinya sambil memberengut kesal karena Nalini mendorongnya terlalu kencang. Adegan romantis mereka menjadi buyar."Megantara, kau belum mengatakan apa-apa padaku. Kau selalu hutang penjelasan," Niko beralih pada Megantara.Megantara menghela napas, "Kami sudah resmi menjadi sepasang kekasih. Tapi dia tidak mau oranglain tau. Tapi karena kau bukan orang lain maka tidak masalah jika kau tau."Nalini menunduk malu. Niko jadi berniat menggoda, "Banyak wanita di luar sana yang ingin mengaku memiliki hubungan spesial dengan pria itu. Mengapa kau yang jelas-jelas kekasihnya justru ingin menyembunyikannya?"Megantara mengangguk-angguk setuju dengan penuturan
Megantara dan Nalini begitu menikmati perjalanan kencan mereka berdua. Sepanjang jalan mereka banyak mengobrol. Nalini menceritakan pengalamannya bersekolah di Swiss dan mencari pengalaman kerja di sana. Megantara menjadi pendengar yang baik. Sebaliknya, ketika Megantara menceritakan perjalanan karirnya, Nalinipun mendengarkan dengan senang hati. Satu hal yang sama-sama belum mau mereka ceritakan satu sama lain. Kehidupan keluarga mereka. Dari obrolan-obrolan ringan mereka, mereka merasakan kecocokan dan kenyamanan. Mereka mensyukuri itu. Saat ini mereka sudah sampai di pantai, berjalan menyusuri bibir pantai sambil bergandengan tangan. Merasakan angin sepoi dan suara deburan ombak yang tak setiap hari bisa mereka dengar. Mereka seperti anak remaja yang baru merasakan indahnya pacaran meskipun usia mereka sudah memasuki kepala tiga. Dan saat ini, Megantara melupakan statusnya sebagai seorang ayah dari satu putri sejenak. Dia benar-benar menikmati kebersamaannya dengan Nalini. Hany
Nalini menunggu penjelasan dari Megantara dengan terus menatap pria itu. "Apakah kau ingat bahwa saat kita masih kecil kita pernah bertemu? Di acara ulang tahun perusahaan ayahku. Kau datang bersama ayahmu," kata Megantara. Nalini mencoba mengingat. "Kau menolongku yang sedang dirundung oleh beberapa teman seusiaku. Gadis kecil pemberani," Megantara memberikan petunjuk. Nalini mengingat sesuatu."Tunggu dulu, apakah kau laki-laki gembul berkacamata?" tanyanya saat mengingat kejadian beberapa tahun silam. Megantara mengangguk. "Kau menjatuhkan jepit rambut ini. Sepertinya begitu khusus dibuatkan oleh seseorang untukmu," kata Megantara. "Ya. Ini pemberian ibuku. Ibuku membuatkan milikku dengan inisial NN dan milik Nalita dengan NT. Aku menangis semalaman karena kehilangan jepit rambut ini. Tapi mengapa kau masih menyimpannya sampai sekarang? Ini sudah sangat lama.Megantara tersenyum menatap jepit rambut itu. "Seperti di film-film. Aku jatuh cinta dengan gadis pemilik jepit rambut i
"Mengapa kau memintaku yang membebaskanmu?" tanya Megantara mendengar penuturan Nalini dengan raut wajah serius. "Karena hanya kau yang bisa. Aku sadar, yang selama ini paling terluka adalah kau, maafkan aku," kata Nalini tulus. Megantara tersenyum miris. Dia memasukkan kedua tangannya di dalam saku celananya. "Aku sudah mencoba memilih untuk pergi agar kau tidak semakin terluka. Tapi ternyata caraku salah. Tuhan tidak merestui itu karena pada akhirnya kau bisa kembali menemukanku. Saat ini aku tau, kau membawaku dan menempatkanku disampingmy semata-mata agar aku bisa menebus kesalahanku. Kau sengaja bersikap dingin, acuh, seolah tak peduli padaku," Nalini berkata panjang lebar lalu menunggu respon dari Megantara yang masih saja diam. "Lalu kau menerima sikapku?" Megantara justru balik bertanya. "Tidak masalah jika kau bersikap seperti itu karena rasa kecewamu yang begitu mendalam. Tapi sampai kapan? Aku memang egois, tapi tidak bisakah aku berharap bahwa takdir memberikanku kese
Megantara menoleh ke arah pria yang kini berdiri di sampingnya. "Rupanya Anda punya rasa percaya diri yang tinggi. Bisa memuji seorang wanita di hadapan suaminya," kata Megantara sarkas. "Sama seperti Anda. Anda juga sangat percaya diri karena Anda berani memasuki ruangan yang hanya pegawai saja yang boleh masuk meskipun Anda sudah membooking seluruh restoran," balas Haris tak kalah sarkas. Nalini sudah menyelesaikan pekerjaannya dan juga sudah meminta pelayan untuk menyajikan menu makan siang pada para tamu yang sudah datang. Nalini melirik ke arah pintu dan melihat dua pria tinggi dan tampan berdiri di sana. Nalini lantas menghampiri mereka. "Bagaimana bisa kau masuk kesini?" tanya Nalini pada Megantara. "Tentu saja menemuimu. Aku ingin mengenalkanmu pada rekan bisnisku," seulas senyum terbit di wajah Megantara. Membuat Nalini justru mengerutkan alisnya. Hal yang tak disangka juga Megantara lakukan. Memeluk pinggang Nalini di hadapan Haris. Seolah menunjukkan hak milik bahwa N
Megantara mengancingkan kerah kemejanya sambil menatap dirinya di pantulan kaca. Sesekali dia melirik Nalini yang juga masuk ke dalam pantulan kaca di belakangnya. Masih terlelap tidur di bergelung selimut. Tadi malam sesampainya di hotel mereka tidak banyak berkomunikasi. Saling diam dengan aktivitasnya masing-masing sampai pada akhirnya Nalini sudah tertidur lebih dulu disaat Megantara sedang berada di depan laptopnya. Mempersiapkan bahan yang harus dibahas untuk rapat hari ini. Sepertinya Nalini begitu lelah sampai saat Megantara sudah siap berangkatpun dia belum juga terbangun. Setelah selesai memakai jasnya, dia berjalan mendekat ke arah tempat tidur. Menuliskan di secarik kertas yang berada di nakas lalu pergi meninggalkan Nalini tanpa berniat membangunkan. Tiga puluh menit kemudian Nalini terbangun dengan sendirinya. Dia mengedarkan penglihatannya di sekeliling ruangan dan sepi. Tidak ada pria tampan yang merupakan suaminya. Nalini melihat jam yang tertata di nakas dan melo
Megantara mengatur nafasnya. Berada di dekat Nalini membuat detak jantungnya tak beraturan. Apalagi semenjak menikah, Nalini terlihat lebih cantik di matanya. Sulit rasanya untuk mengelak. Tapi dia harus ingat misi balas dendamnya saat menikahi Nalini. Membiarkan Nalini tetap di sampingnya. Tapi tidak dengan memberikan cintanya. Baru berapa hari namun rencananya terancam gagal jika dia tak bisa mempertahankan egonya dan juga luluh dengan Nalini.Megantara membasuh wajahnya dengan air keran. Menatap pantulan dirinya di kaca. Megantara merutuki kebodohannya sendiri. Dia harus mengembalikan akal sehatnya lalu memperingatkan dirinya untuk menjaga jarak dari Nalini. Mungkin itu yang harus ia lakukan agar bisa mempertahankan pendiriannya. Megantara membuka pintu kamar mandi dan keluar. Nalini sedang duduk di atas tempat tidur sambil menatap ke arah kamar mandi. Menunggu suaminya muncul. "Untuk apa kau melihat kesini. Tidurlah. Sudah malam," perintah Megantara. "Aku menunggumu. Kau terli
"Aku tidak tau harus mendefinisikan seperti apa tentang pernikahanku," jawab Megantara terhadap pertanyaan dari Niko. "Jujur saja, kau pasti bahagia karena bisa menikah dengan gadis yang kau cintai. Aku tidak bisa membayangkan jika saat itu kau jadi menikah dengan adikku. Akan jadi seperti apa kehidupanmu nantinya," kata Niko dengan senyum tulusnya dan menunduk di akhir kalimatnya karena malu. "Entahlah. Cinta? Aku tidak yakin apakah masih ada cinta dihatiku untuk gadis itu," Megantara mendesah. "Tapi kaupun juga tidak yakin apakah kau benar-benar membencinya atau tidak. Aku rasa ini tentang waktu, waktu yang akan berbicara," kata Niko. Megantara mengerutkan alis. Dia tau bahwa perkataan Niko ada benarnya. Megantara juga tak bisa terlalu yakin terhadap rasa benci dan marahnya pada Nalini. ***Megantara pulang larut. Semestinya di hari-hari awal pernikahannya, seorang suami tak akan meninggalkan pengantinnya hingga larut. Tapi Megantara seperti sengaja. Sengaja menjaga jarak dari N
Niko berlari menuju ke kamar Starla saat mendengar Mona memanggil namanya dengan berteriak. Starla tergeletak tak berdaya di lantai. Di sekelilingnya ada obat yang bertaburan tak beraturan. Mona menduga bahwa Starla sengaja mengkonsumsi obat secara berlebihan karena ingin mengakhiri hidupnya. Impiannya untuk menikah dengan orang yang ia cintai pupus. Lalu ia justru dihamili oleh pria lain. Niko menggendong Starla lalu berlari membawa adiknya itu ke mobil. Ibu Starla hanya bisa merapalkan doa. Semoga tidak terjadi hal buruk pada anaknya dan calon cucunya. Dia ikut masuk ke dalam mobil bersama Niko dan juga Mona. Starla segera mendapat pertolongan medis sesampainya di rumah sakit, beruntunglah Starla karena belum terlambat untuk menyelamatkan nyawanya dan juga bayi yang ada di dalam kandungannya. "Harusnya aku mati saja," keluh Starla saat dia sudah dipindahkan ke ruang rawat inap dan sudah sadarkan diri. Niko tertawa mencemooh, "Kau pikir dengan bunuh diri urusannya akan selesai?
Nalini merasa bingung bagaimana cara menjawab pertanyaan mertuanya. Dia memang tidak terbiasa memanggil Megantara dengan namanya saja atau sebutan lain. Selalu dengan sebutan Pak. Dulu saat masih berpacaranpun dia kesulitan dan tidak biasa memanggil dengan sebutan tidak formal. Sivia terkekeh melihat ekspresi Nalini. Megantara tak menolong sama sekali. Dia sedang berkutat pada makanannya yang sebetulnya sama sekali tidak penting karena tidak ada rasanya bagi lidah pria itu. "Kau bisa memanggilnya dengan sebutan kak, mas, atau sayang," ujar ibu mertuanya. "Maaf, aku belum terbiasa," jawab Nalini sambil menggeleng pelan. "Tara, menurutmu istrimu harus memanggilmu dengan sebutan apa? Ajarilah dia," goda sang ayah. Megantara terlihat berpikir lalu menatap Nalini dengan tatapan yang sulit diartikan. Nalini paling tidak bisa ditatap dengan intens seperti itu jadi dia menunduk. "Aku terserah saja, pilihan ketiga juga tidak buruk," jawab Megantara dengan nada datar. Nalini buru-buru me
Nalini baru saja selesai membersihkan dirinya. Badannya sangat lelah karena seharian berdiri menjadi ratu sehari. Dia berjalan ke arah tempat tidur dan mendapati Megantara sudah tertidur. Dia menatap Megantara agak lama. Pria itu, pria yang kini menjadi suaminya. Akan jadi seperti apa hubungan mereka kedepannya. Nalini tiba-tiba takut, berada di sampingnya dalam kondisi tak dicintai namun dibenci pasti akan sangat sulit. Tapi mau bagaimana lagi. Dia harus menjalaninya. Takdir menuntunnya untuk bisa pasrah dan menerima. Nalini berjalan ke arah kasur. Membaringkan tubuhnya di samping Megantara. Memiringkan tubuhnya membelakangi Megantara lalu menarik selimutnya sampai menutupi sebagian wajahnya. Itu yang bisa ia lakukan sekarang karena Nalini sangat membutuhkan tidur nyenyak. Keesokan harinya, Megantara terbangun lebih dahulu dan melihat Nalini masih tertidur pulas di sampingnya. Kini giliran Megantara yang menatap lekat wajah gadis polos yang kini menjadi istrinya. Tersirat rasa lela