Setahun kemudian"Iya, Tante ... Aku senang sekali dengan rencana Tante. Aku harap, semua rencana Tante akan berhasil dan tanpa menimbulkan masalah besar. Aku cinta sama anak Tante, dan berjanji akan menjadi istri yang baik untuknya."Di dalam kamar yang berukuran kecil, Rumiah tampak bahagia tengah mengobrol dengan seseorang di balik telepon.Tok! Tok! Tok!Rumiah menoleh ke arah pintu. Lekas ia segera mengakhiri panggilan telepon itu."Tante, sudah dulu, ya! Itu bu Ratri sedang menungguku di luar. Iya, aku tunggu kedatangan Tante." Setelah telepon diakhiri, bergegas Rumiah segera membuka pintu, yang tidak tertutup rapat itu. Sehingga ia bisa melihat Ratri yang tengah berdiri di luar kamarnya."Iya, Bu. Ibu perlu sesuatu?" tanya Rumiah."Kamu habis teleponan sama siapa? Aku cuma mau minta tolong sama kamu, tolong masak yang banyak. Soalnya sebentar lagi mertua saya mau datang ke sini," imbuh Ratri.Rumiah lantas mengangguk mendengar perintah Ratri."Baik, Bu. Barusan saya sedang tele
Ratri terbelalak atas sikap mertuanya itu. Bukankah bu Wulan sempat bilang, bahwa ia sedang flu?"Kabar aku baik, Tante. Tante sendiri apa kabar?" tanya balik Rumiah.Ratri berdiri dengan masih menatap mereka berdua. Saga pun sama terkejutnya atas sikap keduanya itu."Hei, kenapa kamu panggil Mama saya Tante!" seru Saga.Rumiah menoleh dengan raut wajah gelagapan."Memangnya kenapa? Siapa pun boleh memanggil Mama dengan sebutan Tante. Kecuali kamu, kamu itu anakku," timpal bu Wulan.Ratri menggelengkan kepala, membuang jauh-jauh pikiran buruk yang ada di benaknya."Em ... Rumiah, tadi kan kamu bilang, kalau sekarang kamu mau menemui calon mertua dan calon suami kamu. Ya sudah, nggak apa-apa kalau kamu mau pergi sekarang. Pasti mereka sedang menunggu kamu," ujar Ratri."Sebentar, Ratri. Mama masih membutuhkan Rumiah. Em ... Rumiah, bisakah nanti kamu pijitin saya. Kaki saya pegal-pegal, sudah lama juga saya tidak diurut," imbuh bu Wulan.Rumiah mengangguk, ia menyetujui permintaan bu W
Ratri menangis di dalam kamarnya. Tak menyangka, jika mertuanya yang selama ini ia bangga-banggakan, ternyata tega menyakiti hatinya. Hanya karena Ratri belum kunjung hamil, mertuanya memaksa suaminya untuk menikah lagi dengan wanita lain. Dan lebih parahnya lagi, wanita itu tak lain adalah pembantunya sendiri.Sore hari pun tiba, bu Wulan dan pak Bima telah pulang dari rumah Saga.Ceklek!Pintu kamar terbuka, menampakkan wajah tampan Saga yang menyembul dari luar.Gegas Saga segera menghampiri Ratri yang tertidur membelakangi pintu. Terdengar suara isak tangis yang menyayat hati dari bibir Ratri.Sepasang tangan kekar segera melingkar di pinggang Ratri. Membuat wanita itu dengan cepat menyeka air matanya dengan kasar."Sayang," panggil Saga. Ia mendaratkan kecupan di pucuk kepala Ratri.Ratri bangkit dan duduk seraya menatap lurus ke arah jendela."Kamu jangan menangis, kita harus mempertahankan rumah tangga kita. Bila perlu, aku akan usir Rumiah sekarang juga," imbuh Saga.Ratri men
Malam itu, Ratri kembali meratapi nasibnya yang hendak dimadu paksa. Ia menatap lurus ke arah jendela. Entah dosa apa yang telah ia perbuat di masa lalu, sehingga membuat hidupnya sesakit ini. Dunia begitu kejam untuknya.Saga masuk ke dalam kamar, menatap Ratri yeng tengah terdiam sambil sesekali menyeka air matanya.Tangan kekar itu melingkar, memeluk Ratri dari belakang. Ratri mengusap lengan Saga dengan lembut.Dengan senyum yang dipaksakan, Ratri menoleh ke arah Saga."Aku tidak apa-apa kok, kamu jangan khawatir," imbuh Ratri berusaha terlihat baik-baik saja di hadapan Saga.Saga memegang kedua bahu Ratri, lantas menatapnya dalam."Kenapa kamu mengijinkan aku menikah lagi dengan Rumiah? Bukankah kita telah berjanji, apa pun masalah kecil atau besar yang akan kita hadapi, selamanya kita akan bersama, aku dan kamu. Aku tidak suka dengan perjodohan yang dipaksa ini. Kamu tahu? Sakit hati aku setelah mendengar kamu menyetujui keinginan mama. Aku tahu, kamu sangat menyayangi mama. Tap
"Ibu, sebenarnya kita mau ke mana?" tanya Gina pagi itu.Pagi itu Ratri terbangun di dalam kamar hotel kecil bersama Gina. Ratri segera bersiap untuk kembali melanjutkan perjalannya mencari tempat tinggal baru yang pastinya jauh dari Saga dan keluarganya."Kita mau pergi, Sayang. Kita berdua akan memulai hidup baru di tempat yang baru. Teman baru, suasana baru sekolah baru, dan semuanya serba baru. Gina mau, kan?" tanya Ratri.Gina terdiam, ekspresi yang dipancarkan anak itu seakan berat meninggalkan kota tempat kelahirannya itu."Tapi ... Bagaimana dengan ayah Saga? Kenapa Ibu nggak ngajak ayah Saga juga? Pasti Ayah Saga nyariin kita, Bu," jawab Gina.Ratri membuang muka, ia menghembuskan nafasnya kasar."Sebaiknya Gina mandi dulu, ya! Setelah ini kita sarapan terus berangkat," ujar Ratri.Gina mengangguk menuruti, ia kemudian bergegas masuk ke dalam kamar mandi.Suasana pagi itu tampak begitu ramai. Jam-jam di mana orang-orang mulai beraktifitas. Lalu lintas terlihat macet, sehingga
"Boleh saya bantu bawakan belanjaanmu, Nona?" tanya seseorang yang membuat Ratri urung berteriak."Tiana," gumam Ratri.Tiana tersenyum seraya merebut belanjaan Ratri. Lantas ia berjalan duluan meninggalkan Ratri yang masih terpaku menatap dirinya."Kamu mau pulang atau berdiam diri di sana sampai malam?" tanya Tiana, membuat Ratri tersadar dan bergegas berjalan menyusul Tiana."Kamu ada di sini? Ngapain?" tanya Ratri sungguh penasaran adanya Tiana di tempat itu."Aku tinggal di dekat sini, aku sudah menikah dengan Beri," jawab Tiana."Apa?!"Tiana terkekeh kecil melihat ekspresi terkejut Ratri. Pasalnya, setelah berdebat waktu lalu di rumah Saga, Ratri tidak mendapat kabar tentang Tiana. Dan kini, setelah satu tahun lamanya, Tiana muncul dan mengaku sudah menikah dengan Beri?"Penasaran? Bawa aku ke tempat kamu," ujar Tiana yang kemudian mengajak masuk ke dalam mobil bak terbuka.Ratri segera membayar ojek yang disewanya tadi. Lantas bergegas masuk ke dalam mobil yang dikendarai Tian
Satu minggu kemudian, Saga tengah dirawat di sebuah rumah sakit dengan ditemani oleh bu Wulan dan juga Rumiah. Mereka tampak cemas akan kesehatan Saga yang terus menurun, semenjak kepergian Ratri yang entah ke mana."Tante, bagaimana ini? Mas Saga sakit, apakah pernikahanku juga akan tertunda lebih lama?" tanya Rumiah khawatir.Bu Wulan mengusap lengan gadis itu. Berusaha menenangkannya."Kamu yang sabar, Rumiah. Doakan saja semoga Saga lekas sembuh. Kamu jangan khawatir, cepat atau lambat kalian akan tetap menikah," jawab bu Wulan meyakinkan.Sebenarnya Rumiah sudah tidak sabar ingin segera pernikahan itu berlangsung. Namun, ia harus menunggu Saga pulih. Mengingat perjuangannya berada di posisi sekarang, bukan hal mudah bagi Rumiah. Ia harus terus mencuri-curi waktu, cara, untuk bertemu dan menghasut bu Wulan dengan mengompori bu Wulan yang tak kunjung memiliki cucu. Maka, mau tidak mau dengan terpaksa ia harus bersabar, dari pada tidak membuahkan hasil. Lagi pula, penghalang hubunga
Satu bulan kemudianPagi itu, Ratri tengah menjajakan jualannya di atas meja besar di depan rumah. Sambil berjualan, tak lupa ia juga menulis novel di laptopnya yang ia bawa dari rumah Saga."Mbak, aku beli nasi sama ayam, ya!" ujar seorang pria yang baru saja turun dari motor."Iya, Pak. Sebentar, saya bungkuskan," sahut Ratri.Dengan terampil, tangan Ratri mulai melayani pembeli itu."Semuanya jadi lima belas ribu," ujar Ratri setelah memberikan pesanan pembeli.Sudah satu bulan ini, Ratri masih menekuni usahanya itu di kampung tempat ia tinggal sekarang. Tidak seperti di kota, jualan Ratri terkadang habis terkadang juga hanya terjual sedikit. Namun, Ratri terus bersabar dalam menghadapi keadaannya sekarang, toh ia hidup seperti ini adalah pilihannya sendiri."Bagaimana, ya usaha aku di kota? Apakah usahaku itu masih jalan? Apa aku hubungi saja ya, Marni? Tapi ... Ah sudahlah, aku ingin menenangkan diri dulu. Jika Marni tahu aku ada di sini, pasti dia akan memberitahu mas Saga," gum
"Siapa, kamu?" tanya Saga, ia bangkit dan berusaha menahan sakit di kakinya yang terluka cukup dalam.Tak banyak bicara, pria yang bernama Agus itu kemudian melayangkan balok kayu itu ke arah Saga.Saga yang telah membaca pergerakan Agus, dengan cepat ia menghindar. Sehingga tak terkena pukulan itu.Dalam gempuran rasa sakit di kakinya yang terluka cukup dalam. Saga mempertahankan diri supaya ia tidak terkalahkan oleh pria tersebut.Buk!Buk!Buk!Beberapa kali Saga menangkis setiap pukulan Agus. Beberapa kali Agus pun terjungkal ke belakang, nyaris kewalahan karena Saga tak memberinya ruang untuk membalasnya."Hentikan semua ini, atau saya akan seret kamu ke kantor polisi," ujar Saga memberi ancaman.Pria itu seakan tidak takut atas ancaman Saga. Ia terus saja melayangkan berbagai pukulan ke tubuh Saga tanpa henti.Buk!Saga hampir kehilangan kesadaran, saat sebuah stik bola baseball melayang ke arah tengkuknya."Aaaaargh!" Saga memekik kesakitan, ia mempertahankan kesadarannya sekua
"Gila, kamu sudah gila, Rika. Lepaskan, saya mau pulang!" sergah Saga, ia begitu emosi dengan tingkah gila Rika."Aku memang gila, Om. Aku gila karena Om, aku tergila-gila. Aku mohon, terima aku sebagai kekasih Om. Lambat laun, Om pasti akan nyaman denganku. Aku bisa membahagiakan Om, aku janji," sahut Rika.Saga terus memberontak ingin melepaskan diri. Namun, Rika tak membiarkannya lepas begitu saja. Sekuat tenaga ia kerahkan untuk menahan Saga supaya tidak pergi dari tempat itu.Saga akhirnya terdiam, ia menyentuh punggung tangan Rika."Kamu yakin akan ucapanmu itu?" tanya Saga mulai luluh.Mendengar pertanyaan itu, tentu Rika merasa senang. Seperti ada harapan yang menghampiri, di saat dirinya susah payah membuat Saga luluh."Tentu saja, Om. Aku tidak akan main-main dengan ucapanku. Aku cinta sama Om, apa pun akan aku lakukan demi Om. Asal Om terima cinta aku," jawab Rika."Apa pun?" tanya Saga."Tentu, Om!""Lepaskan dulu saya, saya tidak bisa bergerak leluasa jika kamu memeluk sa
"Ayah, jemput aku di rumah teman. Aku mau pulang, ini aku pakai nomor temanku. Ini aku Gina, jangan hubungi nomorku, ponsel aku mati." Saga menerima sebuah pesan dari nomor baru yang mengaku sebagai Gina. Kemudian mengirimkan alamat rumah yang Saga pun belum tahu rumah teman Gina yang mana."Oke, Ayah akan ke situ. Ayah bersiap dulu, sekarang sudah waktunya jam pulang," balas Saga.Saga bergegas membereskan semua berkas, menutup laptop dan menjinjing tas kerjanya hendak pulang.Saga mengemudikan mobilnya, hendak menuju tempat di mana Gina berada.Jalanan cukup macet, karena saat ini jam menunjukkan pukul 4 sore. Di mana kebanyakan orang-orang baru saja selesai bekerja, dan hendak pulang ke rumah masing-masing.Sampai Saga menunggu 15 menit di dalam kemacetan yang cukup parah. Akhirnya mobil Saga terbebas dari drama kemacetan yang menghambat setiap pergerakan di sore itu.Sore telah beranjak malam, Saga telah menemukan alamat yang dikirim Gina. Dengan cepat, ia turun dari dalam mobil,
Perlahan, penutup kotak makanan itu terbuka, menampakkan sesuatu yang membuat Gina terpaku."Siapa kira-kira yang menitipkan ini pada Dudung? Apakah David lagi? Ah ... Rasanya nggak mungkin," gumam Gina.Di dalam kotak makanan itu, terdapat makanan yang dibentuk menyerupai wajah berkerudung."Ehem ... Apaan itu? Bagus banget," ujar Cherly yang mengejutkan Gina."Entah, tadi Dudung yang ngasih ini sama aku. Katanya ini titipan buatku," sahut Gina."Dudung? Apa jangan-jangan dari kak David? Soalnya kan waktu itu juga, dia yang disuruh David buat ngasih kertas surat buat kamu. Tapi ... Apa iya, ini dari kak David? Kok aku percaya nggak percaya ya!" timpal Tessa.Gina menggedikkan bahunya, ia juga merasa bingung."Ah entahlah, mau nggak nih Tes?" Gina menyodorkan kotak makanan tersebut kepada Tessa."Serius ini buat aku? Tapi sayang loh, ini bagus banget. Kok bisa sih dibentuk kayak wajah kamu? Jadi nggak tega makannya," sahut Tessa."Ya sudah kalau nggak mau, aku kasih saja sama satpam d
Gina dan Rusdi terbelalak mendengar suara Cherly yang sepertinya sedang ketakutan."Ayah, itu Cherly kenapa?" ujar Gina merasa khawatir, begitu pun dengan Rusdi.Mereka saling melempar pandang, dalam tatapan penuh kecemasan."Coba buka, apakah pintunya dikunci? Takutnya ada orang yang mau berbuat jahat kepada Cherly," imbuh Rusdi.Gina mengangguk, lantas ia memutar kenop pintu itu dengan cepat.Ceklek!Gina merasa lega, pintu kosan Cherly ternyata tidak dikunci. Sehingga memudahkan keduanya masuk ke dalam kamar Cherly tanpa hambatan apa pun.Gina dan Rusdi berlari masuk ke dalam. Langkah mereka terhenti, saat mendapati Cherly tengah duduk di atas kasur, dengan posisi membelakanginya."Cherly," panggil Gina.Cherly menoleh mendengar suara Gina. Ia tersenyum dengan keadaan wajah sudah dipenuhi keringat."Gina, kamu ke sini?" tanya Cherly.Gina dan Rusdi menatap heran ke arah Cherly. Baru saja mereka mendengar Cherly teriak ketakutan. Namun, yang mereka lihat saat ini, Cherly terlihat ba
"Kayaknya ada tamu," gumam Gina, setelah ia keluar dari mobil.Pintu utama tampak terbuka lebar, menjadikan Gina berasumsi seperti itu.Gina berjalan masuk menuju pintu utama. Saat kakinya melangkah mulai menapaki ruang tamu, ia terperanjat ketika melihat seseorang yang tengah duduk berkumpul di sofa bersama Ratri dan juga Saga."A-ayah," gumam Gina, ia begitu terpaku sehingga dirinya berdiam di ambang pintu."Gina!" Seru Rusdi, saat dirinya melihat Gina yang baru saja datang.Rusdi terlihat berubah setelah lama ditahan. Sebagian rambutnya telah memutih dan tubuhnya tampak kurus."Ayah!" Gina berjalan cepat, kemudian memeluk Rusdi begitu erat.Gina dan Rusdi menangis di dalam pelukan. Mereka menumpahkan rasa rindu yang salam ini terpendam di dalam diri mereka masing-masing."Ayah ada di sini?" Terdengar suara Gina parau karena tangisan yang tumpah."Iya, Nak. Ayah sudah bebas kemarin, kita bisa bertemu kapan pun yang kita mau. Ayah sudah bebas, Nak," sahut Rusdi dengan suara bergetar.
Lelaki itu menatap Gina, tanpa terganggu sedikit pun dengan bau yang berasal dari pakaian Gina."Mari aku bantu berdiri!" seru lelaki itu."Aku-""Gina, ya ampun!" Dari kejauhan, Tessa dan Cherly berlari saat melihat Gina sudah dalam kondisi kacau."Ya Tuhan ... Kenapa baju kamu bisa kotor seperti ini, Gina?" tanya Cherly, kemudian membantu Gina berdiri."Biasa, aku kena bully lagi. Aku sudah seperti seekor keledai. Jatuh di lubang yang sama," jawab Gina sambil tersenyum getir.Tessa dan Cherly menarik tangan Gina hendak membawanya ke kosan Cherly. Sementara laki-laki yang baru saja menabrak Gina, menatap Gina sampai ia tak terlihat lagi."Kok bisa kamu kena bully lagi?" tanya Cherly, setelah mereka berada di kosan.Kini, Gina telah berganti baju milik Cherly.Gina pun menceritakan awal kenapa ia sampai terkena bully lagi, sampai keadaannya lebih parah dari sebelumnya."Ya Tuhan ... Memang benar-benar ya mereka. Kesal sekali aku, semoga mereka mendapatkan balasan," timpal Tessa yang m
Beberapa hari kemudian, seperti biasa Gina tengah mempersiapkan diri untuk berangkat ke kampus.Sebenarnya Gina merasa malas, setiap hari ia harus berhati-hati dengan keadaan kampus. Ah, bukan keadaan tepatnya, melainkan ketiga monster kampus yang selalu membuatnya kesal. Beberapa kali Gina mengalami bullying seperti dilempar telur, disiram air, dilempar tepung, dan masih banyak lagi. Tak habis pikir, ketiga monster kampus itu masih tetap saja aman di kampus itu. Dari sekian banyaknya mahasiswa di sana, tak ada seorang pun yang berani melawan atau melapor mereka. Pernah beberapa kali, Gina ingin melaporkan kasus bullying itu. Namun, selalu gagal karena ketiga monster itu tidak membiarkan Gina melakukannya."Sayang, sepertinya aku bakalan pulang cepat lagi nanti. Em ... Aku mau makan siang sama kamu berdua di pinggir danau," ujar Saga, saat mereka sedang sarapan pagi."Ehem ... Jadi hanya berdua nih? Aku sama Andres nggak diajak?" timpal Gina sambil melirik Andres."Hanya kami berdua,
Gina menggedikkan bahunya, ia juga merasa ragu sama seperti yang dirasakan Tessa.Kosan yang baru saja disewa Cherly terlihat tidak terawat. Bukan berarti kumuh, akan tetapi, keadaanya yang terlihat lembab."Entahlah, aku juga ragu, Tes. Kosan ini juga berada di paling ujung berbatasan dengan kebun pisang," sahut Gina."Em ... Apa kita kasih saran saja sama Cherly, buat cari lagi kosan yang lain? Aku saja sekarang ini, kok kurang nyaman, ya!" seru Tessa.Gina terdiam, ucapan Tessa ada benarnya juga. Namun, apakah Cherly setuju?"Tapi Cherly sudah membayar sewa selama beberapa bulan ke depan, Tes. Tapi ... Kita coba tanyakan saja nanti kalau dia sudah kembali," sahut Gina.Tak berselang lama, Cherly kembali dengan membawa 3 cup minuman dingin yang ditenteng di dalam kantong kresek bening."Ini buat kalian, huhhh haus banget," ujar Cherly, lantas memberikan 2 cup minuman itu kepada Gina dan Tessa."Terima kasih, Cher. Em ... Cher, kamu yakin mau tinggal di kosan ini?" tanya Gina memasti