Siang hari, Gina berpisah dengan Cherly di gerbang kampus. Gina tak langsung meminta dijemput pada sopirnya. Gina terlebih dulu menunggu Denis, yang nampaknya masih ada di dalam kampus.Entah apa yang hendak disampaikan oleh Denis. Gina begitu penasaran ingin segera mendengarnya.Tak berselang lama, sebuah motor berhenti di hadapan Gina. Sang empunya motor tersebut kemudian membuka helmnya dan tersenyum ke arah Gina."Maaf, lama nunggu, ya?" tanya Denis.Gina menggeleng pelan seraya tersenyum kecil."Tidak apa-apa, belum lama ini kok. Oh iya, apa yang mau kamu sampaikan?" tanya Gina.Denis menoleh ke sana kemari, ia merasa tak nyaman jika harus mengobrol di tempat itu."Em ... Gina, apa tidak sebaiknya kita ngobrol di tempat lain saja? Maksud aku, biar lebih nyaman saja gitu," sahut Denis.Gina terdiam, apakah ia harus menuruti permintaan Denis?"Memangnya mau ngobrol di mana?" tanya Gina."Di cafe saja, yang dekat dari sini. Gimana, kamu mau kan?" Tatapan Denis begitu penuh harap, ji
"Tolong ... Tolong saya!"Cherly terbangun di dalam kosan, ia kemudian melirik ke arah jam. Waktu telah menunjukkan pukul 18.00, yang artinya waktu magrib telah tiba.Entah kenapa, semenjak pindah ke kosan itu, Cherly yang biasanya tidak pernah tidur di waktu magrib. Namun, di tempat itu saat magrib akan tiba, rasa kantuk selalu menghampiri. Padahal, pepatah orang tua selalu mengingatkan, jika waktu magrib adalah waktunya sandikala dan seringkali disebut pamali.Cherly terbangun dengan nafas tersengal-sengal dan keringat membasahi tubuhnya. Seakan ia habis berlari jauh membuat tubuhnya merasa lemas dan lelah."Ya Tuhan, kenapa mimpi buruk itu selalu datang? Kenapa aku juga selalu ngantuk kalau magrib akan tiba?" Cherly bergumam dengan sesekali ia memijat pelipisnya.Cherly kemudian meneguk satu gelas air putih, yang ada di dalam kamarnya. Air itu sedikit membuatnya tenang.Tak seperti biasa, keadaan malam itu sangat hening. Para mahasiswa dan pekerja yang ngekost, yang biasanya nongkr
Setelah pertemuannya yang tak disengaja dengan Denis. Membuat hari-hari Cherly begitu berwarna. Ya, Denis adalah lelaki yang ia kagumi selama ini. Hanya saja, ia belum mau jujur terhadap Gina dan Tessa."Hai, Denis! Mau ke kostan Baim lagi ya?" sapa Cherly, saat ia tengah menjemur pakaiannya di teras."Iya, Cher. Ada yang ingin aku kerjakan dengan Baim. Kamu habis nyuci baju?" sahut Denis."Iya. Em ... Tapi, tadi aku lihat Baim keluar. Apa kamu tidak menghubungi Baim dulu?" tanya Cherly.Denis menggeleng, memang, sebelum datang ke tempat itu, Denis tidak memberitahu Baim dulu, jika ia akan datang ke kosannya."Aku lupa tidak menghubunginya dulu. Biar aku coba telpon dia. Ngomong-ngomong, terima kasih sudah memberitahu," ucap Denis, yang disambut oleh anggukan Cherly.Denis pun mulai melakukan panggilan telepon kepada Baim. Namun, sayangnya beberapa kali Denis menghubungi, panggilan telepon itu tak kunjung Baim angkat."Nggak diangkat, mungkin Baim sibuk," ujar Denis."Ya sudah, ditung
Tersadar jika dompet yang ia pegang terjatuh, Cherly dengan sigap mengambilnya. Kemudian lewat seorang pelayan, dengan cepat meminta tolong supaya memberikan dompet itu kepada Denis.Hati Cherly sangat sakit, ternyata Denis mencintai Gina, dan Gina menerimanya. Ternyata perasaan cinta yang selama ini Cherly miliki terhadap Denis, hanya bertepuk sebelah tangan. Perhatian yang Denis berikan ternyata hanya harapan palsu. Namun, Cherly tidak bisa menyalahkan keduanya. Terlebih Gina, sebelumnya Cherly enggan jujur kepada Gina, jika dirinya menyukai Denis. Namun, jikalau pun ia jujur akan hal itu, apakah Denis juga akan mencintainya?Dengan cepat, Cherly meninggalkan cafe itu dengan perasaan yang teramat sakit."Kenapa harus sama Gina?" batin Cherly."Jalan lagi, Bang!" Cherly menepuk bahu tukang ojek, yang sedang menunggunya di parkiran cafe.Mata Cherly mulai mengeluarkan air. Tak menyangka jika harapannya akan pupus dengan kenyataan yang tak pernah ia duga.Di sepanjang jalan, Cherly ban
"Selamat pagi, Gina. Kamu sudah bangun?" Sebuah pesan masuk dari Denis, membuat Gina tersenyum saat membacanya.Gina segera membalas pesan itu."Sudah, baru saja bangun. Ini mau siap-siap mandi dan shalat," balas Gina.Di seberang sana, Denis tersenyum bangga karena ia berhasil menaklukan hati Gina. Perempuan baik, lembut dan ramah. Membuatnya bertekad, ingin menjaganya dari hal apa pun yang dapat merugikannya.Setelah berbalas pesan, Gina kemudian bersiap diri untuk mandi dan ibadah. Setelah itu, seperti biasa, ia tengah bersiap untuk pergi ke kampus. Namun, hari ini berbeda dari sebelumnya, Denis berniat untuk menjemputnya ke rumah."Hati-hati di jalan, jaga anak Om baik-baik. Ingat, Gina anak perempuan Om satu-satunya. Jadi, Om akan marah jika terjadi sesuatu kepadanya," peringatan Saga sebelum Denis membawa Gina memakai motornya.Saga begitu posesif, setelah Denis meminta ijin menjemput Gina. Bagaimana pun, tangung jawab Saga semakin besar, setelah Gina beranjak dewasa."Baik, Om.
Setelah mengobrol sedikit dengan Denis di kantin. Lantas Gina kembali ke meja tempat di mana kedua temannya tengah duduk. Ia ingin melanjutkan niatnya, memeriksa keadaan Cherly."Cherly, apa nggak sebaiknya kamu berobat saja ke dokter? Aku cemas lihat kamu kalau kayak gini," ujar Gina.Cherly menggeleng, ia berusaha tersenyum walau pun terkesan dipaksakan."Nggak usah, aku sudah mendingan kok. Nggak perlu cemas," tolak Cherly.Cherly berusaha terlihat biasa saja di hadapan Gina. Tak ingin membuat Gina curiga, dan hubungan persaudaraan mereka pecah hanya karena seorang lelaki."Tapi-""Sudah, tidak apa-apa. Aku baik-baik saja kok! Mending kita ke kelas, sebentar lagi kelas dimulai. Nanti selesai kelas, mungkin aku bakalan istirahat seharian ini. Kamu jangan bilang-bilang tante Ratri, om Saga dan Papa, ya, kalau aku sedang sakit. Aku nggak mau mereka ikutan khawatir," potong Cherly.Gina menatap Cherly begitu sendu, kemudian terpaksa mengangguk mengiyakan permintaan Cherly."Ya sudah, j
"Tolong, tolong saya!"Lagi dan lagi, Cherly mendengar orang meminta tolong dengan suara lirih seperti terbawa angin. Namun, terdengar jelas di telinga Cherly.Cherly kemudian bangkit dari duduknya, ia berjalan mencari arah sumber suara. Saat Cherly membuka pintu, anehnya di luar sana tak ada seorang pun yang sedang beraktivitas di luar. Entah suara siapa yang meminta tolong barusan, yang jelas, Cherly begitu penasaran.Mendengar seseorang meminta tolong barusan, Cherly teringat akan suara yang selalu datang ke dalam mimpinya. Suara itu persis seperti yang sudah-sudah saat Cherly bermimpi dan terbangun saat waktu magrib tiba."Tolong!"Cherly semakin menajamkan pendengarannya. Namun, tetap saja Cherly tak menemukan siapa pun orangnya. Merasa dipermainkan, Cherly pun berusaha tak lagi menghiraukannya. Ia menganggap, mencari suara itu hanya buang-buang waktu saja.Cherly melirik jam yang telah menunjukkan pukul 15.25. Perutnya berbunyi pertanda ia sedang merasa lapar. Namun, ia sangat m
"Penampilan kamu memang alim. Tapi, ketahuilah, kamu tidak ada bedanya dengan seorang penjahat."Gina yang tengah tiduran di dalam kamarnya. Baru saja menerima satu buah pesan dari nomor yang tidak ia kenal.Gina mengernyitkan dahinya, tidak tahu apa maksud dari isi pesan tersebut. Entah siapa orang di balik nomor ini.Gina segera membalas pesan tersebut. Penasaran siapa orang itu."Maaf, kamu siapa, ya?" tanya Gina.Gina menunggu balasan dari orang itu. Namun, orang itu tak membalas pesan Gina."Ck, mungkin hanya orang iseng saja," gumam Gina, kemudian menaruh kembali ponselnya ke atas nakas.Tok! Tok! Tok!Dari luar kamar, seseorang mengetuk pintu. Bergegas Gina bangun, dan mendekati pintu itu.Ceklek!Pintu pun terbuka lebar, menampakan mbok Sum yang tengah berdiri sambil membawa sebuah kotak."Ada apa, Mbok?" tanya Gina.Mbok Sum segera menjawab, "Ini, barusan ada paket. Katanya ini punya Non Gina."Kembali, Gina mengernyitkan dahinya. Dia merasa, tidak pernah memesan apa pun sebe
"Loh iya, ya. Kenapa bisa pecah, ya? Mungkin ada orang iseng melempar batu kali, ya!" sahut Farrel, ia pun mengamati jendela itu."Rel, apakah kita langsung masuk saja? Tapi ... Apakah tante Rumiah ada di dalam? Sebaiknya kita harus berhati-hati. Dia sangat jahat, bahkan tidak segan untuk menyakiti orang lain," ujar Gina."Tapi di sana tidak ada mobil sama sekali di garasi, semuanya tidak ada. Apa ayahku dan juga Rumiah lagi keluar, ya? Tapi kok satpam juga tidak kelihatan. Kondisi halaman juga tidak sebersih seperti biasanya," sahut Farrel.Lama mereka berdua berdiam diri sambil mengamati rumah itu. Farrel pun segera mengajak Gina untuk masuk. Ia begitu penasaran dengan kondisi di dalam. Sungguh aneh sekali. Kaca pecah, beberapa mobil yang dimiliki tidak ada satu pun yang terparkir, bahkan satpam penjaga rumah pun tidak ada. Lantas ke mana semua?Farrel mulai membuka pintu gerbang yang ternyata tidak terkunci itu. Membuat mereka senang, karena tidak kesulitan untuk masuk ke dalam rum
Gina terbelalak tak percaya, bagaimana mungkin, mereka menjadi korban dari wanita yang sama?"Kamu serius? Mungkin hanya namanya saja yang sama, tapi beda orangnya," ujar Gina memastikan.Farrel kemudian merogoh saku celananya, meraih ponsel yang kebetulan ia bawa, untuk berjaga-jaga, siapa tahu mang Dadang mengajaknya lagi untuk membantunya mengangkut sayuran ke pasar. Lumayan, uang pemberian dari mang Dadang, bisa untuk menabung.Farrel kemudian memberikan ponselnya kepada Gina, setelah ia membuka galeri foto."Itu foto wanita jahat itu, namanya Rumiah. Apakah Rumiah yang kamu maksud, sama atau tidak dengan yang di foto itu?" ujar Farrel.Gina menerima ponsel itu, kemudian menatap lekat foto tersebut.Gina menoleh ke arah Farrel, setelah melihat dengan jelas foto itu."Fa-farrel, ternyata dia memang orang yang sama, yang telah menghancurkan keluarga kita," ujar Gina, menatap sendu ke arah Farrel.Farrel pun tak kalah terkejutnya. Ternyata mereka berdua sama-sama korban kejahatan Rum
Mendengar pertanyaan Gina, Farrel terdiam. Pandangannya lurus menatap hamparan ladang sayuran yang membentang luas.Seketika Gina merasa tidak enak, setelah bertanya demikian. Ia menyesali, kenapa ia harus nekat bertanya seperti itu, demi memuaskan rasa penasarannya."Em ... Farrel, aku minta maaf, jika pertanyaan aku membuatmu tersinggung. Sumpah, aku tidak ada niat menyinggung kamu. Lupakan saja pertanyaanku. Aku mau kembali bantu Nenek," ucap Gina, kemudian ia berdiri hendak melangkah mendekati nenek Sarti."Tunggu!" cegah Farrel, membuat Gina urung melangkahkan kaki.Gina menoleh ke arah Farrel, menatap lekat wajah pria itu."Rumah sakit jiwa mana yang kamu maksud?" tanya Farrel.Gina kembali duduk di sebelah Farrel. Ia kemudian menyebutkan nama rumah sakit jiwa dan alamatnya."Kebetulan tante aku juga ada di sana. Suatu hari, aku hendak menjenguk tante aku. Tapi, saat aku baru saja masuk, aku lihat wanita yang mirip ibu kamu sedang diamankan oleh dua orang perawat. Dia berteriak
Keesokan paginya, suasana di kampung yang Gina tinggali saat ini, telah ramai dengan suara-suara orang-orang yang hendak pergi ke ladang.Gina yang telah bangun dari subuh, kini ia tengah membantu nek Sarti memasak di dapur."Setelah sarapan, Nenek mau pergi ke ladang. Mau melanjutkan memanen sayuran. Kamu tidak apa-apa, kan ditinggal sendiri di sini?" tanya nek Sarti. Ia tengah mengipasi nasi yang baru saja diangkat dari dandang.Gina menoleh ke arah nek Sarti, menghentikan aktivitas mengaduk masakannya."Pergi ke ladang? Aku mau ikut, Nek. Boleh?" sahut Gina."Jangan, nanti kamu capek. Biar Nenek saja yang pergi ke sana. Kamu tunggu saja di sini. Nenek tidak akan lama, kok!" tolak nek Sarti.Gina melanjutkan mengaduk masakannya. Wajahnya berubah cemberut saat nek Sarti melarangnya untuk ikut."Jangan cemberut, anak cantik. Ya sudah, kamu boleh ikut Nenek. Tapi, kamu tidak boleh capek-capek. Kamu kan tamu Nenek," ujar nek Sarti, akhirnya mengizinkan.Gina yang sebelumnya cemberut, ki
"Gina, kamu kenapa?" tanya nek Sarti, bingung melihat Gina yang terus menatap wanita yang sedang bersamanya.Gina segera menggelengkan kepalanya. Ia segera bergabung bersama mereka."Ini ibunya Farrel, dia Ayumi." Nek Sarti memperkenalkan wanita itu. Gina pun langsung menyalaminya.Melihat Ayumi, Gina menyimpan pertanyaan yang sangat membuatnya penasaran. Namun, ia merasa tidak enak, takut jika Ayumi akan tersinggung oleh pertanyaannya, jika Gina nekat bertanya."Aku sudah masak yang banyak, sebaiknya kita makan sekarang. Aku akan panggilkan Farrel dulu," ujar Ayumi.Nek Sarti mengangguk, ia pun segera menyiapkan makanan yang telah tersimpan di atas meja.Gina masih terus menatap Ayumi sampai ia menghilang di balik pintu."Apakah ada yang aneh dengan Ayumi?" tanya nek Sarti, membuat Gina menggelengkan kepalanya cepat."Ah nggak ada yang aneh kok, Nek. Hanya saja ... Aku seperti pernah melihatnya. Tapi mungkin, hanya mirip saja kali, ya dengan wanita yang pernah aku lihat. Oh iya, apak
Gina terbangun mendengar seseorang berbicara dengan begitu nyaring."Huam!" Gina menggeliatkan tubuhnya sambil terus menguap. Namun, saat matanya terbuka lebar, ia terkejut saat melihat orang yang baru saja membangunkannya."Ka-kamu!" Gina terbelalak saat melihat pria yang tak sengaja ia temui tadi di bangunan kosong."Sedang apa kamu di sini? Kenapa kamu bisa naik ke mobil ini?" tanya pria itu.Gina menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia tersenyum getir menatap pria itu."Maaf, aku terpaksa naik dan bersembunyi di mobil ini. Aku dikejar sama preman. Tidak ada pilihan lain jadi aku nekat sembunyi di sini," jawab Gina."Oh ... Jadi kamu pacarnya preman tadi? Tahu begini aku bilang saja kamu ada di mobil ini," celetuk pria itu.Gina membelalakkan matanya, ia kesal terhadap pria itu."Amit-amit, siapa juga yang mau jadi pacar dia. Kenal juga nggak! Oh iya, ini sekarang aku ada di mana?" tanya Gina.Pria itu mengangkat sebelah alisnya, hingga temannya yang pemilik mobil menghampiri."Lo
"Jangan menangis, Nona. Atau kamu akan mengundang orang jahat yang selalu berkeliaran di sini," ujar seorang pria, yang baru saja bangun dari tidurnya.Gina masih beringsut mundur menjauhi pria itu.Melihat ekspresi dan sikap Gina, membuat pria itu terkekeh dan terus menatap Gina."Jangan mendekat, atau aku teriak dan kamu akan tahu akibatnya," ancam Gina.Pria itu semakin terkekeh mendengar ancaman Gina."Lah, memangnya saya mau ngapain kamu? Hei, jangan GeEr, kamu! Siapa kamu, kepedean sekali saya mau berbuat macam-macam sama kamu," cetus pria itu.Gina terdiam, sambil mengawasi gerak-gerik pria itu."Sepertinya kamu habis menikah, kok bisa, ada seorang pengantin ada di tempat seperti ini? Oh ... Aku tahu jangan-jangan-""Diam, kamu! Bukan urusan kamu juga!" potong Gina, ia membuang muka."Oh, ok!"Pria itu kemudian mendekati Gina dan menatapnya dengan lekat. Membuat Gina kembali menjauh."Mau apa, kamu dekat-dekat? Jangan sampai aku teriak, ya! Kamu akan tahu akibatnya," ujar Gina.
"Mbak-mbak, bangun! Ini sudah sampai," ujar bapak-bapak kondektur.Gina terbangun dari tidurnya, ia kemudian bangkit dari kursi penumpang.Ternyata semua kursi penumpang telah kosong. Tampaknya hanya Gina penumpang yang terakhir saat itu.Gina turun dari bus tersebut, ia menatap sekeliling tempat itu yang tampak sangat asing, tempat yang tidak pernah ia kunjungi sama sekali sebelumnya."Aduh, perut aku lapar. Aku lupa kalau aku belum makan dari tadi," gumam Gina, sambil memegangi perutnya.Gina mengedarkan pandangan, mencari penjual makanan di tempat itu. Gina menemukan sebuah warteg di tempat itu. Bergegas Gina segera menghampiri sebuah warteg yang berada di pinggir jalan."Bu, aku pesan nasi ayam satu," ujar Gina, setelah ia masuk ke dalam warteg tersebut.Tidak perlu menunggu waktu lama, pesanan Gina telah siap. Lantas Gina segera menyantapnya dengan sangat lahap.Suasana di tempat itu begitu ramai dan membuat Gina merasa gerah. Lantas Gina membuka jaket yang sedari tadi ia pakai.
Gina mematung dengan perasaan was-was, takut jika oma Wulan mengenalinya, lalu marah dan memaksanya untuk masuk kembali ke dalam hotel. Gina tidak bisa membayangkan, jika pernikahan ini terjadi. Mungkin, pernikahan ini akan menjadi neraka baginya, karena didasari oleh kebohongan yang dilakukan oleh David.Gina tidak berani menoleh ke belakang. Ia terdiam bagaikan patung, tidak bergerak sama sekali.Oma Wulan kemudian berjalan dan berdiri di hadapan Gina."Uangnya jatuh, tadi saya melihat uang kamu nongol dan jatuh dari saku jaket. Lain kali, kamu hati-hati, ya kalau nyimpan uang," imbuh oma Wulan, kemudian menyerahkan uang pemberian Lena yang tidak sadar terjatuh dari saku jaket yang Gina kenakan.Gina lantas menerimanya, ia merasa lega karena ternyata oma Wulan tidak mencurigainya."Terima kasih, Bu!" ucap Gina, dengan suara yang terdengar serak dan batuk. Sengaja ia lakukan, untuk mengelabuhi oma Wulan.Oma Wulan mengangguk seraya tersenyum. Namun, dari belakang terdengar seseorang