Kensky ternganga sambil menatap Dean. Tapi sikap diamnya itu bukan karena terkejut dengan apa yang barusan keluar dari mulut Dean, melainkan rasa tidak percaya karena pria itu mau membongkar jati dirinya yang sebenarnya.
Meskipun sudah tahu dari Mrs. Stewart, Kensky tidak ingin menunjukan pada Dean bahwa dia sebenarnya tahu. "Apa yang membuatmu berkata begitu?"
Dean tak melepaskan tangan Kensky. "Aku serius. Aku bukanlah anak kandung mereka. Aku hanya anak angkat yang mereka adopsi saat usiaku delapan tahun."
Hati Kensky merasa kasihan. Dan walaupun Dean belum menceritakan kenapa sampai dia diadopsi oleh keluarga Stewart, justru ia sudah bisa merasakan bagaimana kehidupan Dean saat itu. Dia bisa merasakan bagaimana hidup tanpa orang tua, karena di usia yang hampir sama, Kensky juga pernah merasakan bagaimana kehilangan orang tua. Meskipun saat itu sang ayah masih hidup sampai sekarang, tapi sikap Eduardus terhadapn
Jadi mewek.. Pengen nangis kuat. Huuuu.
Kensky tersentak. "Apa ibumu meninggal?" Dean menunduk menatap Kensky. "Ya." Flashback On: Saat fajar menanti, Dean tebangun akibat suara sentakan kasar dari pemilik toko. Mereka diusir dan Dean bingung akan membawa ibunya ke mana, sementara kondisi ibunya semakin parah. Dean dengan penuh ketakutan terpaksa meminta tolong siapa saja yang ada di sana untuk menampung mereka, namun karena kondisi mereka seperti itu__ kotor akibat debu lantai__ membuat orang-orang tidak mau membantunya. Dean ingin membeli obat untuk ibunya, tapi tidak punya uang sementara dirinya juga lapar. Dia mengemis-ngemis pada orang yang lewat, tapi tidak ada satupun orang yang memeberikan uang padanya. Bahkan ada yang mendorongnya hingga jatuh karena tidak mau didekati. "Bu?" "Hmm," erangnya dengan mata yang masih terpejam. Badannya menggigil.
Kensky memeluknya. "Berarti kau memang sudah ditakdirkan untuk hidup bahagia selamanya." Dean balas memeluknya. "Hidupku akan lebih bahagia jika sudah memilikimu seutuhnya." Kensky mendongak menatap Dean. "Aku mencintaimu." Pria itu memunduk kemudian melumat bibir Kensky. Mereka berciuman. Ciuman yang panas dan membawa mereka ke atas ranjang. Dean perlahan melepaskan gaun tidurnya, sementara Kensky dengan penuh cinta menatap pria itu dengan mata sayu akibat gairah yang bergolak. "Kau mencintaiku?" tanya Kensky. "Sangat. Aku sangat mencintaimu." Kensky mengalungkan kedua tangan di lehernya. "Kalau kau mencintaiku, apa kau akan menuruti semua kemauanku?" Dean mengecup dahinya. "Apapun. Apapun itu akan kuberikan. Aku bahkan rela mati jika itu yang kau inginkan." Wanita itu tertawa. "Aku tidak ingin kamu mati, kalau kau mati aku juga bisa mati. Aku hanya ingin satu hal darimu malam ini." Dean menunduk untuk menjilat
Rebecca tak bisa berkata apa-apa. Keputusan Soraya sudah bulat dan itu artinya gadis itu rela melakukan apa saja demi mendapatkan Dean. "Soraya, kau tenang dulu. Nanti kalau Bernar sudah pulang dari Jerman, biar Mama yang akan bicara padanya." Soraya menatapnya. "Selama ini aku lihat Mama tidak ada pergerakan sama sekali. Mama terlalu takut pada Bernar, padahal bukti semuanya ada pada Mama. Harusnya Mama bisa mengambil keputusan sendiri dengan memanfaatkan semua bukti-bukti yang ada, bukannya ingin bertemu dan mendiskusikannya dengan dia. Buang-buang waktu itu namanya." Rebecca tersinggung. "Apa maksudmu, Soraya?" "Mulai sekarang urusan pernikahan adalah urusanku. Biar aku yang akan mencari cara bagaimana dia mau menikahiku. Mama urus saja urusan Mama sendiri." Soraya berlalu dan meninggalkan Rebecca sendiri di ruang makan. "Soraya! Soraya!" *** B
Kensky segera memutuskan panggilan. Tak ingin menunda waktu lagi karena memikirkan kondisi sang ayah, Kensky segera mencari kontak Dean dan menghubunginya. Dengan posisi yang masih sama ia menatap dinding sambil menunggu panggilannya terhubung. "Halo, Sayang?" sapa Dean dari balik telepon. Kensky tersenyum sayang. "Apa kabar? Apa aku mengganggumu?" "Kabarku buruk." Ekspresi Kensky mendadak berubah. "Kenapa, Sayang? Apa ada masalah di kantor?" Terdengar Dean tertawa. "Aku merindukanmu." Kensky mengendus. "Aku pikir kenapa." "Kamu sendiri sedang apa? Apa kau merindukanku?" "Aku sangat merindukanmu. Hari-hariku rasanya berat tanpamu, Dean." "Kalau begitu besok aku ke sana saja, bagaimana?" Kensky terkejut. "Jangan, Dean. Tidak usah. Justru aku yang mungkin akan ke sana." "Kau tidak perlu ke sini, Sayang. Biar aku saja yang ke sana." "Tidak, Dean. Aku ingin minta ijin padamu beberapa
Beberapa hari pun berlalu. Dengan bias cahaya terang akibat cuaca yang begitu cerah pagi itu, Dean sekarang sudah berada di dalam apartemennya dengan suasana hati yang tidak secerah langit. Ia sedang duduk sambil menatap layar laptop dengan wajah garang bagaikan hewan buas siap menerkam mangsa yang berani melewatinya."Hubungi Mr. Bla, Matt. Katakan aku ingin bicara," kata Dean tanpa menatap pria yang kini berdiri di hadapannya dengan setelan jas rapi."Baik, Bos."Dengan cepat pria itu merogoh ponsel dari saku jas dan mencari kontak Mr. Bla. Dan begitu panggilannya terhubung, Matt segera memberikan benda pipih itu kepada Dean."Ini, Bos."Dean meraihnya. "Halo?""Iya, Bos?""Apa Eduardus bersamamu?""Dia sedang istirahat, Bos.""Bagus. Jangan sampai dia mendengar pembicaraan kita," Dean beranjak dari kursi dan berdiri di depan jendela kaca, "Apa dia menanyakan alasan kenapa kau menculiknya?""Ada, Bos. Tapi aku m
Kensky terkejut. "Kenapa papi melakukan itu?" Airmatanya merebak.Soraya yang melihatnya pun berpura-pura baik dan membawa Kensky untuk duduk di sofa."Aku dan mama juga sempat kaget, Sky. Tapi kau tahu kan kondisi ayah seperti apa? Jadi begitu kami mengeluarkan ayah dari bak air, aku langsung menghubungi dokter, sedangkan mama melakukan segala cara agar ayah kembali sadar. Tapi belum sempat dokter datang, ayah sudah tidak ada. Ayah meninggal malam itu juga."Kensky semakin menangis. "Ya, ampun. Kenapa kalian tidak langsung menghubungiku? Kalau tahu akan jadi begini, malam itu juga aku langsung terbang ke sini.""Kami panik, Kensky. Kami juga sedikit takut memberitahukanmu, karena tidak ingin terjadi sesuatu padamu."Kensky terus menangis, sedangkan Soraya yang kini menatap adik tirinya tersenyum samar karena gadis itu termakan kebohongannya.Rebecca pun demikian. Meski dalam posisi sedang berpura-pura menangis, ia sesekali melirik Kensky da
Setelah berpamitan di atas pusara yang bertuliskan nama Eduardus Oxley, Kensky mengajak Soraya untuk kembali ke rumah. Sambil berjalan pelan mereka bercerita."Kau yakin ingin menikah dengan orang itu?" Soraya memulai.Kensky tersenyum sambil menatap kaki yang langkahnya menginjak rumput gajah mini. "Aku yakin. Aku sangat yakin dengan pilihan orangtuaku. Jika bagi mereka dia adalah sosok yang baik, berarti buatku juga dia pasti yang terbaik.""Kalau aku ... pasti aku tidak akan mau.""Kenapa?" tanya Kensky."Menikah dengan orang yang belum kita kenal itu berisiko, Sky. Apalagi kita sama sekali tidak memiliki rasa pada orang itu. Sama saja kita beli kucing dalam karung."Kensky tersenyum lagi. "Tapi kan cinta itu bisa tumbuh dengan sendirinya. Lagi pula aku tidak akan langsung menikah, aku ingin menjalaninya dulu. Saat ini pak Dean sudah menugaskanku di Jerman, dan beliau mempercayakanku untuk memonitor segala operasional di sana. Jadi, ada b
"Rebecca benar-benar kelewatan," geram Dean, "Hubungi Mr. Pay. Aku harus bicara dengannya."Tanpa menunggu lagi Matt langsung mencari nama Mr. Pay dalam kontak kemudian menghubunginya."Ini, Bos," kata Matt seraya memberikan ponsel itu pada Dean."Halo, Mr. Pay?" sapa Dean."Halo, Pak Dean.""Maaf telah mengganggu Anda. Ada hal penting yang harus saja sampaikan kepada Anda, Mr. Pay.""Tidak apa-apa, Pak Dean. Eh, kalau boleh tahu hal penting apa ya, Pak?"Dean mendudukan dirinya di kursi. "Soal Rebecca, dia telah membuat kuburan di belakang rumah dengan pusara yang bertuliskan nama Eduardus Oxley.""Apa? Anda tahu mana, Pak Dean?" Nada Mr. Pay terdengar kaget."Aku telah menyuruh orang untuk mematai-matai rumahnya. Sebenarnya aku tidak ingin melakukannya, tapi karena Kensky minta cuti untuk pulang karena ayahnya sekarat, aku menyuruh seseorang untuk memantau Rebecca dan anak perempuannya. Mungkin kalau aku tidak tahu mas