“Kakak! Apa yang kau lakukan!” tiba-tiba suara Rose meninggi.
“Hee? Kenapa?” jawab suara tanpa wujud itu.
“Kakak yang melakukannya pada Ricky kan?”
“Lalu? Ada yang salah?” suaranya terdengar tak merasa bersalah.
“Tentu saja salah!” ucap Rose tak mau kalah.
“Itu bayaran untuk pekerjaanku Rose...”
“Pekerjaan?”
“Benar pekerjaan! Kalau aku berhasil menangkap pelaku penembakan, Ricky akan menghabiskan malam denganku.”
“Tu-tunggu! Aku tidak ingat aku mengatakan itu!” protesku.
“Apa kau lupa? Kau memohon untuk menangkap pelaku itu agar Rudy bisa bersekolah lagi bukan? Dan sebagai gantinya, aku bisa menikmati tubuhmu itu.”
Apa yang dia katakan! Aku tidak mengatakan hal itu sama sekali!
“Rose dengarkan aku! Aku tidak berkata seperti itu!”
Rose terdiam, kemudian menatap mataku.
“Rose aku tidak melakukan itu! Dengarkan aku!” aku memegang bahunya berusaha meyakinkannya.
“Jika memang benar... Aku tidak merasa keberatan... Aku bukan siapa-siapamu...”
“I-iya tapi aku tidak berkata seperti itu...”
“Lalu jika kau mengatakannya atau tidak... Tetap saja tidak ada sangkut pautnya denganku...”
Dan aku tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun.
Benar yang Rose katakan, aku bukan siapa-siapa.
“Ah! Pertengkaran di masa muda!” ucap sang pelaku seolah tidak merasa bersalah.
Bagaimana ini? Apa yang harus aku lakukan?
“Sudah kak hentikan... Ricky tidak akan melakukan hal itu... Jika memang ia mau melakukannya... Aku yakin aku orang yang akan ia cari pertama kali... Bukan kakak.”
“Ja-jadi kau tahu Rose?” balas sang kakak dengan nada terkejut.
“Tentu saja...” Rose memberikan tasku, kemudian membuka pintu, “kalau kakak sudah menemukannya... Beri tahu aku...”
Aku memakai tas itu dan menyusul Rose keluar ruangan.
*****
“Hahaha!” tawa Rudy terdengar menjengkelkan.
“Hei! Kenapa kau tertawa?” ucapku kesal.
“Kau seperti seorang putri yang diperebutkan para pangeran! Hahaha!”
“Aku menyesal menceritakan ini semua kepadamu Rudy!”
“Hahaha maaf aku tidak bermaksud, tapi mendengar ceritamu aku tidak bisa menahan tawa hahaha!” tawanya lagi.
“Dan kau tahu sekarang kakaknya Rose sedang mencari pelakunya.”
“Tentu saja, karena wanita itu sudah menerima bayarannya!”
Mendengar itu aku merapatkan kerah jaketku.
“Apa kau tahu kau dikeluarkan dari tim?” tanyaku penasaran.
“Ya aku tahu, mereka takut ketika kita tengah bertanding, seseorang akan menyerangku.”
“Apa kau tidak merasa kecewa? Karena kau sudah belajar mati-matian untuk menjadi peserta pada perlombaan ini.”
Rudy tersenyum pahit, “tentu saja.”
“Apa pun yang terjadi akan aku pastikan, kau mengikuti perlombaan itu!”
“Tentu saja kau bahkan rela memberikan tubuhmu padanya...” ia menatapku sembari menahan tawa.
Aku melempar bantal ke arahnya dan sayangnya tertangkap.
Tiba-tiba suara teriakan terdengar menggema hingga ke kamar Rudy.
Tanpa aba-aba aku dan Rudy berlari turun menuju sumber suara.
Seorang pria terkapar di depan pintu masuk, membuat semua orang yang tengah menyantap makan siang terkejut bukan kepalang. Di sebelahnya terdapat sepucuk senapan api lengkap dengan teropong di atasnya.
“Bagaimana?” seorang wanita berambut merah panjang dengan mata kuning berdiri di depan pintu.
I-itu kakaknya Rose!
“Kau yang bertanya tentang Rose tadi pagi bukan?” tanya Rudy.
“Benar, kenalkan aku Jasmine Hyberis.” Ia tersenyum ke arah Rudy.
Semua mata pria yang ada di sana menatap lekat-lekat sosoknya yang tampak anggun dan menawan.
“Ka-kau! Kakaknya Rose?” tanya Rudy tak percaya.
“Benar! Dan pelakunya sudah tertangkap!” Ia tersenyum bangga.
Tak lama suara mobil polisi terdengar mendekat, semua pengunjung mulai tampak lega.
“Kak bagaimana dengan pengunjung di sini?” ucapku pelan.
“Tahan napas kalian!” titahnya.
Aku menutup kedua hidungku dengan ibu jari dan telunjukku, begitu juga dengan Rudy.
Kak Jasmine menutup pintu di belakangnya, kemudian ia menjentikkan jarinya. Perlahan kabut tipis berwarna merah muda memenuhi ruangan.
Nenek Rudy dan beberapa pegawai yang tengah menenangkan pengunjung tampak tak menyadari munculnya kabut itu.
“A-apa ini kak?” tanyaku kaget.
“Kabut untuk memanipulasi otak!” ia tersenyum.
A-apa? Memanipulasi otak?
“Jadi kalau terhirup?” Rudy ikut bertanya.
“Bisa aku ubah ingatannya! Hehehe!”
Mengerikan!
Tiba-tiba pintu restoran terketuk, spontan saja kami segera melihat ke pintu.
“Silahkan tuan Raymond!” pekik wanita itu sembari membuka pintu.
Tak lama beberapa polisi berseragam masuk ke dalam dan meringkus pria itu.
“Oh kau sudah menyelesaikan semuanya?” seseorang berjubah hitam masuk ke dalam, “Ricky? Rudy?”
“Aku menangkap pelakunya tuan Raymond!” Kak Jasmine tersenyum ke arahnya.
“Woah! Bagus sekali Jasmine! Aku memang tidak salah mengandalkanmu!” pria berambut cokelat itu tersenyum ke arah kak Jasmine.
Oh! Jadi mereka... Ah aku mengerti.... Hohoho...
Kak Jasmine melirik ke arahku, kemudian ia melotot.
Jadi benar? Hohoho baiklah! Apa aku harus mengatakannya?
“Hei, apa yang kalian berikan kepada Jasmine? Biasanya ia tidak mau bekerja bila cuma-cuma hahaha!”
Bagaimana kak? Apa aku harus memberi tahukan sesuatu di leherku? Sepertinya akan menarik!
“A-ah! Itu karena mereka teman Rose, jadi aku membantunya dan Ricky akan menjadi adik iparku...”
“Tunggu! Tunggu! Aku-“
“Sudahlah Rick!” Rudy membekap mulutku.
“Kalau begitu, kami undur diri dulu. Ingat jangan pernah katakan kepada orang lain tentang regu khusus ini ya!” tuan Raymond tersenyum ke arah kami, tapi auranya seolah mengancam kami.
*****
“Akhirnya aku bisa kembali masuk sekolah!” ucap Rudy dengan wajah sumringah.
“Padahal hanya sehari kau tidak sekolah.”
Dan seperti sebelumnya setiap pagi, ia menghampiriku walau harus bersusah payah masuk ke dalam lobi terlebih dahulu.
“Ricky! Aku selalu takut kau dikerjai oleh Zack seperti kemarin!” ia memegang kedua bahuku.
“Aku sudah biasa kau tahu? Haha!” tawaku.
“Hargailah perasaan sahabatmu ini Rick!” Ia meninju bahuku.
“Berapa? Katakan berapa jumlahnya!” tantangku.
“Sejumlah bintang di langit?”
“200.000.000.000.000.000.000.000!”
“Sebanyak itu?” tanyanya kaget.
“Kau yang memintanya, tapi lebih baik kau bunuh aku saja!”
“Mana mungkin hahaha!” tawanya lepas.
“Kemarin kak Jasmine bertanya apa padamu?” tanyaku penasaran.
“Ia bertanya, apakah aku mengenal Rose? Kau tahu di mana rumahnya? Apa kau tahu dia keturunan bangsa apa? Ya hal-hal yang cukup pribadi.”
“Lalu kau jawab apa?”
“Aku jawab setahuku, tapi tentu saja merahasiakan hal itu!”
Baguslah, sepertinya kak Jasmine tidak keberatan bila Rudy tahu yang sebenarnya.
“Dia juga bertanya tentangmu Rick!”
“Tentangku?”
“Benar! Tentangmu!” Ia menganggukkan kepala.
“Apa yang dia tanyakan?”
“Itu rahasia! Haha!”
“Kau sudah baikan Rudy?” tiba-tiba suara dingin Mary terdengar.
Kami yang baru saja memasuki pekarangan sekolah segera menengok ke arahnya.
“Benar! Aku sudah lebih baik sekarang!” ucap Rudy.
“Baguslah kalau begitu.” Ia berjalan mendahului kami berdua.
“Selalu saja dingin, tidak seperti Judy yang selalu ramah dan tersenyum.”
“Hei Rudy, kita tak boleh membanding-bandingkan orang lain. Mereka memiliki sifat masing-masing.”
“Selamat pagi tuan Frederick!” sapa Rudy saat bertemu dengan tuan Frederick yang tengah berdiri di dekat pintu masuk.
“Selamat pagi!” sambungku.
“Selamat pagi, kau sudah masuk tuan Springfield?” tanyanya.
“Sudah, semua sudah selesai. Maaf merepotkan tuan Frederick...”
“Tidak apa, berarti nanti setelah istirahat kalian berdua bisa berkumpul untuk diskusi serta latihan akan perlombaan antar sekolah sudah di depan mata.”
“Baik!” ucapku kami serentak.
*****
“Apa kau bilang Rose? Seseorang menyuruhnya?” ucap Rudy tak percaya.
“Benar... Itu yang tuan Raymond katakan... Dan ia seorang bangsawan dari negeri seberang...”
Ba-bangsawan? Jangan-jangan keluarga kandungnya!
“Rick kau kenapa?” Rudy meninju bahuku.
“Tidak apa.” Aku menggelengkan kepalaku.
“Rick aku tahu, kau mengetahui sesuatu.” Ia menatap mataku dalam-dalam.
Apa harus aku katakan?
Tapi bagaimana aku menjelaskan tentang bagaimana aku tahu semuanya?
Aku dari dunia lain? Dunia ini adalah dunia game yang aku mainkan?
“Kemarin... ada yang mencarimu...” Rose yang duduk di sebelahku menjauhkan kami berdua.
“Be-benarkah?” Ia beralih menatap Rose.
“Benar... Dan mungkin saja ia tahu sesuatu...”
Kalau begitu, aku harus mengatakan sesuatu pada Ibu kandung Rudy!
Ayo aku harus mengingat-ingat di mana ia bekerja!
Atau mungkin mobilnya! Ah! Ayo otak berpikirlah!
Di jalan itu! Ya! Jalan itu! Di jalan yang aku dan paman Zanone lewati! Ada beberapa kantor! Kantor perjalanan, kantor perumahan dan kantor bea cukai!
“Rudy! Sepertinya hari ini aku tidak bisa berkumpul, aku harus membeli sesuatu!” ucapku sembari bangun dari tempat dudukku.
“Kau mau ke mana?”
“Membeli aksesoris handphone, jika pulang lebih sore toko itu pasti sudah tutup,” karangku.
“Oh begitu rupanya, baiklah! Tenang, biarkan aku yang mengurusnya!” Ia mengacungkan jempolnya ke arahku.
*****
“Paman Zanone!” pekikku kala melihat pria yang pernah aku tolong.
“Oh Ricky?” pria itu berjalan mendekatiku.
“Bagaimana paman? Ada informasi terbaru?” tanyaku penasaran.
“Sama seperti yang kau katakan, itu saja.”
“Sebenarnya kemarin ada seorang wanita yang mencari temanku dan sepertinya ada hubungannya dengan penembakan itu.”
“Kalau begitu, ayo kita bicarakan di dalam saja.” Paman Zanone mengajakku masuk mengunjungi sebuah cafe di seberang jalan.
Sebuah bangun kecil berhiaskan tanaman gantung berwarna hijau tampak menarik perhatian. Kami berdua masuk dan segera mencari tempat duduk, tapi belum sempat kami menemukannya, seseorang menabrakku dan menumpahkan minumannya ke bajuku.
“Maaf! Saya terburu-buru! Eh? Kau kan?”
Dan mata kami saling bertemu.
“Ricky?” Wanita itu menatapku dengan terkejut, “padahal sebentar lagi akan ke sekolahmu ternyata malah bertemu di sini.”“Nyonya Julietta?” ucap paman Zanone.“Tuan Zanone?” balasnya tak kalah kaget.Jadi mereka saling mengenal? Apa ada sangkut pautnya?“Jadi paman Zanone mengenalnya?” tanyaku meyakinkan diri.“Benar, kami bekerja di tempat yang sama.”“Kalau begitu kita tidak usah bersusah payah lagi mencari orang itu Paman “ aku tersenyum ke arahnya.“Maksudmu Rick?” tanya paman Zanone tak mengerti.Aku menatap kolega wanita teman paman Zanone, lalu menatap kembali ke arah paman Zanone.“Ja-jadi orang itu?”Aku menganggukkan kepala.“Ada apa denganku?” wanita yang dipanggil nyonya Julietta tampak tak mengerti.“Bisa kita bicarakan ini di ruangan tertutup?” ajak paman Z
“Ricky!” pekik Rose.Aku segera berlari ke arah Rose.“Ricky tetap di sini!” pintanya.“Ta-tapi Rose jika terjadi sesuatu padamu bagaimana?” bantahku.“Tenang saja... Aku dapat menjaga diri...”“Baiklah... Hati-hati Rose!” Aku menepuk bahunya, Ia membalas dengan anggukan kepalanya.Tak lama sosoknya menghilang di balik pintu.Apa aku harus meminta bantuan Mary atau Judy?Tidak! Aku harus menyelesaikan ini semua tanpa bantuan Mary ataupun Judy!Tiba-tiba suara tombol pintu terdengar, aku yang tengah berjalan menjauh, memutar tubuh guna melihat siapa yang masuk.Jantungku berhenti sejenak, tubuhku melemas setelah aku melihat sesosok orang asing menggunakan topeng dan memegang sebuah pisau berhiaskan darah segar.“A-ada yang bisa aku bantu?” tanyaku terbata.Tanpa menjawab ucapanku, orang itu berjalan mendekat. Pisau yang ia pegang
“Rudy dengarkan aku! Nyonya Julietta itu ibu kandungmu...”“Mana mungkin aku bisa percaya dengan mereka yang ingin membunuhku dan membunuhmu!” Rudy menatapku dengan mata berkaca-kaca.“Iya aku tahu, tapi bukan nyonya Julietta yang melakukannya.”“Kenapa hidup ini tidak adil! Kenapa mereka ingin membunuhku! Apa salahku! Dan kau yang malah menjadi korbannya!” Tangisnya.“Rudy,” paman Zanone menghampirinya, kemudian Ia mengelus pucuk kepala Rudy,” kalau kau berkata hidup ini tak adil, bagaimana dengan mendiang Harry anak Paman?”Aku terdiam, setelah dipikir-pikir kehidupan anak itu lebih tidak adil dan tidak menyenangkan. Di usianya yang masih muda, ia menjadi korban perpisahan orang tuanya. Memiliki penyakit bawaan sejak lahir dan menjadi korban salah tembak, seolah tidak ada kebahagiaan baginya.“Harry telah menjadi korban keegoisan kami, belum lagi penyakit di jant
Aku mengambil dan menatap kalung itu dengan seksama, kalung dengan bandul berbentuk bunga tulip berwarna merah dan mengeluarkan sesuatu seperti darah.“A-apa ini darah?” aku menatap ngeri kalung itu.“Benar... Tulip kematian adalah bunga yang berasal dari bibit bunga... Yang diberikan darah Succubus atau Incubus berdarah biru...”“Apa fungsinya?” tanpa takut Rudy memegang bunga itu.“Menyamarkan aroma... Semua manusia yang memakainya... Akan tercium seperti Succubus...” Rose menganggukkan kepala.“Darahnya menghilang!” pekik Rudy kaget.Aku menatap ke lantai dan benar saja tidak ada tetesan darah walaupun darah menetes dari kalung itu.“Bagaimana dengan bajuku?” aku menatap ragu kalung itu.“Tidak akan membekas...”“Baiklah!” Aku memakainya walau sedikit ragu.Tiba-tiba kalung itu bercahaya dan memaksaku menutup mata.
“Kenapa kak? Ada apa?” tanyaku bingung.“Kau adalah orang yang aku cari! Orang yang akan membantuku menemukan keluargaku!” ucapnya.Bisa begitu ya? Bagaimana ini bisa terjadi?“Kakak tahu dari mana aku dapat menemukan keluarga kakak?”“Seseorang mengatakan itu padaku! Jika jimat ini berpendar di tangannya maka orang itu akan membantumu mewujudkan mimpiku!” mata kelabu kak Rainer menatapku penuh harap.“Se-sebenarnya aku pernah melihat kalung itu kak, digunakan seorang wanita tapi aku tidak tahu kapan.”“Tidak apa, perlahan-lahan waktu akan menjawabnya!” kak Rainer menepuk bahuku, “tolong bantu aku!”“Tentu saja kak!” aku tersenyum ke arahnya.“Andai saja aku dapat bertemu dengan orang yang memberikan jimat ini,” ucap kak Rainer dengan nada kecewa.“Memangnya bagaimana ceritanya kakak dapat jimat itu?” t
“Kau tahu kenapa tidak ada yang mendekat walau aroma darah suci tercium dari tubuhmu?” tanya kak Jasmine.“Tidak kak...” jawabku dengan lemas.“Karena kau dekat dengan mereka,” kak Jasmine menepuk kedua jok mobil di depanku, “aromamu tertutup oleh mereka.”"Kami? Ada apa dengan kami?" Sahut kak Rainer."Aku juga tidak tahu, tapi sepertinya jimat kalian yang berjasa."Kenapa seolah aroma tubuhku yang menjadi biang keladinya?“Kau harus memakai deodoran Rick! Hahaha!” tawa Rudy.“Kak... Aku tidak mau memakai ini!” Aku menatap ngeri kalung di balik kemejaku.Aku tidak mau memakai ini, ini terlalu mengerikan!Kalau kepala kucing masih bisa kuterima, tapi kalau ini janin yang masih kecil! Dia manusia! Aku bukan psikopat yang menggunakan bagian tubuh manusia untuk dijadikan aksesoris!“Jasmine aku tidak tahu kau dapat dari mana, tapi bagaimana
“Kita berhasil Rick!” Rudy merangkul bahuku.Aku menganggukkan kepala.Tapi apa maksud dari tuan Brigde menatapku seperti itu?"Kalian berhasil!”“Kalian hebat sekali!”“Tak salah tuan Frederick memilih kalian!"Kakak kelas dan teman kami menyanjung keberhasilan kami.“Kalian harus bersiap, sekolah elit Gradestone sangat hebat!”“Benar, bangunannya saja seperti ini, bagaimana pelajarannya?”“Hei bagaimana dengan anak-anak lain?”“Olimpiade matematika kita masuk ke final!”“Benarkah?”“Tim Ilmu pengetahuan alam kita juga masuk ke final!”Apa aku melakukan kesalahan? Apa pengetahuan yang aku ketahui adalah pengetahuan dari masa depan?“Ricky!”Apa yang harus aku lakukan, apa aku harus memilah informasi yang aku ketahui. Tapi bagaimana caranya?“Ricky!
“Oh kalian bermusuhan? Sayang sekali!” Zack mendorongku hingga tersungkur ke tanah.“Jadi sekarang aku bisa dengan bebas menghajarmu!” Ia menendang tubuhku yang terjatuh ke tanah.Tanpa sengaja mataku dan mata Rudy saling menatap, Ia yang tak sengaja lewat berhenti sejenak.“Hei! Mau menolongnya?” Tanya Zack.Tak lama Ia menatapku lagi dan pergi tanpa mengucap sepatah kata pun.“Oh jadi kau membencinya sekarang? Baiklah!”Tiba-tiba Zack menarik tanganku sedangkan tangan kanannya memegang sebuah cutter.“Arghh!” pekikku kala pisau yang Ia pegang melukai urat nadiku.“Ah! Maaf aku tidak sengaja!” ucapnya tanpa merasa bersalah.Darah segar menetes dari tanganku membasahi tanah.“Cepat sembuhkan lukamu! Kalau tidak kau akan mati hahaha!” tawanya sembari berjalan menjauh.Bagaimana kalau ada seseorang yang mencium darahku? Aku ha
“A-apa? Ibu ke rumah?” Rudy tergagap.“Benar, Yang Mulia ingin mengenalkan diri pada nenek,” sahut kak Daniel yang tengah memegang kemudi.“Dan sekarang terjebak di rumah,” tambah kak Rainer.“Terjebak bagaimana?” Aku mengerutkan dahi tak mengerti.“Seseorang telah membocorkan informasi tentang kedatangan Yang Mulia,” kak Rainer membuka dasbor mobil, “dan lihat apa yang kami temukan!”“Bom!” Aku dan Rudy berteriak secara tak sadar.“Tenang saja ini sudah kami jinakkan!” Kak Rainer menutup kembali dasbor mobil.“Sepertinya seseorang berusaha membunuh Ibumu Rudy!” kak Daniel menatap Rudy dari pantulan kaca spion.“Apa kak Jasmine tidak bisa menolong?”“Jasmine sedang sibuk sekarang, ada keanehan dalam tubuh Rose” Kak Daniel melambatkan laju mobil, “dan sekarang aku harus mengantarmu ke rumah Rose.”Apa? Mengantarku ke rumah Rose?“Bagaimana dengan Rudy? Bukankah berbahaya kalau Rudy ada di sana?” tanyaku bingung.“Rudy akan kami bawa ke Lavenburg.”“Apa? Tidak! Aku tidak mau!” Rudy meni
“Kau! Sejak kapan kau memilikinya?”“Kenapa kau tidak memberi tahuku?”“Apa saja yang dapat kau lakukan?”Kak Jasmine membordir pertanyaan, tidak membiarkan aku menjawabnya.“Hei Jasmine, beri Ricky kesempatan untuk menjawab terlebih dulu!” Ujar kak Rainer sembari menepuk bahunya.“Kau juga! Bukankah kita sepakat untuk berbagi informasi tentang anak ini?” kak Jasmine mengerutkan alisnya kesal.A-apa? Berbagi informasi? Aku tidak tahu masalah ini.“Aku juga tidak mengetahui hal ini, aku hanya melihat Ricky yang bergerak dan mengambil pistol itu secara cepat.”“Baiklah aku terima alasan itu, sekarang kau Rick! Sejak kapan kau memiliki kekuatan itu?”“Aku tidak yakin kak,” aku mengerutkan dahi tak mengerti.“Semenjak kalung yang kau berikan Jasmine? Sepertinya aura Ricky terlihat sedikit berbeda setelah memakainya.”“Hhmm... Baiklah...” kak Jasmine mengangguk mendengar ucapan kak Rainer.“kalau begitu ayo kita pergi Rick!” kak Rainer bangun dari duduknya dan membuka pintu kelas yang tela
“Oh kalian bermusuhan? Sayang sekali!” Zack mendorongku hingga tersungkur ke tanah.“Jadi sekarang aku bisa dengan bebas menghajarmu!” Ia menendang tubuhku yang terjatuh ke tanah.Tanpa sengaja mataku dan mata Rudy saling menatap, Ia yang tak sengaja lewat berhenti sejenak.“Hei! Mau menolongnya?” Tanya Zack.Tak lama Ia menatapku lagi dan pergi tanpa mengucap sepatah kata pun.“Oh jadi kau membencinya sekarang? Baiklah!”Tiba-tiba Zack menarik tanganku sedangkan tangan kanannya memegang sebuah cutter.“Arghh!” pekikku kala pisau yang Ia pegang melukai urat nadiku.“Ah! Maaf aku tidak sengaja!” ucapnya tanpa merasa bersalah.Darah segar menetes dari tanganku membasahi tanah.“Cepat sembuhkan lukamu! Kalau tidak kau akan mati hahaha!” tawanya sembari berjalan menjauh.Bagaimana kalau ada seseorang yang mencium darahku? Aku ha
“Kita berhasil Rick!” Rudy merangkul bahuku.Aku menganggukkan kepala.Tapi apa maksud dari tuan Brigde menatapku seperti itu?"Kalian berhasil!”“Kalian hebat sekali!”“Tak salah tuan Frederick memilih kalian!"Kakak kelas dan teman kami menyanjung keberhasilan kami.“Kalian harus bersiap, sekolah elit Gradestone sangat hebat!”“Benar, bangunannya saja seperti ini, bagaimana pelajarannya?”“Hei bagaimana dengan anak-anak lain?”“Olimpiade matematika kita masuk ke final!”“Benarkah?”“Tim Ilmu pengetahuan alam kita juga masuk ke final!”Apa aku melakukan kesalahan? Apa pengetahuan yang aku ketahui adalah pengetahuan dari masa depan?“Ricky!”Apa yang harus aku lakukan, apa aku harus memilah informasi yang aku ketahui. Tapi bagaimana caranya?“Ricky!
“Kau tahu kenapa tidak ada yang mendekat walau aroma darah suci tercium dari tubuhmu?” tanya kak Jasmine.“Tidak kak...” jawabku dengan lemas.“Karena kau dekat dengan mereka,” kak Jasmine menepuk kedua jok mobil di depanku, “aromamu tertutup oleh mereka.”"Kami? Ada apa dengan kami?" Sahut kak Rainer."Aku juga tidak tahu, tapi sepertinya jimat kalian yang berjasa."Kenapa seolah aroma tubuhku yang menjadi biang keladinya?“Kau harus memakai deodoran Rick! Hahaha!” tawa Rudy.“Kak... Aku tidak mau memakai ini!” Aku menatap ngeri kalung di balik kemejaku.Aku tidak mau memakai ini, ini terlalu mengerikan!Kalau kepala kucing masih bisa kuterima, tapi kalau ini janin yang masih kecil! Dia manusia! Aku bukan psikopat yang menggunakan bagian tubuh manusia untuk dijadikan aksesoris!“Jasmine aku tidak tahu kau dapat dari mana, tapi bagaimana
“Kenapa kak? Ada apa?” tanyaku bingung.“Kau adalah orang yang aku cari! Orang yang akan membantuku menemukan keluargaku!” ucapnya.Bisa begitu ya? Bagaimana ini bisa terjadi?“Kakak tahu dari mana aku dapat menemukan keluarga kakak?”“Seseorang mengatakan itu padaku! Jika jimat ini berpendar di tangannya maka orang itu akan membantumu mewujudkan mimpiku!” mata kelabu kak Rainer menatapku penuh harap.“Se-sebenarnya aku pernah melihat kalung itu kak, digunakan seorang wanita tapi aku tidak tahu kapan.”“Tidak apa, perlahan-lahan waktu akan menjawabnya!” kak Rainer menepuk bahuku, “tolong bantu aku!”“Tentu saja kak!” aku tersenyum ke arahnya.“Andai saja aku dapat bertemu dengan orang yang memberikan jimat ini,” ucap kak Rainer dengan nada kecewa.“Memangnya bagaimana ceritanya kakak dapat jimat itu?” t
Aku mengambil dan menatap kalung itu dengan seksama, kalung dengan bandul berbentuk bunga tulip berwarna merah dan mengeluarkan sesuatu seperti darah.“A-apa ini darah?” aku menatap ngeri kalung itu.“Benar... Tulip kematian adalah bunga yang berasal dari bibit bunga... Yang diberikan darah Succubus atau Incubus berdarah biru...”“Apa fungsinya?” tanpa takut Rudy memegang bunga itu.“Menyamarkan aroma... Semua manusia yang memakainya... Akan tercium seperti Succubus...” Rose menganggukkan kepala.“Darahnya menghilang!” pekik Rudy kaget.Aku menatap ke lantai dan benar saja tidak ada tetesan darah walaupun darah menetes dari kalung itu.“Bagaimana dengan bajuku?” aku menatap ragu kalung itu.“Tidak akan membekas...”“Baiklah!” Aku memakainya walau sedikit ragu.Tiba-tiba kalung itu bercahaya dan memaksaku menutup mata.
“Rudy dengarkan aku! Nyonya Julietta itu ibu kandungmu...”“Mana mungkin aku bisa percaya dengan mereka yang ingin membunuhku dan membunuhmu!” Rudy menatapku dengan mata berkaca-kaca.“Iya aku tahu, tapi bukan nyonya Julietta yang melakukannya.”“Kenapa hidup ini tidak adil! Kenapa mereka ingin membunuhku! Apa salahku! Dan kau yang malah menjadi korbannya!” Tangisnya.“Rudy,” paman Zanone menghampirinya, kemudian Ia mengelus pucuk kepala Rudy,” kalau kau berkata hidup ini tak adil, bagaimana dengan mendiang Harry anak Paman?”Aku terdiam, setelah dipikir-pikir kehidupan anak itu lebih tidak adil dan tidak menyenangkan. Di usianya yang masih muda, ia menjadi korban perpisahan orang tuanya. Memiliki penyakit bawaan sejak lahir dan menjadi korban salah tembak, seolah tidak ada kebahagiaan baginya.“Harry telah menjadi korban keegoisan kami, belum lagi penyakit di jant
“Ricky!” pekik Rose.Aku segera berlari ke arah Rose.“Ricky tetap di sini!” pintanya.“Ta-tapi Rose jika terjadi sesuatu padamu bagaimana?” bantahku.“Tenang saja... Aku dapat menjaga diri...”“Baiklah... Hati-hati Rose!” Aku menepuk bahunya, Ia membalas dengan anggukan kepalanya.Tak lama sosoknya menghilang di balik pintu.Apa aku harus meminta bantuan Mary atau Judy?Tidak! Aku harus menyelesaikan ini semua tanpa bantuan Mary ataupun Judy!Tiba-tiba suara tombol pintu terdengar, aku yang tengah berjalan menjauh, memutar tubuh guna melihat siapa yang masuk.Jantungku berhenti sejenak, tubuhku melemas setelah aku melihat sesosok orang asing menggunakan topeng dan memegang sebuah pisau berhiaskan darah segar.“A-ada yang bisa aku bantu?” tanyaku terbata.Tanpa menjawab ucapanku, orang itu berjalan mendekat. Pisau yang ia pegang