Share

My enemy, My husband
My enemy, My husband
Author: Chairunnisamptr

PROLOG

last update Last Updated: 2023-09-05 00:22:45

"He killed many women."

....

Pukul satu lewat enam belas menit dini hari terlihat pada jam tangan yang gadis berpakaian minim itu kenakan. Dia berjalan sempoyongan di gang kecil tak jauh dari The Blue Hill, sebuah klub malam yang cukup terkenal.

"Ck," decakan itu lolos karena ponselnya terus-terusan berdering.

"Siapa sihh?!" kesalnya sembari berhenti melangkah dan bersandar pada tembok yang berada disampingnya. Tangannya merogoh tas hitamnya dan mengeluarkan ponsel dari sana.

Papa is calling...

"Ah! Berisik banget," tanpa menunggu lama dia langsung me-reject panggilan. Lalu kemudian kembali berjalan dengan menjadikan tembok itu sebagai pegangan agar dirinya tidak terjatuh.

"Tolonggg!"

"Mphhh! Tolongg!"

Langkah gadis itu seketika terhenti. Dia berjalan selangkah ke depan lalu mengintip dari ujung tembok. Matanya menyipit, berusaha untuk melihat objek itu dengan jelas dikarenakan tempat ini minim cahaya.

Dia pun melebarkan matanya sendiri, di sana terlihat seorang gadis yang tak sadarkan diri dengan darah dibagian lehernya, bajunya tersingkap hingga perutnya terekspos, lalu kemudian mata gadis itu beralih melihat seorang lelaki berpakaian serba hitam, wajahnya tak terlihat karena terhalang oleh topi yang dia kenakan.

Lelaki itu tampak menyeret seorang gadis lain, dia menutup mulut gadis itu lalu membawanya pergi.

"Itu apaan, sih?" gumamnya. Tangan kirinya terangkat untuk mengusap kasar wajahnya. Lalu kemudian kembali melanjutkan langkah. Dia tak terlalu menanggapi apa yang dilihatnya tadi karena mungkin, dia tengah halusinasi akibat minum terlalu banyak.

Namun baru beberapa langkah berjalan, kedua kakinya tertahan karena bayangan seseorang yang kian mendekat ke arahnya. Gadis itu lantas mengangkat wajah, melihat lelaki tinggi besar yang berada beberapa meter di depannya.

Di tangan lelaki itu terdapat pisau berwarna merah akibat darah, bahkan darah itu masih menetes jatuh mengenai jalanan aspal.

Gadis itu lantas melangkah mundur karena lelaki itu kian mendekat ke arahnya, dia lalu berjalan cepat ke arah gadis itu dan mengayunkan pisau ke arahnya.

"AAAAAA!"

Allura Morieza, gadis itu bangkit duduk dari tidurnya dengan napas terengah-engah karena mimpi buruk yang ia alami. Menyadari jika memimpikan hal yang sama berkali-kali, ia pun mengacak rambutnya sendiri.

"Aish, mimpi sialan," decaknya kemudian beringsut turun dari ranjang. Dia berjinjit melewati berbagai sampah yang berserakkan di kamarnya. Ada botol alkohol, minuman soda, snack, bahkan pakaian dalam yang sudah berhari-hari terletak di sana.

Dia menuju ke dapur untuk minum, lalu kemudian duduk di sofa dan mengambil bungkusan snack yang telah terbuka di atas meja, lalu mengangkatnya dan memasukkannya ke dalam mulut karena hanya tersisa sedikit.

Pintu apartemennya terbuka, dan Lura lantas memasang wajah malas karena pasti sebentar lagi dia akan kena siraman rohani. Tinggal menghitung mundur dari angka tiga saja.

Tiga

Dua

Satu

"ASTAGA LURAA! INI APARTEMEN APA KADANG HEWAN, HAH?!" teriak Lana--Mama Lura, sembari berjalan masuk ke Apartemen anaknya. Dia tercengang melihat betapa joroknya ruangan yang ia injaki kini.

"Yaelah, biasa aja kali, Ma. Masih bersih ini," elak perempuan yang mengenakan tanktop putih dan hotpants itu sambil menggigiti bungkusan snack yang telah habis.

Lana menggelengkan kepalanya dan mulai mengambil beberapa pakaian kotor yang berserakkan di ruang tamu. Dan Lura hanya melihatnya saja dengan sebelah kaki yang terangkat.

"Kamu ini anak cewe! Udah gede! Kapan mau berubah?!" kesal Lana, dia berjalan ke arah toilet lalu menaruh pakaian kotor itu ke dalam keranjang.

"YAMPUNN LURA! UDAH BERAPA KALI MAMA BILANG?! JANGAN MINUM-MINUM LAGI!" teriak Lana saat melihat botol-botol alkohol yang berserakkan di kamarnya anaknya.

Yang dimarahi hanya bersandar pada sofa dengan memejamkan matanya lalu menutup kuping. Menyesal rasanya mengapa dia lupa mengganti password pintu. Jika diganti 'kan, Mamanya tidak dapat masuk lagi.

Lana lalu berjalan di depannya dengan membawa botol-botol itu lalu membuangnya ke tempat sampah. Wanita yang hampir memasuki kepala empat itu lantas berjalan mendekat ke arah Lura lalu menarik kupingnya hingga dia merintih kesakitan.

"Aduh aduh! Sakit woi!"

"KAMU DENGER NGGAK APA YANG MAMA BILANG?! KALAU KAMU TETAP KAYAK GINI, MAMA BAKAL NGELAKUIN SESUATU YANG  BUAT KAMU MENYESAL!"

Lura melepaskan tangan Lana dari kupingnya, lalu mengusap-ngusap telinganya yang tampak kemerahan.

"Apa? Mama mau ngelakuin apa? Blokir kartu kredit aku? Sita mobil aku? Atau ngeluarin aku dari KK?" balas Lura dengan berani.

"Lakuin aja, aku bisa palak junior aku di kampus kalau mau beli apa-apa, aku juga bisa numpang mobil Maxel kalau mau ke mana-mana, dan aku juga bisa tinggal di rumah Jean, so? Mama mau ngelakuin apa?" tantang Lura, membuat Lana berulang kali menarik napas dalam, berusaha untuk mengontrol emosinya sendiri.

Dia terlihat tersenyum terpaksa, dengan mata melotot melihat Lura, "Kamu liat aja nanti. Pulang kuliah, kamu harus ikut Mama ke suatu tempat."

"Dih, males banget."

"LURA!"

"Apaan sih. Jangan teriak-teriak napa."

"Mandi dan pergi kuliah! Sekarang!" perintah Lana sambil mengangkat jari telujuknya ke arah kamar Lura.

"Males ahh, aku ngantuk banget, mau tidur lagi. Bye," Lura lantas bangkit dari sofa hendak menuju ke kamarnya, namun sebelum itu Lana lebih dulu menarik tanktop yang gadis itu kenakan hingga dia kembali terduduk.

"Kamu mau Mama di sini terus? Kalau kamu nggak pergi kuliah, Mama bakal sita hp kamu. Mau?!" ancam Lana. Lura mendengus kesal, jika ponselnya di sita dia tidak bisa menghubungi siapapun.

"Yaudah iya!" putusnya lalu berdiri dan pergi menuju kamar. Dia bukan anak penurut, jadi tak semudah itu untuknya menuruti permintaan Mamanya. Dia hanya mandi dan pura-pura pergi kuliah. Toh, Mamanya tidak akan tahu.

****

Dengan senyum mengembang, gadis yang mengenakan crop top putih yang dilapisi cardingan itu berjalan keluar dari lift hendak menuju basement karena mobilnya berada di sana.

Setelah memasuki area basement di pun menghampiri kendaraan roda empat berwarna merah mengkilap itu. Ah, ternyata Mamanya mudah sekali untuk dibohongi, dia langsung pergi dari Apartemen saat Lura tengah mandi.

Dia menekan remote mobilnya, lalu kemudian membuka pintu. Namun ada yang aneh, tasnya seperti terasa ditarik oleh seseorang.

"Mau kabur, ya? Hm?" Lana tersenyum saat Lura berbalik melihatnya.

Gadis itu hanya bisa tertawa hambar, apakah Mamanya Jailangkung? Mengapa selalu suka datang tiba-tiba? 

"Ayo Mama antar ke kampus, sayang," ucap Lana dengan penekanan diakhir kalimat.

Lura berdecak, dia tersenyum terpaksa pada Lana lalu menutup pintu mobil dengan keras, dan mengikuti langkah Mamanya itu menuju mobil putih miliknya.

Pupus sudah niatnya untuk tidak kuliah.

Selang beberapa menit kemudian, mereka telah sampai di depan gerbang Universitas Harbert. Lura tanpa berkata apapun sudah hendak membuka pintu mobil, namun pergerakkannya tertahan karena Lana bersuara.

"Jangan lupa, pulang kuliah kamu harus ikut Mama, atau nanti kartu--,"

"Iya iya! Ngancem mulu," balasnya jutek lalu keluar dari mobil dan berjalan masuk ke dalam gerbang.

Lana menghela napas lelah, semoga saja rencana mereka nanti adalah jalan yang terbaik untuk bisa merubah sifat Lana.

****

"Seorang wanita ditemukan tak bernyawa dalam selokan dengan luka sayatan di lehernya. Diduga sebagai korban pembunuhan," gumam Jean membaca judul artikel dari ponselnya. Kini ketiga gadis itu tengah duduk santai di Delight Coffee, sebuah Kafe yang terletak di dalam kampus.

"Ihh, ini mah lokasinya deket klub yang suka lo datengin itu, Ra! Apasih namanya? Blue blue apa gitu."

"The Blue Hill," Gauri mengoreksi.

"Nah iya!"

Lura menatap layar ponselnya membaca berita itu, memang benar, ini tak jauh dari The Blue Hill. Tapi bentar, mengapa dia jadi teringat sesuatu?

"Luka sayatan di leher?"  gumamnya.

Gadis itu lantas menegakkan tubuhnya, dia jadi teringat akan kejadian yang pernah dialaminya dua minggu yang lalu saat dia pulang dari The Blue Hill. Awalnya Lura pikir itu adalah mimpi, karena setelah lelaki aneh itu hendak menusuknya, dia tak ingat apapun lagi. Bahkan anehnya, bangun-bangun dia sudah tertidur di depan pintu Apartemen. Hingga menjadi tontonan beberapa orang.

Aneh sekali bukan? Siapa yang membawanya?

"Hati-hati deh lo. Kejadiannya bukan cuma sekali. Sebelum ini juga ada mayat yang ditemukan di dalam mobil, lokasinya juga deket sama klub malam itu," ucap Gauri, perempuan berambut pendek dengan potongan bob blunt itu.

"Hm, bener. Apalagi nih ya, korbannya perempuan semua. Yaa, mungkin sekitar umur dua puluh tahunan gitu lah," Jean menimpali.

Lura bersandar pada sofa, dia melipat kedua tangan di depan dada. Bukannya merasa takut, dia malah penasaran siapa lelaki itu. Lura yakin jika ada dua lelaki di sana, yang pertama adalah orang yang membawa satu wanita yang masih hidup, lalu satu lagi adalah lelaki yang hendak menusuknya.

Tidak mungkin, kan, jika itu adalah orang yang sama? Karena waktunya berdekatan. Bahkan hanya berselang beberapa detik saja.

"Bodo amat dah, nggak peduli gue," balas Lura acuh. Kemudian bangkit berdiri.

"Mau ke mana lo?" Gauri bertanya. Dan langsung dibalas oleh Lura.

"Rooftop."

"Ngapain?" timpal Jean.

Lura menampilkan senyum tipisnya, kemudian mengangkat tangan dan membentuk jari telunjuk dan tengahnya seolah sedang merokok.

"Nyebat."

****

Gumpalan asap putih itu bergumpal di udara lalu perlahan menghilang bersamaan dengan tiupan angin yang menerpa wajah Lura. Gadis itu menyelipkan sebatang rokok di jarinya, lalu menghisapnya dalam dan menghembuskannya perlahan.

Kedua orangtuanya tahu jika dia perokok, dan Lura pun tidak peduli seberapa sering mereka melarang dan memarahinya. Toh, ini hidup Lura, dia akan melakukan apapun sesukanya, tidak peduli itu membahayakan dirinya sendiri atau tidak.

Lura mengangkat sedikit wajahnya ke atas, langit siang hari ini terlihat cerah, namun juga tampak sedikit mendung.

Bugh!

Bugh!

Suara itu terdengar dari arah belakang hingga Lura membalikkan tubuhnya. Dia lantas berjalan pelan menuju arah suara itu, dan ternyata berasal dari tangga menuju rooftop.

Melihat seorang lelaki yang tersungkur akibat pukulan seseorang, membuat Lura menjatuhkan rokoknya yang masih tersisa banyak, dan menginjaknya dengan sepatu.

Ia melangkah menuruni anak tangga, lalu membantu lelaki yang wajahnya sudah babak belur itu untuk bangkit.

"Lo nggak papa? Pergi aja, setan satu ini biar gue yang ngurus," ucap Lura pada lelaki yang tidak dia kenali itu.

Sedangkan lelaki dengan tatto dileher dan tangan kirinya itu berdiri dibelakang Lura, dia tampak berkaca pinggang dan tertawa tak percaya jika perempuan ini berani ikut campur tentang urusannya.

"Mau nyari masalah lo sama gue?" tanyanya tajam. Lelaki itu adalah Gerlangga Dylano. Sosok yang dikenal kejam dan tak memberi ampun pada siapapun yang berani mengusik ketengannya, ataupun yang suka mencari masalah padanya. Seperti perempuan satu ini.

"Katanya, sih. Kalau lo mau cepet mati, cari masalah aja sama Gerlan. Karena pasti dia bakalan buat hidup lo menderita."

Lura tersenyum tipis mengingat ucapan Jean beberapa hari yang lalu saat mereka melihat Gerlan memukuli beberapa junior yang berani memutar musik hingga tidurnya terganggu.

Gadis itu bersedekap, menantap Gerlan dengan sinis, "Kalau iya, kenapa?"

"Lawan gue kalau lo berani. Bukannya lo nggak suka kalau ketenangan lo diganggu?"

Decihan itu keluar saat mendengar ucapan Lura, Gerlan lantas menarik pinggang cewek itu lalu merapatkannya ke dinding yang berada tepat dibelakangnya.

"Lo yakin?" ucap Gerlan menyeringgai, dia perlahan mendekatkan wajahnya pada Lura. Namun gadis itu tak goyah, dia tidak merasakan apapun, bahkan kakinya sudah tak sabar untuk menginjak-injak wajah sialan lelaki ini.

"Ini kampus, kalau lo macem-macem sama gue, rumor bakalan cepet ke sebar. Lo mau reputasi lo hancur?"

Mendengar itu Gerlan sedikit menjauhkan wajahnya, dia tersenyum tipis lalu beralih membisikkan sesuatu di telinga Lura.

"Kenapa? Lo takut? Bukannya udah terbiasa?"

Lura seketika menautkan kedua alisnya, melihat Gerlan yang melempar senyum remeh padanya.

"Apa maksud lo?"

Gerlan tertawa sinis mendengar itu, dia tidak mengerti atau memang pura-pura tidak mengerti?

"Bukannya lo jalang di The Blue Hill?"

Ucapan Gerlan berhasil membuat Lura menggepalkan tangannya. Dia menatap cowok itu nyalang.

"Jaga omongan lo," katanya penuh penekanan.

Gerlan kembali tersenyum miring, dia lagi-lagi mendekatkan wajahnya ke arah Lura lalu menatap gadis itu dari dada hingga ke bawah, "Harga lo berapa semalam? Sejuta? Hm, atau 500 ratus ribu doang?"

"Sialan," desis Lura marah, tangannya sudah melayang hendak menampar wajah brengsek lelaki itu, namun dia berhasil menahan tangan Lura.

"Kenapa lo marah? Bukannya bener? Kasih tau aja berapa harga lo, uang gue banyak, gue bisa nyewa lo seminggu, sebulan, bahkan setahun," Gerlan berucap lagi tanpa mempedulikan tatapan penuh amarah Lura padanya.

Melihat gadis itu hanya diam tanpa membalas ucapannya, membuat Gerlan tertawa puas.

"Nggak bisa jawab? Kehabisan kata-kata atau lo emang bener jalang di sana?"

Sumpah demi apapun, Lura sangat ingin melayangkan kepalan tangannya ini, namun dia ingat jika ini area kampus. Dia tidak ingin mencari masalah, karena jika orangtuanya tahu, segala fasilitasnya benar-benar akan disita.

"Gue bukan jalang," balas Lura dengan penekanan disetiap katanya.

Gerlan beralih mengunci Lura dengan kedua tangannya yang menempel pada dinding.

"Trus apa? Pelacur?"

Tepat setelah Gerlan mengatakan itu Lura langsung mendorong tubuhnya, "Jaga omongan lo! Lo nggak berhak ngatain hidup gue!"

Gerlan menyunggingkan senyum sinis, "Makanya, jangan berani ikut campur urusan gue atau hidup lo bakalan menderita."

****

Sudah tak terhitung berapa kali Lura menghela napas kasar dan melirik jam tangannya. Yang ditunggu satu orang, tapi lamanya minta ampun.

Lura ingin segera keluar dari restoran ini dan tidur di Apartemennya. Mendengar pembicaraan mereka seputar bisnis membuat kepala Lura serasa ingin pecah.

Tidak adakah pembahasan yang lebih menarik?

Karena tak ada kegiatan, Lura akhirnya membuka tas untuk mengeluarkan ponsel. Lalu mencari nomor Mexel untuk mengirimnya pesan.

Max max

Maxell

Yuhuu

Ntar malem temenin gue clubbing yuu

Udah lama kan lo nggak ngeliat muka gue yang cantiq inii hihi

Males

Tugas gue numpuk

Dih, gitu amat

Cukup tau

Tanam dalam diri

Apaan sih

Cabang lo kan banyak di sono

Yaudah

Bye.

Lura menggerutu pelan, biasanya Maxel selalu bersedia untuk menemaninya ke mana pun. Lalu mengapa sekarang tidak? Pakai alasan tugas numpuk. Sejak kapan dia jadi rajin?

Apa mungkin karena virus dari si gila Gerlan itu? Secara Maxel temenan sama dia. Lura mengangukkan kepalanya sendiri, menyetujui argumennya barusan. Sepertinya setelah ini Lura harus membersihkan otak Maxel yang sudah terkontaminasi oleh virus negatif dari si gila Gerlan.

"Nah, akhirnya dateng juga," seru Ochi--Lura tidak tahu dia siapa, tapi yang pasti dia adalah teman atau partner kerja orangtuanya.

Seseorang terlihat duduk di depannya, namun Lura tak mempedulikan itu karena bermain game pou lebih menarik.

"Ayo dong kenalan dulu. Lura?" Lana yang berada di samping anaknya itu pun menyenggol pelan lengan Lura agar gadis itu mengalihkan perhatiannya.

"Udah kenal kok, Tante."

Eh?

Bentar-bentar, Lura mengenali suara ini. Karena hanya si gila Gerlan yang memiliki suara seperti itu. Mungkin perempuan lain akan senang mendengar suaranya, tapi karena dia waras, jadi sama sekali tak tertarik.

Lura pun mengangkat kepalanya. Tepat pada saat itu matanya langsung bertemu dengan wajah Gerlan yang tersenyum miring ke arahnya.

"Ma-- si gila ini kok bisa ada di sini?" tanya Lura tanpa mengecilkan suaranya. Membuat semua mata tertuju padanya.

Lana tertawa hambar, dia mencubit pelan paha Lura hingga gadis itu mengaduh kesakitan.

"Lura! Nggak boleh ngomong gitu!" ucap Louis--Papanya yang berada disamping Lana.

Lura mendengus keras, dia bersandar dan melipat kedua tangannya di depan dada. Menatap Gerlan tajam seolah mengatakan

"Apa lo? Maju sini kalau berani."

Ochi berdehem sebentar agar perhatian Lura dan Gerlan yang saling adu tatap itu teralih kepadanya.

"Nah, karena kita semua sudah berkumpul. Jadi langsung aja ya, tujuan kami membawa kalian ke sini karena ada hal penting yang akan kami sampaikan."

"Kami ingin kalian menikah."

"APA?!" teriak Lura tak percaya. Matanya melebar dengan mulut terbuka, dia sangat terkejut hingga tak bisa berkata-kata.

"Ma, ini--ini bercanda, kan?" tanya Lura melihat Mamanya. Berharap jika wanita itu mengatakan.

"Iya ini cuma prank, kok. Nggak beneran."

Tapi nyatanya,

"Enggak, Ra. Ini nggak bercanda. Kami memang sudah sepakat untuk menjodohkan kalian berdua."

Lura lantas tertawa tak percaya, "Ma! Yakali aku nikah sama dia! Ogah banget! Kalau bisa milih, aku mending nikah sama orang gila beneran daripada sama dia!" protesnya tak terima. Sedangkan Gerlan terlihat biasa saja. Dia mungkin sudah tahu akan hal ini, dan mungkin, dia menyetujui?!

Oh, tidak. Lura tidak akan membiarkan itu.

"Lura, ini demi kebaikan kamu!" balas Lana lagi, membuat Lura berdecih mendengarnya.

"Kebaikan apa, Ma? Mama mau hidup aku menderita? Mama mau aku mati muda karena nikah sama dia?"

Lana menghela napas kasar, bicara pada Lura memang harus membutuhkan kesabaran extra.

"Kamu pikir kami nggak tau? Apa yang kamu lakuin? Mama sama Papa tau Lura, meskipun kamu tidak tinggal satu atap dengan kami," balas Lana. Dia tahu jika setiap hari Lura selalu menghabiskan malamnya di klub. Minum alkohol dan merokok. Mereka tahu semua itu.

Louis yang duduk disamping Lana pun berpindah untuk duduk disamping anaknya. Dia mengusap pelan pundak Lura yang masih terbawa emosi.

"Lura, kamu ini anak satu-satunya Mama dan Papa. Kami tidak mau kamu hidup sesukanya dan tak tentu arah seperti ini."

"Minggu depan Mama dan Papa akan pindah ke Jerman, dan kamu tidak mungkin ikut kami karena kamu harus kuliah."

"Pa! Kok Papa tega, sih?!" jawabnya tak terima.

"Tenang, Papa belum selesai ngomong."

"Kami tidak ingin kamu hidup sendiri. Kamu tahu kan? Kita tidak punya saudara di sini, semuanya ada di Jerman. Jadi apa Mama dan Papa akan tenang-tenang saja membiarkan kamu hidup sendiri?"

"Pa, Lura bisa jaga diri Lura sendiri!"

Louis menggeleng, "Tidak. Papa tidak akan percaya lagi. Kamu juga bilang seperti itu saat memaksa kami untuk mengizinkan kamu tinggal sendiri. Tapi jadinya apa? Kamu tidak berubah juga."

"Kamu sudah 21 tahun, sudah sepantasnya kamu bersikap seperti orang dewasa."

"Pa! Yang bilang Lura masih kecil siapa? Lura udah dewasa kok, Lura--,"

"Nggak. Papa percaya pada Gerlan karena dia pasti bisa menjaga kamu dengan baik."

"What the fuck? Bisa jaga dengan baik?!" teriak Lura dalam hati. Ingin sekali dia mengadu pada Papanya atas apa yang dikatakan Gerlan tadi padanya.

"Kamu juga tahu, kan? Sekarang lagi marak-maraknya tingkat kejahatan. Korban pembunuhan banyak ditemukan disekitar tempat tinggal kita. Dan Papa tidak akan membiarkan kamu terluka. Kamu perempuan, ditambah lagi kamu suka keluyuran malam-malam," kata Louis lagi sembari menggeleng.

"Keputusan kami sudah bulat. Gerlan juga sudah menyetujui untuk menikah dengan kamu. Jadi Papa tidak akan menerima penolakan, kamu harus setuju dengan apapun yang terjadi."

"Pa!" bantah Lura. Dia tetap tidak terima.

"Lura, terima aja. Gerlan baik, kok. Tuh liat, dia juga ganteng, pinter lagi. Apa alasan kamu nggak mau nikah sama dia?" timpal Lana sambil melempar senyum pada Gerlan. Ah! Mama dan Papanya sama saja! Mengapa tidak ada yang berpihak padanya?

"Ma, buka mata lebar-lebar. Dia itu freak! Otak--,"

"Lura sayang, Tante tahu kamu tidak terima karena ini terjadi tiba-tiba. Tetapi sejak awal, jauh sebelum ini, kami sudah membuat kesepakatan untuk menjodohkan kalian. Bukan maksud apa-apa, kami hanya ingin kalian saling menjaga, dan saling memahami satu sama lain."

Lura tertawa tak percaya mendengar ucapan Tante Ochi. Saling menjaga dan saling memahami apanya?! Yang ada dia akan tertekan, hancur, berantakan, tersiksa, dan menderita jika hidup bersama Gerlan!

"Ya sudah, mari kita percepat saja tanggal pernikahannya," Om Verald---Papa Gerlan yang sejak tadi hanya diam menyimak pun mulai angkat bicara.

"Lebih baik kita percepat untuk menghindari hal-hal yang tak diinginkan," lanjutnya lagi.

Lura menghempas kasar tubuhnya ke sandaran sofa, dia mengacak rambutnya frustrasi dan menatap jengkel ke arah Gerlan.

Lelaki itu juga tengah melihatnya, dengan sebelah alis yang terangkat dia menatap Lura seolah mengatakan,

"Sebentar lagi, hidup lo bakalan hancur ditangan gue."

Related chapters

  • My enemy, My husband   1. WHO ARE YOU?

    "Aku bukan membencimu. Aku hanya takut mencintaimu.".....Satu hari setelah pernikahan..Bisakah kalian merekomendasikan racun yang cepat untuk melenyapkan nyawa seseorang? Lura ingin memasukkan racun pada minuman ini dan memberikannya pada si gila itu. Biar dia cepat mati dan Lura bisa bebas."Lama amat sih lo!" teriak Gerlan dari ruang tamu. Lura menggeram kesal, dengan kasar dia meraih garam dan memasukkannya sebanyak lima sendok teh penuh ke dalam kopi ini.Lura menyunggingkan senyum miring, dia pun membawa secangkir kopi itu lalu meletakkannya di atas meja, tepat di depan Gerlan yang tengah duduk santai sembari memainkan ponselnya.Lelaki itu duduk tegak, dia memajukan sedikit tubuhnya lalu menyipitkan matanya menatap kopi hitam itu."Lo duluan yang minum," suruh Gerlan."Dih, males. Sorry aja nih ye, gue nggak demen kopi," tolak Lura mengibaskan rambutnya ke belakant."Lo pikir gue bego? Pasti lo masukin garem, kan?" tebak Gerlan membuat Lura menatapnya cepat. Gadis itu bahkan

    Last Updated : 2023-09-05
  • My enemy, My husband   2. INSIDEN KANTIN

    "Beberapa orang diciptakan dengan hati yang kuat. Agar tak mudah rapuh jika disakiti oleh kenyataan." ****Lura tidak percaya jika dia akan berada pada situasi menakutkan seperti ini. Dikejar oleh penjahat? Itu hanya ada dalam bayangannya saja. Namun tak disangka jika dia benar-benar mengalaminya.Lura berlari kencang menjauh dari orang misterius itu, Lelaki yang mengenakan pakaian serba hitam itu hanya berjalan mengikutinya, namun langkahnya begitu cepat hingga Lura sudah berlari pun dia tetap berada di belakang.Gadis yang dahinya dipenuhi oleh peluh itu berbelok memasuki sebuah gang kecil, namun saat mencapai ujung gang, kedua kakinya tertahan. Dia bimbang ingin memilih jalur kiri atau jalur kanan. Kepalanya lantas menoleh ke belakang, dia berdesis karena lelaki itu tengah berjalan mendekat ke arahnya. Tanpa membuang waktu lebih banyak lagi, Lura lantas berlari ke arah kiri. Dia mempercepat laju larinya, berharap jika di depan sana dia menemui seseorang atau rumah yang berpenghu

    Last Updated : 2023-09-05
  • My enemy, My husband   3. MINE

    "Terkadang, bersikap seolah-olah tak peduli adalah salah satu cara untuk menyembunyikan perasaan."****Jarum jam tepat menunjukkan pukul tiga sore, dan kini kedua kaki yang dibalut sepatu Ankle boots itu tengah menyusuri koridor lantai dua hendak menuju gerbang depan kampus untuk mencari taksi. Jean dan juga Gauri sudah pulang lebih dulu, mereka juga sudah menawarkan untuk mengantar Lura setelah sempat bertanya mengapa gadis itu tidak membawa mobil seperti biasanya. Namun Lura hanya mengatakan, "Lo pada duluan aja, mobil gue lagi di bengkel."Jelas itu hanya alibi Lura saja karena mobilnya sudah dijual. Ya, di jual karena kedua orang tuanya tak mengizinkan Lura untuk memiliki kendaraan, karena mereka khawatir jika Lura akan keluyuran kemana-mana. Saat menuruni anak tangga, langkah kaki Lura perlahan melambat karena seseorang yang berdiri di bawah sana. Lura lantas menuruni dua anak tangga, lalu berhenti. Pandangannya berubah sinis menatap gadis itu."Mau apa lo?" nada suaranya ter

    Last Updated : 2023-09-05
  • My enemy, My husband   4. HEARTBEAT

    "Tidak perlu dengan ucapan untuk menunjukkan rasa cinta."****Gadis yang mengenakan atasan berwarna hitam dengan rambut yang dibiarkan tergerai itu berjalan pelan di koridor kampus dengan wajah tak bersahabat. Matanya menatap tajam ke depan, hingga berhasil membuat orang-orang yang berselisih dengannya enggan untuk melihat wajahnya yang menakutkan. Lura seperti ini bukan tanpa alasan, sejak pulang dari The Blue Hill kemarin malam itu, dia sangat ingin melampiaskan amarahnya karena cowok sialan itu sudah berani mencium bibirnya tanpa izin. Cih, dia pikir Lura perempuan murahan? Dia juga punya harga diri.Ditambah lagi dengan ucapannya semalam, yang mengatakan dia Lura adalah miliknya, mengingat itu membuat Lura berdecak dalam hati. Dia siapa? Bukan berarti mereka telah menikah, Lura bisa menjadi miliknya begitu saja."Ck, dasar gila. Orang kayak lo adalah orang yang paling gue benci di dunia! Udah bukan siapa-siapa, tapi suka banget ngatur-ngatur hidup gue," gerutu Lura geram. Yang

    Last Updated : 2023-09-05
  • My enemy, My husband   5. MEET YOU

    "Ketika kamu merasakan bahwa seseorang itu istimewa. Saat itu pula kamu akan takut kehilangannya."****Pukul delapan lewat lima menit malam ini, Lura baru saja selesai berpakaian, dan sekarang perempuan yang mengenakan dress hitam dengan luaran jaket jeans itu tengah duduk di depan meja rias untuk mencatok rambutnya. Sementara ponselnya yang terletak di atas meja berdering, Lura berdecak membaca nama si penelepon."Nggak sabaran banget," gerutunya pelan tanpa mengangkat telepon. Selang beberapa menit kemudian, Lura telah selesai mencatok rambut dan memoles make-up tipis pada wajahnya, lalu setelah itu keluar dari kamar. Gerlan sudah berada di basement, maka dari itu dia menelepon Lura agar cepat turun karena dia sudah lama menunggu. Sosok gadis terlihat masuk ke area basement, dia tampak berjalan santai seolah tak tahu jika Gerlan sudah menunggunya selama setengah jam lebih di dalam mobil. Itu membuat lelaki yang berada di balik kemudi mendengus kesal.Pintu yang berada di samping

    Last Updated : 2023-09-05
  • My enemy, My husband   6. JUST KIDDING

    "Perasaan akan sulit dikendalikan jika kamu tengah jatuh cinta."****Apa yang akan kalian rasakan jika hal yang kalian takuti benar-benar terjadi? Lura tidak menyangka jika lelaki yang membuatnya merasa was-was sejak masuk ke dalam lift yang sama dengannya, kini berada tepat di depan matanya."Lo--siapa?" Melihat wajah gadis itu yang menatapnya dengan sorot curiga, membuat lelaki itu tertawa pelan. Dia lantas membuka topi dan juga maskernya."Ah, sorry-sorry. Gue buat lo takut, ya?" ucapnya, setelah wajahnya dapat dilihat jelas oleh Lura. Dan Lura sendiri merasa belum pernah melihat wajah itu."Gue mau balikin ini, tadi jatuh di depan pintu lo," katanya lagi seraya menyodorkan kartu akses ke arah Lura. Gadis itu terlalu terburu-buru hingga tak menyadari jika kartunya terjatuh.Lura menatapnya sebentar, lalu kemudian perlahan melangkah mendekat dan menerima benda berbentuk kartu ATM itu. "Oiya, kita belum kenalan."Lelaki itu mengangkat tangan kanannya ke atas, "Gue Gavin, penghuni

    Last Updated : 2023-09-05
  • My enemy, My husband   7. LUKA LAMA

    "Bagiku, obat untuk patah hati. Adalah dengan membenci."****Beberapa menit yang lalu Lura baru saja selesai membantu Ochi untuk membereskan meja makan. Dan kini langkah kecilnya itu berjalan menuju halaman samping rumah Gerlan yang terdapat taman dan juga kolam renang dengan beberapa lampu yang menerangi setiap sudutnya.Dia duduk di salah satu bangku dan menatap lurus pemandangan di depannya. Seusai makan malam tadi Gerlan lebih dulu beranjak bersama Verald karena ada hal penting yang ingin dibicarakan Papanya itu. Makanya Lura menjadi sedikit tenang karena manusia menyebalkan itu tidak mengusiknya.Mengingat perkataannya tadi seketika membuat Lura merasa kesal, apa maksudnya mengatakan hal yang menggelikan itu? Jika saja tidak ada Mama dan Papanya, Lura pasti sudah menendang kakinya sembari mengucapkan kata-kata mutiara. Namun yang dia lakukan tadi hanya tersenyum terpaksa pada Gerlan sambil menjawab,"Hehe, kenapa nggak lo aja yang hamil?"Dan ucapannya itu berhasil mendapat taw

    Last Updated : 2023-10-10
  • My enemy, My husband   8. FALL IN LOVE

    "Bukannya takut jatuh cinta. Hanya saja terlalu malas untuk mengulang sakit yang sama."****Ada waktu dimana ketiga lelaki itu mendatangi basecamp mereka yang terletak di gedung belakang kampus. Yang pasti, pagi-pagi seperti ini adalah waktu yang sangat langka dimana Felix mendapati Gerlan yang tengah duduk santai bersama beberapa kaleng soda yang terletak di atas meja.Dia tercengang ketika baru saja membuka pintu, mungkin jika yang berada di sana adalah Maxel, Felix bisa memaklumi karena lelaki itu memang yang paling rajin di antara mereka. Dia pasti selalu datang tepat waktu. Tapi Gerlan yang selalu bolos kuliah? Bagaimana mungkin dia sudah berada di kampus pagi-pagi seperti ini?Lelaki itu tampak mengangkat kepalanya yang semula menunduk menatap Felix yang beberapa detik lalu baru saja duduk di sampingnya."Kenapa lo ngeliatin gue?" tanya Gerlan datar seraya kembali menenggak minuman sodanya.Felix menggeleng pelan, "Lo ada masalah apa, sih?" "Masih soal kemarin? Lo masih kesel

    Last Updated : 2023-10-14

Latest chapter

  • My enemy, My husband   17. TAPI TAHUKAH KAMU?

    "Kita pernah saling membenci. Sebelum akhirnya sadar dengan perasaan sendiri."***"What?! Dia bilang Lura itu pacarnya?!" teriak Frea ta percaya di dalam mobil saat baru saja mendengar jawaban Flora. "Hm. Coba lo pikir, siapa yang percaya kalau si jalang itu pacarnya?" balas Flora kesal sambil menumpu sebelah tangannya di jendela mobil. Mereka masih berada di tempat tadi, terlalu kesal karena rencana yang sudah mereka susun gagal karena kedatangan Gerlan."Jelas nggak ada yang percaya, lah. Mereka aja musuhan, yakali bisa pacaran. Gue yakin, nih. Si jalang itu pasti godain Gerlan, kalau nggak mana mungkin dia mau bawa pelacur itu pergi," dumel Frea. Dia sangat yakin dengan ucapannya karena memang sudah terlihat jelas, jika Lura dan Gerlan itu tak pernah akur. Satu kampus pasti sudah tahu. Jadi sangat-sangat mustahil jika mereka memiliki hubungan. "Liat aja nanti, gue nggak akan berhenti walaupun dia ngancem gue pake

  • My enemy, My husband   16. PERASAAN YANG SALAH

    "Bagiku dulu, kamu adalah seseorang yang pantas untuk ku benci. Yang selalu ingin aku hindari. Namun kini, kamu adalah seseorang yang selalu aku butuhkan. Yang selalu ku jadikan alasan untuk bisa bahagia."****Sepasang kaki yang dibalut sneakers hitam itu melangkah memasuki kawasan rumah sakit dengan sebuah kotak yang berisi beberapa cup muffin di tangannya. Saat di kampus tadi dia ingin mengabari Gauri dan Jean jika dia akan langsung pulang, namun sayangnya sehabis dari toilet dia baru menyadari jika ponselnya kehabisan baterai. Semoga saja kedua gadis itu tidak menunggunya. Niat Lura datang ke sini bukan hanya ingin bertemu Anna dan memberikan muffin ini padanya, tapi karena hari ini obat yang dia pesan pada Dokter Joshua yang biasa menanganinya sudah tiba, maka dari itu Lura sekalian mengambilnya.  Sementara tak jauh dari sana, empat pasang mata mengamati pergerakkannya dari dalam mobil. Salah satu ora

  • My enemy, My husband   15. MASA LALU GERLAN

    "Kita adalah dua insan yang terlanjur berbeda. Saling mencintai dan tetap bersama hanya akan menyakiti hati satu sama lain."****Langit-langit kamar adalah objek yang pertama kali Lura lihat saat dia membuka mata. Dia mengerjab perlahan, dan melirik sekelilingnya dengan mata setengah terbuka."Bentar. Berarti tadi mimpi?" tanya Lura dalam hati. Dia mendengus pelan, suasana hatinya tiba-tiba menjadi buruk karena lelaki itu telah berani masuk ke dalam mimpinya. Lura dengan kesal bangkit duduk, dan mengusap kasar wajahnya. Tadi seingatnya dia duduk di sofa sambil menonton film seorang diri. Dan sekarang, mengapa dia telah berada di kamar? Apa lelaki itu yang memindahkannya?Ah, membayangkan itu membuat Lura semakin membencinya. Perlakuan anehnya itu yang membuat Lura kepikiran dan berakhir menjadi mimpi buruk.Ya, buruk. Sangat buruk.Dia melirik ke arah jam digital di atas nakas yang menunjukkan pukul satu lewat sepuluh menit dini hari. Yang berarti sudah hampir empat jam dia tertid

  • My enemy, My husband   14. BUKAN MUFFIN BIASA

    "Haruskah aku pergi meninggalkannya? Dan membiarkannya bahagia bersama seseorang yang dapat berada di sampingnya untuk waktu yang lama?"****Setelah menghadiri kelas terakhirnya di siang hari ini, Lura pun berencana untuk segera pulang. Kini dia tengah berjalan di koridor kampus seorang diri hendak menuju gerbang depan untuk menaiki taksi seperti biasa. Jean dan Gauri mungkin sudah pulang duluan karena mereka tidak mengambil mata kuliah yang sama dengannya. Tidak, lebih tepatnya Lura mengulang mata kuliah, maka dari itu semester ini dia kembali bertemu dengan mata kuliah yang sama.Langkahnya melambat karena dering pada ponselnya. Ada panggilan video dari seseorang, melihat itu Lura pun langsung menerima panggilan."Halo kak, Lura! Kakak apa kabar?"Seorang gadis dengan pakaian berwarna pink itu tersenyum cerah ke arahnya."Hai, Anna! Kakak baik. Anna gimana?""Anna juga baik, Kak," jawab gadis itu, di belakangnya terlihat tiang infus, yang berarti dia masih berada di rumah sakit.

  • My enemy, My husband   13. JEALOUS?

    "Aku hanyalah pengagum dalam gelapmu.Hanya sekadar bayangan yang tampak kalbu, dan hanya sepercik luka yang tak akan lekas sembuh."****Pagi hari yang cerah seperti ini seharusnya membuat orang-orang semangat untuk menjalani aktivitas seperti biasa. Namun itu tak berlaku pada gadis yang baru saja turun dari taksi. Baru saja melangkah memasuki gerbang, suara-suara menyebalkan itu sudah terdengar. "Eh eh, itu dia.""Cantik sih. Tapi sayang, jadi pelacur. Ups!""Kalo gue jadi orang tuanya udah malu banget sih, auto ga di anggap anak!""Dia ga punya malu banget tetep dateng ke kampus.""Tau tuh, fotonya juga udah ke sebar dimana-mana."Lura menghela napas jengah, jika saja dia ingin mencari banyak masalah, sampah di dalam tong berwarna kuning itu mungkin sudah ia ambil lalu memasukkannya ke dalam mulut mereka satu per satu. Karena memang itu tempat sampah yang seharusnya.Namun kini perempuan dengan atasan berwarna putih dan rok berwarna hitam itu hanya dapat mengunci mulutnya dan teta

  • My enemy, My husband   12. NOT ALWAYS THERE

    "Apa yang kamu harapkan dari seseorang yang tidak akan hidup lama?"****"Lo nggak lupa kan, sama janji lo?"Flora menghela napas berat, jika tahu pemilik nomor ini adalah psikopat itu, Flora tak akan mengangkatnya. Karena sangat menganggu."Gue punya dendam pribadi sama dia. Jadi setelah gue balas dendam, gue bakal bawa dia hidup-hidup ke elo."Di dalam ruangan yang didominasi cahaya biru itu, lelaki dengan pakaian hitamnya duduk sambil menatap beberapa foto gadis yang tertempel di cermin. Mereka semua tampak begitu mengenaskan."Oke, seminggu dari sekarang. Kalau sampai lo telat satu hari aja, nyawa lo sebagai gantinya," katanya lirih diakhir kalimat. Setelah itu memutuskan sambungan telepon.Flora yang berada di balkon kamarnya menggepalkan tangan marah. Dia tak suka diperintah, namun dia juga tak bisa melawan karena lelaki itu bukan orang sembarangan."Floraaa!" teriakan Frea dari dalam kamar membuat gadis itu masuk dengan langkah terburu-buru."Apaan lo teriak-teriak?"Frea menun

  • My enemy, My husband   11. I LOVE YOU, BUT

    "Terkadang, saling mencintai pun belum tentu akan bahagia bersama sampai mati."****Setelah memarkirkan mobilnya di basement, Gerlan langsung turun tanpa mengatakan sesuatu ataupun menoleh pada manusia yang duduk disampingnya.Lelaki bertubuh tinggi yang memiliki tatto dileher dan tangannya itu berjalan memasuki gedung apartemen, membiarkan Lura yang baru saja turun menatapnya tanpa ekspresi.Gadis itu sengaja berjalan dengan langkah sedikit lambat agar mereka tidak satu lift. Lura hanya malas jika berdekatan dengan lelaki itu. Melihatnya saja sudah membuat suasana hati Lura buruk.Tapi sepertinya hari ini bukan hari keberuntungannya, karena ternyata lelaki itu baru masuk ke dalam lift yang kosong. Dan mau tak mau, Lura terpaksa ikutan masuk karena enggan menaiki tangga.Jika unitnya berada tiga lantai dari sini, Lura mungkin sudah memilih naik tangga, tapi jika harus melewati 15 lantai lagi, dia lebih baik satu lift dengan Gerlan dari pada kakinya mati rasa.Lura yang berada di sudu

  • My enemy, My husband   10. DIFFERENT WAYS

    "Aku ingin kamu menjauh, pergi dan melupakanku. Agar meninggalkanmu bukan menjadi beban bagiku."****Sepasang kaki yang dibalut sneakers putih itu berjalan pelan menyusuri taman kota seorang diri. Dia menarik napas dalam, menghirup udara malam yang sedikit menenangkan perasaannya. Sepulang dari rumah sakit tempat Anna dirawat tadi, dia langsung berjalan kaki menuju tempat ini yang jaraknya memang tidak terlalu jauh. Melihat ada dua ayunan yang terlihat kosong, gadis yang mengenakan atasan rainbow crop sweater itu pun lantas menuju ke sana dan duduk sambil menganyunkan kedua kakinya. Lura hanya ingin menghabiskan waktu sendirian, meskipun itu akan mengingatkannya akan kenyataan yang terlalu mustahil untuk dapat berubah. "Lura, kamu harus memberitahu orang tua kamu.""Ini bukan masalah sepele karena menyangkut keselamatan kamu."Lura menghentikan langkahnya, mengingat ucapan Dokter beberapa minggu yang lalu membuatnya kini tak bisa menikmati hari-hari dengan tenang. Jika biasanya o

  • My enemy, My husband   9. HOPE

    "Tak bisa bersatu bukan karena tidak saling cinta. Tapi karena sejak awal, tujuan kita tak pernah benar-benar sama."****Pintu kamar yang dibuka dengan gerakan kasar itu menampilkan seorang gadis yang kini berjalan masuk ke dalam kamarnya dan duduk dipinggiran ranjang. Dia tak menjawab perkataan Gerlan tadi karena jujur, dia terlalu kaget saat lelaki itu tiba-tiba datang lalu memeluknya. "Ck, jangan bikin gue jatuh cinta sama lo?" ulang Lura dengan nada mengejek. "Siapa juga yang mau bikin lo jatuh cinta sama gue. Amit-amit dah, ogah banget gue disukai sama cowo kayak lo," gerutu Lura lagi. Anggap saja dia memang benar-benar kesal dan jantungnya tidak berdegup kencang. "Gue nggak baper!" ucapnya entah kepada siapa. Pikirannya mengatakan jika dia harus marah dan semakin membenci Gerlan karena perlakuannya itu. Namun hatinya terlalu sulit untuk diajak bekerja sama."Haha," Lura tertawa hambar, dia mengibaskan tangan kanannya ke depan wajah."Nggak mungkin lah, gue orangnya nggak mud

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status