Home / Romansa / My enemy, My husband / 1. WHO ARE YOU?

Share

1. WHO ARE YOU?

last update Last Updated: 2023-09-05 00:25:34

"Aku bukan membencimu. Aku hanya takut mencintaimu."

.....

Satu hari setelah pernikahan..

Bisakah kalian merekomendasikan racun yang cepat untuk melenyapkan nyawa seseorang? Lura ingin memasukkan racun pada minuman ini dan memberikannya pada si gila itu. Biar dia cepat mati dan Lura bisa bebas.

"Lama amat sih lo!" teriak Gerlan dari ruang tamu. Lura menggeram kesal, dengan kasar dia meraih garam dan memasukkannya sebanyak lima sendok teh penuh ke dalam kopi ini.

Lura menyunggingkan senyum miring, dia pun membawa secangkir kopi itu lalu meletakkannya di atas meja, tepat di depan Gerlan yang tengah duduk santai sembari memainkan ponselnya.

Lelaki itu duduk tegak, dia memajukan sedikit tubuhnya lalu menyipitkan matanya menatap kopi hitam itu.

"Lo duluan yang minum," suruh Gerlan.

"Dih, males. Sorry aja nih ye, gue nggak demen kopi," tolak Lura mengibaskan rambutnya ke belakant.

"Lo pikir gue bego? Pasti lo masukin garem, kan?" tebak Gerlan membuat Lura menatapnya cepat. Gadis itu bahkan mengedipkan matanya beberapa kali.

Dia cenayang atau emang terlalu pinter, sih?

"Buat yang baru," titahnya bak raja. Gerlan kembali menyandarkan tubuhnya, membuat Lura bersedekap.

"Heh! Lo siapa nyuruh-nyuruh gue? Mak Bapak gue aja nggak pernah nyuruh gue bikinin kopi! Lo punya tangan, kan? Punya kaki, kan? Apa perlu gue patahin biar nggak ada gunanya sama sekali?!" teriaknya marah. Lura sudah menahan emosinya saat tadi tidurnya terganggu akibat musik keras dari speaker yang tiba-tiba sudah menempel pada telinganya. Badannya juga terasa pegal akibat tidur di sofa karena Gerlan tidak mengizinkannya untuk tidur di atas kasur.

Dan sekarang, Lura tidak bisa menahannya lagi.

Gerlan menyunggingkan senyum miring, dia bangkit berdiri lalu berjalan memutari meja hingga berhenti tepat di depan Lura.

Lelaki yang mengenakan kaus hitam dan celana pendek selutut itu memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana, lalu mendekatkan wajahnya pada gadis yang mengenakan kaus putih oversize dengan hotpants berwarna hitam itu.

"Lo nanya gue siapa?" tanya Gerlan pelan. Ia menaikan sebelah alisnya. Sedangkan Lura menatap lelaki itu tajam dengan tangan terkepal.

"Gue yang punya Apartemen ini, gue yang biayain semua kebutuhan lo, gue yang bertanggung jawab atas hidup lo, dan gue--,"

"Yang bakal bikin hidup lo menderita," lanjut Gerlan dengan wajahnya yang begitu menyebalkan. Karena tak bisa menahannya lagi, Lura pun akhirnya melayangkan kepalan tangannya pada Gerlan.

Namun lagi-lagi, dia selalu berhasil menahan tangan Lura sebelum gadis itu memukulnya.

"Brengsek! Lo nggak berhak atas hidup gue!" marah Lura. Wajahnya sudah memerah karena emosi.

Gerlan melepaskan tangan Lura yang berada dalam genggamannya, dia menegakkan tubuh dan sedikit menunduk menatap gadis itu, "Gue berhak," ucapnya sembari memperlihatkan cincin yang melingkar di jari manisnya.

"Karena gue suami lo."

****

Lana memeluk Lura dan sesekali mengusap rambut anaknya itu, kini mereka tengah berada di Bandara, mengantar Mama dan Papa Lura yang akan pergi ke Jerman.

"Lura sayang. Maafin Mama, ya. Kalau Mama udah sering buat Lura kesal. Mama hanya ingin yang terbaik untuk Lura."

"Maa..," rengek Lura. Dia melepaskan pelukan dan menatap Mamanya dengan tatapan memohon. Jika saja suara hatinya dapat terdengar, Lana pasti sudah tahu jika Lura mengatakan,

"Ma, bawa Lura sama kalian. Lura nggak mau di sini. Lura tersiksa, Ma. Lura nggak bisa hidup sama si gila itu."

Tapi sayangnya, itu banya bisa dia katakan dalam hatinya saja.

Lana tersenyum menatap wajah sendu anaknya. Dia pasti sedih karena harus berpisah dengan kedua orangtuanya.

"Sekarang Mama tenang ninggalin kamu. Karena udah ada Gerlan yang jagain," ucap Lana seraya melirik Gerlan yang berada dibelakang Lura.

"Maa.. Nggak mau..," rengek gadis itu lagi. Dia menggelengkan kepalanya.

Louis yang berada disamping Lana pun beralih memeluk anak semata wayangnya, "Lura, kamu harus mandiri. Harus dewasa. Jangan apa- apa harus Mama dan Papa. Kamu sudah punya Gerlan, dia yang akan menjaga kamu," ucap Papanya.

Lura menggeleng dan melepaskan pelukan, "Pa, Papa nggak mau Lura mati muda, kan?"

Louis terkekeh pelan, "Ada-ada saja kamu. Mana ada orang tua yang mau anaknya mati muda."

"Pa, maksud Lura tuh--,"

Pemberitahuan yang berasal dari speaker Bandara terdengar, Louis lantas mengusap singkat puncak kepala anaknya. Lalu beralih mendekati Gerlan, dan menepuk singkat pundak lelaki itu seraya tersenyum hangat.

"Gerlan, tolong jagain putri Papa baik-baik, ya."

Lelaki itu mengangguk dan tersenyum, "Pasti, Pa. Gerlan bakal jagain Lura baik-baik, kok. Papa sama Mama tenang aja," perkataannya itu membuat Lura berdecih sinis. Dia memang pintar sekali mamasang wajah palsu.

"Syukurlah, Papa sudah lebih tenang sekarang, kalau gitu, kami pamit dulu, ya. Jaga diri kalian baik-baik," ucap Louis sedikit melangkah mundur menjauh dari mereka.

"Pa," Lura hendak melangkah mendekat, namun Gerlan lebih dulu merangkul pinggangnya hingga jarak mereka begitu dekat. Lura lantas menatap Gerlan tajam dan bergerak untuk menjauhkan dirinya. Tapi lelaki itu tak membiarkannya ke mana-mana.

Lana dan Louis melambaikan tangan sembari tersenyum simpul, sebelum akhirnya perlahan melangkah menjauh bersama beberapa orang berjas rapi yang membawa barang-barang mereka.

Bahu Lura meluruh ke bawah, menatap jika Mama dan Papanya sudah tak terlihat lagi oleh matanya.

Bisakah Lura memutar waktu? Jika tahu akan begini dia akan menuruti segala permintaan orangtuanya.

Gerlan menarik sudut bibirnya tipis, dia menjauhkan tubuhnya dari gadis itu. Kemudian berucap dengan nada mengejek.

"Kasian, lo nggak punya siapa-siapa lagi di sini," katanya lalu melangkah pergi. Meninggalkan Lura yang menggeram kesal menatap kepergiannya.

****

"Kenapa sih? Kusut amat muka lo," tanya Jean, perempuan dengan rambut lurus berwarna Burgundy itu. Dia heran karena Lura datang-datang sudah memasang wajah kesal. Membuat dia dan juga Gauri penasaran.

"Lo berdua tau, nggak? Dukun yang bisa bikin orang langsung mati? Gue mau nyantet manusia sialan itu," geram Lura. Dia meraih gelas berisi minuman milik Jean, lalu menenggaknya hingga habis tak tersisa. Kini mereka bertiga tengah duduk di pantry, yang tepatnya berada di Cooral Coffee.

Mereka cukup sering berkumpul di sini karena ini merupakan tempat kerja Gauri, perempuan itu bekerja jika sedang tak ada jadwal kuliah. Jadi wajar saja, jika tempat ini adalah tempat favorit mereka.

"Siapa lagi yang buat lo kesel? Leo?" Gauri bertanya, sembari meletakkan satu piring berisi potato wedges itu ke depan Lura, sembari duduk di samping gadis itu.

Gauri tidak pernah bertemu langsung dengan Leo, namun Lura sering menceritakannya. Dia mengatakan jika Leo sering mengodanya di The Blue Hill.

"Bukan," balas Lura. Dia ingin menyantet Gerlan karena lelaki itu sudah sangat keterlaluan. Sewaktu di Bandara tadi, dia meninggalkan Lura karena ingin pergi berkumpul bersama teman-temannya. Dan bagaimana Lura tidak kesal? Dia harus menunggu taksi selama hampir setengah jam karena taksi di Bandara itu selalu terisi penuh.

"Btw, lo udah tiga hari nggak masuk kuliah. Ada acara apaan emang? Biasanya juga ngabarin kita kalau mau nitip absen," kata Jean, dengan satu tangan memegang cermin kecil dan satu tangannya lagi memoles liptint tipis pada bibirnya.

Lura tak langsung menjawab, tidak mungkin 'kan dia mengatakan yang sebenarnya? Tidak ada yang tahu jika dirinya telah menikah, karena pernikahan yang selenggarakan kemarin itu hanya dihadiri oleh keluarga saja.

"Gue--gue lagi males aja," alibi Lura sembari mengusap tengkuknya. Bisa habis dia jika ketahuan telah menikah dengan Gerlan. Ck, menyebut namanya dalam hati saja sudah membuat Lura emosi.

Ponsel yang terletak di atas meja pantry berdeting, pertanda ada satu pesan masuk. Lura pun lantas melihatnya.

Gerlanjing

Beli makanan di supermarket

Gue nggak peduli pokoknya pas pulang nanti, kulkas harus terisi penuh. Cari tau sendiri makanan dan minuman kesukaan gue.

Dan kalau nanti lo salah beli, gue nggak mau tau. Beli ulang.

Kalau itu nggak lo lakuin, siap-siap aja kartu kredit lo gue sita.

Lura menatap nyalang layar ponselnya dan mengenggam kuat benda pipih itu. Iblis satu ini hanya bisa mengancamnya saja. Andai dia tak menyetujui surat perjanjian itu, dia pasti tidak akan menuruti permintaan manusia satu ini.

Ya, surat perjanjian yang isinya merugikan Lura. Dia harus menuruti segala permintaan Gerlan, dan dia juga harus melakukan segala pekerjaan rumah. Jika tidak, Gerlan akan melarangnya pergi ke klub atau pun keluar malam-malam. Dan akan menyita kartu kreditnya juga.

Lura tak punya pilihan lain selain menyetujui itu dengan terpaksa. Dia tak menyangka jika lelaki ini benar-benar kejam.

"Kenapa muka lo gitu?" Gauri yang menyadari perubahan raut wajah Lura pun bertanya.

Gadis itu menghela napas dalam-dalam, berusaha untuk mengontrol emosinya sendiri.

Dia lalu menoleh ke arah Gauri dan juga Jean, "Haha, nggak papa. Gue balik dulu ya, besok kita ketemu di kampus. Bye," ucap Lura dengan senyum terpaksa lalu berdiri dan hendak melangkah pergi dari sana.

"Eh makanan lo!" seru Gauri, dia sudah membuatkan makanan untuk Lura.

Gadis itu berhenti saat sudah hampir mencapai pintu, "Aduh! Maaf, Gau! Gue buru-buru, makanannya buat lo aja!" balasnya dan belari keluar dari Kafe.

Gauri menghela napas kasar, "Tuh anak aneh banget belakangan ini," gumamnya sembari mencomot kentang.

Jean meletakkan peralatan make-upnya ke dalam pouch, lalu mengangguk, "Lo juga nyadar? Gue pikir cuma gue aja yang ngerasa aneh."

"Eh btw, Gau. Lo tau Gerlan, kan?" tanya Jean kala mengingat sesuatu. Dia bertanya itu pada Gauri karena gadis itu adalah kupu-kupu, alias kuliah pulang. Jadi siapa tahu saja dia tidak mengenal sosok lelaki yang cukup famous di kampus mereka itu.

"Gerlan? Yang suka buat onar itu? Dia pernah ikut tawuran bulan lalu, kan? Jadi ketua," jawab Gauri, Jean pun mengangguk.

"Gue denger-denger tadi pas di toilet, anak satu jurusan sama dia bilang, kalau dia udah nikah," ucap Jean pelan, dia mendekatkan wajahnya ke arah Gauri.

"Hah? Serius?"

Jean mengangguk semangat.

"Gue pikir ini cuma rumor doang. Karena kek nggak mungkin gitu nggak, sih? Kecuali kalau dia ketahuan ngehamilin anak orang," Jean berucap santai.

"Tapi kalau bener, nggak kebayang gimana nasib istrinya."

"Pfftt," Perempuan yang mengenakan hoodie crop itu menahan tawa mendengar penuturan Gauri.

"Iya, sih. Walaupun tuh cowok ganteng, tajir juga, tapi kalau kelakuannya begitu percuma aja," lanjut Jean. Gadis itu lalu mengangkup kedua pipinya dengan telapak tangan, matanya terlihat berbinar dan senyum yang mulai mengembang.

"Mending baby Maxel, udah ganteng, pinter, baik, perhatian lagi."

Gauri berdecih pelan melihat rona merah pada wajah Jean. Temannya itu sudah bertahun-tahun menyukai Maxel. Namun tak memiliki nyali untuk mengatakannya. Bahkan hanya Gauri saja yang tahu jika Jean menyukai Maxel, karena cuma dia yang peka. Lura tidak.

"Kalau suka itu bilang. Gimana dia bisa tau kalau lo cuma diem aja?"

Jean menghela napas berat, dia menegakkan tubuhnya dan menoleh ke arah Gauri, "Iya kalau dia juga suka sama gue. Kalau enggak?"

"Gue takut ditolak."

****

Gadis yang mengenakan rok abu-abu diatas lutut dengan atasan kaus berwarna hitam itu berjalan menyusuri rak khusus snack, dia mendorong troli yang sudah terisi oleh beberapa minuman kaleng dengan merk yang berbeda.

Sudah berapa kali Lura menyebut segala macam isi kebun binatang dalam hatinya. Ingin rasanya dia bukan pergi ke supermarket, melainkan toko yang menjual racun tikus, sianida, atau pestisida karena memang itu yang cocok untuk Gerlan.

Lura tidak peduli jika dia salah beli, dan dia pun ogah untuk mencari tahu makanan atau minuman kesukaan cowok itu, dia hanya memilih apa yang menurutnya enak saja.

Gadis itu memundurkan sedikit langkahnya sembari berjinjit, snack cokelat itu terletak di rak paling atas, dan Lura pun mencoba mengambilnya dengan susah payah dikarenakan tubuhnya yang tak terlalu tinggi.

Namun sebuah tangan telah terulur untuk mengambil itu, membuat Lura berbalik melihat siapa orang itu.

Seorang lelaki yang mengenakan pakaian serba hitam dan topi hitam itu menyodorkan snack yang diambilnya pada Lura tanpa berbicara apapun, wajahnya tak terlihat karena masker yang ia kenakan. Cukup lama Lura terdiam sebelum akhirnya menerima itu dan mengucapkan terima kasih.

Saat lelaki asing yang tidak dia kenali itu berlalu pergi, Lura lantas berbalik menatap punggungnya dari belakang dengan perasaan aneh.

Mengapa dia jadi teringat akan kejadian pada malam itu?

Lura menggelengkan kepalanya, dia sudah pusing memikirkan mahluk sialan itu, dan Lura tidak ingin menambah beban pikirannya lagi.

Setelah merasa cukup, dia pun berjalan menuju kasir untuk membayar belanjaannya. Lalu setelah itu keluar dari sana dengan membawa satu kantong plastik penuh.

Lura mendengus keras. Dia sudah seperti pembantu yang mau saja disuruh-suruh. Tapi lihat saja nanti, dia akan balas dendam. Tidak mungkin dia akan diam saja diperlakukan seperti ini.

Tangannya lantas merogoh tas untuk mengambil ponsel, dia akan memesan taksi online.

Namun melihat baterai yang tertera pada layar ponselnya itu membuatnya menarik napas dalam-dalam. Tinggal dua persen, dan tidak mungkin Lura tetap memesan taksi.

Karena tak punya pilihan lain, dia akhirnya memilih untuk berjalan kaki saja. Dikarenakan Apartemen itu tak jauh dari sini. Ya mungkin memakan waktu sekitar sepuluh menit.

Tapi untungnya ada jalan pintas, jadi Lura memilih untuk melewati jalan itu saja. Semoga tidak terlalu sepi, karena jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam.

Gang ini memiliki lampu jalan yang tidak terlalu terang, beberapa rumah di sini pun sepertinya tak berpenghuni, karena tanpa cahaya. Lura mempercepat laju jalannya, bahkan angin malam yang menusuk kulit putihnya seolah tak terasa karena yang dia pikirkan hanyalah satu.

Perkataan Jean dan Gauri.

"Hati-hati deh lo. Kejadiannya bukan cuma sekali. Sebelum ini juga ada mayat yang ditemukan di dalam mobil, lokasinya juga deket sama klub malam itu."

"Hm, bener. Apalagi nih ya, korbannya perempuan semua. Yaa, mungkin sekitar umur dua puluh tahunan gitu lah."

Lura menggenggam kantong plastik berisi makanan itu dengan erat, dia berusaha menghilangkan pemikiran buruknya dan berusaha untuk memikirkan hal lain. Lagi pula lokasinya kini tidak berdekatan dengan gang waktu itu. Jadi tidak mungkin, kan? Pembunuh itu ada di..

Langkah Lura seketika terhenti. Dia membalikkan badannya ke belakang, tapi tak ada apapun di sana. Hanya jalanan kosong dengan daun kering yang tersapu oleh angin.

Lura menarik napas dalam-dalam, dia kembali melangkahkan kaki walau detak jantungnya sudah mulai tak beraturan. Laju jalannya makin dipercepat karena Lura mendengar ada suara ketukan sepatu dari arah belakangnya. Dia tidak berani untuk melihat ke belakang karena takut.

"Ahh, sialan, tau gini mending gue ngelewatin jalan besar aja." batin Lura menyesal.

Dia lantas buru-buru mengeluarkan ponselnya untuk menelepon seseorang, dengan berlari kecil, dia menempelkan benda pipih itu di telinga.

Sedangkan ditempat berbeda, tepatnya sebuah kedai kopi klasik yang berada di dekat kampus, ponsel Maxel yang terletak di atas meja berdering.

Felix, lelaki dengan rambut model textured crop itu meletakkan gitarnya ke samping, lalu meraih ponsel bercase hitam yang kebetulan berada didekatnya.

"Eh, si Lura nelpon, nih. Maxel mana sih? Dari tadi kagak balik-balik," ucap Felix sembari celingak-celinguk mencari keberadaan satu temannya itu.

Gerlan yang tengah duduk menghisap vapenya itu pun meletakkan ponselnya di atas meja saat mendengar nama Lura disebut. Dia lantas merampas ponsel Maxel dari Felix, dan langsung menerima panggilan.

Suara napas yang tak beraturan terdengar pertama kali, itu membuat Gerlan menautkan kedua alisnya.

"Max, lo--lo bisa jemput gue, nggak? Gue takut banget. Di belakang ada yang ngikutin gue, tapi gue nggak berani ngeliat--,"

"Lo dimana?"

Mendengar suara itu membuat Lura tak melanjutkan ucapannya, dia mengernyitkan dahi dan melihat layar ponselnya. Dia tak salah menelepon, lalu mengapa yang menjawab bukan Maxel?

"Kenapa lo yang ngangkat?" balas Lura jutek.

Gerlan menghela napas pelan, dia memejamkan mata sejenak. "Lo dimana?" ulangnya lagi dengan nada dingin.

"Gue nggak minta tolong sama lo! Gue--," langkah panjang Lura seketika terhenti. Di depan sana tampak bayangan seorang lelaki berpakaian serba hitam yang perlahan berjalan mendekat ke arahnya.

Tangan Lura yang menggenggam ponsel lantas meluruh ke bawah. Napasnya tercekat, dia bahkan mengabaikan suara Gerlan yang berucap dengan nada tinggi dan terdengar...khawatir?

"Jawab gue bego! Lo dimana?!"

Related chapters

  • My enemy, My husband   2. INSIDEN KANTIN

    "Beberapa orang diciptakan dengan hati yang kuat. Agar tak mudah rapuh jika disakiti oleh kenyataan." ****Lura tidak percaya jika dia akan berada pada situasi menakutkan seperti ini. Dikejar oleh penjahat? Itu hanya ada dalam bayangannya saja. Namun tak disangka jika dia benar-benar mengalaminya.Lura berlari kencang menjauh dari orang misterius itu, Lelaki yang mengenakan pakaian serba hitam itu hanya berjalan mengikutinya, namun langkahnya begitu cepat hingga Lura sudah berlari pun dia tetap berada di belakang.Gadis yang dahinya dipenuhi oleh peluh itu berbelok memasuki sebuah gang kecil, namun saat mencapai ujung gang, kedua kakinya tertahan. Dia bimbang ingin memilih jalur kiri atau jalur kanan. Kepalanya lantas menoleh ke belakang, dia berdesis karena lelaki itu tengah berjalan mendekat ke arahnya. Tanpa membuang waktu lebih banyak lagi, Lura lantas berlari ke arah kiri. Dia mempercepat laju larinya, berharap jika di depan sana dia menemui seseorang atau rumah yang berpenghu

    Last Updated : 2023-09-05
  • My enemy, My husband   3. MINE

    "Terkadang, bersikap seolah-olah tak peduli adalah salah satu cara untuk menyembunyikan perasaan."****Jarum jam tepat menunjukkan pukul tiga sore, dan kini kedua kaki yang dibalut sepatu Ankle boots itu tengah menyusuri koridor lantai dua hendak menuju gerbang depan kampus untuk mencari taksi. Jean dan juga Gauri sudah pulang lebih dulu, mereka juga sudah menawarkan untuk mengantar Lura setelah sempat bertanya mengapa gadis itu tidak membawa mobil seperti biasanya. Namun Lura hanya mengatakan, "Lo pada duluan aja, mobil gue lagi di bengkel."Jelas itu hanya alibi Lura saja karena mobilnya sudah dijual. Ya, di jual karena kedua orang tuanya tak mengizinkan Lura untuk memiliki kendaraan, karena mereka khawatir jika Lura akan keluyuran kemana-mana. Saat menuruni anak tangga, langkah kaki Lura perlahan melambat karena seseorang yang berdiri di bawah sana. Lura lantas menuruni dua anak tangga, lalu berhenti. Pandangannya berubah sinis menatap gadis itu."Mau apa lo?" nada suaranya ter

    Last Updated : 2023-09-05
  • My enemy, My husband   4. HEARTBEAT

    "Tidak perlu dengan ucapan untuk menunjukkan rasa cinta."****Gadis yang mengenakan atasan berwarna hitam dengan rambut yang dibiarkan tergerai itu berjalan pelan di koridor kampus dengan wajah tak bersahabat. Matanya menatap tajam ke depan, hingga berhasil membuat orang-orang yang berselisih dengannya enggan untuk melihat wajahnya yang menakutkan. Lura seperti ini bukan tanpa alasan, sejak pulang dari The Blue Hill kemarin malam itu, dia sangat ingin melampiaskan amarahnya karena cowok sialan itu sudah berani mencium bibirnya tanpa izin. Cih, dia pikir Lura perempuan murahan? Dia juga punya harga diri.Ditambah lagi dengan ucapannya semalam, yang mengatakan dia Lura adalah miliknya, mengingat itu membuat Lura berdecak dalam hati. Dia siapa? Bukan berarti mereka telah menikah, Lura bisa menjadi miliknya begitu saja."Ck, dasar gila. Orang kayak lo adalah orang yang paling gue benci di dunia! Udah bukan siapa-siapa, tapi suka banget ngatur-ngatur hidup gue," gerutu Lura geram. Yang

    Last Updated : 2023-09-05
  • My enemy, My husband   5. MEET YOU

    "Ketika kamu merasakan bahwa seseorang itu istimewa. Saat itu pula kamu akan takut kehilangannya."****Pukul delapan lewat lima menit malam ini, Lura baru saja selesai berpakaian, dan sekarang perempuan yang mengenakan dress hitam dengan luaran jaket jeans itu tengah duduk di depan meja rias untuk mencatok rambutnya. Sementara ponselnya yang terletak di atas meja berdering, Lura berdecak membaca nama si penelepon."Nggak sabaran banget," gerutunya pelan tanpa mengangkat telepon. Selang beberapa menit kemudian, Lura telah selesai mencatok rambut dan memoles make-up tipis pada wajahnya, lalu setelah itu keluar dari kamar. Gerlan sudah berada di basement, maka dari itu dia menelepon Lura agar cepat turun karena dia sudah lama menunggu. Sosok gadis terlihat masuk ke area basement, dia tampak berjalan santai seolah tak tahu jika Gerlan sudah menunggunya selama setengah jam lebih di dalam mobil. Itu membuat lelaki yang berada di balik kemudi mendengus kesal.Pintu yang berada di samping

    Last Updated : 2023-09-05
  • My enemy, My husband   6. JUST KIDDING

    "Perasaan akan sulit dikendalikan jika kamu tengah jatuh cinta."****Apa yang akan kalian rasakan jika hal yang kalian takuti benar-benar terjadi? Lura tidak menyangka jika lelaki yang membuatnya merasa was-was sejak masuk ke dalam lift yang sama dengannya, kini berada tepat di depan matanya."Lo--siapa?" Melihat wajah gadis itu yang menatapnya dengan sorot curiga, membuat lelaki itu tertawa pelan. Dia lantas membuka topi dan juga maskernya."Ah, sorry-sorry. Gue buat lo takut, ya?" ucapnya, setelah wajahnya dapat dilihat jelas oleh Lura. Dan Lura sendiri merasa belum pernah melihat wajah itu."Gue mau balikin ini, tadi jatuh di depan pintu lo," katanya lagi seraya menyodorkan kartu akses ke arah Lura. Gadis itu terlalu terburu-buru hingga tak menyadari jika kartunya terjatuh.Lura menatapnya sebentar, lalu kemudian perlahan melangkah mendekat dan menerima benda berbentuk kartu ATM itu. "Oiya, kita belum kenalan."Lelaki itu mengangkat tangan kanannya ke atas, "Gue Gavin, penghuni

    Last Updated : 2023-09-05
  • My enemy, My husband   7. LUKA LAMA

    "Bagiku, obat untuk patah hati. Adalah dengan membenci."****Beberapa menit yang lalu Lura baru saja selesai membantu Ochi untuk membereskan meja makan. Dan kini langkah kecilnya itu berjalan menuju halaman samping rumah Gerlan yang terdapat taman dan juga kolam renang dengan beberapa lampu yang menerangi setiap sudutnya.Dia duduk di salah satu bangku dan menatap lurus pemandangan di depannya. Seusai makan malam tadi Gerlan lebih dulu beranjak bersama Verald karena ada hal penting yang ingin dibicarakan Papanya itu. Makanya Lura menjadi sedikit tenang karena manusia menyebalkan itu tidak mengusiknya.Mengingat perkataannya tadi seketika membuat Lura merasa kesal, apa maksudnya mengatakan hal yang menggelikan itu? Jika saja tidak ada Mama dan Papanya, Lura pasti sudah menendang kakinya sembari mengucapkan kata-kata mutiara. Namun yang dia lakukan tadi hanya tersenyum terpaksa pada Gerlan sambil menjawab,"Hehe, kenapa nggak lo aja yang hamil?"Dan ucapannya itu berhasil mendapat taw

    Last Updated : 2023-10-10
  • My enemy, My husband   8. FALL IN LOVE

    "Bukannya takut jatuh cinta. Hanya saja terlalu malas untuk mengulang sakit yang sama."****Ada waktu dimana ketiga lelaki itu mendatangi basecamp mereka yang terletak di gedung belakang kampus. Yang pasti, pagi-pagi seperti ini adalah waktu yang sangat langka dimana Felix mendapati Gerlan yang tengah duduk santai bersama beberapa kaleng soda yang terletak di atas meja.Dia tercengang ketika baru saja membuka pintu, mungkin jika yang berada di sana adalah Maxel, Felix bisa memaklumi karena lelaki itu memang yang paling rajin di antara mereka. Dia pasti selalu datang tepat waktu. Tapi Gerlan yang selalu bolos kuliah? Bagaimana mungkin dia sudah berada di kampus pagi-pagi seperti ini?Lelaki itu tampak mengangkat kepalanya yang semula menunduk menatap Felix yang beberapa detik lalu baru saja duduk di sampingnya."Kenapa lo ngeliatin gue?" tanya Gerlan datar seraya kembali menenggak minuman sodanya.Felix menggeleng pelan, "Lo ada masalah apa, sih?" "Masih soal kemarin? Lo masih kesel

    Last Updated : 2023-10-14
  • My enemy, My husband   9. HOPE

    "Tak bisa bersatu bukan karena tidak saling cinta. Tapi karena sejak awal, tujuan kita tak pernah benar-benar sama."****Pintu kamar yang dibuka dengan gerakan kasar itu menampilkan seorang gadis yang kini berjalan masuk ke dalam kamarnya dan duduk dipinggiran ranjang. Dia tak menjawab perkataan Gerlan tadi karena jujur, dia terlalu kaget saat lelaki itu tiba-tiba datang lalu memeluknya. "Ck, jangan bikin gue jatuh cinta sama lo?" ulang Lura dengan nada mengejek. "Siapa juga yang mau bikin lo jatuh cinta sama gue. Amit-amit dah, ogah banget gue disukai sama cowo kayak lo," gerutu Lura lagi. Anggap saja dia memang benar-benar kesal dan jantungnya tidak berdegup kencang. "Gue nggak baper!" ucapnya entah kepada siapa. Pikirannya mengatakan jika dia harus marah dan semakin membenci Gerlan karena perlakuannya itu. Namun hatinya terlalu sulit untuk diajak bekerja sama."Haha," Lura tertawa hambar, dia mengibaskan tangan kanannya ke depan wajah."Nggak mungkin lah, gue orangnya nggak mud

    Last Updated : 2023-10-24

Latest chapter

  • My enemy, My husband   17. TAPI TAHUKAH KAMU?

    "Kita pernah saling membenci. Sebelum akhirnya sadar dengan perasaan sendiri."***"What?! Dia bilang Lura itu pacarnya?!" teriak Frea ta percaya di dalam mobil saat baru saja mendengar jawaban Flora. "Hm. Coba lo pikir, siapa yang percaya kalau si jalang itu pacarnya?" balas Flora kesal sambil menumpu sebelah tangannya di jendela mobil. Mereka masih berada di tempat tadi, terlalu kesal karena rencana yang sudah mereka susun gagal karena kedatangan Gerlan."Jelas nggak ada yang percaya, lah. Mereka aja musuhan, yakali bisa pacaran. Gue yakin, nih. Si jalang itu pasti godain Gerlan, kalau nggak mana mungkin dia mau bawa pelacur itu pergi," dumel Frea. Dia sangat yakin dengan ucapannya karena memang sudah terlihat jelas, jika Lura dan Gerlan itu tak pernah akur. Satu kampus pasti sudah tahu. Jadi sangat-sangat mustahil jika mereka memiliki hubungan. "Liat aja nanti, gue nggak akan berhenti walaupun dia ngancem gue pake

  • My enemy, My husband   16. PERASAAN YANG SALAH

    "Bagiku dulu, kamu adalah seseorang yang pantas untuk ku benci. Yang selalu ingin aku hindari. Namun kini, kamu adalah seseorang yang selalu aku butuhkan. Yang selalu ku jadikan alasan untuk bisa bahagia."****Sepasang kaki yang dibalut sneakers hitam itu melangkah memasuki kawasan rumah sakit dengan sebuah kotak yang berisi beberapa cup muffin di tangannya. Saat di kampus tadi dia ingin mengabari Gauri dan Jean jika dia akan langsung pulang, namun sayangnya sehabis dari toilet dia baru menyadari jika ponselnya kehabisan baterai. Semoga saja kedua gadis itu tidak menunggunya. Niat Lura datang ke sini bukan hanya ingin bertemu Anna dan memberikan muffin ini padanya, tapi karena hari ini obat yang dia pesan pada Dokter Joshua yang biasa menanganinya sudah tiba, maka dari itu Lura sekalian mengambilnya.  Sementara tak jauh dari sana, empat pasang mata mengamati pergerakkannya dari dalam mobil. Salah satu ora

  • My enemy, My husband   15. MASA LALU GERLAN

    "Kita adalah dua insan yang terlanjur berbeda. Saling mencintai dan tetap bersama hanya akan menyakiti hati satu sama lain."****Langit-langit kamar adalah objek yang pertama kali Lura lihat saat dia membuka mata. Dia mengerjab perlahan, dan melirik sekelilingnya dengan mata setengah terbuka."Bentar. Berarti tadi mimpi?" tanya Lura dalam hati. Dia mendengus pelan, suasana hatinya tiba-tiba menjadi buruk karena lelaki itu telah berani masuk ke dalam mimpinya. Lura dengan kesal bangkit duduk, dan mengusap kasar wajahnya. Tadi seingatnya dia duduk di sofa sambil menonton film seorang diri. Dan sekarang, mengapa dia telah berada di kamar? Apa lelaki itu yang memindahkannya?Ah, membayangkan itu membuat Lura semakin membencinya. Perlakuan anehnya itu yang membuat Lura kepikiran dan berakhir menjadi mimpi buruk.Ya, buruk. Sangat buruk.Dia melirik ke arah jam digital di atas nakas yang menunjukkan pukul satu lewat sepuluh menit dini hari. Yang berarti sudah hampir empat jam dia tertid

  • My enemy, My husband   14. BUKAN MUFFIN BIASA

    "Haruskah aku pergi meninggalkannya? Dan membiarkannya bahagia bersama seseorang yang dapat berada di sampingnya untuk waktu yang lama?"****Setelah menghadiri kelas terakhirnya di siang hari ini, Lura pun berencana untuk segera pulang. Kini dia tengah berjalan di koridor kampus seorang diri hendak menuju gerbang depan untuk menaiki taksi seperti biasa. Jean dan Gauri mungkin sudah pulang duluan karena mereka tidak mengambil mata kuliah yang sama dengannya. Tidak, lebih tepatnya Lura mengulang mata kuliah, maka dari itu semester ini dia kembali bertemu dengan mata kuliah yang sama.Langkahnya melambat karena dering pada ponselnya. Ada panggilan video dari seseorang, melihat itu Lura pun langsung menerima panggilan."Halo kak, Lura! Kakak apa kabar?"Seorang gadis dengan pakaian berwarna pink itu tersenyum cerah ke arahnya."Hai, Anna! Kakak baik. Anna gimana?""Anna juga baik, Kak," jawab gadis itu, di belakangnya terlihat tiang infus, yang berarti dia masih berada di rumah sakit.

  • My enemy, My husband   13. JEALOUS?

    "Aku hanyalah pengagum dalam gelapmu.Hanya sekadar bayangan yang tampak kalbu, dan hanya sepercik luka yang tak akan lekas sembuh."****Pagi hari yang cerah seperti ini seharusnya membuat orang-orang semangat untuk menjalani aktivitas seperti biasa. Namun itu tak berlaku pada gadis yang baru saja turun dari taksi. Baru saja melangkah memasuki gerbang, suara-suara menyebalkan itu sudah terdengar. "Eh eh, itu dia.""Cantik sih. Tapi sayang, jadi pelacur. Ups!""Kalo gue jadi orang tuanya udah malu banget sih, auto ga di anggap anak!""Dia ga punya malu banget tetep dateng ke kampus.""Tau tuh, fotonya juga udah ke sebar dimana-mana."Lura menghela napas jengah, jika saja dia ingin mencari banyak masalah, sampah di dalam tong berwarna kuning itu mungkin sudah ia ambil lalu memasukkannya ke dalam mulut mereka satu per satu. Karena memang itu tempat sampah yang seharusnya.Namun kini perempuan dengan atasan berwarna putih dan rok berwarna hitam itu hanya dapat mengunci mulutnya dan teta

  • My enemy, My husband   12. NOT ALWAYS THERE

    "Apa yang kamu harapkan dari seseorang yang tidak akan hidup lama?"****"Lo nggak lupa kan, sama janji lo?"Flora menghela napas berat, jika tahu pemilik nomor ini adalah psikopat itu, Flora tak akan mengangkatnya. Karena sangat menganggu."Gue punya dendam pribadi sama dia. Jadi setelah gue balas dendam, gue bakal bawa dia hidup-hidup ke elo."Di dalam ruangan yang didominasi cahaya biru itu, lelaki dengan pakaian hitamnya duduk sambil menatap beberapa foto gadis yang tertempel di cermin. Mereka semua tampak begitu mengenaskan."Oke, seminggu dari sekarang. Kalau sampai lo telat satu hari aja, nyawa lo sebagai gantinya," katanya lirih diakhir kalimat. Setelah itu memutuskan sambungan telepon.Flora yang berada di balkon kamarnya menggepalkan tangan marah. Dia tak suka diperintah, namun dia juga tak bisa melawan karena lelaki itu bukan orang sembarangan."Floraaa!" teriakan Frea dari dalam kamar membuat gadis itu masuk dengan langkah terburu-buru."Apaan lo teriak-teriak?"Frea menun

  • My enemy, My husband   11. I LOVE YOU, BUT

    "Terkadang, saling mencintai pun belum tentu akan bahagia bersama sampai mati."****Setelah memarkirkan mobilnya di basement, Gerlan langsung turun tanpa mengatakan sesuatu ataupun menoleh pada manusia yang duduk disampingnya.Lelaki bertubuh tinggi yang memiliki tatto dileher dan tangannya itu berjalan memasuki gedung apartemen, membiarkan Lura yang baru saja turun menatapnya tanpa ekspresi.Gadis itu sengaja berjalan dengan langkah sedikit lambat agar mereka tidak satu lift. Lura hanya malas jika berdekatan dengan lelaki itu. Melihatnya saja sudah membuat suasana hati Lura buruk.Tapi sepertinya hari ini bukan hari keberuntungannya, karena ternyata lelaki itu baru masuk ke dalam lift yang kosong. Dan mau tak mau, Lura terpaksa ikutan masuk karena enggan menaiki tangga.Jika unitnya berada tiga lantai dari sini, Lura mungkin sudah memilih naik tangga, tapi jika harus melewati 15 lantai lagi, dia lebih baik satu lift dengan Gerlan dari pada kakinya mati rasa.Lura yang berada di sudu

  • My enemy, My husband   10. DIFFERENT WAYS

    "Aku ingin kamu menjauh, pergi dan melupakanku. Agar meninggalkanmu bukan menjadi beban bagiku."****Sepasang kaki yang dibalut sneakers putih itu berjalan pelan menyusuri taman kota seorang diri. Dia menarik napas dalam, menghirup udara malam yang sedikit menenangkan perasaannya. Sepulang dari rumah sakit tempat Anna dirawat tadi, dia langsung berjalan kaki menuju tempat ini yang jaraknya memang tidak terlalu jauh. Melihat ada dua ayunan yang terlihat kosong, gadis yang mengenakan atasan rainbow crop sweater itu pun lantas menuju ke sana dan duduk sambil menganyunkan kedua kakinya. Lura hanya ingin menghabiskan waktu sendirian, meskipun itu akan mengingatkannya akan kenyataan yang terlalu mustahil untuk dapat berubah. "Lura, kamu harus memberitahu orang tua kamu.""Ini bukan masalah sepele karena menyangkut keselamatan kamu."Lura menghentikan langkahnya, mengingat ucapan Dokter beberapa minggu yang lalu membuatnya kini tak bisa menikmati hari-hari dengan tenang. Jika biasanya o

  • My enemy, My husband   9. HOPE

    "Tak bisa bersatu bukan karena tidak saling cinta. Tapi karena sejak awal, tujuan kita tak pernah benar-benar sama."****Pintu kamar yang dibuka dengan gerakan kasar itu menampilkan seorang gadis yang kini berjalan masuk ke dalam kamarnya dan duduk dipinggiran ranjang. Dia tak menjawab perkataan Gerlan tadi karena jujur, dia terlalu kaget saat lelaki itu tiba-tiba datang lalu memeluknya. "Ck, jangan bikin gue jatuh cinta sama lo?" ulang Lura dengan nada mengejek. "Siapa juga yang mau bikin lo jatuh cinta sama gue. Amit-amit dah, ogah banget gue disukai sama cowo kayak lo," gerutu Lura lagi. Anggap saja dia memang benar-benar kesal dan jantungnya tidak berdegup kencang. "Gue nggak baper!" ucapnya entah kepada siapa. Pikirannya mengatakan jika dia harus marah dan semakin membenci Gerlan karena perlakuannya itu. Namun hatinya terlalu sulit untuk diajak bekerja sama."Haha," Lura tertawa hambar, dia mengibaskan tangan kanannya ke depan wajah."Nggak mungkin lah, gue orangnya nggak mud

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status