Share

4. HEARTBEAT

last update Last Updated: 2023-09-05 00:29:17

"Tidak perlu dengan ucapan untuk menunjukkan rasa cinta."

****

Gadis yang mengenakan atasan berwarna hitam dengan rambut yang dibiarkan tergerai itu berjalan pelan di koridor kampus dengan wajah tak bersahabat.

Matanya menatap tajam ke depan, hingga berhasil membuat orang-orang yang berselisih dengannya enggan untuk melihat wajahnya yang menakutkan.

Lura seperti ini bukan tanpa alasan, sejak pulang dari The Blue Hill kemarin malam itu, dia sangat ingin melampiaskan amarahnya karena cowok sialan itu sudah berani mencium bibirnya tanpa izin.

Cih, dia pikir Lura perempuan murahan? Dia juga punya harga diri.

Ditambah lagi dengan ucapannya semalam, yang mengatakan dia Lura adalah miliknya, mengingat itu membuat Lura berdecak dalam hati. Dia siapa? Bukan berarti mereka telah menikah, Lura bisa menjadi miliknya begitu saja.

"Ck, dasar gila. Orang kayak lo adalah orang yang paling gue benci di dunia! Udah bukan siapa-siapa, tapi suka banget ngatur-ngatur hidup gue," gerutu Lura geram. Yang berhasil menarik perhatian beberapa mahasiswi, mereka bahkan berbisik-bisik,  karena Lura berbicara sendiri dengan wajah penuh emosi.

"Apa lo liat-liat?!" sentak Lura pada gadis yang menatapnya intens, hingga orang itu kaget dan berlari kecil menjauh dari sana.

Lura berdecih pelan, dia mengibaskan rambutnya ke belakang lalu melanjutkan perjalanan menuju kelasnya yang terletak di gedung seberang. Dia sengaja melewati koridor di lantai satu gedung ini kerena enggan untuk berjalan di tengah-tengah terik matahari, bisa-bisa kulit putihnya akan terbakar.

"Aduh aduhh, masih pagi muka lo kusut amat," Jean yang datang dari arah samping pun mengangkat kipas mini portabelnya ke depan wajah Lura seraya terkekeh pelan.

"Kenapa, sih?" tanyanya kepo.

"Nggak papa, cuma lagi kesel doang," balas Lura tanpa minat. Dia hanya menatap lurus jalanan di depannya.

"Ya pasti ada alasannya dong?"

"Nggak ada," jawabnya singkat.

Jean lantas maju selangkah ke depan, dia memutar kepala ke arah Lura dan menyipitkan matanya.

"Masa? Gue nggak percaya. Jelas-jelas kalau muka lo udah masem begitu pasti ada yang buat lo kesel, kan? Iya, kan? Ayoo dong kasih tau gue!" desak Jean. Ini memang tidak terlalu penting, namun Jean memiliki tingkat keingintahuan yang tinggi hingga dia akan terus mendesak Lura untuk memberitahunya. Karena jika tidak, bisa-bisa dia tak akan tenang.

"Buat apa gue kasih tau?"

"Hm..," Jean memasang wajah berpikir, "Kalau lo kasih tau gue, gue bakal ngasih pelajaran sama orang yang udah buat lo kesel! Kalau perlu, gue bakal bawa dia ke gudang trus gue kunciin! Atau.., gue kunci di toilet trus gue guyur pake air biar---, aduh!" Jean mengusap-usap dahinya karena menabrak seseorang akibat berjalan sambil melihat Lura.

"Aww, sakit tau! Kalau jalan tuh--," Jean terdiam dengan mulut terbuka, dia mengangkat wajah menatap Gerlan yang melihatnya dengan sebelah alis terangkat, membuat Jean refleks menutup mulutnya dan berjalan mundur, dia berdiri di belakang Lura dengan takut.

"Pergi yuk, Ra," cicitnya sambil menarik-narik ujung baju Lura.

Lura berdecak pelan, bukannya tadi Jean terlihat begitu berani?

Lura hanya melihat sekilas ke arah Gerlan, dan dengan wajah datarnya dia langsung menarik tangan Jean agar pergi dari sana. Namun suara itu membuat langkah Jean terhenti hingga Lura juga terpaksa untuk berhenti.

"Jean. Bisa tinggalin gue sama Lura bentar?" ucapan Gerlan itu membuat Jean tak percaya hingga dia kembali menutup mulut. Dia tak percaya jika Gerlan tahu namanya. Padahal sebelumnya mereka tidak pernah berinteraksi secara langsung.

"H-hah?" cengonya.  Lalu tak lama kemudian mengangguk dan menarik tangannya dari Lura.

"O-oke, bye," ucapnya lalu kemudian pergi dengan berlari kecil.

Lura mendengus pelan, bisa-bisanya Jean nurut begitu saja.

Ponselnya yang berada di dalam tas terdengar berdering, Lura lalu mengambil ponselnya dan diam melihat nama si penelepon.

"Ngapain lo nelpon gue?" tanyanya dengan nada yang tak mengenakan. Gerlan lalu mematikan sambungan telepon dan tanpa mengucap apapun dia langsung merampas ponsel Lura dari tangannya.

"Heh! Siniin hp gue!" ucap Lura dengan tangan yang hendak meraih ponselnya.

"Mau ngapain lo, hah?" tanyanya kesal, dia sudah berusaha merebut ponselnya namun tak berhasil karena Gerlan lebih tinggi darinya.

Mengingat jika ponselnya memiliki kode sandi Lura pun diam tak berusaha merebut lagi, dia tersenyum miring, "Lo nggak bakal bisa buka hp gue," ucapnya dengan sangat yakin jika Gerlan memang tidak akan bisa membuka kunci pada ponselnya.

Namun senyumnya perlahan memudar karena Gerlan memperlihatkan layar ponselnya yang telah terbuka.

"Sayangnya gue tau, tanggal lahir lo, kan?" ucap Gerlan tersenyum miring, lalu kemudian mengotak-atik ponsel gadis itu.

"Heh! Tau dari mana lo?! Siniin hp gue!" Lura mulai panik, dia pun berjinjit ingin merampas ponselnya namun tak kunjung berhasil.

Setelah Gerlan menyelesaikan tujuannya, dia pun memberikan ponsel itu pada Lura.

"Jangan diubah," katanya sebelum pergi dari sana.

Lura yang takut data-data pribadinya hilang pun langsung mengecek ponselnya, namun setelah membuka beberapa aplikasi, tidak ada yang berbeda di sana. Dia lalu beralih membuka kontak dan mencari nama lelaki itu.

Membaca nama kontaknya di sana membuat Lura berdecak sinis. Apa-apaan ini? Baru melihatnya saja sudah membuat Lura merasa mual.

Gerlan sayang.

****

"Dari mana aja lu?" tanya Felix pertama kali saat melihat Gerlan masuk ke basecamp dan duduk di sofa yang tepat berada di depannya.

"Ada urusan bentar," jawabnya seraya membuka kaleng minuman soda dan meminumnya hingga tersisa setengah. Sebenarnya dia menemui Lura tadi bukan dengan niatan ingin mengubah nama kontaknya, melainkan menghapus nomor Leo dari ponsel Lura.

Mengingat jika Lura menuliskan nama Leo dengan sebutan 'Leonard' membuatnya merasa kesal. Apakah mereka begitu dekat? Hingga Lura tahu nama panjangnya.

Mereka berdua kini berada di Basecamp yang dulunya adalah gudang yang terletak di belakang gedung perpustakaan. Gerlan memerintahkan beberapa orang untuk membersihkannya dan meletakkan beberapa barang di dalamnya seperti sofa, lemari es, televisi, rak buku, serta meja billiard. Ruangan berukuran lumayan besar ini juga dilengkapi dengan AC, hingga membuat mereka betah berlama-lama berada di sini.

Wajar saja jika keluarga Gerlan merupakan donatur terbesar di kampus, jadi lelaki itu bisa melakukan apapun asal tidak mencoreng nama kampusnya.

"Maxel mana?" Gerlan bertanya karena tidak melihat lelaki itu di sini.

"Belum dateng kali," jawab Felix dengan mata yang fokus pada game di ponselnya.

Pintu ruangan itu terbuka, Maxel datang dengan napas tak beraturan dan berjalan ke arah dua lelaki yang tengah menatapnya.

"Nah, panjang umur, baru juga diomongin," kata Felix.

"Dari mana aja lo?" Gerlan bertanya setelah Maxel duduk disampingnya dengan peluh yang membasahi dahi.

"Lo ngehajar Leo kemarin?" bukannya menjawab pertanyaan Gerlan, Maxel malah bertanya hal lain.

"Hah? Serius?" timpal Felix, yang sudah meletakkan ponselnya ke atas meja.

"Tau dari mana?" Gerlan membalas, lelaki yang mengenakan t-shirt hitam dengan jaket yang dilampirkan di bahu kirinya itu menghisap vapenya.

"Tadi gue dihadang anak buah Leo di jalan, mereka mau balas dendam sama lo," perkataan Maxel membuat Gerlan tersenyum miring. Dia menghembuskan asap vapenya ke udara.

"Besok jam delapan malam di Jalan Rajawali. Suruh mereka temui gue di sana," kata Gerlan santai tanpa berpikir panjang.

"Lan, lo serius? Mereka banyak, ga sebanding sama kita yang cuma bertiga," ujar Felix tak yakin. Walaupun Gerlan memang hebat dalam hal bela diri dan selalu memenangkan pertarungan, tapi tetap saja, selain banyak anggota mereka juga terkenal licik.

"Gue nggak takut," lelaki yang bersandar di sofa seraya menghembuskan vapenya ke udara itu menjawab dengan nada santai.

"Kenapa lo ngehajar Leo?" Maxel bertanya.

Gerlan sempat diam sejenak, kedua matanya menatap lurus ke depan dengan sorot dingin.

"Karena dia udah ganggu cewe gue."

Perkataan Gerlan membuat Felix dan Maxel menatapnya dengan penuh tanya.

"Hah? Cewe lo? Sejak kapan lo punya pacar?"

****

Kelas baru saja selesai tepat pukul tiga lewat lima belas menit. Beberapa mahasiswa pun perlahan berjalan meninggalkan ruangan. Gauri yang duduk di samping Jean terlihat meraih tasnya, hingga lengan bajunya tersingkap ke atas.

"Loh, tangan lo kenapa, Gau?" Jean bertanya seraya hendak menyentuh lengan Gauri yang tampak lebam, namun gadis itu lebih dulu menutupnya dengan lengan baju.

"Ah, nggak papa, cuma lebam dikit," jawabnya, kemudian bangkit berdiri dengan gerakkan sedikit terburu-buru.

"Gue balik duluan, ya," Gauri kemudian berjalan cepat meninggalkan Lura dan Jean yang menatapnya heran.

"Gauri kenapa?" tanya Lura setelah memasukkan ponselnya ke dalam tas. Dia tidak pernah membawa buku ke kampus,  yang dia bawa hanya pulpen. Dan jika ada hal penting yang perlu di catat, Lura hanya menulisnya di ponsel atau memotretnya, walaupun di kemudian hari itu sama sekali tak berguna.

Jean mengedikkan bahu menjawab pertanyaan Lura. Gadis yang ditangannya terdapat kipas mini portabel berwarna pink itu berdiri, dan berjalan keluar kelas bersama Lura.

"Eh btw, tadi Gerlan ngomong apa ke elo?" tanya Jean kepo, karena jarang sekali dia melihat Lura berbicara berdua dengan Gerlan.

"Nggak ada," balasnya acuh. Mendengar nama lelaki itu saja moodnya mendadak turun.

"Ah masa sih? Orang dia nyuruh gue pergi biar bisa ngomong berdua sama lo," ucap Jean membuat Lura menghela napas gusar.

"Nggak ngomong apa-apa Jean sayang, nggak penting juga."

Jean menekuk wajahnya, mengapa Lura tidak jujur saja? Padahal dia adalah orang yang bisa menjaga rahasia. Katanya.

Seseorang yang berhenti di depan mereka membuat Jean seketika menegakkan tubuhnya. Matanya mengerjap dengan tangan yang menyelipkan rambut ke belakang telinga. Dia tiba-tiba menjadi gugup.

"Kelas lo udah kelar?" tanya lelaki yang mengenakan t-shirt putih dengan luaran jaket berwarna hitam.

Lura mengangguk menjawabnya, "Hm, baru aja."

"Mau makan bareng nggak? Kebetulan gue belum makan siang."

"Boleh tuh, lo juga belum makan siang kan, Je?" Lura menoleh ke arah Jean yang terlihat gelagapan sendiri.

"Hah? Oh, gue--gue udah makan, kok. Kebetulan bentar lagi ada kelas sama Pak Adion," jawab Jean seraya tersenyum terpaksa.

"Halah, telat dikit nggak papa kali," balas Lura lagi. Namun Jean menggelengkan kepalanya.

"Takut ah gue, lo kan tau Pak Adison itu galak," ucapnya dengan lagi-lagi tersenyum.

"Gue duluan, ya! Dah!" serunya dengan melihat Maxel sekilas, lalu kemudian berlalu dari sana.

Senyum Jean perlahan memudar, dia melangkah pelan lalu kemudian menolehkan kepala ke belakang, menatap punggung Lura dan Maxel dari belakang.

Melihat Maxel dan Lura saling melempar senyum membuat Jean juga ikut mengembangkan senyumnya. Ia menunduk sekilas, menahan sesak pada hatinya.

Dia tidak cemburu pada Lura, tidak. Dia bahkan merasa jika Lura adalah orang yang tepat untuk Maxel. Maka dari itu dia berbohong jika ada kelas, padahal Jean hanya tak ingin menjadi perusak suasana. 

Mereka sudah berteman cukup lama, dan mustahil jika salah satu dari mereka tidak ada yang menyimpan rasa.

Jean menghela napas pelan sembari tersenyum miris dalam hati.

"Sadar, Je. Lo itu nggak pantes buat Maxel."

****

Suasana Delight Coffee pada sore hari ini cukup padat di isi oleh mahasiswa Harbert dari berbagai jurusan. Maxel dan Lura terlihat duduk di sudut Kafe, karena hanya meja ini yang terlihat kosong.

Di depan mereka sudah tersusun makanan dan minuman yang mereka pesan. Ada Waffle ice cream pesanan Lura, dan Chicken fingers pesanan Maxel.

"Jadi nyokap bokap lo tinggal di Jerman?" tanya Maxel setelah mendengar cerita Lura yang mengatakan jika kedua orang tuanya sudah tinggal di Jerman.

"Hm," angguk Lura seraya menyuapkan wafflenya ke dalam mulut.

"Trus, lo tinggal sendiri sekarang?"

"Eng--," Lura lantas mengatupkan bibirnya, dia berdehem sebentar karena hampir keceplosan. Hampir aja dia mengatakan jika tinggal bersama Gerlan.

"Enggak, gue tinggal bareng Bi Nurma," ucap Lura seraya tersenyum kaku. Bi Nurma adalah asisten rumah tangganya dulu.

"Oh, terus--," perkataan Maxel tertahan karena dua orang yang tak diundang tiba-tiba datang lalu bergabung bersama mereka.

"Lu makan kagak ngajak-ngajak kita," cibir Felix yang duduk di samping Maxel, sedangkan Gerlan mengambil tempat di samping Lura, membuat gadis itu menatapnya sinis dan menggeser duduknya ke samping.

"Ngapain lo berdua ke sini?" tanya Maxel, seperti keberatan jika dua temannya ikut bergabung.

"Lo nggak liat semua meja penuh?" jawab Gerlan, lelaki itu mengeluarkan pod vapenya, dan meletakkan benda itu di atas meja.

Tak lama kemudian pesanan Felix dan Gerlan tiba, yaitu segelas Blue ocean soda dan Apple cooler milik Felix.

"Lura, lo udah punya pacar belum?" tanya Felix tiba-tiba, membuat gadis itu menoleh ke arahnya.

"Kenapa?" Lura balik bertanya.

"Jangan mulai deh lo," celetuk Maxel, yang sudah tahu niat Felix, karena jika dia sudah bertanya seperti itu, berarti dia memiliki niat untuk PDKT.

"Mulai apa sih, orang gue cuma nanya doang," Felix menjawab perkataan Maxel. Dia lalu kembali tersenyum menatap Lura.

"Eh, itu di bibir lo," Felix lantas menarik selembar tisu dan mengulurkan tangannya hendak mengusap noda ice cream di sudut bibir Lura, namun belum saja tisu itu menyentuh bibir Lura, Gerlan langsung merampas tisu itu dan mengelap pod vapenya yang tidak terlihat kotor.

"Tangannya masih lengkap, nggak perlu elo yang ngelapin," Gerlan berujar dengan nada tak mengenakan.

Lura mengelap bibirnya sendiri dengan tisu, dia mencibir mendengar ucapan Gerlan. Sedangkan Felix melipat kedua tangannya di depan dada, dia bersandar sembari menatap Gerlan dengan tatapan menyelidik.

"Cemburu lo?" pertanyaan Felix membuat Gerlan menoleh ke arahnya.

Lelaki itu berdecih sinis, dia melirik Lura sekilas, kemudian menjawab, "Gile aja lu gue cemburu sama dia."

"Yakin?" Felix menaikkan sebelah alisnya, sebenarnya dia hanya berpura-pura mengatakan jika akan mendekati Lura. Dia cuma ingin melihat reaksi Gerlan. Dan sekarang dia sudah seratus persen yakin jika tebakkannya benar.

"Lo nggak suka sama Lura?" pancing Felix lagi, kini lelaki itu beralih menatap Lura yang terlihat tidak peduli.

"Perlu gue jawab?" hanya itu balasan dari Gerlan. Dia mengangkat pod vapenya dan menghisap benda itu dalam-dalam. Namun kala mendengar perkataan Felix selanjutnya membuat Gerlan diam tanpa menjawab.

"Kalau lo nggak suka sama dia, ngapain lo mukulin cowok yang udah ngambil foto dia diam-diam?"

"Lo mukulin tuh cowok di tangga rooftop, karena dia udah ngefoto Lura di kafe ini. Lo nggak inget?"

Lura sontak terbatuk, dia langsung meraih minuman milik Gerlan karena hanya minuman itu yang terletak persis di dekatnya.

"Itu karena dia udah kurang ajar," balas Gerlan, menarik gelasnya dari Lura karena gadis itu meminumnya hingga tersisa setengah.

"Yakin? Nggak percaya gue."

Gerlan tertawa pelan, dia kemudian menunjuk Lura dengan jarinya, "Lo liat aja tampangnya, makan ice cream aja masih belepotan. Lo pikir gue bakalan suka sama cewe model begini?"

"Heh!" balas Lura langsung.

"Lo pikir gue mau disukai sama cowok bar-bar kayak elo? Gue juga ogah kali!"

"Stt, udah-udah," sela Felix, lelaki itu terkikik geli melihat Gerlan dan Lura saling melempar tatapan penuh kebencian.

"Biasanya nih ya, kalau cewe sama cowo hobinya berantem mulu, ujung-ujungnya bakalan nikah."

"Jadi ati-ati aja dah lo pada."

****

Lura langsung menuju toilet setelah keluar dari kafe, dia pun sudah menolak dengan halus tawaran Maxel yang hendak mengantarkannya pulang. Dan Gerlan? Lelaki itu tidak mengatakan apapun, dia langsung pergi begitu saja.

Lura berjalan menuju wastafel untuk mencuci muka, setelah itu mematikan keran air dan hendak berjalan keluar, namun tiga orang wanita yang masuk ke dalamnya membuat langkah Lura terhenti.

Perempuan yang berdiri ditengah itu tampak maju mendekati Lura seraya bertepuk tangan.

"Wahh, jadi ini cewek murahan yang udah berani-beraninya nampar adek gue?" ucap gadis bernama Flora itu. Dia menatap remeh Lura dari atas hingga bawah.

"Lo siapa?" balas Lura dingin.

"Lo nggak tau siapa gue?" tanya balik Flora dengan menunjuk dirinya sendiri. Dia maju beberapa mendekati Lura.

"Gue kakaknya Frea, dan lo! Lo udah berani nampar dia! Lo pikir gue bakal diem aja?" ucap Flora sembari memberi aba-aba pada kedua temannya untuk memegang tangan Lura.

"Apa-apaan lo! Lepasin gue!" sentak Lura menarik tangannya. Namun kedua perempuannya memegangnya terlalu erat. Entah mereka yang terlalu kuat atau Lura yang terlalu lemah.

Plak!

"Itu balasan karena lo udah nampar adek gue," ucap Flora setelah menampar pipi kanan Lura.

Plak!

"Dan itu balasan karena lo udah nggak sopan sama senior!"

Lura tersenyum miring, wajahnya yang semula berpaling pun kini beralih menatap Flora dengan tajam, "Nama lo Flora? Kenapa nggak Fauna aja? Biar sama kayak kelakuan lo yang mirip sama binatang!"

"Sialan," desis Flora, dia berjalan mendekat hendak menjambak rambut Lura, namun gadis itu langsung menendang perutnya hingga dia jatuh tersungkur dan merintih kesakitan.

"Flora!" dua gadis yang memegang tangan  Lura lantas berlari ke arah gadis itu dan membantunya untuk berdiri.

"Ups, sorry, gue sengaja," kata Lura tersenyum mengejek.

Namun Flora tak mungkin diam saja, dia langsung berjalan cepat ke arah Lura lalu menjambak rambut gadis itu dan terjadilah aksi saling jambak-jambakkan, baik Lura maupun Flora, keduanya tak ada yang mau mengalah.

Flora menyingkut dagu Lura dengan sikunya hingga Lura melepaskan jambakkan karena sakit pada dagunya. Kesempatan itu Flora ambil dengan membenturkan kepala Lura pada dinding yang berada di belakangnya.

Flora tersenyum puas melihat Lura mengadu kesakitan, tak berhenti sampai di situ, dia menarik kembali rambut Lura hingga gadis itu mengadahkan wajahnya ke atas.

"Masih berani lo sama gue?"

Karena tak ingin kalah dari Flora, Lura membalasnya dengan menendang tulang kering gadis itu menggunakan ujung sepatunya. Dan itu berhasil membuatnya merintih.

"Ahhh kaki gue!"

Lura merapikan rambutnya dan berdecih sinis, "Gue nggak pernah takut sama lo," tepat pada saat Lura mengatakan itu, ponselnya yang berada di dalam tas berbunyi.

"Ambil hp nya," perintah Flora pada salah satu temannya yang berdiri di dekat tas Lura.

"Heh, siniin hp gue!" Lura hendak meraih ponselnya, namun satu teman Flora lainnya menahan tubuhnya agar tidak berjalan mendekat.

Perempuan yang memegang ponsel Lura itu memperlihatkan layar ponselnya pada Flora, membuat gadis itu tertawa dan bangkit berdiri.

"Gerlan sayang?" ucapnya dengan tertawa terbahak-bahak.

"Lo lagi mimpi?" lanjutnya meremehkan.

Lura menghela napas kasar, bisa-bisanya dia lupa mengganti nama Gerlan.

"Balikin hp gue!" tangan Lura terulur meraih ponselnya, namun Flora berhasil mengelakkan.

"Gila, lo ngehayal Gerlan jadi pacar lo apa gimana? Sadar diri dong coy! Cowok kayak dia nggak selevel sama cewek rendahan kayak elo!" ejeknya, seraya tertawa pada kedua temannya. Satu dari mereka memegang ponsel merekam momen itu sejak tadi.

Flora mengambil alih ponselnya yang dipakai untuk merekam itu, dia lalu mengarahkan kameranya ke arah dirinya dan juga Lura.

"Eh eh guys! Liat deh! Nih cewe, nulis nama Gerlan di hpnya dengan sebutan Gerlan sayang! hahaha, kasian banget nggak sihh?" katanya lagi tanpa menghentikan tawa. Lura sama sekali tak mengatakan apapun, dia hanya diam menatap kelakuan Flora dengan wajah datarnya.

"Duh, selain murahan, lo juga nggak tau diri yaa," tawa Flora seketika terhenti karena pintu toilet dibuka seseorang dengan kasar. Orang itu langsung merebut ponsel Flora dan melemparnya hingga benda itu retak.

Kedatangannya sukses membuat Flora dan dua temannya terdiam karena kaget.

"Barusan lo bilang dia murahan?" tanya Gerlan tajam melirik ke arah Lura, dia kembali merebut ponsel milik gadis itu yang dipegang oleh teman Flora, dan beralih menarik tangan Lura agar mendekat ke arahnya.

Flora ingin marah, jelas saja karena ponsel mahalnya hancur akibat ulah Gerlan. Namun jujur saja dia takut pada lelaki itu. Jadi yang bisa dia lakukan hanyalah menarik napas dalam-dalam untuk merendam emosinya.

"Lo nggak tau? Dia buat nama lo dikontaknya dengan sebutan apa? Dia nulis--,"

"Gue sendiri yang bikin, bukan dia," potong Gerlan, membuat Flora mengatupkan bibirnya.

"Sekali lagi gue ngeliat lo macam-macam sama dia, cari kampus lain. Lo cuma jadi kotoran di sini," kata Gerlan tajam. Flora menggepalkan kedua tangannya, wajahnya pun sudah memerah karena emosi. Tapi sayangnya, dia tidak dapat melakukan apapun.

Gerlan kemudian membuka tasnya lalu mengeluarkan cek dari sana, dan menuliskan nominal uang, kemudian meletakkannya di atas wastafel.

"20 juta, udah cukup buat ganti hp lo, kan?"  katanya, lalu tanpa mendengar jawaban dari Flora, Gerlan langsung pergi dari sana sambil menarik tangan Lura.

Lura diam menatap tangannya yang digenggam oleh Gerlan, hingga saat mereka tiba dikoridor kampus yang tampak sepi, Lura menarik tangannya.

"Sampe sini aja," ucap Lura kemudian hendak melangkah pergi. Namun langkahnya tertahan karena Gerlan mencekal pergelangan tangannya.

Lelaki itu tanpa berucap apapun mendekat ke arah Lura. Dia merapikan rambut gadis itu yang terlihat berantakkan, lalu kemudian menatap wajahnya.

Melihat pipinya yang memerah, membuat Gerlan mengangkat tangannya menyentuh pipi gadis itu. Dan mengakibatkan Lura tak bisa bernapas normal karena jarak mereka begitu dekat.

"Sakit?" tanyanya pelan sembari mengusap pipi Lura.

Sedangkan Lura sendiri hanya diam menatap Gerlan, lalu seakan tersadar, dia langsung memundurkan langkah.

"Nggak usah sok peduli deh lo," balasnya jutek. Bisa-bisanya Lura hampir terbawa perasaan.

Gerlan menghela napas pelan, "Gue cuma nanya. Kenapa lo yang sewot?"

Tuh kan, seharusnya Lura tidak usah berpikir jika Gerlan peduli padanya. Lihat saja sekarang, dia kembali pada sifat aslinya. Yaitu menyebalkan.

"Siapa yang sewot? Biasa aja tuh gue," Lura menjawab dengan melipat kedua tangannya di depan dada.

Gerlan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaket, dia lalu menoleh menatap Lura, "Lo nyadar kan kalau gue senior lo di kampus?"

"Trus? Lo mau gue panggil Kakak?" balas Lura. Lagi pula mereka beda jurusan, toh, untuk apa dia harus berlagak sopan?

"Jaga sikap lo, ngomong halus dikit emang nggak bisa?"

"Nggak kalau sama lo," jawab Lura lagi. Bagaimana dia bisa bicara secara halus jika lawan bicaranya selalu berhasil membuatnya jengkel?

Hujan tiba-tiba turun, membuat Lura mendengus kesal karena dia harus berlama-lama di sini.

Sedangkan Gerlan yang berdiri disampingnya, terlihat melirik jam tangan hitamnya. Hari sudah mulai gelap, dan tadi Mama meneleponnya untuk meminta mereka berdua datang ke rumah jam tujuh malam nanti. Maka dari itu Gerlan mencari Lura.

Lelaki itu beralih melepas jaketnya, menyisakan kaus hitam polosnya. Dia kemudian menoleh ke arah Lura, dan menarik tangan gadis itu agar berdiri di dekatnya.

"Ngapain lo?" tanya Lura heran.

"Mobil gue diparkir deket sini, jadi basah dikit nggak papa, kan?" ucapnya seraya mengangkat jaketnya di atas. Gerlan terpaksa harus mengorbankan jaketnya agar mereka bisa sampai ke mobil tanpa basah kuyup.

Lura sempat diam sejenak, dia lalu merapatkan dirinya ke arah Gerlan. Namun itu belum cukup, dia bisa basah karena mereka tidak memakai payung.

"Deketan lagi."

"Ini udah deket," balas Lura, dia bahkan sudah terlalu dekat dengan Gerlan. Bagaimana harus lebih dekat lagi?

"Tangan lo dipinggang gue, kalau gitu ntar bisa basah."

Lura diam tanpa melakukan apapun, haruskah begitu? Dia enggan untuk melakukannya.

"Yaudah kalau lo mau basah," putus Gerlan, lelaki itu sudah hendak melangkah, dan Lura langsung melingkarkan satu tangannya dipinggang Gerlan.

"Hati-hati pas lari, tali sepatu lo udah diiket kenceng belum?"

Lura menunduk menatap sepatu putihnya, "Udah."

"Oke. Gue hitung sampe tiga, pas dihitungan ke tiga kita lari."

"Satu."

"Dua," Lura mempererat peganganya pada pinggang Gerlan. Tidak apa-apa jika dia terlihat seperti memeluk lelaki ini, yang penting dia tidak basah kuyup dan bisa langsung pulang.

"Tiga."

Mereka pun berlari kecil menerobos hujan. Hingga berhasil menjadi pusat perhatian beberapa orang yang berteduh di koridor kampus. Tak sedikit dari mereka yang merasa baper karena itu terlihat seperti adegan romantis dalam film. Padahal mereka tidak tahu saja jika dua manusia itu tidak pernah akur.

Setibanya di mobil Gerlan, dia langsung membukakan pintu depan untuk Lura, lalu kemudian berjalan ke arah pintu kemudi dan masuk ke dalamnya.

Gerlan melempar asal jaketnya ke belakang. Dia lalu mengacak rambutnya sendiri yang basah dengan jemari. Sedangkan Lura yang duduk disampingnya hanya diam tanpa melakukan apapun karena tubuhnya tidak basah.

"Pake seat belt lo," ucap Gerlan. Dia sudah menghidupkan mesin mobil.

"Hah?" ulang Lura karena suara hujan membuatnya tidak dapat mendengar jelas suara Gerlan.

Lelaki itu menoleh ke arahnya, dia lalu mendekatkan diri hendak memakaikan seat belt gadis itu, namun karena pergerakkannya yang tiba-tiba membuat Lura kaget dan refleks menutup mulutnya.

Gerlan tersenyum tipis melihat Lura, "Lo pikir gue mau nyium?" ucapnya lalu memasang sabuk pengaman gadis itu.

Lura menghela napas pelan, dia lalu menurunkan tanganya. "Nggak tuh, gue cuma--," perkataan Lura terputus karena dia terkejut, Gerlan mengecup pipinya tiba-tiba.

Dia lantas memutar kepala melihat Gerlan tajam, namun lelaki itu terlihat santai mengendarai mobilnya. Seolah barusan dia tidak melakukan apapun.

"Kenapa lo ngeliatin gue? Kecewa karena cuma di pipi? Mau di bibir?" tanyanya menoleh sekilas ke arah Lura.

"Dih," Gadis itu mengusap kasar pipinya, dia lalu menyandarkan tubuhnya dengan mata mengarah pada jendela mobil.

Lura menarik napas pelan. Dia menyentuh dadanya sendiri, jantungnya mendadak berdetak tak karuan. Lura beralih mengusap kedua tangannya yang terasa dingin, padahal penghangat di dalam mobil sudah aktif, namun mengapa dia masih merasa kedinginan?

Gerlan menoleh ke samping, melihat gadis yang tengah mengusap telapak tangannya itu. Dan tanpa berucap apapun, dia lantas meraih tangan kanan Lura, dan menggengamnya. 

Hal itu jelas saja membuat Lura kaget, dia menatap Gerlan yang tampak fokus pada jalanan di depannya dengan mata tak berkedip.

Seharusnya Lura marah dan menarik tangannya, sambil mengatakan dengan nada ketus,

"Ngapain lo megang-megang tangan gue?!"

Tapi nyatanya, dia tidak melakukan apapun. Tangan Gerlan yang hangat membuatnya tak lagi merasa kedinginan.

Lura menghela napas pelan, dia mengutuk dirinya sendiri yang justru merasa nyaman karena Gerlan menggengam tangannya, bukankah seharusnya dia merasa kesal?

"Sialan, gue baper."

Related chapters

  • My enemy, My husband   5. MEET YOU

    "Ketika kamu merasakan bahwa seseorang itu istimewa. Saat itu pula kamu akan takut kehilangannya."****Pukul delapan lewat lima menit malam ini, Lura baru saja selesai berpakaian, dan sekarang perempuan yang mengenakan dress hitam dengan luaran jaket jeans itu tengah duduk di depan meja rias untuk mencatok rambutnya. Sementara ponselnya yang terletak di atas meja berdering, Lura berdecak membaca nama si penelepon."Nggak sabaran banget," gerutunya pelan tanpa mengangkat telepon. Selang beberapa menit kemudian, Lura telah selesai mencatok rambut dan memoles make-up tipis pada wajahnya, lalu setelah itu keluar dari kamar. Gerlan sudah berada di basement, maka dari itu dia menelepon Lura agar cepat turun karena dia sudah lama menunggu. Sosok gadis terlihat masuk ke area basement, dia tampak berjalan santai seolah tak tahu jika Gerlan sudah menunggunya selama setengah jam lebih di dalam mobil. Itu membuat lelaki yang berada di balik kemudi mendengus kesal.Pintu yang berada di samping

    Last Updated : 2023-09-05
  • My enemy, My husband   6. JUST KIDDING

    "Perasaan akan sulit dikendalikan jika kamu tengah jatuh cinta."****Apa yang akan kalian rasakan jika hal yang kalian takuti benar-benar terjadi? Lura tidak menyangka jika lelaki yang membuatnya merasa was-was sejak masuk ke dalam lift yang sama dengannya, kini berada tepat di depan matanya."Lo--siapa?" Melihat wajah gadis itu yang menatapnya dengan sorot curiga, membuat lelaki itu tertawa pelan. Dia lantas membuka topi dan juga maskernya."Ah, sorry-sorry. Gue buat lo takut, ya?" ucapnya, setelah wajahnya dapat dilihat jelas oleh Lura. Dan Lura sendiri merasa belum pernah melihat wajah itu."Gue mau balikin ini, tadi jatuh di depan pintu lo," katanya lagi seraya menyodorkan kartu akses ke arah Lura. Gadis itu terlalu terburu-buru hingga tak menyadari jika kartunya terjatuh.Lura menatapnya sebentar, lalu kemudian perlahan melangkah mendekat dan menerima benda berbentuk kartu ATM itu. "Oiya, kita belum kenalan."Lelaki itu mengangkat tangan kanannya ke atas, "Gue Gavin, penghuni

    Last Updated : 2023-09-05
  • My enemy, My husband   7. LUKA LAMA

    "Bagiku, obat untuk patah hati. Adalah dengan membenci."****Beberapa menit yang lalu Lura baru saja selesai membantu Ochi untuk membereskan meja makan. Dan kini langkah kecilnya itu berjalan menuju halaman samping rumah Gerlan yang terdapat taman dan juga kolam renang dengan beberapa lampu yang menerangi setiap sudutnya.Dia duduk di salah satu bangku dan menatap lurus pemandangan di depannya. Seusai makan malam tadi Gerlan lebih dulu beranjak bersama Verald karena ada hal penting yang ingin dibicarakan Papanya itu. Makanya Lura menjadi sedikit tenang karena manusia menyebalkan itu tidak mengusiknya.Mengingat perkataannya tadi seketika membuat Lura merasa kesal, apa maksudnya mengatakan hal yang menggelikan itu? Jika saja tidak ada Mama dan Papanya, Lura pasti sudah menendang kakinya sembari mengucapkan kata-kata mutiara. Namun yang dia lakukan tadi hanya tersenyum terpaksa pada Gerlan sambil menjawab,"Hehe, kenapa nggak lo aja yang hamil?"Dan ucapannya itu berhasil mendapat taw

    Last Updated : 2023-10-10
  • My enemy, My husband   8. FALL IN LOVE

    "Bukannya takut jatuh cinta. Hanya saja terlalu malas untuk mengulang sakit yang sama."****Ada waktu dimana ketiga lelaki itu mendatangi basecamp mereka yang terletak di gedung belakang kampus. Yang pasti, pagi-pagi seperti ini adalah waktu yang sangat langka dimana Felix mendapati Gerlan yang tengah duduk santai bersama beberapa kaleng soda yang terletak di atas meja.Dia tercengang ketika baru saja membuka pintu, mungkin jika yang berada di sana adalah Maxel, Felix bisa memaklumi karena lelaki itu memang yang paling rajin di antara mereka. Dia pasti selalu datang tepat waktu. Tapi Gerlan yang selalu bolos kuliah? Bagaimana mungkin dia sudah berada di kampus pagi-pagi seperti ini?Lelaki itu tampak mengangkat kepalanya yang semula menunduk menatap Felix yang beberapa detik lalu baru saja duduk di sampingnya."Kenapa lo ngeliatin gue?" tanya Gerlan datar seraya kembali menenggak minuman sodanya.Felix menggeleng pelan, "Lo ada masalah apa, sih?" "Masih soal kemarin? Lo masih kesel

    Last Updated : 2023-10-14
  • My enemy, My husband   9. HOPE

    "Tak bisa bersatu bukan karena tidak saling cinta. Tapi karena sejak awal, tujuan kita tak pernah benar-benar sama."****Pintu kamar yang dibuka dengan gerakan kasar itu menampilkan seorang gadis yang kini berjalan masuk ke dalam kamarnya dan duduk dipinggiran ranjang. Dia tak menjawab perkataan Gerlan tadi karena jujur, dia terlalu kaget saat lelaki itu tiba-tiba datang lalu memeluknya. "Ck, jangan bikin gue jatuh cinta sama lo?" ulang Lura dengan nada mengejek. "Siapa juga yang mau bikin lo jatuh cinta sama gue. Amit-amit dah, ogah banget gue disukai sama cowo kayak lo," gerutu Lura lagi. Anggap saja dia memang benar-benar kesal dan jantungnya tidak berdegup kencang. "Gue nggak baper!" ucapnya entah kepada siapa. Pikirannya mengatakan jika dia harus marah dan semakin membenci Gerlan karena perlakuannya itu. Namun hatinya terlalu sulit untuk diajak bekerja sama."Haha," Lura tertawa hambar, dia mengibaskan tangan kanannya ke depan wajah."Nggak mungkin lah, gue orangnya nggak mud

    Last Updated : 2023-10-24
  • My enemy, My husband   10. DIFFERENT WAYS

    "Aku ingin kamu menjauh, pergi dan melupakanku. Agar meninggalkanmu bukan menjadi beban bagiku."****Sepasang kaki yang dibalut sneakers putih itu berjalan pelan menyusuri taman kota seorang diri. Dia menarik napas dalam, menghirup udara malam yang sedikit menenangkan perasaannya. Sepulang dari rumah sakit tempat Anna dirawat tadi, dia langsung berjalan kaki menuju tempat ini yang jaraknya memang tidak terlalu jauh. Melihat ada dua ayunan yang terlihat kosong, gadis yang mengenakan atasan rainbow crop sweater itu pun lantas menuju ke sana dan duduk sambil menganyunkan kedua kakinya. Lura hanya ingin menghabiskan waktu sendirian, meskipun itu akan mengingatkannya akan kenyataan yang terlalu mustahil untuk dapat berubah. "Lura, kamu harus memberitahu orang tua kamu.""Ini bukan masalah sepele karena menyangkut keselamatan kamu."Lura menghentikan langkahnya, mengingat ucapan Dokter beberapa minggu yang lalu membuatnya kini tak bisa menikmati hari-hari dengan tenang. Jika biasanya o

    Last Updated : 2023-11-01
  • My enemy, My husband   11. I LOVE YOU, BUT

    "Terkadang, saling mencintai pun belum tentu akan bahagia bersama sampai mati."****Setelah memarkirkan mobilnya di basement, Gerlan langsung turun tanpa mengatakan sesuatu ataupun menoleh pada manusia yang duduk disampingnya.Lelaki bertubuh tinggi yang memiliki tatto dileher dan tangannya itu berjalan memasuki gedung apartemen, membiarkan Lura yang baru saja turun menatapnya tanpa ekspresi.Gadis itu sengaja berjalan dengan langkah sedikit lambat agar mereka tidak satu lift. Lura hanya malas jika berdekatan dengan lelaki itu. Melihatnya saja sudah membuat suasana hati Lura buruk.Tapi sepertinya hari ini bukan hari keberuntungannya, karena ternyata lelaki itu baru masuk ke dalam lift yang kosong. Dan mau tak mau, Lura terpaksa ikutan masuk karena enggan menaiki tangga.Jika unitnya berada tiga lantai dari sini, Lura mungkin sudah memilih naik tangga, tapi jika harus melewati 15 lantai lagi, dia lebih baik satu lift dengan Gerlan dari pada kakinya mati rasa.Lura yang berada di sudu

    Last Updated : 2023-12-12
  • My enemy, My husband   12. NOT ALWAYS THERE

    "Apa yang kamu harapkan dari seseorang yang tidak akan hidup lama?"****"Lo nggak lupa kan, sama janji lo?"Flora menghela napas berat, jika tahu pemilik nomor ini adalah psikopat itu, Flora tak akan mengangkatnya. Karena sangat menganggu."Gue punya dendam pribadi sama dia. Jadi setelah gue balas dendam, gue bakal bawa dia hidup-hidup ke elo."Di dalam ruangan yang didominasi cahaya biru itu, lelaki dengan pakaian hitamnya duduk sambil menatap beberapa foto gadis yang tertempel di cermin. Mereka semua tampak begitu mengenaskan."Oke, seminggu dari sekarang. Kalau sampai lo telat satu hari aja, nyawa lo sebagai gantinya," katanya lirih diakhir kalimat. Setelah itu memutuskan sambungan telepon.Flora yang berada di balkon kamarnya menggepalkan tangan marah. Dia tak suka diperintah, namun dia juga tak bisa melawan karena lelaki itu bukan orang sembarangan."Floraaa!" teriakan Frea dari dalam kamar membuat gadis itu masuk dengan langkah terburu-buru."Apaan lo teriak-teriak?"Frea menun

    Last Updated : 2024-04-24

Latest chapter

  • My enemy, My husband   17. TAPI TAHUKAH KAMU?

    "Kita pernah saling membenci. Sebelum akhirnya sadar dengan perasaan sendiri."***"What?! Dia bilang Lura itu pacarnya?!" teriak Frea ta percaya di dalam mobil saat baru saja mendengar jawaban Flora. "Hm. Coba lo pikir, siapa yang percaya kalau si jalang itu pacarnya?" balas Flora kesal sambil menumpu sebelah tangannya di jendela mobil. Mereka masih berada di tempat tadi, terlalu kesal karena rencana yang sudah mereka susun gagal karena kedatangan Gerlan."Jelas nggak ada yang percaya, lah. Mereka aja musuhan, yakali bisa pacaran. Gue yakin, nih. Si jalang itu pasti godain Gerlan, kalau nggak mana mungkin dia mau bawa pelacur itu pergi," dumel Frea. Dia sangat yakin dengan ucapannya karena memang sudah terlihat jelas, jika Lura dan Gerlan itu tak pernah akur. Satu kampus pasti sudah tahu. Jadi sangat-sangat mustahil jika mereka memiliki hubungan. "Liat aja nanti, gue nggak akan berhenti walaupun dia ngancem gue pake

  • My enemy, My husband   16. PERASAAN YANG SALAH

    "Bagiku dulu, kamu adalah seseorang yang pantas untuk ku benci. Yang selalu ingin aku hindari. Namun kini, kamu adalah seseorang yang selalu aku butuhkan. Yang selalu ku jadikan alasan untuk bisa bahagia."****Sepasang kaki yang dibalut sneakers hitam itu melangkah memasuki kawasan rumah sakit dengan sebuah kotak yang berisi beberapa cup muffin di tangannya. Saat di kampus tadi dia ingin mengabari Gauri dan Jean jika dia akan langsung pulang, namun sayangnya sehabis dari toilet dia baru menyadari jika ponselnya kehabisan baterai. Semoga saja kedua gadis itu tidak menunggunya. Niat Lura datang ke sini bukan hanya ingin bertemu Anna dan memberikan muffin ini padanya, tapi karena hari ini obat yang dia pesan pada Dokter Joshua yang biasa menanganinya sudah tiba, maka dari itu Lura sekalian mengambilnya.  Sementara tak jauh dari sana, empat pasang mata mengamati pergerakkannya dari dalam mobil. Salah satu ora

  • My enemy, My husband   15. MASA LALU GERLAN

    "Kita adalah dua insan yang terlanjur berbeda. Saling mencintai dan tetap bersama hanya akan menyakiti hati satu sama lain."****Langit-langit kamar adalah objek yang pertama kali Lura lihat saat dia membuka mata. Dia mengerjab perlahan, dan melirik sekelilingnya dengan mata setengah terbuka."Bentar. Berarti tadi mimpi?" tanya Lura dalam hati. Dia mendengus pelan, suasana hatinya tiba-tiba menjadi buruk karena lelaki itu telah berani masuk ke dalam mimpinya. Lura dengan kesal bangkit duduk, dan mengusap kasar wajahnya. Tadi seingatnya dia duduk di sofa sambil menonton film seorang diri. Dan sekarang, mengapa dia telah berada di kamar? Apa lelaki itu yang memindahkannya?Ah, membayangkan itu membuat Lura semakin membencinya. Perlakuan anehnya itu yang membuat Lura kepikiran dan berakhir menjadi mimpi buruk.Ya, buruk. Sangat buruk.Dia melirik ke arah jam digital di atas nakas yang menunjukkan pukul satu lewat sepuluh menit dini hari. Yang berarti sudah hampir empat jam dia tertid

  • My enemy, My husband   14. BUKAN MUFFIN BIASA

    "Haruskah aku pergi meninggalkannya? Dan membiarkannya bahagia bersama seseorang yang dapat berada di sampingnya untuk waktu yang lama?"****Setelah menghadiri kelas terakhirnya di siang hari ini, Lura pun berencana untuk segera pulang. Kini dia tengah berjalan di koridor kampus seorang diri hendak menuju gerbang depan untuk menaiki taksi seperti biasa. Jean dan Gauri mungkin sudah pulang duluan karena mereka tidak mengambil mata kuliah yang sama dengannya. Tidak, lebih tepatnya Lura mengulang mata kuliah, maka dari itu semester ini dia kembali bertemu dengan mata kuliah yang sama.Langkahnya melambat karena dering pada ponselnya. Ada panggilan video dari seseorang, melihat itu Lura pun langsung menerima panggilan."Halo kak, Lura! Kakak apa kabar?"Seorang gadis dengan pakaian berwarna pink itu tersenyum cerah ke arahnya."Hai, Anna! Kakak baik. Anna gimana?""Anna juga baik, Kak," jawab gadis itu, di belakangnya terlihat tiang infus, yang berarti dia masih berada di rumah sakit.

  • My enemy, My husband   13. JEALOUS?

    "Aku hanyalah pengagum dalam gelapmu.Hanya sekadar bayangan yang tampak kalbu, dan hanya sepercik luka yang tak akan lekas sembuh."****Pagi hari yang cerah seperti ini seharusnya membuat orang-orang semangat untuk menjalani aktivitas seperti biasa. Namun itu tak berlaku pada gadis yang baru saja turun dari taksi. Baru saja melangkah memasuki gerbang, suara-suara menyebalkan itu sudah terdengar. "Eh eh, itu dia.""Cantik sih. Tapi sayang, jadi pelacur. Ups!""Kalo gue jadi orang tuanya udah malu banget sih, auto ga di anggap anak!""Dia ga punya malu banget tetep dateng ke kampus.""Tau tuh, fotonya juga udah ke sebar dimana-mana."Lura menghela napas jengah, jika saja dia ingin mencari banyak masalah, sampah di dalam tong berwarna kuning itu mungkin sudah ia ambil lalu memasukkannya ke dalam mulut mereka satu per satu. Karena memang itu tempat sampah yang seharusnya.Namun kini perempuan dengan atasan berwarna putih dan rok berwarna hitam itu hanya dapat mengunci mulutnya dan teta

  • My enemy, My husband   12. NOT ALWAYS THERE

    "Apa yang kamu harapkan dari seseorang yang tidak akan hidup lama?"****"Lo nggak lupa kan, sama janji lo?"Flora menghela napas berat, jika tahu pemilik nomor ini adalah psikopat itu, Flora tak akan mengangkatnya. Karena sangat menganggu."Gue punya dendam pribadi sama dia. Jadi setelah gue balas dendam, gue bakal bawa dia hidup-hidup ke elo."Di dalam ruangan yang didominasi cahaya biru itu, lelaki dengan pakaian hitamnya duduk sambil menatap beberapa foto gadis yang tertempel di cermin. Mereka semua tampak begitu mengenaskan."Oke, seminggu dari sekarang. Kalau sampai lo telat satu hari aja, nyawa lo sebagai gantinya," katanya lirih diakhir kalimat. Setelah itu memutuskan sambungan telepon.Flora yang berada di balkon kamarnya menggepalkan tangan marah. Dia tak suka diperintah, namun dia juga tak bisa melawan karena lelaki itu bukan orang sembarangan."Floraaa!" teriakan Frea dari dalam kamar membuat gadis itu masuk dengan langkah terburu-buru."Apaan lo teriak-teriak?"Frea menun

  • My enemy, My husband   11. I LOVE YOU, BUT

    "Terkadang, saling mencintai pun belum tentu akan bahagia bersama sampai mati."****Setelah memarkirkan mobilnya di basement, Gerlan langsung turun tanpa mengatakan sesuatu ataupun menoleh pada manusia yang duduk disampingnya.Lelaki bertubuh tinggi yang memiliki tatto dileher dan tangannya itu berjalan memasuki gedung apartemen, membiarkan Lura yang baru saja turun menatapnya tanpa ekspresi.Gadis itu sengaja berjalan dengan langkah sedikit lambat agar mereka tidak satu lift. Lura hanya malas jika berdekatan dengan lelaki itu. Melihatnya saja sudah membuat suasana hati Lura buruk.Tapi sepertinya hari ini bukan hari keberuntungannya, karena ternyata lelaki itu baru masuk ke dalam lift yang kosong. Dan mau tak mau, Lura terpaksa ikutan masuk karena enggan menaiki tangga.Jika unitnya berada tiga lantai dari sini, Lura mungkin sudah memilih naik tangga, tapi jika harus melewati 15 lantai lagi, dia lebih baik satu lift dengan Gerlan dari pada kakinya mati rasa.Lura yang berada di sudu

  • My enemy, My husband   10. DIFFERENT WAYS

    "Aku ingin kamu menjauh, pergi dan melupakanku. Agar meninggalkanmu bukan menjadi beban bagiku."****Sepasang kaki yang dibalut sneakers putih itu berjalan pelan menyusuri taman kota seorang diri. Dia menarik napas dalam, menghirup udara malam yang sedikit menenangkan perasaannya. Sepulang dari rumah sakit tempat Anna dirawat tadi, dia langsung berjalan kaki menuju tempat ini yang jaraknya memang tidak terlalu jauh. Melihat ada dua ayunan yang terlihat kosong, gadis yang mengenakan atasan rainbow crop sweater itu pun lantas menuju ke sana dan duduk sambil menganyunkan kedua kakinya. Lura hanya ingin menghabiskan waktu sendirian, meskipun itu akan mengingatkannya akan kenyataan yang terlalu mustahil untuk dapat berubah. "Lura, kamu harus memberitahu orang tua kamu.""Ini bukan masalah sepele karena menyangkut keselamatan kamu."Lura menghentikan langkahnya, mengingat ucapan Dokter beberapa minggu yang lalu membuatnya kini tak bisa menikmati hari-hari dengan tenang. Jika biasanya o

  • My enemy, My husband   9. HOPE

    "Tak bisa bersatu bukan karena tidak saling cinta. Tapi karena sejak awal, tujuan kita tak pernah benar-benar sama."****Pintu kamar yang dibuka dengan gerakan kasar itu menampilkan seorang gadis yang kini berjalan masuk ke dalam kamarnya dan duduk dipinggiran ranjang. Dia tak menjawab perkataan Gerlan tadi karena jujur, dia terlalu kaget saat lelaki itu tiba-tiba datang lalu memeluknya. "Ck, jangan bikin gue jatuh cinta sama lo?" ulang Lura dengan nada mengejek. "Siapa juga yang mau bikin lo jatuh cinta sama gue. Amit-amit dah, ogah banget gue disukai sama cowo kayak lo," gerutu Lura lagi. Anggap saja dia memang benar-benar kesal dan jantungnya tidak berdegup kencang. "Gue nggak baper!" ucapnya entah kepada siapa. Pikirannya mengatakan jika dia harus marah dan semakin membenci Gerlan karena perlakuannya itu. Namun hatinya terlalu sulit untuk diajak bekerja sama."Haha," Lura tertawa hambar, dia mengibaskan tangan kanannya ke depan wajah."Nggak mungkin lah, gue orangnya nggak mud

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status