London, 1 Februari 2021
Seorang gadis duduk membeku dilantai yang dingin sembari memeluk lututnya, matanya terlihat sembab, tatapannya kosong dan hanya memandangi dinding sedari tadi. Ya, sudah terlihat jelas bahwa ia telah menghabiskan seluruh malam hanya untuk menangis. Ruangan sempit yang ia tinggali penuh dengan sampah makanan dan botol alkohol yang berserakan dimana-mana. Ruangan ini, kini lebih pantas disebut sebagai tempat penampungan sampah dibandingkan kamar kos.
Namun, siapapun yang masuk ke ruangan sempit ini sekarang pasti akan tertuju pada satu hal. Kue tart cantik berwarna pink dengan satu lilin menyala diatasnya, terlihat sangat mencolok bagaikan berlian diantara tumpukan sampah.
Kue tart itu sudah berada di sana cukup lama sebab gadis ini tak menyentuh kue tersebut sedikitpun juga membiarkan lilin menyala di atasnya, hingga bunyi alarm ponsel mengagetkannya. Ia segera mematikan alarm tersebut dan melihat waktu telah menunjukan pukul enam pagi.
"Benar, aku tidak boleh seperti ini terus di hari terakhirku!" gadis itu secara tiba-tiba bangkit berdiri, menghapus sisa air mata di wajahnya, dan menghampiri kue itu.
"Selamat ulang tahun ke-25 Audrey Dianne, semoga perjalanan panjang mu sehabis ini tidak lebih menyakitkan" setelah membuat permohonan, gadis itu akhirnya meniup lilin yang tersisa di atas kuenya.
Audrey Dianne, seorang gadis yatim piatu yang kehilangan kedua orang tuanya akibat peristiwa kebakaran di London tahun 2006 silam. Tak hanya menyisakan kenangan pahit, peristiwa itu juga memberikan 'hadiah malang tak terlupakan' kepada Audrey berupa bekas luka bakar di wajah kirinya. Oleh karena itu, Audrey membatasi diri dari dunia luar. Gadis itu tidak ingin orang-orang melihat wajah buruk rupa yang ia miliki, sehingga ia lebih memilih untuk menghabiskan waktu di dalam kamarnya.
Berteman sepi dengan keadaan merupakan hal yang sudah biasa bagi Audrey. Bahkan karena sikapnya yang menutup diri dari pergaulan luar membuat Audrey harus menderita binge eating disorder, dimana penderitanya selalu ingin makan dalam jumlah yang tak wajar dan sulit menahan keinginan untuk makan. Hal inilah yang membuat tubuh Audrey menjadi lebih berisi, akibatnya kehidupan sekolah Audrey tak berjalan baik. Ia kerap mendapat perlakuan tak menyenangkan dari teman-teman bahkan gurunya di sekolah. Bukan hanya masa itu saja, bahkan masa sekarang pun rasanya sulit mencari pekerjaan dengan paras yang tak menarik. Ia juga baru saja dipecat dari pekerjaannya sebagai sales karena penampilannya.
Dunia jelas tak adil baginya. Mengapa ia bisa mendapatkan kehidupan sesulit ini? Kesalahan apa yang pernah ia perbuat hingga ia harus mendapatkan hukuman seperti ini? Pertanyaan itu selalu ada di dalam benaknya dari dulu hingga sekarang.
"Semua ini memang berat sejak awal, namun semua ini tetap saja salah kau! Kau yang membuatku menjadi begini!" Audrey melempar sebuah pigura kecil yang terdapat foto dirinya bersama tunangannya Albert Galvin. Ah bukan, lebih tepatnya mantan tunangan.
Albert Galvin adalah pria yang memecah dan menghancurkan hidup Audrey yang sudah retak. Pria yang dahulu ia anggap berbeda dan mau menerima dirinya apa adanya kini mengkhianatinya secara terang-terangan. Audrey bahkan dengan bodoh rela bekerja part time di tiga tempat sekaligus hanya untuk membantu Albert membayar uang sewa apartemennya, sementara ia hanya tinggal di kos sempit dan kumuh. Namun, apa balasan yang Audrey dapatkan? 3 Bulan sebelum pernikahan mereka, Audrey justru memergokinya sedang bersama wanita lain dan saat Audrey menegurnya Albert justru memaki dirinya dihadapan semua orang. Tak hanya itu, Albert bahkan menyuruh Audrey untuk mati.
"Kau benar, aku lebih baik mati dari pada hidup dengan penuh penderitaan seperti ini. Aku akan melakukan apapun agar bisa terlepas dari kutukan ini" Audrey mengantung sebuah tali dengan susah payah, butuh beberapa waktu hingga pada akhirnya tali itu tergantung sempurna dengan ketinggian yang pas.
Kemudian, seperti kehilangan akalnya Audrey melilitkan tali itu pada lehernya. Ia tertawa dengan keras namun air matanya mengalir keluar dengan sendirinya. Tak butuh waktu lama, Audrey akhirnya melompat dari kursi yang ia naiki. Tubuhnya meronta-ronta menandakan bahwa ia sangat kesakitan.
Secara perlahan tapi pasti, kesadaran Audrey mulai menghilang, tubuhnya lemas, pernafasannya terganggu, dan semuanya menjadi gelap secara tiba-tiba.
"Betapa bodohnya dirimu, mengapa kau memilih untuk mengakhiri hidup dengan cara yang menyakitkan seperti ini?" suara itu tiba-tiba muncul diantara kegelapan yang menyelimuti dirinya.
"A-apa?" Audrey begitu terkejut, ia mengira bahwa ia sudah mati, namun suara apakah ini?
"Lihatlah dirimu Audrey Dianne, bukankah tindakanmu sangatlah bodoh?"
"Ti-tidak, lebih baik mengakhirinya dengan rasa sakit luar biasa sekali saja dari pada harus hidup dengan rasa sakit selamanya. Biarkan penderitaanku berakhir!" Audrey berteriak dan ia merasakan tali itu semakin mencekik lehernya.
"Lalu, jika aku melakukan penawaran apakah kau berminat?" seorang gadis cantik dengan gaun merah akhirnya keluar diantara kegelapan, mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki semuanya sangatlah sempurna.
"Penawaran?"
"Iya, penawaran yang sangat bagus" gadis cantik bergaun merah itu maju mendekatinya, mengelus wajah Audrey yang masih meronta-ronta karena kesulitan bernafas.
Mau tak mau, Audrey memandang wajah gadis cantik bergaun merah yang ada dihadapannya dan ia menemukan sesuatu yang menarik perhatiannya.
"Lu-luka itu?" Audrey tak bisa mempercayainya. Luka itu, mirip seperti luka yang ia miliki. Luka yang ia dapatkan ketika berusia 17 tahun saat ia berupaya mengakhiri hidupnya dengan cara memutus saraf nadi tangan kanannya.
"Ya, akhirnya kau menyadarinya Audrey" kata gadis bergaun merah itu sembari membelai rambut Audrey.
"Baiklah, apa yang kau mau dariku?"
"Aku ingin kau hidup dengan baik Audrey sayang" ia mengangkat dagu Audrey yang berulang kali tertunduk menahan sakit.
"Semua sudah terjadi, aku tak ingin hidup lebih lama lagi"
"Jika semua harapanmu tercapai, apakah kau tetap bersikeras untuk mengakhiri hidupmu?"
"Apa maksudmu?"
"Aku akan mengabulkan semua keinginanmu, tetapi berjanjilah kau akan hidup dengan baik. Karena, dirimu adalah diriku juga" gadis bergaun merah itu mengangkat tangan kanannya yang memiliki bekas luka sayatan sama seperti milik Audrey.
Audrey terkejut mendengar pernyataan gadis bergaun merah yang ada dihadapannya itu. Muncul sebuah pertanyaan yang terlintas dalam pikirannya.
"Bagaimana bisa kau adalah aku? Jika kau adalah aku mengapa kau secantik ini? Janganlah menipuku, apakah kau seorang malaikat yang diutus untuk mengujiku? Ataukah kau seorang malaikat maut yang bertugas untuk menjemputku?"
"Ternyata selain bodoh, kau juga sangatlah konyol. Baiklah aku akan melepaskan ikatanmu terlebih dahulu kemudian aku akan menawarkan kembali tawaran itu" gadis bergaun merah itu akhirnya melepaskan Audrey yang sejak tadi mengantung.
"Apa maumu?" Audrey memegangi lehernya yang baru saja terlepas dari ikatan tali yang mencekiknya.
"Ya, seperti yang kubilang. Aku akan mengabulkan semua impian yang selama ini hanya bisa kau bayangkan dan sebagai gantinya hiduplah dengan baik" gadis bergaun merah itu menepuk-nepuk pundak Audrey yang berada di hadapannya.
"Ba-bagaimana jika aku tak bisa memenuhinya?"
"Tentu saja aku akan melahap jiwamu hahaha ..." gadis itu tertawa dengan suara yang memekikkan telinga, membuat Audrey harus menutup telinganya rapat-rapat.
London, 2 Februari 2019 Semburat matahari mulai nampak membuat seorang gadis terbangun dari tidur nyenyaknya. Gadis itu menguap, sepertinya belum menyadari sesuatu yang aneh terjadi pada dirinya. "Mimpi yang sangat menakutkan" gadis itu bergidik ketika mengingat kembali mimpi yang muncul dalam tidurnya. Ia berusaha untuk melupakan mimpi aneh sekaligus menyeramkan yang terus tertancap di sela-sela sel otaknya. Sekitar sepuluh menit ia habiskan untuk meregangkan badan sebelum menuju ke kamar mandi untuk bersiap memulai harinya dan sesampainya disana tepatnya setelah melihat cermin gadis itu berteriak kencang. "Ap-apa ini?!" gadis itu tertegun sebab melihat baju yang ia kenakan 3x lebih besar dari tubuhnya. Tak hanya itu, bekas luka yang ada diwajahnya juga turut menghilang. Bayangan dicermin persis seperti apa yang ia lihat dalam mimpinya. Semua tidak masuk akal, ia mencoba berpikir dan berusaha untuk menelaah semuanya dengan logika yang ia miliki, hing
Tahun 2013, Eaton Square Senior High School, LondonSuara derap langkah kaki memenuhi koridor sekolah, semua siswa dan siswi berlomba untuk memperebutkan antrian di kantin terkecuali seorang gadis yang terlihat menahan tangis berjalan lunglai menuju ke ruang guru.Ruangan itu sangatlah ramai di jam istirahat seperti sekarang ini. Beberapa guru terlihat sedang menggosip, ada yang sibuk mengerjakan sesuatu, dan ada pula yang sedang berbincang dengan murid yang menemuinya.Audrey dengan tampang sedih disertai perasaan takut yang menyelimuti dirinya mencoba untuk memberanikan diri menghampiri meja milik guru wali kelasnya, Mrs Camelia."Apa lagi?" katanya ketus begitu melihat Audrey berjalan mendekat."Ibu, apakah benar beasiswa ku dicabut?" gadis itu bertanya dengan baik, tetapi balasan yang ia dapatkan tak seperti apa yang ia lakukan."Kau t*li?! Bukankah sudah kubilang sejak kemarin?! Tenyata selain wajahmu yang rusak indera pendenga
Puluhan manusia berbaris rapi menunggu giliran untuk memesan sesuatu di sebuah restaurant ayam. Tempat itu terlihat sangat ramai hari ini dari pagi hingga malam ruangan itu dipenuhi barisan pembeli. Audrey Dianne seorang pekerja paruh waktu yang bekerja sebagai kasir di restaurant ayam itu bahkan dengan sukarela bekerja lembur untuk membantu karyawan lain yang sedang berusaha menyelesaikan tumpukan pesanan yang menggunung."Satu box buffalo wings original dan dua box buffalo wings crispy, selamat menikmati makanan kami" begitulah cara Audrey memperlakukan pelanggan dengan ramah dan penuh sopan santun disertai seulas senyum yang sejak tadi terpasang diwajah manisnya.Tak terasa waktu berlalu begitu cepat, puluhan pelanggan yang sejak tadi memenuhi tempat ini kini mulai pergi satu persatu sebab keinginan mereka sudah terpenuhi dengan baik."Hari yang sungguh melelahkan" Audrey meregangkan badannya yang terasa pegal karena harus berdiri sejak tadi untuk menerima pe
Rintik hujan perlahan turun membasahi London. Gemerlap cahaya perkotaan berhasil menyelamatkan kota dari kegelapan yang pekat. Angin berhembus kencang menciptakan udara malam yang semakin dingin. Terlihat seorang gadis duduk meringkuk di depan sebuah restaurant ayam yang hampir tutup. Titik-titik air yang turun membasahi tanah seketika berubah semakin ganas diiringi tangis gadis itu. Sepertinya bumi mengerti betul bagaimana perasaannya saat ini.Seorang pria berpayung hitam mendatangi gadis yang meringkuk itu, ia menekuk kedua lutut tepat dihadapannya guna melindungi sang gadis dari derasnya hujan yang menghantam tubuhnya."Ini bukan salahmu, tenangkan dirimu" ia mengelus pundak gadis itu bermaksud untuk meredakan suara tangis yang terdengar semakin keras."A-ku tidak mau kehilangan pekerjaanku" gadis itu kini mengangkat wajahnya yang penuh dengan air mata, suaranya begitu lirih.Perasaan iba kini muncul di hati pria itu. Melihat seorang perempuan yang me
Suasana sebuah restaurant ayam masih sama seperti hari lalu, begitu ramai dan sesak karena dikerumuni oleh para pelanggan. Hari ini sesuai dengan perjanjian pagi tadi Audrey Dianne tidak diperkenankan lembur dan harus pulang tepat waktu tak peduli seberapa ramai tempat itu. Mr. David benar-benar merupakan bos idaman para pegawai.Jam di dinding kini telah menunjukkan pukul lima sore, itu artinya satu jam kemudian Audrey akan kembali ke rumah dikarenakan waktu kerjanya telah usai. Tetapi pria yang sedang ia tunggu sedari tadi tak kunjung datang sampai saat ini.Tatapan Audrey menyapu setiap sudut ruangan di restauran ayam itu, berharap ia bisa menemukan seseorang yang ia tunggu namun alih-alih menemukannya Audrey justru dikejutkan dengan kedatangan beberapa orang yang membawa sejumlah kamera."Permisi apakah saya bisa mewawancarai anda sebentar saja? Kami dari program acara televisi nasional ingin mewawancarai pemilik restauran ini" ucap seorang wanita yang diket
Seorang gadis cantik yang masih menggunakan seragam kerjanya terlihat begitu menawan, tubuhnya tinggi semampai dengan rambut panjangnya yang diurai begitu saja. Tiap langkahnya disambut oleh segenap tatapan mata ketika memasuki sebuah kedai kopi. Untuk beberapa saat, gadis itu berdiri di dekat pintu masuk sibuk mencari seseorang yang akan ia temui di tengah sekumpulan orang yang sedang menikmati sajian minuman yang mereka pesan. Gadis itu tersenyum ketika akhirnya menemukan orang yang ia cari."Kau menungguku lama, Alberth Galvin?" gadis itu menyapa Alberth."Kau sudah datang? Sebentar, aku akan mengambilkan kursi untukmu" Alberth berinisiatif untuk mengambil kursi tambahan ketika menyadari bahwa ia duduk di meja untuk dua orang saja. Alberth kemudian meletakkan kursi kosong itu persis di sebelahnya.Gadis itu kemudian mengucapkan terima kasih dan duduk berdampingan dengan Alberth dihadapan Audrey. Audrey Dianne menatap gadis di sebelah Alberth dengan tata
Hari sudah berganti baru dan seperti biasa Audrey kembali melakukan rutinitasnya setiap waktu akan menunjukkan pukul sepuluh pagi yaitu berangkat bekerja. Dari kejauhan Audrey melihat teman-teman rekan kerjanya berkumpul dalam satu meja dengan mata berbinar-binar.Suasana akhirnya menjadi benar-benar heboh ketika Audrey memasuki restauran tersebut. Beberapa mengucapkan selamat padanya dan yang lain memuji-muji kecantikan dirinya. Audrey yang terkejut melihat tingkah laku semua pegawai disini hanya memandang dengan tatapan bingung."Kau tak tau Audrey?" salah satu rekan kerjanya bertanya pada Audrey sebab melihat tatapan gadis itu yang seolah bingung dengan semua ini."Wawancara Mr. David kemarin, kau melihatnya di televisi? Ah tidak-tidak, youtube? Instagram? Twitter?" yang lain menimpali, namun pertanyaan runtut tersebut hanya dibalas dengan kata tidak oleh Audrey."Wawancara itu menduduki rating nomer satu dan yang lebih mengejutkan lagi bukan nama Mr.
Angin berhembus pelan menyibak rambut yang menutupi kedua wajah cantik yang kini duduk berdampingan di sebuah kursi taman dekat dengan dengan pusat kota London.Terlihat berbagai pepohonan yang mengitari taman itu mulai menumbuhkan dedaunan pertanda bahwa musim semi akan tiba sebentar lagi. Cuaca London yang biasanya begitu dingin kini terasa kian menghangat entah dikarenakan oleh pergantian musim atau disebabkan oleh wanita menyebalkan yang berada di samping Audrey sekarang.Masing-masing dari mereka membawa segelas coklat hangat ditangan, pengelihatan mereka menyapu pemandangan taman kota yang terlihat begitu sepi sebab musim dingin yang tak kunjung usai."Jika kau tidak jadi membicarakan apapun, aku akan pergi sekarang" Audrey meluruskan lututnya menapak tanah.Melihat gadis disampingnya hendak beranjak pergi, Zoya menarik lengan gadis itu dan menyuruhnya untuk duduk kembali. Pasti Audrey merasa kesal karena sejak tadi Zoya belum berbicara apapun
Situasi kemudian berlanjut di sebuah gedung yang menjulang tinggi. Terdengar suara teriakan memenuhi lorong yang sepi. Beberapa orang dengan pakaian serba putih segera datang dengan tali yang mereka bawa.Brak!!"Dokter Kenzler, pasien itu kembali mengamuk" seorang wanita yang memakai pakaian sama, membuka pintu ruangan psikiater yang menangani pasien itu. Mereka segera berlari menuju ke sumber suara, teriakan seorang perempuan yang terdengar semakin histeris. Terlihat seorang perempuan bertubuh besar dengan bekas luka bakar di wajah kirinya terikat di tempat tidurnya.Perempuan yang diketahui bernama Audrey Dianne itu terlihat mengamuk dan berusaha menyakiti dirinya sendiri. Tak hanya itu, ia juga sempat melukai pasien lain."Bagaimana dengan wali pasien ini?" tanya psikiater itu kepada para perawat."Mereka sudah dalam perjalanan dan kami sudah memberi obat penenang kepada pasien itu" perawat yang ditanya oleh psik
"Alberth bersama perempuan lain?" Audrey kembali bertanya untuk memastikan apa yang ia dengar."Benar dan kurasa kali ini tindakan Alberth sudah terlalu berlebihan" ucapan Steve membuat degup jantung Audrey berdenyut semakin kencang.Sama halnya seperti perempuan lain ketika mendapat kabar bahwa pasangannya sedang bersama dengan orang lain. Hati yang hancur? Sudah pasti.Tring!Tanpa menunggu lebih lama lagi, Steve segera mengirimkan sebuah alamat di mana Alberth sedang menghabiskan malam di sana.Secepat kilat, Audrey mengambil jaket dan tasnya untuk segera memesan sebuah taksi online. Kejadian ini terasa tak begitu asing. Kejadian serupa tapi tak sama seperti apa yang ia alami waktu itu, kejadian yang bahkan turut hadir di dalam mimpinya.Sepanjang perjalanan, tentunya Audrey begitu gelisah, ia terus melakukan panggilan kepada Alberth, namun selalu berakhir tak terjawab. Mau bagaimana lagi, kecurigaan Audrey selama ini seakan t
- London, 1 Februari 2021 -Beberapa minggu telah berlalu, Audrey kini menekuni pekerjaan yang sama seperti Steve, selain karena tidak adanya panggilan untuk pemotretan, Audrey merasa bahwa ia lebih menyukai pekerjaan sederhana ini.Tanggal satu bulan februari tahun dua ribu dua puluh satu, akhirnya, gadis ini sampai juga di hari yang paling sial bagi hidupnya di kehidupan lalu. Audrey kembali merayakan ulang tahunnya yang ke dua puluh lima. Namun situasi lalu dan sekarang sangat berbeda jauh, jika pada waktu itu Audrey berniat untuk mengakhiri hidupnya di kamar kost yang sempit, Audrey kini merasa sedikit lebih bahagia dan tinggal di apartemen mewah. Entah apakah ini semua nyata atau tidak, kehidupan baru yang ia jalani terasa hampir sempurna sejauh ini.Pagi ini, Audrey tengah menggunakan pakaian yang sedikit terbuka di bagian atasnya, tak hanya itu ia juga merias tipis wajahnya agar tak nampak seperti mayat hidup. Setelah itu, Audrey segera memposisikan
Situasi kembali pada Alberth dan Audrey yang sedang berada dalam posisi canggung. Masing-masing dari mereka terus saja membungkam mulut, sehingga tak ada satu pun kata yang keluar dari mulut mereka.Situasi ini terjadi cukup lama sampai mereka tiba di apartement yang mereka tinggali. Audrey yang merasa takut, bergegas untuk pergi ke kamar kecil guna menghindari tatapan Alberth, sementara lelaki itu sepertinya hendak membicarakan sesuatu dengan kekasihnya.Alberth yang terus mengikuti Audrey kini terpaksa harus menghentikan langkahnya ketika gadis itu mengunci pintu kamar kecil rapat-rapat. Setelah itu terdengar suara air yang mengalir dari keran.Alberth yang entah sedang memikirkan apa kemudian membuka ponselnya. Ia terlihat sedang mengetik suatu pesan kemudian keluar tuk berbincang dengan seseorang melalui ponsel yang ada digenggamannya.Waktu terasa berjalan begitu lambat, Audrey yang dapat meredakan rasa takutnya kini mulai memberanikan diri unt
"Mungkin itu merupakan sifat aslinya" Marlyn memberi tanggapan setelah mendengar kisah yang diceritakan oleh Audrey."Benar, aku setuju dengan hal itu" terlihat pula Steve ikut mengeluarkan pendapatnya.Mereka bertiga kini tengah berkumpul untuk menikmati waktu minum teh, hal ini bukan merupakan pertama kalinya, bahkan sebelum Audrey terlibat suatu kasus pun, mereka sudah pernah berkumpul beberapa kali.Fakta uniknya adalah Steve ternyata merupakan keponakan dari Marlyn. Hal ini sudah diketahui oleh Audrey lebih awal melalui cerita dari Marlyn."Apakah ia pernah mengatakan kata-kata tak pantas kepadamu?" Steve kembali bertanya."Ehm, sepertinya tidak. Dia hanya membentakku dan berteriak keras. Lelaki itu bahkan belum pulang ke rumah, ini sudah hari ke tiga" gadis itu menekuk wajahnya, ia tak tahu harus berkeluh kesah kepada siapa selain pada Marlyn dan Steve teman barunya."Kau tak menghubunginya?" tanya Marlyn penuh selidik, juj
Audrey mengangkat sebuah benda kecil berwarna hitam seukuran telunjuk jarinya di hadapan manik matanya. Secara perlahan ia membuka tutup benda tersebut dan memutar bagian bawahnya, ini adalah sebuah pewarna bibir dengan warna merah menyala.Sontak, Audrey jelas menaruh curiga pada Alberth, terutama setelah ia menemukan bukti bahwa kekasihnya sering bertemu dengan para perempuan selama ia berada di rumah sakit jiwa. Benda ini milik siapa?"Itu hadiah buatmu" ucap Alberth secara tiba-tiba."Untukku?" Audrey memincingkan mata, sebab Alberth tahu bahwa Audrey tak menyukai pewarna bibir dengan warna yang terlalu menarik perhatian, merah menyala terlalu berlebihan baginya."Iya, aku membelinya sebelum menjemputmu. Aku mengambil secara acak, kukira aku telah mengambil warna yang tepat, jadi aku membukanya untuk memastikannya, dan ternyata-" ucap Alberth yang tidak diketahui kebenarannya."Baiklah kalau ini memang untukku, terima kasih" Audrey memaks
Audrey mengangkat sebuah benda kecil berwarna hitam seukuran telunjuk jarinya di hadapan manik matanya. Secara perlahan ia membuka tutup benda tersebut dan memutar bagian bawahnya, ini adalah sebuah pewarna bibir dengan warna merah menyala.Sontak, Audrey jelas menaruh curiga pada Alberth, terutama setelah ia menemukan bukti bahwa kekasihnya sering bertemu dengan para perempuan selama ia berada di rumah sakit jiwa. Benda ini milik siapa?"Itu hadiah buatmu" ucap Alberth secara tiba-tiba."Untukku?" Audrey memincingkan mata, sebab Alberth tahu bahwa Audrey tak menyukai pewarna bibir dengan warna yang terlalu menarik perhatian, merah menyala terlalu berlebihan baginya."Iya, aku membelinya sebelum menjemputmu. Aku mengambil secara acak, kukira aku telah mengambil warna yang tepat, jadi aku membukanya untuk memastikannya, dan ternyata-" ucap Alberth yang tidak diketahui kebenarannya."Baiklah kalau ini memang untukku, terima kasih" Audrey memaks
-Awal Tahun 2021-Rumah Sakit Jiwa Nasional, London-Tak terasa waktu berjalan begitu cepat. Kini Audrey kembali memasuki tahun dua ribu dua puluh satu dan sepertinya telah banyak hal yang terjadi di luar sana Audrey lewatkan begitu saja karena gadis malang itu harus mendekam di rumah sakit jiwa milik pemerintah.Seharusnya semua ini tidak akan terjadi karena gadis itu sebenarnya harus mendekam di balik jeruji besi selama dua puluh lima tahun lamanya. Entah apa yang dilakukan psikater dan pengacara yang ia andalkan itu, sebab dipersidangan akhir Audrey sama sekali tidak terbukti bersalah walau ia tetap harus mendekam di rumah sakit jiwa sampai dokter mengijinkan pulang."Kondisimu semakin membaik, kau menghabiskan makananmu hari ini" perawat yang bertugas merawat Audrey memberi tanggapan positif akan perilaku gadis itu akhir-akhir ini."Lantas, apakah aku bisa bebas secepatnya?" Audrey tak ingin berlama-lama berada di tempat ini, baginya, tempat ini
Lorent dinyatakan meninggal di tempat akibat benturan keras yang menghantam bagian belakang kepalanya, selain itu ia juga mengalami patah tulang terbuka di beberapa bagian tubuhnya, hal inilah yang menyebabkan darah segar membanjiri tempat kejadian perkara.Selain itu, Audrey yang berada di lokasi kejadian saat peristiwa mengerikan itu berlangsung, kini ditetapkan sebagai tersangka utama. Lagi-lagi gadis malang itu harus berurusan dengan hal semacam ini.Di suatu ruangan sempit dengan penerangan minim, Audrey tampak sedang duduk berhadapan dengan seorang lelaki yang tak asing di matanya, psikiaternya. Pihak kepolisian memutuskan hal ini karena Audrey dicurigai memiliki penyakit mental yang belum sembuh sepenuhnya."Begini Audrey, sudah lama kita tidak bertemu, aku pikir kau tidak ada masalah dan dapat menjalani hidup dengan baik. Apa yang sebenarnya terjadi Audrey?" psikiater itu bertanya dengan lembut dan terlihat begitu mengkhawatirkan gadis yang sudah l