Tahun 2013, Eaton Square Senior High School, London
Suara derap langkah kaki memenuhi koridor sekolah, semua siswa dan siswi berlomba untuk memperebutkan antrian di kantin terkecuali seorang gadis yang terlihat menahan tangis berjalan lunglai menuju ke ruang guru.
Ruangan itu sangatlah ramai di jam istirahat seperti sekarang ini. Beberapa guru terlihat sedang menggosip, ada yang sibuk mengerjakan sesuatu, dan ada pula yang sedang berbincang dengan murid yang menemuinya.
Audrey dengan tampang sedih disertai perasaan takut yang menyelimuti dirinya mencoba untuk memberanikan diri menghampiri meja milik guru wali kelasnya, Mrs Camelia.
"Apa lagi?" katanya ketus begitu melihat Audrey berjalan mendekat.
"Ibu, apakah benar beasiswa ku dicabut?" gadis itu bertanya dengan baik, tetapi balasan yang ia dapatkan tak seperti apa yang ia lakukan.
"Kau t*li?! Bukankah sudah kubilang sejak kemarin?! Tenyata selain wajahmu yang rusak indera pendengaranmu juga turut rusak Audrey!" Mrs. Camelia bangkit berdiri dan berteriak membuat semua orang yang ada di ruangan itu melihat kearah mereka.
Mendengar bentakan dari Mrs. Camelia membuat tubuh Audrey serasa disengat listrik, sesuatu yang keras serasa menghantam dirinya, namun ia tetap tak boleh menyerah sampai disini, hak beasiswa itu harus kembali ia genggam.
"Tapi bu ... tanpa beasiswa itu aku tak bisa melanjutkan pendidikanku. Aku berusaha keras untuk mendapatkannya dengan selalu menjadi rangking 1 di kelas, tetapi beasiswa itu justru dialihkan kepada orang lain. Anak-anak kelas berkata bahwa i- ibu mengalihkannya karena mendapat su- suap dari salah satu wali murid yang tak menyukai-"
Plaakkk!!
"Kau sudah gila? Apakah kau begitu serakah?! Kau sudah dua tahun mendapatkan beasiswa itu dan kini giliran anak lain mendapatkannya!!" Mrs. Camelia menampar wajah Audrey dengan sangat keras membuat gadis itu merintih kesakitan sebab sudut bibirnya terluka akibat tamparan itu.
"Lihat, dia bahkan tetap berdiri tegak setelah ditampar seperti itu, kurasa lemak dalam tubuhnya benar-benar membantu hahaha ..." ucap salah satu guru di ruangan itu. Ucapan tersebut berhasil membuat seisi ruangan tertawa, namun tidak bagi Audrey. Wajah gadis itu memerah dan tangis yang sedari tadi ia tahan akhirnya pecah begitu saja. Audrey segera melangkah keluar meninggalkan ruangan berisi orang-orang yang hanya kaya pengetahuan intektual tetapi minim perasaan simpati dan empati.
Audrey berlari sembari menangis terisak melewati ratusan orang yang berbisik membicarakan dirinya sebab gosip yang dilebih-lebihkan tentang insiden di ruang guru menyebar dengan cepat. Kini Audrey mendapatkan julukan baru yaitu "Gadis Pengemis Beasiswa". Hal itu membuat Audrey berulang kali merutuki tindakannya, ia salah mengira bahwa Mrs. Camelia akan memberikan keadilan padanya.
"Hey, Gadis pengemis beasiswa lewat! Cepat kita harus menggelar karpet merah untuknya hahaha ..."
"Lihatlah lemak dalam tubuhnya itu bukankah itu sedikit menjijikan?"
"Jangan melupakan wajahnya! Jika aku menjadi dirinya aku takkan bisa melangkah satu langkah pun untuk keluar dari rumah hahaha ..."
Semua perkataan itu terus bersarang di dalam kepalanya, membuat Audrey hampir kehilangan kewarasan. Ucapan-ucapan yang terdengar ringan saat dilontarkan namun sangat berat di hatinya. Mengapa semua orang sekejam ini padanya? Apa salah dirinya? Bahkan karena kejadian itu Audrey mengurung diri berhari-hari di kamar kostnya, ia juga menolak tuk berangkat ke sekolah.
"Cukup, hentikan!!" Audrey berteriak ketakutan, ia duduk di sudut kamarnya sembari menutup telinganya yang terus saja mendengar suara-suara yang menyakiti hatinya.
***
Tahun 2019, Kamar kost Audrey
"Cukupp!!" Audrey terbangun dengan seluruh keringat dingin yang membasahi tubuhnya. Kenangan buruk itu bahkan masih menghampirinya setelah semua perubahan yang terjadi atas dirinya. Ia pikir kenangan buruk tentang masa lalu nya juga akan lenyap begitu saja.
Audrey berusaha mengatur pernafasannya agar kembali normal. Mimpi yang mengisahkan kisah masa lalunya selalu saja berhasil merobek luka lama di lubuk hatinya.
Tubuhnya yang bergetar hebat berusaha meraih gelas kaca berisi air dan sebutir pil penenang untuk membantunya menenangkan diri. Namun sayang, gelas itu justru jatuh dan pecah membuat luka sayatan di jemari kanannya ketika sedang berusaha membereskan kekacauan itu.
Darah yang mengalir keluar dari jemari kanannya mengingatkan dirinya ketika berusaha menghilangkan nyawa untuk pertama kalinya, dimana saat itu ia masih berusia 17 tahun. Hal itu Audrey lakukan setelah mengalami stress berkepanjangan akibat tindakan bullying dari guru dan teman-temannya di sekolah.
Rangkaian peristiwa yang mirip namun tidak nyata itu sudah berhasil membuat seseorang mengalami ketakutan yang berlebih akibat trauma yang tak kunjung hilang. Walaupun ia tidak mendapatkan kekerasan secara fisik melainkan kekerasan secara mental. Hal ini mungkin terlihat sangat sepele bagi pelaku namun efeknya akan sangat buruk bagi korban.
Mengapa seseorang dengan mudah berkata kasar kepada orang lain tanpa memikirkan perasaan orang itu? Dan lebih buruknya lagi ketika korban mengalami gangguan pada psikologisnya, ia justru semakin diperlakuan buruk. Kejadian seperti inilah yang membuat korban terkadang nekat untuk mengakhiri hidupnya dan contoh nyatanya terjadi pada Audrey.
Dua jam berlalu, Audrey akhirnya bisa menenangkan diri menggunakan pil penenang yang pernah ia dapatkan dari seorang dokter. Audrey kini bisa berpikir jernih menggunakan akal sehatnya.
Waktu telah menunjukkan pukul sebelas pagi dan Audrey yang teringat bahwa ia sudah mulai bekerja segera bergegas untuk berangkat.
Cuaca di London saat ini sangatlah dingin dan hampir menyentuh angka nol derajat celcius membuat sebagian warga London memilih untuk berdiam diri dirumah dan bagi mereka yang terpaksa untuk keluar rumah, mereka menggunakan pakaian yang sangat tebal dengan syal di leher mereka. Audrey tak memiliki pakaian seperti itu, satu-satunya pakaian tebal yang ia miliki adalah baju yang diberikan oleh wanita pemilik butik yang ia temui kemarin. Audrey mengira pakaian itu cukup tebal, namun nyatanya tak cukup untuk menghalau rasa dingin yang masuk menusuk tulangnya.
"Dari mana saja kau? Lihat jam berapa ini" seorang pria setengah baya menyandarkan tubuhnya pada dinding restaurant ayam, menghembuskan asap dari celah mulutnya kemudian menghisap kembali cerutu yang berada di tangannya.
Audrey membalas dengan seulas senyum diwajah cantiknya dan memberikan alasan yang sekiranya masuk akal sehingga membuat pria yang sedari tadi berdiri dihadapannya menghilangkan wajah menatap curiga yang ditujukan padanya beberapa saat lalu.
"Baiklah, masuk dan kenakan seragam yang ada disana" pria setengah baya itu menunjuk sebuah ruangan khusus untuk karyawan restaurant yang ia miliki dan Audrey segera melangkah masuk.
Tap ... tap ... tap ...
Sorot mata memandang mengikuti gadis itu berjalan menuju ke sebuah ruangan, kehadirannya menarik perhatian seluruh orang di restaurant ayam itu. Tak hanya para pelanggan, gadis itu bahkan menarik perhatian karyawan restaurant yang sedang bekerja. Entah apa yang terjadi, semua orang seolah-olah tersihir dengan pesona yang Audrey miliki.
Puluhan manusia berbaris rapi menunggu giliran untuk memesan sesuatu di sebuah restaurant ayam. Tempat itu terlihat sangat ramai hari ini dari pagi hingga malam ruangan itu dipenuhi barisan pembeli. Audrey Dianne seorang pekerja paruh waktu yang bekerja sebagai kasir di restaurant ayam itu bahkan dengan sukarela bekerja lembur untuk membantu karyawan lain yang sedang berusaha menyelesaikan tumpukan pesanan yang menggunung."Satu box buffalo wings original dan dua box buffalo wings crispy, selamat menikmati makanan kami" begitulah cara Audrey memperlakukan pelanggan dengan ramah dan penuh sopan santun disertai seulas senyum yang sejak tadi terpasang diwajah manisnya.Tak terasa waktu berlalu begitu cepat, puluhan pelanggan yang sejak tadi memenuhi tempat ini kini mulai pergi satu persatu sebab keinginan mereka sudah terpenuhi dengan baik."Hari yang sungguh melelahkan" Audrey meregangkan badannya yang terasa pegal karena harus berdiri sejak tadi untuk menerima pe
Rintik hujan perlahan turun membasahi London. Gemerlap cahaya perkotaan berhasil menyelamatkan kota dari kegelapan yang pekat. Angin berhembus kencang menciptakan udara malam yang semakin dingin. Terlihat seorang gadis duduk meringkuk di depan sebuah restaurant ayam yang hampir tutup. Titik-titik air yang turun membasahi tanah seketika berubah semakin ganas diiringi tangis gadis itu. Sepertinya bumi mengerti betul bagaimana perasaannya saat ini.Seorang pria berpayung hitam mendatangi gadis yang meringkuk itu, ia menekuk kedua lutut tepat dihadapannya guna melindungi sang gadis dari derasnya hujan yang menghantam tubuhnya."Ini bukan salahmu, tenangkan dirimu" ia mengelus pundak gadis itu bermaksud untuk meredakan suara tangis yang terdengar semakin keras."A-ku tidak mau kehilangan pekerjaanku" gadis itu kini mengangkat wajahnya yang penuh dengan air mata, suaranya begitu lirih.Perasaan iba kini muncul di hati pria itu. Melihat seorang perempuan yang me
Suasana sebuah restaurant ayam masih sama seperti hari lalu, begitu ramai dan sesak karena dikerumuni oleh para pelanggan. Hari ini sesuai dengan perjanjian pagi tadi Audrey Dianne tidak diperkenankan lembur dan harus pulang tepat waktu tak peduli seberapa ramai tempat itu. Mr. David benar-benar merupakan bos idaman para pegawai.Jam di dinding kini telah menunjukkan pukul lima sore, itu artinya satu jam kemudian Audrey akan kembali ke rumah dikarenakan waktu kerjanya telah usai. Tetapi pria yang sedang ia tunggu sedari tadi tak kunjung datang sampai saat ini.Tatapan Audrey menyapu setiap sudut ruangan di restauran ayam itu, berharap ia bisa menemukan seseorang yang ia tunggu namun alih-alih menemukannya Audrey justru dikejutkan dengan kedatangan beberapa orang yang membawa sejumlah kamera."Permisi apakah saya bisa mewawancarai anda sebentar saja? Kami dari program acara televisi nasional ingin mewawancarai pemilik restauran ini" ucap seorang wanita yang diket
Seorang gadis cantik yang masih menggunakan seragam kerjanya terlihat begitu menawan, tubuhnya tinggi semampai dengan rambut panjangnya yang diurai begitu saja. Tiap langkahnya disambut oleh segenap tatapan mata ketika memasuki sebuah kedai kopi. Untuk beberapa saat, gadis itu berdiri di dekat pintu masuk sibuk mencari seseorang yang akan ia temui di tengah sekumpulan orang yang sedang menikmati sajian minuman yang mereka pesan. Gadis itu tersenyum ketika akhirnya menemukan orang yang ia cari."Kau menungguku lama, Alberth Galvin?" gadis itu menyapa Alberth."Kau sudah datang? Sebentar, aku akan mengambilkan kursi untukmu" Alberth berinisiatif untuk mengambil kursi tambahan ketika menyadari bahwa ia duduk di meja untuk dua orang saja. Alberth kemudian meletakkan kursi kosong itu persis di sebelahnya.Gadis itu kemudian mengucapkan terima kasih dan duduk berdampingan dengan Alberth dihadapan Audrey. Audrey Dianne menatap gadis di sebelah Alberth dengan tata
Hari sudah berganti baru dan seperti biasa Audrey kembali melakukan rutinitasnya setiap waktu akan menunjukkan pukul sepuluh pagi yaitu berangkat bekerja. Dari kejauhan Audrey melihat teman-teman rekan kerjanya berkumpul dalam satu meja dengan mata berbinar-binar.Suasana akhirnya menjadi benar-benar heboh ketika Audrey memasuki restauran tersebut. Beberapa mengucapkan selamat padanya dan yang lain memuji-muji kecantikan dirinya. Audrey yang terkejut melihat tingkah laku semua pegawai disini hanya memandang dengan tatapan bingung."Kau tak tau Audrey?" salah satu rekan kerjanya bertanya pada Audrey sebab melihat tatapan gadis itu yang seolah bingung dengan semua ini."Wawancara Mr. David kemarin, kau melihatnya di televisi? Ah tidak-tidak, youtube? Instagram? Twitter?" yang lain menimpali, namun pertanyaan runtut tersebut hanya dibalas dengan kata tidak oleh Audrey."Wawancara itu menduduki rating nomer satu dan yang lebih mengejutkan lagi bukan nama Mr.
Angin berhembus pelan menyibak rambut yang menutupi kedua wajah cantik yang kini duduk berdampingan di sebuah kursi taman dekat dengan dengan pusat kota London.Terlihat berbagai pepohonan yang mengitari taman itu mulai menumbuhkan dedaunan pertanda bahwa musim semi akan tiba sebentar lagi. Cuaca London yang biasanya begitu dingin kini terasa kian menghangat entah dikarenakan oleh pergantian musim atau disebabkan oleh wanita menyebalkan yang berada di samping Audrey sekarang.Masing-masing dari mereka membawa segelas coklat hangat ditangan, pengelihatan mereka menyapu pemandangan taman kota yang terlihat begitu sepi sebab musim dingin yang tak kunjung usai."Jika kau tidak jadi membicarakan apapun, aku akan pergi sekarang" Audrey meluruskan lututnya menapak tanah.Melihat gadis disampingnya hendak beranjak pergi, Zoya menarik lengan gadis itu dan menyuruhnya untuk duduk kembali. Pasti Audrey merasa kesal karena sejak tadi Zoya belum berbicara apapun
Sebuah lampu tidur menerangi ruangan sempit yang terlihat begitu sederhana. Seorang gadis duduk diatas kasurnya yang tak terlalu empuk sembari memandangi ponsel yang berada di hadapannya. Ia menunggu kabar dari seseorang yang tak kunjung mengabarinya.Satu jam, dua jam, bahkan sampai tiga jam lamanya pesan yang gadis itu kirim tak kunjung dibaca maupun dibalas. Beberapa menit sekali, gadis itu mengecek ponsel untuk memastikan pesan yang ia kirim barangkali pesan itu tak terkirim karena buruknya jaringan internet, namun berulang kali mau dipastikan bagaimanapun juga tanda yang menunjukkan pesan itu sudah terkirim tak berubah sekalipun.Tak ada pilihan, gadis itu akhirnya membuka satu aplikasi rahasia di ponselnya yang terlihat seperti sebuah peta yang menggambarkan berbagai daerah di Kota London, tetapi ada satu hal yang menarik perhatian, nama Alberth Galvin terpasang di sana. Itu bukanlah aplikasi peta biasa melainkan sebuah aplikasi pelacak.Sepert
Baju-baju yang dirancang oleh desaigner papan atas memenuhi setiap sudut ruangan itu. Berkilau, indah, cantik, dan tentunya mahal menjadi ciri khas sebuah baju yang tak bisa digunakan untuk sembarang acara yang tidak memiliki kelas. Namun, jangan khawatir sebab baju-baju disini tentunya takkan dipersalahgunakan seperti itu sebab semuanya berada di ruang rias milik agensi ternama, LF Agency. Ruangan itu biasanya hanya diisi oleh beberapa model saja yang akan dirias dan dipersiapkan untuk suatu acara, akan tetapi hari ini ruangan itu terlihat berbeda.Ramai orang di ruangan itu mengerumuni seorang wanita cantik yang baru saja kembali dari pekerjaannya di luar negri. Wanita itu merupakan seorang model terkenal asuhan LF Agency yang memiliki popularitas kemana pun ia pergi, hal itu membuat semua orang yang berada di gedung ini datang ke ruang rias guna mendekatinya untuk melihat wajahnya dari dekat.Hidung mancung bak selundang, pipi bak pauh dilayang, dan bibir tipis bak
Situasi kemudian berlanjut di sebuah gedung yang menjulang tinggi. Terdengar suara teriakan memenuhi lorong yang sepi. Beberapa orang dengan pakaian serba putih segera datang dengan tali yang mereka bawa.Brak!!"Dokter Kenzler, pasien itu kembali mengamuk" seorang wanita yang memakai pakaian sama, membuka pintu ruangan psikiater yang menangani pasien itu. Mereka segera berlari menuju ke sumber suara, teriakan seorang perempuan yang terdengar semakin histeris. Terlihat seorang perempuan bertubuh besar dengan bekas luka bakar di wajah kirinya terikat di tempat tidurnya.Perempuan yang diketahui bernama Audrey Dianne itu terlihat mengamuk dan berusaha menyakiti dirinya sendiri. Tak hanya itu, ia juga sempat melukai pasien lain."Bagaimana dengan wali pasien ini?" tanya psikiater itu kepada para perawat."Mereka sudah dalam perjalanan dan kami sudah memberi obat penenang kepada pasien itu" perawat yang ditanya oleh psik
"Alberth bersama perempuan lain?" Audrey kembali bertanya untuk memastikan apa yang ia dengar."Benar dan kurasa kali ini tindakan Alberth sudah terlalu berlebihan" ucapan Steve membuat degup jantung Audrey berdenyut semakin kencang.Sama halnya seperti perempuan lain ketika mendapat kabar bahwa pasangannya sedang bersama dengan orang lain. Hati yang hancur? Sudah pasti.Tring!Tanpa menunggu lebih lama lagi, Steve segera mengirimkan sebuah alamat di mana Alberth sedang menghabiskan malam di sana.Secepat kilat, Audrey mengambil jaket dan tasnya untuk segera memesan sebuah taksi online. Kejadian ini terasa tak begitu asing. Kejadian serupa tapi tak sama seperti apa yang ia alami waktu itu, kejadian yang bahkan turut hadir di dalam mimpinya.Sepanjang perjalanan, tentunya Audrey begitu gelisah, ia terus melakukan panggilan kepada Alberth, namun selalu berakhir tak terjawab. Mau bagaimana lagi, kecurigaan Audrey selama ini seakan t
- London, 1 Februari 2021 -Beberapa minggu telah berlalu, Audrey kini menekuni pekerjaan yang sama seperti Steve, selain karena tidak adanya panggilan untuk pemotretan, Audrey merasa bahwa ia lebih menyukai pekerjaan sederhana ini.Tanggal satu bulan februari tahun dua ribu dua puluh satu, akhirnya, gadis ini sampai juga di hari yang paling sial bagi hidupnya di kehidupan lalu. Audrey kembali merayakan ulang tahunnya yang ke dua puluh lima. Namun situasi lalu dan sekarang sangat berbeda jauh, jika pada waktu itu Audrey berniat untuk mengakhiri hidupnya di kamar kost yang sempit, Audrey kini merasa sedikit lebih bahagia dan tinggal di apartemen mewah. Entah apakah ini semua nyata atau tidak, kehidupan baru yang ia jalani terasa hampir sempurna sejauh ini.Pagi ini, Audrey tengah menggunakan pakaian yang sedikit terbuka di bagian atasnya, tak hanya itu ia juga merias tipis wajahnya agar tak nampak seperti mayat hidup. Setelah itu, Audrey segera memposisikan
Situasi kembali pada Alberth dan Audrey yang sedang berada dalam posisi canggung. Masing-masing dari mereka terus saja membungkam mulut, sehingga tak ada satu pun kata yang keluar dari mulut mereka.Situasi ini terjadi cukup lama sampai mereka tiba di apartement yang mereka tinggali. Audrey yang merasa takut, bergegas untuk pergi ke kamar kecil guna menghindari tatapan Alberth, sementara lelaki itu sepertinya hendak membicarakan sesuatu dengan kekasihnya.Alberth yang terus mengikuti Audrey kini terpaksa harus menghentikan langkahnya ketika gadis itu mengunci pintu kamar kecil rapat-rapat. Setelah itu terdengar suara air yang mengalir dari keran.Alberth yang entah sedang memikirkan apa kemudian membuka ponselnya. Ia terlihat sedang mengetik suatu pesan kemudian keluar tuk berbincang dengan seseorang melalui ponsel yang ada digenggamannya.Waktu terasa berjalan begitu lambat, Audrey yang dapat meredakan rasa takutnya kini mulai memberanikan diri unt
"Mungkin itu merupakan sifat aslinya" Marlyn memberi tanggapan setelah mendengar kisah yang diceritakan oleh Audrey."Benar, aku setuju dengan hal itu" terlihat pula Steve ikut mengeluarkan pendapatnya.Mereka bertiga kini tengah berkumpul untuk menikmati waktu minum teh, hal ini bukan merupakan pertama kalinya, bahkan sebelum Audrey terlibat suatu kasus pun, mereka sudah pernah berkumpul beberapa kali.Fakta uniknya adalah Steve ternyata merupakan keponakan dari Marlyn. Hal ini sudah diketahui oleh Audrey lebih awal melalui cerita dari Marlyn."Apakah ia pernah mengatakan kata-kata tak pantas kepadamu?" Steve kembali bertanya."Ehm, sepertinya tidak. Dia hanya membentakku dan berteriak keras. Lelaki itu bahkan belum pulang ke rumah, ini sudah hari ke tiga" gadis itu menekuk wajahnya, ia tak tahu harus berkeluh kesah kepada siapa selain pada Marlyn dan Steve teman barunya."Kau tak menghubunginya?" tanya Marlyn penuh selidik, juj
Audrey mengangkat sebuah benda kecil berwarna hitam seukuran telunjuk jarinya di hadapan manik matanya. Secara perlahan ia membuka tutup benda tersebut dan memutar bagian bawahnya, ini adalah sebuah pewarna bibir dengan warna merah menyala.Sontak, Audrey jelas menaruh curiga pada Alberth, terutama setelah ia menemukan bukti bahwa kekasihnya sering bertemu dengan para perempuan selama ia berada di rumah sakit jiwa. Benda ini milik siapa?"Itu hadiah buatmu" ucap Alberth secara tiba-tiba."Untukku?" Audrey memincingkan mata, sebab Alberth tahu bahwa Audrey tak menyukai pewarna bibir dengan warna yang terlalu menarik perhatian, merah menyala terlalu berlebihan baginya."Iya, aku membelinya sebelum menjemputmu. Aku mengambil secara acak, kukira aku telah mengambil warna yang tepat, jadi aku membukanya untuk memastikannya, dan ternyata-" ucap Alberth yang tidak diketahui kebenarannya."Baiklah kalau ini memang untukku, terima kasih" Audrey memaks
Audrey mengangkat sebuah benda kecil berwarna hitam seukuran telunjuk jarinya di hadapan manik matanya. Secara perlahan ia membuka tutup benda tersebut dan memutar bagian bawahnya, ini adalah sebuah pewarna bibir dengan warna merah menyala.Sontak, Audrey jelas menaruh curiga pada Alberth, terutama setelah ia menemukan bukti bahwa kekasihnya sering bertemu dengan para perempuan selama ia berada di rumah sakit jiwa. Benda ini milik siapa?"Itu hadiah buatmu" ucap Alberth secara tiba-tiba."Untukku?" Audrey memincingkan mata, sebab Alberth tahu bahwa Audrey tak menyukai pewarna bibir dengan warna yang terlalu menarik perhatian, merah menyala terlalu berlebihan baginya."Iya, aku membelinya sebelum menjemputmu. Aku mengambil secara acak, kukira aku telah mengambil warna yang tepat, jadi aku membukanya untuk memastikannya, dan ternyata-" ucap Alberth yang tidak diketahui kebenarannya."Baiklah kalau ini memang untukku, terima kasih" Audrey memaks
-Awal Tahun 2021-Rumah Sakit Jiwa Nasional, London-Tak terasa waktu berjalan begitu cepat. Kini Audrey kembali memasuki tahun dua ribu dua puluh satu dan sepertinya telah banyak hal yang terjadi di luar sana Audrey lewatkan begitu saja karena gadis malang itu harus mendekam di rumah sakit jiwa milik pemerintah.Seharusnya semua ini tidak akan terjadi karena gadis itu sebenarnya harus mendekam di balik jeruji besi selama dua puluh lima tahun lamanya. Entah apa yang dilakukan psikater dan pengacara yang ia andalkan itu, sebab dipersidangan akhir Audrey sama sekali tidak terbukti bersalah walau ia tetap harus mendekam di rumah sakit jiwa sampai dokter mengijinkan pulang."Kondisimu semakin membaik, kau menghabiskan makananmu hari ini" perawat yang bertugas merawat Audrey memberi tanggapan positif akan perilaku gadis itu akhir-akhir ini."Lantas, apakah aku bisa bebas secepatnya?" Audrey tak ingin berlama-lama berada di tempat ini, baginya, tempat ini
Lorent dinyatakan meninggal di tempat akibat benturan keras yang menghantam bagian belakang kepalanya, selain itu ia juga mengalami patah tulang terbuka di beberapa bagian tubuhnya, hal inilah yang menyebabkan darah segar membanjiri tempat kejadian perkara.Selain itu, Audrey yang berada di lokasi kejadian saat peristiwa mengerikan itu berlangsung, kini ditetapkan sebagai tersangka utama. Lagi-lagi gadis malang itu harus berurusan dengan hal semacam ini.Di suatu ruangan sempit dengan penerangan minim, Audrey tampak sedang duduk berhadapan dengan seorang lelaki yang tak asing di matanya, psikiaternya. Pihak kepolisian memutuskan hal ini karena Audrey dicurigai memiliki penyakit mental yang belum sembuh sepenuhnya."Begini Audrey, sudah lama kita tidak bertemu, aku pikir kau tidak ada masalah dan dapat menjalani hidup dengan baik. Apa yang sebenarnya terjadi Audrey?" psikiater itu bertanya dengan lembut dan terlihat begitu mengkhawatirkan gadis yang sudah l