"Dari tadi pembicaraan kita ngelantur saja. Katakan dengan jelas, sebenarnya apa yang mau kamu sampaikan kepada saya?" tanya Theo dengan nada ketus karena sudah terlanjur kesal dengan orang yang ada di hadapannya tersebut.Saat itu, Theo bahkan sudah siap berbalik badan dan pergi menemui Amilie agar mereka segera pulang. Namun, lagi-lagi Amanda menahannya untuk tau pergi."Sabar sebentar. Baiklah, sekarang aku akan mengatakannya.""Cepat katakan! Waktu saya tidak banyak!""Apa kamu tahu sesuatu mengenai Amilie?" "Soal apa? Jangan bertele-tele!" tanya Theo sembari mengerutkan dahi."Tapi kamu pasti akan sakit hati mendengarnya. Dan ... Aku tidak yakin kamu akan percaya padaku," tutur Amanda.Pernyataan Amanda ini membuat dirinya bertambah penasaran, ia semakin ingin mengetahui apa yang ingin Amanda katakan kepadanya. Sebab, sepertinya terlihat sangat penting dan ini berhubungan erat dengan dirinya."Cepat katakan, jangan membuatku penasaran!""Tapi, aku yakin kamu pasti akan sakit ha
Setelah melakukan pembicaraan panjang lebar dengan Amanda, Theo pun langsung kembali ke ruangan pesta makan malam.Namun, rupanya di sana tidak banyak orang yang duduk ataupun berkumpul. Hanya ada Dania yang sedang duduk santai dengan Rosalina."Yang lainnya ke mana, Ma?" tanya Theo mengarah kepada Dania.Rosalina yang ada di sana hanya diabaikannya saja. Sebab, dirinya merasa tidak nyaman jika bertanya kepada Rosalina."Nak, lebih baik bergabung dulu di sini!" ajak Rosalina kepada Theo."Maaf, tapi aku sedang bicara dengan Mama mertuaku!" tegas Theo menoleh ke arah Rosalina.Rosalina langsung merasa terintimidasi dengan kalimat yang terlontar keluar dari mulut Theo itu."Kurang ajar anak itu! Dia bahkan bersikap tidak sopan kepadaku di depan orang lain! Dasar tidak tahu sopan santun!" umpat Rosalina di dalam hatinya. Pandangannya menatap tajam seraya mengepalkan salah satu tangan. Hingga, kemudian dirinya memaksakan dirinya untuk melontarkan senyum palsu. "Kenapa kamu malah mengata
"Oh, bagus! Sekarang dia mematikan teleponnya! Sebenarnya apa yang kamu mau ini, Amilie?!" umpatnya kesal.Tetapi, ia mencoba menghubunginya lagi karena rasa khawatirnya tak kunjung hilang. Perasaan di hatinya pun tidak nyaman, seolah tengah memberitahu bahwa hal buruk terjadi pada Amilie.Dan untuk kedua kalinya pria berkedok hitam itu menjawab telepon dari Theo lewat ponsel Amilie."Halo? Amilie, bicaralah! Jangan marah tidak jelas begini?""Halo. Ada perlu apa Anda menghubunginya?" jawab pria berkedok itu dengan suara besar.Pria itu memang menyamarkan suara tersebut, agar tak ada yang mengenalinya.Theo pun langsung terheran-heran. Kedua bola matanya terbelalak kaget. "Siapa kamu?! Kenapa ponsel istri saya ada sama kamu?!" tanya Theo dengan nada tegas."Anda bisa menebaknya sendiri kenapa ponsel ini ada pada saya!""Awas, kamu jangan macam-macam dengan istri saya! Sekarang katakan, dimana dia berada?!" kecam Theo dengan suara keras.Ckiiitt!"Tidak boleh, Amilie tidak boleh kenapa
Kedua anak buah Stephen itu saling berpandangan. Lalu, mereka pun berjalan ke arah Amilie disekap. Salah seorang diantaranya menyentuh pipi Amilie, memastikan bahwa wanita itu masih belum sadarkan diri atau hanya berpura-pura saja.Amilie menahan nafasnya beberapa saat hingga dadanya terlihat agak membusung. Ia melakukan hal ini karena tidak ingin bahwa akalnya diketahui oleh mereka."Bagus. Sepertinya dia masih belum sadar. Sekarang kita bisa santai sebentar dan menikmati kopi yang hampir dingin itu!" kata salah seorang pria dengan tubuh agak gempal. Lalu, temannya yang lain mengangguk. "Benar, ayo sekarang kita ke sana!" ajaknya.Saat itu, mereka masih mengenakan kedok. Mereka belum melepasnya sama sekali, sehingga Amilie tidak tahu dan tidak dapat menghafal satu persatu wajah mereka.Hanya Stephen saja yang ia ketahui mengenai dalang dibalik penculikan dirinya malam ini.Ketika kedua anak buah Stephen itu sudah berjalan jauh dari Amilie. Secara perlahan, Amilie pun membuka matan
"Sebaiknya aku telepon saja Stephen, mungkin dia bisa mengetahui atau membantuku mencari Amilie." Tanpa memiliki rasa curiga atau memikirkan hal itu, Theo langsung mengambil ponsel dan menghubunginya.Stephen yang baru saja sampai rumah dan hendak melangkah masuk ke dalam kamarnya, ia pun langsung menghentikan langkah kaki itu dan melihat ponselnya yang ada di dalam saku."Kak Theo? Mau apa dia menghubungiku malam-malam begini, apa dia tahu sesuatu mengenai apa yang aku lakukan?" batin Stephen dengan panik.Tetapi, untuk mengelabui Theo. Ia mencoba tampak tenang dan memilih untuk menjawab telepon itu. Karena tidak ingin jika dirinya dicurigai oleh Theo."Ya, halo. Ada apa Kakak menghubungiku malam-malam begini?" tanya Stephen dengan santainya."Apa kamu tahu sesuatu mengenai Amilie? Dia sepertinya diculik. Tadi sudah kutelpon tapi yang menjawab malah seorang pria yang bahkan suaranya baru kudengar," tutur Theo dengan panik."Benarkah? Apa Kakak masih yakin dia diculik? Siapa tahu saja
Selepas berdo'a dengan penuh keyakinan, Amilie pun kembali mencoba untuk membuka tali itu dengan caranya. Ia bergerak sedikit ke arah ujung meja yang terlihat runcing 'Mungkin meja itu akan membantuku' begitulah pikirnya.Tanpa pikir panjang, Amilie pun mencoba mendekat ke arah meja. Tetapi, karena kakinya yang terikat, itu membuat dirinya jatuh ke lantai.Tentu saja ia merasa sakit, tetapi ia berusaha untuk menahannya agar kedua pria itu tidak sampai bangun dan melihat dirinya di tempat yang berbeda."Aku harus bisa keluar dari sini sebelum pagi dan sebelum mereka bangun," gumam Amilie.Dengan gesit, ia mencoba bangkit kembali. Pada saat ini duduk dan menoleh ke samping, ia melihat ada sebilah pisau tanpa serangka tergeletak begitu saja. Wajahnya pun langsung berseri."Mungkin inilah cara Tuhan menolongku. Aku akan memanfaatkan pisau ini, agar ikatannya bisa terlepas dari tanganku."Perlahan, ia meraih pisau itu dengan kedua tangannya. Kepalanya pun terpentok ke samping laci dan ke
Akan tetapi, Stephen yang terlanjur dibutakan oleh keinginannya. Membuatnya terus melanjutkan rencana awal. Tak sedikitpun ada niat di hatinya untuk membebaskan Amilie, sebelum dirinya mendapatkan apa yang ia mau."Tubuhku sudah pernah kamu rasakan! Sekarang apa lagi yang kamu mau? Aku sudah menikah dan jangan ganggu hidupku lagi!"Stephen membungkuk, ia menutup bibir Amilie dengan jari telunjuknya. "Sssttt! Jangan pernah katakan itu. Kamu masih berguna. Janin yang ada di dalam kandunganmu itulah yang aku inginkan saat ini!" "Kenapa kamu menginginkannya saja kalau begitu? Kau sangat egois, Steph! Aku yang kamu campakkan, tapi kini malah menginginkan bayi ini. Tidak, aku tidak akan pernah memberikannya padamu! Bahkan, jika bayi ini lahir pun, aku tidak akan mengenalkanmu sebagai Ayahnya! Lagi pula, kenapa kamu berpikir bahwa bayiku ini anakmu?"Karena Stephen sudah tidak ingin mendengar perkataan apapun lagi mengenai Amilie. Ia pun kemudian langsung memangku Amilie dan membawanya kemb
"Kalian berdua kemari!" perintah Stephen kepada kedua anak buahnya yang tengah berdiri di sampingnya.Mereka pun saling menatap lalu mendekat ke arah Stephen. Saat itu, terlihat bahwa mereka tampak ketakutan. "Apa ada yang bisa kami bantu lagi, bos?" tanya salah seorang anak buahnya.Stephen mengepalkan kedua tangannya seraya mendengus kesal. "Kalian ini! Apa yang kalian lakukan tadi sungguh menyakitinya! Kalian memang tidak berguna. Tak ada satupun pekerjaan yang kalian lakukan dengan benar!" teriak Stephen dengan kemarahan yang meledak-ledak.Dengan kepala menunduk, kedua anak buahnya pun langsung meminta maaf. "Kami sungguh tidak bermaksud melakukan hal itu. Dan ... Kami pikir ikatan itu tidak terlalu kencang. Lagi pula, kami hanya menjalankan apa yang Anda perintahkan, Bos!" jelasnya.Namun, alasan itu seolah menyudutkan dirinya. Membuatnya tambah marah."Oh, jadi kalian menyalahkanku atas semua kejadian ini! Memang dasar kalian saja yang bodoh!" umpatnya sembari memukul kedua an