Malam itu menjadi malam sendu bagi Amilie. Ketika dirinya sudah ingin melupakan Stephen dan mengikhlaskan semua yang telah terjadi. Tetapi, Sanjaya mengingatkannya pada kejadian hari itu."Ayo, lebih baik kita lanjutkan masak! Jangan dengarkan Papa!" ajak Theo sembari memeluk Amilie dari samping.Theo melepaskan tangannya itu dari bahu Amilie, lalu ia pun melanjutkan kembali memasak.Hingga, tak lama kemudian masakan itu jadi. Perut Amilie yang sudah bersuara itu pun akhirnya akan terisi dengan makanan lezat."Aku merasa lapar, tapi aku jadi tidak berselera makan," batin Amilie.Setelah makanan itu tersaji dengan baik, Theo membawanya ke meja makan. Saat itu, hanya menyediakan dua piring saja. "Untuk Papa mana? Kenapa hanya ada dua piring saja?" tanya Sanjaya sembari melihat ke meja makan.Theo melepaskan apron itu, lalu dengan santainya ia pun menjawab pertanyaan Sanjaya."Kalau Papa mau 'kan masih bisa minta buatkan kepada pembantu yang ada di sini.""Dasar anak kurang ajar!" ump
Amilie memegang lehernya, ia merasa ada sesuatu yang membuat kerongkongannya seolah ingin memuntahkan semua isi perutnya."Aku merasa tidak nyaman," ucap Amilie.Ia beranjak pergi ke toilet terdekat dari ruang makan itu dan mencoba memuntahkan sesuatu itu. Tetapi, ia hanya memuntahkan air liur.Namun, rasa mualnya tak kunjung hilang.Theo yang melihat hal itu pun, ia segera mengambil kayu putih untuk kemudian ia berikan pada Amilie."Amilie sayang~!" seru Theo sembari membawa kayu putih di tangan kanannya.Seketika Amilie menoleh, ia bertanya-tanya dengan cara Theo memanggil dirinya."Tumben sekali, tapi baguslah. Supaya tidak ada yang meragukan pernikahan ini," ucapnya pelan.Dirinya mengambil tisu untuk menyeka air di sekitar mulutnya. Hingga, akhirnya Theo datang dan memapahnya untuk kembali ke ruang makan."Apa perutmu merasa tidak nyaman lagi?" tanya Theo.Amilie mengangguk. Saat itu, mereka sudah berada di ruang makan."Kalau begitu, ayo kita ke kamar saja! Jangan-jangan kamu k
"Tolong buka pintunya!" kata Theo kepada Amilie."Kalau begitu, turunkan saja aku. Biar aku yang membukanya," jawab Amilie.Namun, Theo enggan menurunkan Amilie dari pangkuannya. Ia terus membawa dalam pelukannya."Mas!" seru Amilie ketika melihat suaminya yang tampak sedang melamun. Ia sendiri tidak tahu apa penyebabnya, tetapi Amilie tahu bahwa Theo tengah mengalami masalah yang menghantam dengan begitu dahsyat.Amilie membuka pintu kamar itu perlahan, hingga terbuka.Namun, saat itu tatapan mata Theo masih terlihat kosong. Ia masih melamun, bahkan seolah tidak melihat bahwa pintu itu telah terbuka."Mas, pintunya sudah dibuka!" seru Amilie.Seruan yang lebih keras itu membuat ia bangun dari lamunannya tersebut. Segera saja ia memasuki kamar dan menurunkan Amilie di sofa.Untuk beberapa saat Amilie menatap Theo, ia ingin bertanya. Tetapi, perasaan ragu itu malah muncul. Namun, walau bagaimanapun ia merasa perlu mengetahui masalah suaminya. Jika tahu, sebisa mungkin ia akan membantun
Ketakutan itu kian bertambah dan membuat Amilie tidak tenang. Ia mencari ponsel, tetapi rupanya ponsel itu malah jauh dari jangkauannya. Sehingga, membuat dirinya kesulitan untuk mengambilnya."Haahhh!" Amilie menghela nafas. "Bagaimana ini? Aku tidak mau dia datang ke sini dan mengganggu kenyamananku," batinnya.Stephen yang berada di luar kamar itu terus memaksa Amilie untuk membuka. "Bukalah pintunya, Amilie! Sebelum aku mendobrak pintu ini!" pintanya."Dobrak saja kalau bisa, sampai aku melaporkan kelakuanmu ini pada orang tuamu!" kecamnya.Amilie tidak mau kalau begitu saja dari Stephen. Ia pun membalas ancaman itu dengan sebuah ancaman yang membuat Stephen ketakutan.Sementara itu, di tempat lain. Theo yang menemui Fajar yang merupakan Ajudan pribadinya itu. Ia berusaha agar tidak sampai ketahuan orang Sanjaya.Theo memasuki pavilliun yang ditempati oleh Fajar. "Cepat masuklah, Tuan!" bisiknya.Sebelum memasuki pavilliun tersebut, ia celingak-celinguk melihat ke sana kemari.
Ketakutan Amilie memuncak. Tetapi, Stephen semakin nekat untuk mendapatkan Amilie kembali. "Sekarang mungkin kamu akan menolakku, tapi ... Aku tidak akan pernah membiarkan dirimu tidur dengan tenang sebelum berjumpa dengan diriku."Stephen menyeringai, lalu pergi dari sana untuk kembali ke tempat tidur.Di sofa, Amilie yang masih dalam pelukan Theo pun dirinya berusaha melepaskan diri. Ia mendorong Theo ke samping."Ehemm!" Rasa gugup menyelimuti Amilie, ia menoleh ke arah Theo. Tetapi, wajah Theo begitu datar namun tatapannya terus mengarah pada Amilie."Bantu aku!" ucapnya sembari menjulurkan tangan.Ketika itu, dorongan Amilie sangat kuat hingga membuat tubuh Theo berada di sofa.Amilie menoleh dan mencoba untuk membantunya. Tetapi, Theo malah menarik tangan Amilie hingga membuat tubuhnya menindih Theo.Keduanya saling memandang satu sama lain, bahkan hidungnya sampai menyentuh hidung Theo."Ah, maaf," ucap Amilie saat hendak bangkit kembali.Tetapi, Theo seakan tidak membi
Theo kembali dari kamar mandi. Ia menghampiri Amilie sebentar. Tetapi, Amilie salah paham dan terus mundur seraya menatap mata Theo dengan muka datar sekaligus bingung dengan suaminya tersebut."Apa yang akan kamu lakukan?" tanya Amilie.Lalu, ia mendekatkan wajahnya ke wajah Amilie. "Hari ini aku mau kamu ikut bersamaku!""Ke mana?" tanya Amilie lagi.Ketika itu, Amilie masih tidak tahu entah akan mengajak ke mana suaminya itu."Ke suatu tempat."Jawaban tidak pasti itu membuat Amilie semakin bingung dibuatnya. Segenap pertanyaan terus bermunculan, tetapi saat itu juga ia memendamnya. Ia yakin, nanti pun akan terjawab.Theo kembali berdiri tegak dan berjalan mundur, kemudian pergi ke ruang ganti untuk memakai baju. Karena, saat itu ia masih menggunakan baju handuk."Ke mana dia akan mengajakku?" batinnya.Amilie bangkit dari duduknya, ia berjalan menuju kamar mandi karena dirinya merasa bahwa tubuh ini terasa lengket dan agak bau keringat.Theo yang setelah mengenakan pakaian pun kem
"Jangan berpura-pura sakit. Saya tahu kamu berbohong!" cetus Theo."Apa menurutmu saya keliatan sedang berbohong?" balas Amilie.Dengan tangan di perut, Amilie terus menahan perutnya dengan rasa sakit yang hebat. Delvin yang melihat kesungguhan dari rasa sakit Amilie itu, membuatnya segera beranjak dan memindahkan Amilie menuju tempat tidur."Tunggu sebentar!" Delvin mengambil ponselnya dan segera menghubungi dokter langganannya itu. -Dalam telpon-"Halo?""Ya, kenapa, Pak Delvin?" tanya Dokter Bagas."Tolong segera ke rumah orang tua saya. Saya butuh bantuanmu! Segeralah ke sini!" "Baik."-Telp End-Dokter Bagas pun bergegas pergi, ia berjalan sebentar dan menemui rekan dokternya yang lain."Anya, tolong kamu gantikan saya sebentar. Temui pasien saya di ruangan 1022. Dia harus segera ditangani karena terdapat pendarahan otak di kepalanya!""Tapi saya juga punya pasien lain!" balas Dokter Anya. "Sebentar saja, sekarang saya ada urusan di luar!"Dokter Bagas pun berlari menuju l
Seruan itu membuat Dokter Bagas mendongakkan kepalanya ke arah Theo. "Baik, Pak Theo. "Meskipun begitu, karena di sana sudah ada Sanjaya dengan Rosalina. Sehingga, ia tidak bisa pergi begitu saja."Kalau begitu, saya permisi," ucap Dokter Bagas.Rosalina menoleh ke arah Sanjaya yang membuat keduanya saling bertatapan satu sama lain."Biarkan saja, Pa," kata Rosalina.Dokter Bagas pun berjalan menaiki tangga itu dengan cepat, dirinya tidak bisa menunda lagi karena sepertinya telah terjadi sesuatu hal yang buruk.Sesampainya di lantai dua, Theo pun langsung menarik Dokter Bagas ke dalam kamarnya. "Ayo, cepat! Istri saya sudah menunggumu sedari tadi!" katanya.Mereka pun memasuki kamar. Di sana, Dokter Bagus langsung mengeluarkan alat yang diperlukan untuk memeriksa Amilie."Aaaahh ... Sakiiit!" Melihat kondisi Amilie yang seperti itu, Dokte Bagas pun menyuntikkan obat pereda nyeri di bagian perutnya tersebut. Tetapi, itu malah membuat Amilie pingsan."Dok, kenapa dengan istri saya?