Ketakutan Amilie memuncak. Tetapi, Stephen semakin nekat untuk mendapatkan Amilie kembali. "Sekarang mungkin kamu akan menolakku, tapi ... Aku tidak akan pernah membiarkan dirimu tidur dengan tenang sebelum berjumpa dengan diriku."Stephen menyeringai, lalu pergi dari sana untuk kembali ke tempat tidur.Di sofa, Amilie yang masih dalam pelukan Theo pun dirinya berusaha melepaskan diri. Ia mendorong Theo ke samping."Ehemm!" Rasa gugup menyelimuti Amilie, ia menoleh ke arah Theo. Tetapi, wajah Theo begitu datar namun tatapannya terus mengarah pada Amilie."Bantu aku!" ucapnya sembari menjulurkan tangan.Ketika itu, dorongan Amilie sangat kuat hingga membuat tubuh Theo berada di sofa.Amilie menoleh dan mencoba untuk membantunya. Tetapi, Theo malah menarik tangan Amilie hingga membuat tubuhnya menindih Theo.Keduanya saling memandang satu sama lain, bahkan hidungnya sampai menyentuh hidung Theo."Ah, maaf," ucap Amilie saat hendak bangkit kembali.Tetapi, Theo seakan tidak membi
Theo kembali dari kamar mandi. Ia menghampiri Amilie sebentar. Tetapi, Amilie salah paham dan terus mundur seraya menatap mata Theo dengan muka datar sekaligus bingung dengan suaminya tersebut."Apa yang akan kamu lakukan?" tanya Amilie.Lalu, ia mendekatkan wajahnya ke wajah Amilie. "Hari ini aku mau kamu ikut bersamaku!""Ke mana?" tanya Amilie lagi.Ketika itu, Amilie masih tidak tahu entah akan mengajak ke mana suaminya itu."Ke suatu tempat."Jawaban tidak pasti itu membuat Amilie semakin bingung dibuatnya. Segenap pertanyaan terus bermunculan, tetapi saat itu juga ia memendamnya. Ia yakin, nanti pun akan terjawab.Theo kembali berdiri tegak dan berjalan mundur, kemudian pergi ke ruang ganti untuk memakai baju. Karena, saat itu ia masih menggunakan baju handuk."Ke mana dia akan mengajakku?" batinnya.Amilie bangkit dari duduknya, ia berjalan menuju kamar mandi karena dirinya merasa bahwa tubuh ini terasa lengket dan agak bau keringat.Theo yang setelah mengenakan pakaian pun kem
"Jangan berpura-pura sakit. Saya tahu kamu berbohong!" cetus Theo."Apa menurutmu saya keliatan sedang berbohong?" balas Amilie.Dengan tangan di perut, Amilie terus menahan perutnya dengan rasa sakit yang hebat. Delvin yang melihat kesungguhan dari rasa sakit Amilie itu, membuatnya segera beranjak dan memindahkan Amilie menuju tempat tidur."Tunggu sebentar!" Delvin mengambil ponselnya dan segera menghubungi dokter langganannya itu. -Dalam telpon-"Halo?""Ya, kenapa, Pak Delvin?" tanya Dokter Bagas."Tolong segera ke rumah orang tua saya. Saya butuh bantuanmu! Segeralah ke sini!" "Baik."-Telp End-Dokter Bagas pun bergegas pergi, ia berjalan sebentar dan menemui rekan dokternya yang lain."Anya, tolong kamu gantikan saya sebentar. Temui pasien saya di ruangan 1022. Dia harus segera ditangani karena terdapat pendarahan otak di kepalanya!""Tapi saya juga punya pasien lain!" balas Dokter Anya. "Sebentar saja, sekarang saya ada urusan di luar!"Dokter Bagas pun berlari menuju l
Seruan itu membuat Dokter Bagas mendongakkan kepalanya ke arah Theo. "Baik, Pak Theo. "Meskipun begitu, karena di sana sudah ada Sanjaya dengan Rosalina. Sehingga, ia tidak bisa pergi begitu saja."Kalau begitu, saya permisi," ucap Dokter Bagas.Rosalina menoleh ke arah Sanjaya yang membuat keduanya saling bertatapan satu sama lain."Biarkan saja, Pa," kata Rosalina.Dokter Bagas pun berjalan menaiki tangga itu dengan cepat, dirinya tidak bisa menunda lagi karena sepertinya telah terjadi sesuatu hal yang buruk.Sesampainya di lantai dua, Theo pun langsung menarik Dokter Bagas ke dalam kamarnya. "Ayo, cepat! Istri saya sudah menunggumu sedari tadi!" katanya.Mereka pun memasuki kamar. Di sana, Dokter Bagus langsung mengeluarkan alat yang diperlukan untuk memeriksa Amilie."Aaaahh ... Sakiiit!" Melihat kondisi Amilie yang seperti itu, Dokte Bagas pun menyuntikkan obat pereda nyeri di bagian perutnya tersebut. Tetapi, itu malah membuat Amilie pingsan."Dok, kenapa dengan istri saya?
Theo mengambil ponselnya dari dalam saku dan kemudian menghubungi seseorang untuk ia temui."Halo. Temui aku di tempat biasa!" katanya seraya menuruni tangga."Baik."Lantas, Theo pun mematikan telepon tersebut. Tetapi, setibanya di lantai satu. Ia bertemu dengan Rosalina."Kamu mau pergi ke mana?""Ini bukan urusanmu, Mama angkat."Rosalina merasa kesal dengan panggilan itu, tetapi meskipun begitu ia tetap bersikap anggun. Ia berjalan menghampiri Theo dan berisi di hadapannya."Bukan begitu, tapi Mama hanya ingin tahu saja."Dengan tatapan dingin, Theo pun membalas perkataan Rosalina. "Apa lagi yang ingin kamu ketahui? Rumahku saja sudah menjadi milik anakmu!"Rosalina menyeringai. "Apa kamu sedang menyalahkan aku yang bahkan tidak tahu apa-apa?!"Dengan tajam dan menusuk, Theo menatap mata Rosalina. "Ke mana perginya Papa sekarang?" "Mama tidak tahu. Lagian, kenapa kamu tanya hal seperti ini sama Mama!" balas Rosalina dengan jawaban ketus. Karena Theo tidak mendapatkan jawaban yan
Tok Tok Tok ..."Masuk!" ujar Sanjaya.Lantas, Delvin mendorong pintu itu dan masuk ke dalam ruangan tersebut.Sanjaya yang tengah menyesap rokok di ruangannya, ia pun kemudian menghentikannya dan mematikan rokok itu. Lalu, menaruhnya di dalam asbak kecil berwarna hitam."Mau apa kamu kemari? Aku 'kan sudah bilang untuk tidak datang ke sini!" Kalimat singkat yang seolah tengah mengusirnya dari sana. Tetapi, Theo mengabaikan hal itu. Ia tidak terlalu mengambil hati apa yang dikatakan oleh Ayahnya. Walau dirinya saat itu merasa dongkol. "Apa boleh aku duduk?""Sepertinya kamu tidak mengerti dengan kalimatku sebelumnya!" balas Sanjaya.Theo menyeringai. "Mengerti atau tidak. Yang aku lakukan hanyalah ingin mendapatkan kembali apa yang sebelumnya dan seharusnya menjadi milikku!" tegasnya.Sontak, Sanjaya pun menoleh ke arah Theo. "Apa maksudmu?""Pa, Anda boleh saja merebut posisiku dan memindahkannya kepada Stephen. Tapi untuk rumah itu, aku tidak akan rela jika ada yang mengambilnya da
Di luar ruangan itu, Theo terdiam sebentar. Ia mendengus kesal, hingga salah seolah yang melewatinya tersenyum. Dia adalah karyawan lama yang sudah mengenal Theo."Selamat siang, Pak Theo," ucapnya.Theo pun meredam amarahnya dan tersenyum kepada karyawan yang menyapanya itu. "Iya, siang."Lalu, Theo pun melanjutkan langkah kakinya kembali untuk kemudian pergi dari sana. Ia berniat untuk tinggal di rumah saja sampai dirinya benar-benar siap untuk merencanakan usaha barunya setelah beberapa hari yang lalu jabatannya dipindahkan kepada Adik tirinya.Dirinya pun lalu memasuki mobil. Lalu, langsung menyalakan mesin untuk kemudian tancap gas pergi.***"Nyonya, ini air jahe yang Anda minta. Silakan diminum!" ucap Bi Munah -- Pembantu di rumah itu.Amilie pun segera menerimanya. "Terima kasih, Bi."Perlahan-lahan, ia pun meneguk air jahe yang masih panas itu. Meskipun awalnya ia kurang menyukai rasa dari jahe itu. Tetapi, aroma itu sungguh membuat mualnya menjadi hilang."Hati-hati, Nyonya
Rosalina mendekat dan berusaha menyentuh Theo. Tetapi, Theo yang merasa risih dan tidak nyaman. Ia juga tidak ingin dekat-dekat dengan Rosalina. Itu membuat dirinya menjauh -- wajahnya tampak datar dan memperlihatkan ketidaksenangan keberadaan Rosalina di sana."Lebih baik sekarang Mama pergi dari sini!" usirnya dari kamar itu."Nak, kenapa kamu begitu tega mengusirku?" sahut Rosalina dengan nada memelas. Tak sampai di sana, Rosalina yang mencoba mendekati Theo pun melakukan berbagai cara. Ia kembali menyentuh tangan Theo, meski sebelumnya sempat ditepis."Jangan menyentuhku, Ma! Apa Mama tidak dengar?!" ujar Theo dengan nada tinggi. Dirinya sungguh geram dengan sikap Rosalina terhadapnya.Rosalina mengepalkan tangannya, ia berusaha sabar dengan anak tirinya tersebut. Karena, sampai saat ini segala tujuannya belum tercapai. Sehingga, ia harus terus mengendalikan emosinya."Baiklah, kalau kau tidak mengharapkan keberadaanku di sini," gumamnya. Lalu, ia pun melangkah pergi dari sana.