Hasil DNA mengungkapkan kebenaran terkuat. Kini, bukti berupa surat tulisan tangan Mawar dan hasil pemeriksaan DNA sudah lebih dari cukup untuk menuntut pertanggungjawaban Rendyka dan Jully untuk nasib hidup Jo setelah ini.
Hari ini, Hazell membawa Jo pergi dari panti sosial, lengkap dengan barang-barang milik Jo. Hazell membawa Jo ke rumah orang tuanya yang berada di Bandung. Di sana, Hazell juga telah menyiapkan panggung pertunjukan besar, karena ia turut mengundang Jully. Tak lupa, Daisy selaku pengacara Jo juga akan datang dengan sejumlah berkas yang akan membantu proses tuntutan. Kali ini, mereka tidak akan membawa nama kepolisian. Mereka akan mencoba melalui cara yang kekeluargaan.
"Kamu tidur aja, Dek. Perjalanannya cukup jauh," kata Hazell dengan lembut, seraya mengusap kepala Jo yang duduk tepat di kirinya.
Jo mengangguk sebagai tanggapan.
"Kamu takut?"
Seharusnya, tanpa dipertanyakan, Hazell sudah tahu jawabannya. Tidak mungkin Jo tidak takut. Bagi Jo, lebih baik menghadapi Adianto yang sudah ia kenal sifat dan kebiasaannya. Tapi, kini Jo harus menemui orang-orang yang belum pernah ditemuinya, apalagi orang-orang itu sudah pasti tidak menginginkannya. Sejak awal, kehadirannya memang tidak diharapkan. Jo sadar betul hal itu. Sayangnya, ia tak mungkin mundur. Ia sudah terlanjur memilih jalan ini.
"Nggak usah takut. Kita punya banyak rencana. Kalau rencana pertama gagal, kita lanjut ke yang kedua, dan seterusnya. Tidak ada masalah yang tidak ada jalan keluarnya. Lagipula, apapun yang terjadi, aku akan ada di pihakmu, begitu juga dengan Tante Daisy. Kamu nggak sendirian, kok."
Jo mengangguk sebagai tanggapan. Ia terlalu cemas sampai tidak sanggup bicara apapun sejak berangkat tadi.
Setelah menempuh perjalanan selama lebih dari satu setengah jam, akhirnya mereka tiba di kediaman Chakraditya, sebuah rumah megah dan besar dengan gaya bangunan Belanda bernuansa putih. Ada kesan mistis di bangunan itu ketika Jo melihat dari arah depan. Entah ia yang terlalu takut menghadapi masalah ini, atau memang rumah itu punya sejarah kelam pada masa penjajahan Belanda dulu.
Setelah Hazell memarkirkan mobilnya, ia turun dan menjemput Jo dari sisi mobil lainnya. Ia tahu betul bagaimana Jo takut saat ini. Ia pun menggandeng tangan mungil adiknya dengan erat, lalu menarik tubuh kurus yang terlihat begitu berat melangkah itu untuk berjalan masuk ke dalam rumah itu.
"Assalamu'alaikum," ucap Hazell, seraya masuk ke dalam rumah melalui pintu depan yang tidak terkunci.
"Oh, akhirnya nyampe juga," ungkap seorang laki-laki dari arah ruang tengah. "A Hazell!" serunya, seraya berlari menghampiri kakak laki-lakinya yang dipanggil dengan sapaan kakak dalam Bahasa Sunda.
"Eh?" Anak yang dua tahun lebih tua dari Jo itu menjauhi Hazell saat sadar dengan kehadiran seorang anak perempuan yang menundukkan kepala. "Kakak udah punya anak? Jadi, selama ini Kakak ngerantau juga karena udah punya keluarga?" tuduhnya.
"Heh, ngawur!" tukas Hazell, seraya mengacak-acak rambut adik laki-lakinya itu. "Mana Ayah dan Ibu? Apa tante Jully udah dateng?"
"Udah, mereka ada di ruang makan, bentar lagi makan siang," jawab laki-laki itu. "Jadi, ini siapa, A?"
Jo menggerakkan netranya untuk melirik ke arah laki-laki di hadapannya. Wajahnya sangat mirip dengan Hazell, seperti cetakan ulang. Bedanya, lelaki itu memiliki mata yang lebih lembut dan lebih hangat. Entah kenapa, Jo merasa sangat nyaman dan tenang untuk sesaat.
"Ini Jolanka, anak korban kasus yang aku tanganin belum lama ini," jawab Hazell. "Jo, kenalin. Dia Oliver, sekarang umurnya 14 tahun."
Jo sempat ragu, tapi jika Hazell sudah memperkenalkannya, itu artinya ia dapat mempercayai lelaki di depannya. Jo pun mengangkat tangan kanannya, bermaksud untuk mengajak lelaki itu berjabatan tangan. "Jo-Jolan -" Tangannya ditepis lembut ketika ia belum menyelesaikan ucapannya.
Lelaki bernama Oliver itu mendekat dan mendekap tubuh Jo yang lebih kecil darinya. Jo membeku bingung dan terkejut dengan reaksi yang diberikan lelaki yang bahkan tidak dikenalnya. "Lo udah berjuang, Jo. Lo anak yang kuat. Gue yakin, ibu lo bangga sama lo." Oliver memang sikapnya lebih hangat dan lembut dibanding Hazell, dan tidak gengsi untuk menunjukkan perhatiannya. "Lo bisa panggil gue 'kakak'. Lo nggak sendirian, kok."
Jo menjawab pelukannya. "Makasih, Kak."
Jujur, Jo tidak menyangka bahwa ia bisa disambut seperti ini oleh lelaki yang juga merupakan kakaknya. Namun, Jo tetap merasa khawatir. Andai Oliver tahu kebenarannya, apakah ia akan tetap bersikap sehangat ini, atau malah membencinya. Karena, saat ini adalah detik-detik sebelum keluarga Chakraditya hancur.
Oliver menggandeng tangan kanan Jo, mengambil alih Jo dari Hazell. Ia mengajak Jo masuk ke dalam ruang makan. Dengan sangat semangat, ia memperkenalkan Jo pada orang-orang yang telah berkumpul di ruang makan atas undangan Hazell beberapa hari lalu. Bukan hanya kedua orang tua Hazell, tapi juga keluarga Jully, lengkap dengan anak perempuan tunggalnya, April.
Meski keluarga itu menerima Jo dengan ramah dan hangat, tapi Jo tetap saja tidak bisa tenang. Meski ia makan siang bersama di ruangan itu, ia seakan tidak bisa menikmati rasa masakan yang cukup mewah itu. Bahkan, ia tak merasa nyaman duduk di bangkunya, seakan ada ratusan paku yang memintanya untuk berdiri dan pergi dari sana. Ia gelisah. Ia takut. Ia cemas. Dan, tentunya, ia merasa amat sangat bersalah sekarang.
Terdengar bel berbunyi, membuat Hazell sempat memejamkan mata. Bukan hanya Jo, tapi ia pun juga cemas dan gugup sekarang. Ialah yang meminta Jo untuk berjuang sekali lagi, meski ia tahu bahwa pilihan ini akan merusak hubungan keluarganya. Tapi, ia adalah lelaki yang selalu menjunjung tinggi keadilan. Setidaknya, itu yang diajarkan Rendyka padanya sejak kecil. Hal itulah yang membuat Hazell menjadi polisi seperti sekarang.
Seorang pelayan mengantarkan Daisy masuk ke ruang keluarga. Saat itu, semua orang sudah berkumpul di ruang keluarga yang luas. Banyak topik pembicaraan yang disinggung di sana, termasuk tentang kasus yang menimpa Jo. Jo pun menjawab sebisanya, ia tidak bisa berpikir jernih saat ini. Ia takut.
"Siang, semuanya," sapa Daisy dari ambang pintu, usai pelayan meninggalkannya. "Saya Daisy, ahli hukum Jo. Saya datang untuk membicarakan sesuatu yang penting atas kemauan Hazell. Di sini, saya tidak akan menyebutkan Hazell sebagai polisi, melainkan sebagai anggota keluarga Chakraditya," jelasnya dengan cepat. Meski ia terlihat tenang, sesungguhnya ia juga sedang mengendalikan diri dari ketegangan.
"Jadi, semua ini ada hubungannya dengan alasanmu membawa Jo ke rumah ini dan mengumpulkan semua orang?" tanya Rendyka dengan menahan amarah.
Hazell berdiri, lalu menjauh dari orang-orang untuk berdiri di hadapan semua orang. Daisy berdiri di sebelahnya, menahan diri untuk tidak bicara. "Kasus Jo juga tanggung jawab keluarga kita, Chakraditya."
"Dari mana asalnya itu? Kenal juga nggak," seru Rendyka. Ia jelas tidak suka.
"Yah, diem dulu, dong. Biar Hazell jelasin," ujar June, istri Rendyka. "Hazell, coba jelasin pelan-pelan. Gimana keluarga kita berhubungan dengan kasusnya Jo?" Meski ia bersikap tenang, namun jelas netranya mencurahkan kecemasan.
Hazell menatap Rendyka dan Jully secara bergantian. Ia mendapati kecemasan dalam pancaran mata mereka berdua. Dengan berat, Hazell menghela napas. Tentu saja itu karena ia sangat kecewa.
"Belum lama ini, ketika polisi merapikan TKP, mereka menemukan surat peninggalan Mawar. Surat yang ditujukan untuk Jo. Di dalam surat itu, disebutkan dua nama, Rendyka Chakraditya dan Jully Erlita Salsabila -"
"Mustahil!" seru Jully emosi.
Hazell menarik satu ujung bibirnya. "Kalau emang nggak salah, kenapa harus nyalak gitu?" Ia bicara dingin dan tidak sopan pada tantenya. Ia sudah kehilangan respect pada wanita itu.
"Mbak, tenang dulu. Kita dengerin sampai selesai." Kali ini, June menenangkan Jully, meski sebenarnya ia semakin takut untuk mengetahui kebenaran.
"Lanjutkan, Zell," tuntut Fredy, suami Jully. Ia juga seorang polisi, namun bekerja di Bandung. "Pasti ada alasan kenapa Almarhumah Mawar menyebutkan dua nama itu, 'kan?"
Hazell mengangguk. "Adianto dulu punya usaha tingkat menengah dan bangkrut. Penyebabnya adalah Ayah. Kenapa? Karena Adianto dan Mawar mengetahui kebenaran orang tua kandung Jo dan menuntut pertanggungjawaban."
"Jadi, kamu nuduh Ayah punya anak selain kamu dan Oliver?" tanya Rendyka dengan nada tinggi. Ia terlihat murka.
"Aku nggak nuduh. Aku punya bukti," jawab Hazell, tetap dengan kepala dingin, meski hatinya memberontak untuk mengamuk. "Adianto dan Mawar menemukan Jo di depan rumah mereka. Ya, Jo dibuang dengan tidak bertanggung jawab. Lalu, mereka mengetahui bahwa orang tua kandung Jo adalah Rendyka dan Jully."
"Nggak mungkin, lah! Mana buktinya kamu ngomong kayak gitu? Kamu mau ngerusak keluarga kita, hah?" seru Jully.
Daisy mengeluarkan sebuah kertas dari dalam map yang dijinjingnya sejak tadi. "Ini adalah hasil pemeriksaan DNA terhadap Jo, Pak Rendyka, dan Bu Jully. Jo terbukti anak dari Pak Rendyka dan Bu Jully. Bahkan, kami sudah mengkonfirmasikannya juga ke lebih dari tiga laboratorium." Daisy meninggalkan sisi Hazell, lalu menyerahkan kertas itu pada Fredy yang mengulurkan tangan kosong ke arahnya.
"Bohong! Ini pasti asal tuduh!" sangkal Jully. "Kamu!" Telunjuknya menuding wajah Jo yang sedari tadi diam dan menundukkan kepala, kedua tangannya bertaut cemas. "Kamu mau ngehancurin keluarga saya, hah? Kamu nggak puas udah nyebabin ibumu mati dan ayahmu dipenjara? Iya? Mau apa lagi, sih, kamu?" serunya murka.
Jo semakin menundukkan kepala. Ia tidak berani menjawab.
"Jangan gitu, Tante!" seru Oliver. Secepatnya ia berdiri menutupi tubuh Jo dengan tubuhnya. "Kalau udah ada hasil DNA, itu artinya bener. Dan kalau surat dari Bu Mawar bener, itu artinya, yang ngerusak keluarga kita adalah Tante dan Ayah. Kenapa juga nyalahin anak yang lahir tanpa tahu apa-apa?"
"Kok, lo, bentak ibu gue, Olv?" seru April, ia terdengar marah. "Kalaupun ibu gue salah, jangan bentak dia, dong. Dia juga keluarga lo." Ya, mereka seumuran, hanya beda beberapa bulan saja. Hubungan mereka bahkan seperti saudara kembar.
"Kalau gitu, ibu lo juga jangan ngebentak adek gue, dong!" balas Oliver. "Kalau DNA itu bener, berarti Jo adek gue dan A Hazell, juga adek lo, Pril. Dia anak ibu lo."
April diam. Ia tahu ucapan Oliver benar. Tapi, dalam hati ia tetap tidak bisa terima perlakuan Oliver pada ibunya, sebesar rasa kecewanya pada ibunya.
"Oke, bisa diam semua?" Tegas Hazell dengan suara lantang dan bulat. Sekejap, semua orang terdiam. "Aku ngomong kayak gini di depan kalian semua, cuma mau minta agar Ayah dan Tante bertanggungjawab sedikit untuk Jo. Pertama. Kalau aja kalian nggak ngebuang Jo, hidup Jo nggak akan sengsara kayak sekarang. Kedua. Kalau kalian nggak ngerusak perusahaan Adianto, keburukan kalian ini nggak akan ketahuan sampai kapanpun. Ketiga. Kalau aja kalian nggak merahasiakan masalah ini, keluarga kita pasti masih baik-baik aja sekarang. Apa ada ucapanku yang salah?"
Hazell menatap Rendyka, tapi bahkan ayahnya yang selalu mengajarinya tentang tanggung jawab dan keadilan pun tidak berani menatap anaknya. Lalu, saat Hazell beralih menatap Jully, ia bisa melihat kebencian dalam tatapan wanita itu.
"Aku nggak mau pembelaan kalian. Kalian udah dewasa, tahu mana salah dan benar. Aku cuma mau kalian bertanggung jawab," jelas Hazell dengan lebih tenang. "Nggak banyak, kok, tuntutan yang aku minta untuk Jo. Aku mewakilinya, karena saat ini akulah walinya Jo."
Daisy bergerak. Ia menyerahkan sebundel kertas pada Fredy dan June. Ia tahu, ia tak mungkin memberikan tuntutan itu pada Jully dan Rendyka. Mereka bahkan tidak berani menatap pasangan mereka karena rasa malu.
"Oke, aku nggak masalah," ungkap Fredy. "Jujur aja, aku kecewa sama istriku yang main belakang. Tapi, nasi udah jadi bubur, aku nggak bisa komentar apa-apa lagi. Mungkin, ini juga sebagian salahku yang dulu sibuk kerja dan melupakan kewajibanku sebagai suami."
Fredy berdiri, lalu ia berjalan menghampiri Oliver yang masih menghalangi Jo. Oliver tahu bahwa oom-nya adalah polisi yang bijak. Ia tahu Jo akan baik-baik saja.
Fredy berlutut di depan Jo. Ia menggenggam tangan Jo yang dingin. "Nak, maafin istrinya Oom, ya?"
Jo memberanikan diri mengangkat kepala mendengar lelaki itu bicara begitu lembut. "Jo minta maaf karena udah ngerusak keluarga Oom." Netranya bergelimang kerlip air mata yang hanya terbendung di sana, tak ada setetespun yang tumpah.
Fredy menggeleng, lalu memeluk tubuh Jo yang ia sadari tadi gemetaran sepanjang waktu. "Ini kesalahan orang dewasa. Kamu nggak tahu apa-apa. Kami yang seharusnya meminta maaf," ungkapnya. Ia melepas pelukannya. "Oom akan biayain hidup kamu sebagai permintaan maaf dan pertanggung jawaban. Oom juga akan menjadi walimu jika diperlukan."
Jo menatap lelaki itu dengan bibir bergetar. Ia mencoba menahan tangis. Ia tidak tahu harus mengungkapkan apa. Ia bingung.
"Jo," panggil seorang perempuan yang suaranya berhasil menarik memori Jo tentang Mawar. "Kamu bisa panggil saya 'ibu'. Walaupun kamu nggak lahir dari rahim Ibu, Ibu akan tetap menganggapmu anak kandung Ibu sendiri. Ibu juga akan bertanggung jawab untuk hidupmu, sebagai permintaan maaf karena suami Ibu udah bertingkah bodoh dan kekanakkan." Ia menarik tubuh Jo dalam dekapannya. "Maaf, ya, Jo."
Jo sudah tidak tahan menahan air matanya lebih lama. Ketakutannya yang sedari semalam membuatnya tidak bisa tidur hingga menyebabkan sakit kepala, ketakutannya yang sedari tadi membuatnya ingin muntah, kini perlahan-lahan menghilang oleh kebaikan Fredy dan June.
Dan akhirnya, air mata Jo yang sangat jarang ia perlihatkan itu pun tumpah ruah. Ia bahkan menangis dengan suara yang keras hingga terisak-isak. Selain saat ibunya meninggal dan papanya ditangkap, ini adalah kali pertamanya ia menangis histeris setelah dua bulan lamanya.
"Ma-af."
Tubuh Jo luruh, seperti istana pasir yang terhempas ombak. Kegelapan merenggut kesadarannya. Menyebabkan kepanikan di keluarga itu, terutama Hazell.
🌼🌼🌼
Selama ini, bangunan yang bisa ia sebut sebagai rumah hanyalah saksi bisu yang kini sudah terjual, dengan uang hasil penjualan telah Jo terima sepertiganya, sisanya ia berikan pada Daisy dan Hazell sebagai biaya kebutuhan persidangan selama ini. Meski Daisy dan Hazell menolak, tapi Jo memaksa dengan sangat keras kepala.Kini, Jo telah memiliki tempat yang bisa ia sebut sebagai rumah tanpa membuatnya harus berpikir berkali-kali untuk pulang, karena di rumah ini ia tak perlu merasa takut. Di rumah ini, ia merasa sangat nyaman dan aman. Bahkan, kalau bisa, ia ingin ada di rumah seharian penuh dan berkumpul bersama kakak-kakaknya, Hazell dan Oliver.Sejak masalah itu, Hazell membawa Jo tinggal di apartemen miliknya. Setahun kemudian, Oliver ikut merantau ke Jakarta untuk bersekolah di SMA swasta elite dengan beasiswa yang ia terima. Rendyka memang awalnya tak mau mengakui Jo sebagai anaknya, tapi ia akhirnya m
Jo dan Oliver tiba di parkiran tepat pukul 06.30, masih ada waktu 30 menit sebelum bel berbunyi. Seperti biasa, Oliver akan mengantar Jo sampai depan kelas, lalu meninggalkannya setelah Jo duduk di bangkunya. Walaupun kelas mereka sama-sama di lantai tiga, tapi kelas mereka benar-benar berjauhan. Kelas Jo ada di ujung gedung sayap kanan, dan kelas Oliver ada di sisi berlawanan. Meski Jo selalu menolak, pada akhirnya ia menyerah dan membiarkan kakaknya melalukan apa yang dia mau.Kelas masih sepi, seperti biasa. Jo membuka buku sakunya dan mengulang pelajaran yang telah ia rangkum sejak awal masuk sekolah dua bulan lalu. Seperti inilah cara ia belajar. Ia tidak begitu memaksakan diri dalam hal belajar. Meski orang-orang beranggapan ia sangat santai, sejujurnya ia belajar setiap ada waktu senggang dengan membaca buku sakunya ini."Morning, Babe." Seseorang memeluknya dari samping. "How are you today? How's your Ha
Mendengar kabar dari Oliver, tanpa pikir panjang pun Hazell langsung tancap gas meninggalkan kantor kepolisian dan segala pekerjaannya. Meski ia tahu telah menyalahgunakan sirine kecil di mobilnya, tapi ia tetap memasang sirine demi mendapatkan jalan tanpa hambatan. Bagaikan sedang melalukan pengejaran pada tersangka. Ia berhasil memecah kemacetan, membuat waktu tempuh menjadi lebih singkat. Biasanya, ia akan membutuhkan waktu 30-45 menit, kali ini ia memangkas itu menjadi 20 menit saja.Begitu tiba di parkiran mobil, ia langsung berlari menembus lobi. Ia langsung menemukan lokasi UKS yang berada di lantai satu, di ujung lorong kiri. Ia berlari cepat dengan menghasilkan gaung di dalam lorong yang telah sepi. Tangannya dengan cepat meraih pintu UKS. Pintu itu pun langsung ia dorong agar terbuka. Netra dinginnya yang terbuka lebar itu langsung mendapatkan sosok yang sedari tadi memenuhi pikirannya."Ah, Kak Zell,"
Pagi ini, langit terlihat sangat pucat, sepucat dirinya yang terlihat pada pantulan cermin besar di kamar mandi lantai dua yang biasa dipakai bersama dengan kedua kakak laki-lakinya. Matahari memang terlihat, tapi sinarnya tertutup oleh kelabunya langit karena awan mendung yang tersebar merata. Sama seperti dirinya yang merasa hidup, tapi di saat yang sama juga merasa seperti tidak hidup. Rasanya, tak ingin keluar dari kamar mandi karena malu memperlihatkan wajahnya yang mengerikan dan mengenaskan ini.Beberapa belas menit lalu, Jo terbangun. Saat itu sudah jam 6 pagi, bahkan ia tak pernah bangun sesiang itu meski saat sakit. Tapi, meski hari ini ia bangun jam 6, ia tetap merasa tubuhnya lemas dan tak bertenaga. Ia merasa seakan tidurnya benar-benar kurang. Padahal, dulu, saat masih tinggal dengan Adianto, meski tubuhnya sakit hasil siksaan papanya, meski ia demam karena infekai dan radang di sekujur tubuhnya akibat siksaan papanya, ia tetap akan
Seperti biasa, Oliver mengantar Jo sampai adiknya benar-benar duduk manis di bangkunya. Tidak. Kali ini, Oliver harus memastikan Jo memberi isyarat padanya untuk meninggalkannya. Sebuah tatapan hangat dan senyum manis yang selalu membuat Oliver tenang, cukup sebagai isyarat dari adiknya. Jadilah ia pergi meninggalkan kelas adiknya.Kelas sangat sepi, tapi Oliver tidak perlu cemas. Kelas itu mungkin tertutup, tapi memiliki banyak jendela yang membuat ia yakin bahwa adiknya tak akan takut berada di kelas sendirian. Bahkan, ia yakini, adiknya itu lebih nyaman berada di sekolah dibanding rumah. Bagaimanapun juga, dulu, sekolah adalah tempat Jo untuk jauh dari mimpi buruk kehidupannya, sekalipun ia tak punya teman.Berbeda dengan apa yang Jo rasakan hari itu. Jika Oliver merasa tenang adiknya telah duduk manis di kelasnya, Jo sebaliknya. Ia ingin cepat-cepat berpisah dengan kakaknya yang protektif itu. Usai memastikan pendengarannya tidak salah,
Tidak mungkin Oliver yang protektif itu tidak mencurigai seorang Rajendra Sadhana yang nyatanya adalah murid baru di sekolah dan sudah berhasil membuat adiknya seakan-akan terpikat. Meski jauh di dalam akal sehatnya ia yakini bahwa adiknya adalah orang baik yang tidak bisa mengatakan 'tidak'. Bahkan, saking polosnya adiknya itu, ia sampai takut bahwa adiknya akan mudah ditipu. Dan kini, ia, Ezra, dan Eva pun mengikuti kemana Jo dan Jendra pergi.Saat bel istirahat pertama berbunyi, Jendra langsung menarik Jo untuk mengantarnya berkeliling sesuai perjanjian dua jam sebelumnya. Jo mengajaknya berkeliling Gedung Akademik, yaitu tempat segala aktivitas akademik berlangsung. Jo juga mengenalkan Jendra pada beberap guru yang melintas, begitu ramah. Jo bahkan ramah pada pekarya di sekolah itu, membuat dirinya cukup terkenal di kalangan guru, staf, dan karyawan. Dan tak terasa bahwa istirahat pertama pun habis hanya untuk berkeliling Gedung Akademik dan kantin di belaka
Cuaca di akhir pekan sangat cerah, membuat orang-orang tetap semangat untuk produktif. Terutama Jo. Seorang Jolanka yang paling tidak bisa diam saat ada waktu senggang. Baginya, waktu senggang adalah waktu untuk melakukan hal-hal yang lebih menyenangkan dari sekedar rebahan dan bermalas-malasan.Kebetulan, Hazell sedang libur dari pekerjaannya. Sementara Oliver harus ke sekolah, dan akan terus berlangsung seperti itu setiap dua minggu sekali di hari Sabtu selama satu semester ini untuk kelas tambahan persiapan Ujian Nasional.Usai sarapan, Jo mengajak Hazell untuk menemaninya bermain basket di lapangan basket klaster mereka. Lapangan itu jarang dipakai, karena penghuni klaster ini rata-rata adalah orang dewasa dan suami-istri yang baru menikah, anak-anak pun lebih banyak pergi ke taman bermain. Sementara, para orang dewasa lebih senang bersantai di rumah.Hazell dan Oliv
Hazell menutup pintu mobilnya dengan kuat, lebih seperti membantingnya. Jika tidak mengukur tenaga dan mengontrol emosinya, mungkin kaca mobilnya bisa pecah. Tapi, ia bukan orang bodoh yang tidak bisa mengontrol amarahnya. Baginya, lebih sulit mengontrol perasaan cemas dan rasa bersalah ketimbang amarah.Usai menghubungi Rendyka, ia pergi meninggalkan rumah sakit. Ia tak mau terlalu lama berpisah dengan adiknya yang kini masih setia dalam pejam lelahnya. Namun, ia harus segera menyelesaikan permasalahan ini. Ia tak mau dihantui rasa bersalah karena belum berhasil memberikan kebahagiaan pada adik tirinya. Namun, besar perasaan bersalahnya saat ini tertutupi oleh kekecewaan pada sang ayah.Seperti takdir. Hari itu, Rendyka melakukan perjalanan bisnis ke Jakarta, menghadiri sebuah pertemuan pebisnis di Hotel Shangri-La, Jakarta. Langsung saja Hazell memaksa sang ayah untuk bertemu dengannya. Sebagai anak sulung yang membanggakan, Rendyka tentu
Dulu, bagi Jo, nggak ada musim semi. Adanya musim dingin terus, sampai Jo nggak bisa gemuk karena lemak Jo dipake buat menghangatkan tubuh Jo.Walaupun nggak sampai setengah waktu Jo di musim dingin, akhirnya Jo ngerasain musim semi.Makasih buat:1. Papa yang udah ajarin Jo arti hidup2. Ayah yang udah ajarin Jo arti memaafkan3. Ibu yang udah ajarain Jo arti keadilan4. Kak Zell yang udah ajarin Jo arti kejujuran5. Kak Olv yang udah ajarin Jo arti persaudaraan6. Eva yang udah ajarin Jo arti persahabatan7. Ezra yang udah jagain Jo dari dulu, itu berarti banget buat Jo8. My first and last love, Jendra, yang udah ajarin Jo cinta dan kasih sayangNggak banyak yang bisa Jo sampaikan, soalnya Jo nggak kuat ngomong banyak. Ini aja udah take kesekian sampai bener-bener selesai. Jadi, maaf kalau rekaman suaranya putus-putus.Jo udah siapin kenang-kenangan buat kalian semua. Na
Jendra menggenggam tangan Jo yang terbebas dari infus, namun di jari telunjuknya tersemat pulse oxymeter yang terhubung ke monitor pasien untuk memastikan saturasi oksigen.Jo sudah sadar, tapi saat Jendra masuk, Jo kembali memejamkan mata. Kini, sudah 15 menit Jendra hanya memandangi Jo yang terlelap. Terdapat memar di pipi Jo. Meski terhalang oleh masker oksigen, tapi memar itu terlihat sangat jelas. Jendra mengelus pelan pipi itu. Tampaknya sangat menyakitkan. Amarah menggemuruh di dadanya. Kalau Rendyka bukan ayahnya Jo, Jendra pasti akan mencekik Rendyka sampai mati."Jen... mual..."Jendra terlonjak dan berdiri tiba-tiba. Ia berlari ke kamar mandi untuk mengambil baskom untuk mandi. Ia kembali dan sudah melihat Ara terduduk dengan membungkuk sambil menutup mulutnya, membiarkan masker oksigen menggantung di lehernya. Jendra langsung menyelipkan ember itu di atas pangkuan Jo, membiarkan kekasihnya memuntahkan isi lambungny
Membunuh adalah tindakan dengan konsekuensi besar. Ia mati-matian memaki dan menghina Adianto karena membunuh istrinya sendiri akibat stres karena dirinya telah membuat Adianto menderita. Dan kini, tanpa ia sadari, ia membunuh anak kandungnya sendiri. Ia sadar anaknya sekarat, tapi ia tak benar-benar serius akan membunuh anaknya. Yang ia inginkan hanyalah keputusan istri dan anak pertamanya untuk menarik tuntutan dengan mempertaruhkan anak perempuan hasil hubungan ilegalnya.Nafas Jo hilang dan timbul dengan jarak yang sangat panjang, bukan lagi Senin-Kamis, tapi sudah seperti dari Senin ke Senin. Pucat pasi di wajah, bahkan tangan yang terluka akibat jarum infus yang dilepas paksa itu sudah seputih mayat. Kepalanya terkulai ke depan, seiring dengan tubuhnya yang ikut jatuh ke depan. Kalau tidak terikat pada kursi, tubuh itu pasti sudah jatuh ke lantai."C-Cek nadinya!" titah Rendyka.Beberapa anak buahnya tampak ragu, bahkan
Perlahan, kondisi Jo mengalami perkembangan baik. Tidak, bukan berarti ia telah sembuh. Nafsu makannya perlahan kembali, ia mulai mencoba untuk berjalan dan menggunakan kedua tangannya dengan lebih aktif, daya ingatnya yang masih baik, dan tentunya adalah semangat untuk terus bertahan sekali lagi sebelum Mawar mengajaknya.Jo telah berhenti sekolah, sudah resmi. Tapi, setiap harinya pasti akan ada teman sekelas yang datang untuk menjenguk secara bergantian, tentu saja selain Eva, Ezra, dan Jendra. Jangan tanyakan mereka. Mereka akan datang kapanpun sesuka hati mereka, seakan rumah sakit sudah seperti rumah Jo yang bisa seenaknya mereka datangi tanpa izin.Sudah berlalu lima hari semenjak Jo sadar dari komanya. Siang ini, tak ada yang menemani Jo. Bukan berarti ia ditinggalkan. Ia yang memaksa semua orang untuk tidak menemaninya siang itu. Pun, takdir nyatanya memberi izin atas keinginan Jo. Hazell dan June pergi mengurus persidangan kedua yang masih
Jendra sedang duduk di kursi sebelah brangkar sambil mengupas jeruk yang dibawa teman-teman sekelasnya. Ia ingat Jo suka sekali dengan jeruk, terutama aromanya. Selama ia menemani Jo di kamar rawat ini, ia selalu memakan sebuah jeruk di sebelah Jo. Ia berharap itu bisa merangsang Jo untuk sadar. Meski sudah 10 hari ia mencoba dan Jo tak kunjung sadar, ia tetap mencoba. Ia tahu babwa kekasihnya itu akan bangun. Masih terlalu cepat bagi Jo untuk pergi selamanya.Beberapa menit lalu, teman-teman sekelasnya berpamitan untuk pulang. Hari masih cukup sore, masih jam 5. Seharusnya Oliver sudah datang, tapi entah di mana dan tak ada kabar. Sementara, June dan Hazell masih mengurus persidangan ketiga. Sidang kedua beberapa hari lalu tak bisa berlangsung sempurna, karena Rendyka belum bisa ditemukan. Waktu untuk menemani Jo pun berkurang, namun hal ini menjadi keuntungan bagi Jendra untuk berada di samping Jo lebih lama lagi."Bunda..."Jendr
Waktu bagi Jo seakan telah berhenti. Mata itu tidak pernah terbuka selama 5 hari ini. Entahlah. Tuhan mungkin sudah memberi kode, tapi umat-Nya mencoba untuk mempertahankan Jo hingga saat ini. Meski bertahan hidup dengan alat ventilator yang memberinya kesan mengenaskan, namun Jo seakan paham bahwa orang-orang disekitarnya menginginkannya untuk bertahan lebih lama, meski ia harus beristirahat cukup lama kali ini.Sementara itu, kehidupan terus berjalan seakan tak terpengaruh oleh ketidakhadiran Jo. Tidak, itu hanya untuk mereka yang tak menaruh banyak porsi keberadaan Jo di hati mereka. Bagi Jendra, Ezra, dan Eva, keberadaan Jo sudah melebihi setengah luas hati mereka. Hal tersebut pun begitu terasa di kelas. Teman-teman sekelas seakan bisa merasakan kekosongan dan kehampaan Jendra, Ezra, dan Eva. Mereka tahu bagaimana dekatnya hubungan mereka dengan Jo.Awalnya, pihak sekolah memang merahasiakan perihal kondisi Jo. Namun, June, Hazell, dan Oliver p
Kondisi Jo tidak mengalami peningkatan. Alih-alih June dan Hazell mengizinkannya menemui Rendyka, Jo berkali-kali mengalami mimisan, muntah, demam, hingga kejang. Sudah seminggu, namun tak ada perkembangan yang 'sedikit' membaik. Bahkan, meski Jo terus meminta June dan Hazell untuk mengizinkannya bertemu Rendyka, tapi janji tetap tak bisa Jo penuhi.Semakin Jo berusaha untuk membaik secepatnya, semakin ia tak yakin bahwa kondisinya akan membaik sebelum persidangan kedua dilangsunkan, yaitu dua minggu setelah persidangan pertama. Nyatanya, waktu Jo hanya tersisa tiga minggu dari prediksi. Ia semakin yakin bahwa ia memang tak punya kesempatan untuk berdamai dengan Rendyka, seperti yang ia lakukan pada Jully.Semalam, Jo mengalami kejang dan mimisan. Hingga pagi ini, suhu tubuh Jo masih berada di angka 39⁰C, belum menunjukkan tanda-tanda akan turun meski sudah diberi obat menurunkan demamnya. Tubuhnya semakin kurus, semakin terlihat lemah, semaki
Malam itu, kondisi Jo menurun secara mendadak dan tiba-tiba. Malam di hari persidangan pertama. Sikap aneh Jo saat sidang hingga saat mereka pergi makan bersama, tak dianggap serius oleh yang lain. Mereka hanya berpikir bahwa sikap Jo yang kekanakkan itu adalah hal biasa pada gejala penyakit mematikannya. Mereka tak sampai berpikir bahwa senyum yang Jo tunjukkan seharian itu adalah pengingat bahwa waktu Jo memang tidak banyak lagi.Sudah dua bulan berlalu semenjak Jo didiagnosis menderita Glioma Brainstem. Sejak saat itu, memang tak sering Jo mengeluh, bahkan hampir tidak pernah. Jo bersikap biasa, seakan ia baik-baik saja, seakan ia tidak sakit. Tapi, nyatanya, ia benar-benar menderita tanpa ingin membuat orang-orang disekitarnya khawatir.Malam itu, saat ia baru saja pulang setelah bersenang-senang dan makan-makan, begitu kakinya menyentuh teras rumah, tubuhnya jatuh seakan tak bertulang. Debuman keras benturan tubuh dan kepalanya pada lantai tera
Keberadaan Ferdy tidak bisa dijangkau oleh Jo, sehingga Jo hanya mengirimkan sebuah amplop berisikan dua lembar surat yang ia tulis dengan tangannya yang mulai sering mengalami kelumpuhan sementara. Bersyukur Ferdy tidak merahasiakan kepindahannya ke daerah Jawa Timur. Meski sudah dua hari Jo mengirimkan surat itu, ia tak berharap Ferdy membalas suratnya. Asalkan suratnya sudah diterima, selanjutnya akan menjadi keputusan Ferdy untuk membacanya atau membuangnya.Tepat sehari setelah Jo menemui Jully, tiga polisi datang dengan membawa surat panggilan untuk Jully. Tanpa penolakan, Jully menerima panggilan itu. Dan, di sinilah Jully, seminggu kemudian, duduk di tengah-tengah ruang sidang, didampingi pengacara yang menawarkan diri untuk membantunya. Bukan membantu untuk memenangkan persidangan, melainkan membantunya untuk melewati persidangan dan mendapatkan hukuman yang adil untuk semua tindakannya.Jika kalian berpikir Jo tidak datang, itu salah. Jo s